Pada tonggol-tonggol tersebut dapat dihias dengan warna-warna lain,
seperti yang ada pada foto di atas. Warna-warna yang dipakai dalam
tonggol antara lain warna-warna yang memiliki makna adat, yaitu: 1)
Hitam yang melambangkan adat, 2) Putih yang melambangkan alim ulama
(agama), 3) Kuning yang melambangkan raja, 4) Hijau melambangkan rakyat.
Tonggol diwariskan secara turun temurun dan menjadi alat kebesaran
bagi pebatinan dan pesukuan. Setiap tonggol disimpan di rumah suku
(rumah soko) karena setiap tonggol adalah milik suku. Sebagai alat
kebesaran adat, tonggol juga bermakna marwah. Oleh karena itu, tradisi
Togak Tonggol tidak hanya bermakna menegakkan alat kebesaran, tetapi
juga menegakkan marwah.
Tegaknya tonggol juga menjadi penanda bahwa anak-kemenakan yang
berada dalam lindungan datuk adat berada dalam hubungan yang harmonis
dan tidak ada ketegangan. Hal ini disebabkan setiap tonggol tidak berada
di tangan datuk adat, batin atau ketiapan, melainkan berada di rumah
suku (pihak perempuan). Apabila hubungan antara datuk adat dan
anak-kemenakan tidak harmonis akan sulit untuk mengeluarkan tonggol dari
rumah soko. Seorang batin atau ketiapan yang tidak dapat menegakkan
tonggolnya bermakna ia sebagai pemimpin suku tidak dapat melindungi
anak-kemenakan dan bagi orang Petalangan sangat memalukan. Tonggol utama
yang harus ditegakkan yaitu tonggol Datuk Rajo Bilang Bungsu, pemimpin
seluruh pebatinan di wilayah Langgam. Apabila tonggolnya tidak dapat
ditegakkan karena satu atau lain hal, maka tradisi Togak Tonggol tidak
dapat dilaksanakan.
Sebagai alat kebesaran dan marwah, tonggol tidak dapat ditegakkan
setiap saat dan harus ditegakkan dengan memenuhi syarat-syarat adat.
Oleh karena itu, tradisi Togak Tonggol erat terkait dengan tegaknya
marwah, karena di sinilah datuk adat (batin dan ketiapan) sebagai
ninik-mamak memperlihatkan dukungan dan kebersamaan anak-kemenakan yang
dinaunginya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan upacara Togak
Tonggol dinyatakan dalam dari pepatah adat berikut ini “apobilo
kebesaran itu nak naik, balai talintang, agung totangkuik, kambing
tabebek, silat tari dimainkan”, artinya ada tiga syarat utama Togak
Tonggol yaitu:
Menyediakan balai atau tempat acara gondang ogung, Menyediakan seekor kambing dan Pencak silat. Menurut kepercayaan setempat, apabila ketiga syarat
tersebut tidak dipenuhi akan mengundang bencana. Namun, seiring
perkembangan zaman, syarat tersebut dianggap berat sehingga tradisi ini
pun mulai jarang dilaksanakan oleh masyarakat untuk keperluan pribadi.
Kini di wilayah naungan Datuk Rajo Bilang Bungsu, tradisi Togak
Tonggol telah menjadi acara rutin tahunan yang didukung oleh pemerintah
daerah. Waktu pelaksanannya menjelang bulan Ramadhan disejalankan dengan
tradisi Balimau Potang Mogang. Pesertanya adalah pebatinan dan ketiapan
yang berada di wilayahnya.
Tujuan tradisi Togak Tonggol menurut Datuk Rajo Bilang Bungsu adalah:
1) untuk menjalin silaturahmi antara batin dengan batin, ketiapan
dengan ketiapan (pemuka adat Petalangan), beserta seluruh
anak-kemenakan; 2) mempererat hubungan antara adat dengan pemerintah; 3)
untuk memperlihatkan budaya dan adat di Kecamatan Langgam. Ketiga
tujuan ini diterjemahkan di dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan
Togak Tonggol.
Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tradisi Togak Tonggol Pelalawan menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001113.
Sumber
(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/tradisi-togak-tonggol-pelalawan/ oleh Sita Rohana (Peneliti Madya BPNB Kepri)
0 komentar:
Posting Komentar