1. Riwayat Hidup
Idrus Tintin (Penyair), dilahirkan di Rengat, Riau, 10 November 1932, dari seorang emak bernama Tiamah dan bapak bernama Tintin. Ibunya Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur, Indragiri (sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau). Sementara bapaknya Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau). Idrus Tintin merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu Mohammad Boya (sulung), Mustika, Idrus Tintin, dan Norma (bungsu). Sejak kecil, oleh sanak keluarga dan kawan-kawannya, ia dipanggil Derus. Ayahanda Idrus Tintin bekerja pada Jawatan Pelayaran Indonesia kemudian dipindahtugaskan sebagai Nahkoda Kapal Patroli Pemerintah ke Laut Cina Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau. Dengan berbagai pertimbangan, ayahnya akhirnya memutuskan pindah ke Tarempa dan menetap di sana bersama keluarganya.
Idrus Tintin memulai riwayat pendidikannya di Sekolah Rakyat Tarempa, kemudian pindah ke Sekolah Rakyat di Rengat. Kepindahannya ini disebabkan kondisi Tarempa pada waktu itu dibombardir oleh pasukan Jepang pada tanggal 14 Desember 1941. Dalam peristiwa tersebut tidak kurang dari 300 orang masyarakat sipil, termasuk ayahandanya, menjadi korban dan meninggal dunia pada tahun 1942. Sepeninggal ayahandanya, ia bersama keluarga akhirnya kembali ke Tanjung Pinang dan meneruskan sekolah hingga selesai. Usai menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat, Idrus Tintin melanjutkan pendidikan di Chugakko (sekolah tingkat pertama) milik Jepang, namun tidak selesai. Pada akhir tahun 1944 ia ke Tembilahan untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Muhammdiyah, itupun tidak diselesaikannya. Tahun 1947 Idrus Tintin kembali ke Rengat dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertamanya. Ia juga pernah mengikuti kursus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di sore hari untuk program ekstranei hingga lulus. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah ke Tingkat Menengah Atas Sore Tanjung Pinang.
Selama hidupnya, Idrus Tintin telah melakoni berbagai pekerjaan. Sekitar tahun 1943, ia dititipkan oleh emaknya di asrama Dai Toa Kodomo Ryo, yaitu asrama penampungan yatim piatu milik Pemerintah Pendudukan Jepang. Karena pandai berbahasa Jepang, ia diterima bekerja di Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Tidak lama setelah itu ia dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okhabuthai di Tanjung Pinang. Ia bekerja di biro tersebut selama 5 bulan. Saat berumur 16 tahun, pada bulan Februari 1949, ia kembali lagi ke Tembilahan dan bergabung menjadi TNI. Ia juga pernah bekerja sebagai pegawai negeri sipil di beberapa tempat antara lain; sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat TNI, Juru Tulis Kantor Camat Tarempa, Jawatan Penghubung Sosial Kewedanaan Pulau Tujuh, Tarempa dan guru honorer selama 17 tahun di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Pekanbaru, Riau.
Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan. Itu dimulainya sejak tahun 1943 saat bermain drama dalam bahasa Jepang produksi Raja Khadijah. Tahun 1944 di Tanjung Pinang, ia menggelar sandiwara dengan ide cerita Nosesang, dimana cerita ini bertutur tentang kehidupan petani dan nelayan. Tahun 1945 di Rengat, beberapa kali ia bermain sandiwara bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Pada tahun 1952, ia kembali ke Tarempa dan mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama “Gurinda”.
Untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan seni peran yang telah ia geluti, pada tahun 1959, ia memutuskan mengembara ke Pulau Jawa. Di sinilah, Idrus berkenalan dengan seniman-seniman Jawa antara lain; Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Teguh Karya, Chairul Umam, dan seniman lain. Pertemuan inilah yang menjadi titik tolak perkenalan Idrus dengan seni peran/teater modern/kontemporer. Selama berada di Jawa, ia sempat menjadi peserta dalam berbagai forum diskusi para seniman, baik formal maupun non-formal, terutama yang membicarakan tentang pemeranan dan penyutradaraan.
Pada tahun 1961, Idrus Tintin kembali menetap di Rengat dan membentuk sebuah kelompok teater. Sejak menetap di Riau, setiap ada perayaan hari-hari besar, Idrus selalu tampil bermain teater. Tahun 1964, Idrus mengikuti Festival Drama di Pekanbaru yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Naskah yang dipentaskan adalah naskah Pasien. Tahun 1968, Idrus menyutradarai pertunjukan teater modern di Gedung Trikora Pekanbaru berjudul Tanda Silang. Tahun 1974, bersempena Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Idrus menyutradarai pertunjukan teater kolosal di Balai Dang Merdu Pekanbaru dengan judul Harimau Tingkis. Pada tahun yang sama, ia bersama Armawai KH. menubuhkan wadah pembinaan teater di Riau yang diberi nama “Teater Bahana.”
Idrus Tintin meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2003 di usia 71 tahun, akibat penyakit stroke. Ia meninggalkan 7 orang anak dan dua orang istri, Mahani dan Masani. Ia dikebumikan di pemakaman raja-raja Rengat, berdekatan dengan Masjid Raya Rengat Indragiri Hulu.
2. Pemikiran/Pengaruh
Banyak tokoh kesenian sependapat bahwa Idrus lebih menonjol dengan keaktorannya dalam dunia teater dari pada dunia kepenyairan. Oleh sebab itu, Idrus lebih menonjol aspek oralnya dari pada aspek tulisnya. Dilihat dari sisi ini, memang ketungkuslumusan Idrus, oleh beberapa pengamat, dianggap sebagai seorang yang memiliki kemampuan untuk menjadikan hal-hal tragedik menjadi komedik. Dalam teater memang sulit dilupakan bahwa Idrus merupakan sosok yang berhasil mendobrak dominasi sandiwara tradisional/klasik yang disebut “teater cis.” Dalam pemikiran Idrus, sandiwara tradisional atau klasik terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap unsur-unsur baru. Berbeda halnya dengan teater modern atau kontemporer yang penuh nuasa alternatif dan kreasi. Pemikiran Idrus Tintin tersebut, banyak memberikan pengaruh pada para seniman di daerah Provinsi Riau, seperti Pekanbaru, Bengkalis, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Tanjung Pinang, Batam, dan lain-lain.