Tampilkan postingan dengan label WARISAN BUDAYA TAK BENDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WARISAN BUDAYA TAK BENDA. Tampilkan semua postingan

Atib Koambai merupakan ritual tolak bala yang terdapat di Kubu dan Kubu Darussalam Kabupaten Rokan Hilir. Bukan hanya sekedar menolak bala tapi lebih ke Ritual  memuj ataupun memanjatkan doa kepada tuhan.

Dahulu di Kubu tradisi ini dilakukan oleh warga karena terdapat  wabah penyakit kolera yang belum ada obatnya dan  kemudian menurut cerita turun temurun dahulu pada tahun 1886
Kubu dilanda kemarau panjang dan hujan tidak turun selama enam bulan dan masyarakat masyarakat melakukan atib koambai dan hujan pun turun selama satu hari satu malam. Masyarakat dan pemuka adat beratib (berdoa dan berzikir) dengan menggunakan sampan dengan tujuan membuang bala ke arah muara Sungai Kubu , pada saat itu sampan merupakn transportasi satu-satunya.

Uniknya  Atib Koambai ini hanya diikuti oleh kaum laki-laki dan mereka mnggunakan pakaian berwarna putih melambangkan kesucian , acara ini dipimpin oleh seorang syekh. Sebelum atib dimulai peserta atib berkumpul  di sebuah makam yakni makam Teuku Abdullah Pasai asal Aceh. Ulama ini menyebarkan Islam di Kubu pada tahun 1667. Makam ini disebut dengan makam koambai (ke rambai), duluu di sekitar makam terdapat pohon rambai. Masyarakat biasanya selalu menggantungkan sesuatu di pohon tersebut, seperti kain putih dan lainnya dengan tujuan nazar, berniat dan sebagainya. Hingga saat ini masih terus menjadi sebutan, kaombai. Selama berada di makam, seluruh peserta berdoa dan berzikir yang dipimpin oleh syekh. Lalu setelah itu azan dikumandangkan yang memberikan tanda bahwa atib akan segera dimulai.


Berikut Video Atib Koambai

Togak tonggol merupakan tradisi menegakkan tonggol kebesaran pebatinan dan suku pada masyarakat adat Petalangan di Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau yaitu wilayah yang berada di bawah naungan Datuk Rajo Bilang Bungsu. Tonggol terbuat dari kain persegi empat yang pada bagian bawahnya berjumbai-jumbai. Tonggol dimiliki oleh perangkat adat yaitu batin, penghulu, dan ketiapan (pembantu batin, induk suku). Masing-masing memiliki tonggol dengan warna-warna khas yang membedakan satu dengan lainnya. Hampir semua warna boleh dijadikan warna dasar tonggol, kecuali warna kuning yang merupakan warna kebesaran Sultan.

Pada tonggol-tonggol tersebut dapat dihias dengan warna-warna lain, seperti yang ada pada foto di atas. Warna-warna yang dipakai dalam tonggol antara lain warna-warna yang memiliki makna adat, yaitu: 1) Hitam yang melambangkan adat, 2) Putih yang melambangkan alim ulama (agama), 3) Kuning yang melambangkan raja, 4) Hijau melambangkan rakyat.

Tonggol diwariskan secara turun temurun dan menjadi alat kebesaran bagi pebatinan dan pesukuan. Setiap tonggol disimpan di rumah suku (rumah soko) karena setiap tonggol adalah milik suku. Sebagai alat kebesaran adat, tonggol juga bermakna marwah. Oleh karena itu, tradisi Togak Tonggol tidak hanya bermakna menegakkan alat kebesaran, tetapi juga menegakkan marwah.

Tegaknya tonggol juga menjadi penanda bahwa anak-kemenakan yang berada dalam lindungan datuk adat berada dalam hubungan yang harmonis dan tidak ada ketegangan. Hal ini disebabkan setiap tonggol tidak berada di tangan datuk adat, batin atau ketiapan, melainkan berada di rumah suku (pihak perempuan). Apabila hubungan antara datuk adat dan anak-kemenakan tidak harmonis akan sulit untuk mengeluarkan tonggol dari rumah soko. Seorang batin atau ketiapan yang tidak dapat menegakkan tonggolnya bermakna ia sebagai pemimpin suku tidak dapat melindungi anak-kemenakan dan bagi orang Petalangan sangat memalukan. Tonggol utama yang harus ditegakkan yaitu tonggol Datuk Rajo Bilang Bungsu, pemimpin seluruh pebatinan di wilayah Langgam. Apabila tonggolnya tidak dapat ditegakkan karena satu atau lain hal, maka tradisi Togak Tonggol tidak dapat dilaksanakan.

Sebagai alat kebesaran dan marwah, tonggol tidak dapat ditegakkan setiap saat dan harus ditegakkan dengan memenuhi syarat-syarat adat. Oleh karena itu, tradisi Togak Tonggol erat terkait dengan tegaknya marwah, karena di sinilah datuk adat (batin dan ketiapan) sebagai ninik-mamak memperlihatkan dukungan dan kebersamaan anak-kemenakan yang dinaunginya.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan upacara Togak Tonggol dinyatakan dalam dari pepatah adat berikut ini “apobilo kebesaran itu nak naik, balai talintang, agung totangkuik, kambing tabebek, silat tari dimainkan”, artinya ada tiga syarat utama Togak Tonggol yaitu:

Menyediakan balai atau tempat acara gondang ogung,  Menyediakan seekor kambing dan Pencak silat. Menurut kepercayaan setempat, apabila ketiga syarat tersebut tidak dipenuhi akan mengundang bencana. Namun, seiring perkembangan zaman, syarat tersebut dianggap berat sehingga tradisi ini pun mulai jarang dilaksanakan oleh masyarakat untuk keperluan pribadi.

Kini di wilayah naungan Datuk Rajo Bilang Bungsu, tradisi Togak Tonggol telah menjadi acara rutin tahunan yang didukung oleh pemerintah daerah. Waktu pelaksanannya menjelang bulan Ramadhan disejalankan dengan tradisi Balimau Potang Mogang. Pesertanya adalah pebatinan dan ketiapan yang berada di wilayahnya.

Tujuan tradisi Togak Tonggol menurut Datuk Rajo Bilang Bungsu adalah: 1) untuk menjalin silaturahmi antara batin dengan batin, ketiapan dengan ketiapan (pemuka adat Petalangan), beserta seluruh anak-kemenakan; 2) mempererat hubungan antara adat dengan pemerintah; 3) untuk memperlihatkan budaya dan adat di Kecamatan Langgam. Ketiga tujuan ini diterjemahkan di dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan Togak Tonggol.

Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tradisi Togak Tonggol Pelalawan menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001113.

 

 

Sumber 

(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/tradisi-togak-tonggol-pelalawan/ oleh  Sita Rohana (Peneliti Madya BPNB Kepri)

Tunjuk Ajar Melayu  identik dengan nama almarhum Tenas Effendy, budayawan ternama asal Riau. Tunjuk Ajar Melayu ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia tahun 2017. Tunjuk Ajar Melayu sarat dengan petuah hidup yang jadi panduan hidup Orang Melayu.

 

Tenas Effendy (9 November 1936 – 28 Februari 2015) merupakan seorang yang sangat ahli dan akrab dalam seni bahasa dan tradisi Melayu. Ia tunak mengumpulkan tafsir-tafsir empirik dan kitab-kitab otoritatif yang berserakan dengan kondisi kenyataan yang terus berubah. Ia mampu mengambil intisari dari tafsir-tafsir tersebut lalu kemudian dipadukan dengan kelaziman sastrawi. Ia seperti sosok pengembara peradaban yang mampu terus bercerita dalam merawat tradisi dan kebudayaan melayu melalu seni baca tulis.

 

Tunjuk Ajar Melayu berisi pernyataan yang bersifat khas, mengandung nilai nasihat dan petuah, amanah, petunjuk dan pengajar serta contoh teladan yang baik. Dapat mengarahkan manusia pada kehidupan yang benar dan baik serta dalam keridhaan Allah untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.

 

Tenas Effendy merumuskan dan mengemukakan :
yang disebut tunjuk ajar dari yang tua,
petunjuknya mengandung tuah
pengajarannya berisi marwah
petuah berisi berkah
amanahnya berisi hikmah
nasehatnya berisi manfaat
pesannya berisi iman
kajinya mengandung budi
contohnya pada yang senonoh
teladannya di jalan Tuhan
(hal. 10-11)

Tunjuk Ajar Melayu yang disusun oleh Tennas Effendy tersebut secara garis besar berisi 25 pemikiran utama yang disebut juga sebagai Pakaian Dua Puluh Lima. Dari ke 25 butir pemikiran utama tersebut, di setiap butirnya mengandung nilai konseling spiritual yang dapat digunakan untuk membimbing kondisi spiritual seseorang. Diantara sifat yang 25 itu adalah sifat tahu asal mula jadi, tahu berpegang pada Yang Satu, sifat tahu membalas budi, sifat hidup bertenggangan, mati berpegangan, sifat tahu kan bodoh diri, sifat tahu diri, sifat hidup memegang amanah, sifat benang arang, sifat tahan menentang matahari dan sebagainya.

 

Upaya penyebaran dan pewarisan tunjuk ajar Melayu yang dilakukan secara tradisional meliputi dua cara yakni melalui lisan-verbal dan suri-teladan. Melalui suri tauladan misalnya dengan langsung menunjukkan perbuatan, tindakan serta prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang mengacu pada nilai-nilai tunjuk ajar tersebut, sementara melalui pewarisan dilakukan dengan peristiwa lisan yang dilakukan sehari-hari, misalnya nasihat para oran tua kepada anaknyanya, dongeng seorang ibu kepada anaknya menjelang tidur, dendang syair dan cerita-cerita dongeng yang langsung keluar dari si tukang cerita. Bisa juga melalui upacara adat yang ada dalam tradisi kehidupan melayu.

 

Tunjuk Ajar Melayu secara metafor memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan masyarakat Melayu diantaranya adalah :
Sebagai pegangan
Sebagai azimat,
Sebagai pakaian
Sebagai rumah
Sebagai tulang
Sebagai jagaan
Sebagai amalan dan
Sebagai timang-timangan bagi diri.

Sementara bagi mereka yang melanggar nilai-nilai tunjuk ajar tersebut, dikatakan akan:
tidak jadi orang,
tidak selamat,
tidak terpuji
tidak bertuah
tidak terpandang
tidak sentosa
tidak terpilih
tidak diberkahi
tidak disayangi

Butir-butir yang terkandung dalam Tunjuk Ajar Melayu seringkali disandarkan pada pernyataan ‘kata orang tua-tua dulu’. Wawasan pengalaman yang didapati oleh orang-orang terdahulu melalui dua sumber yakni bacaan terhadap alam (melalui interaksi ekologis), serta bacaan terhadap kitab-kitab otoritatif.

 

Setelah Islam masuk ke dalam tradisi dan budaya melayu, tafsir-tafsir tersebut semakin kekal karena semakin membuat kebudayaan Melayu lebih bersinar. Al-Quran, Hadits, kitab-kitab para ulama dan aulia mengekalkan lagi isi setiap tafsir dari butir tunjuk ajar yang ada. Pada kondisi ini tak heran jika Tunjuk Ajar Melayu memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dijadikan sebagai rujukan dan patokan utama untuk kesadaran, moralitas, serta pembentukan jatidiri dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu tradisional. 

 

Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tunjuk Ajar Melayu menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda tersebut dengan Nomor Resgistrasi 201700473.

 

Bagi orang Ocu di Pulau Godang, Kecamatan XIII Koto Kampar, upacara Kotik Adat merupakan suatu upacara yang penting dan sakral, karena terkait dua aspek yaitu adat dan agama. Melaksanakan Kotik Adat berarti melestarikan adat dan sekaligus mempertebal iman keagamaan. Karena merupakan suatu upacara yang penting, maka pelaksanaanya harus dilakukan dengan persiapan yang matang serta melibatkan orang-orang penting di dalam suku dan nogori. Dalam suatu upacara penobatan Kotik Adat ini, hanya satu calon kotik yang boleh dinobatkan. Jika terdapat dua atau lebih calon Kotik Adat, maka upacara penobatan dilakukan pada waktu atau tempat yang berbeda. Menurut Kotik Bosou (Tokoh Kotik Adat), pada zaman dahulu upacara penobatan Kotik Adat dilaksanakan sebagai upacara tersendiri dan biasanya dilaksanakan pada hari pertama di bulan Syawal setelah sholat dzuhur. 

 

Dalam perkembangannya saat ini, upacara Kotik Adat selalu disejalankan dengan acara halal bihalal dusun atau nogori. Proses persiapan pelaksanaan upacara penobatan Kotik Adat telah dilaksanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Persiapan tersebut meliputi pemilihan calon Kotik Adat, maimbau soko, melatih calon Kotik Adat, persiapan keluarga calon kotik hingga mempersiapkan mesjid / musholla sebagai tempat pelaksanaan upacara penobatan. Pemilihan bakal calon Kotik Adat biasanya telah dimulai satu atau dua bulan sebelum pelaksanaan upacara penobatan. Hal ini sengaja dilakukan karena calon kotik membutuhkan waktu untuk mempelajari irama membaca teks khutbah adat. Maimbau soko, adalah suatu tahapan persiapan dimana orang tua, ninik mamak dan anggota keluarga matrilineal calon kotik berkumpul di rumah soko atau di rumah calon kotik untuk memberitahukan kepada warga persukuan bahwa anak laki-laki mereka akan mengikuti penobatan Kotik Adat. Setelah ninik mamak nogori menyetujui upacara penobatan Kotik Adat tersebut, selanjutnya ninik mamak suku atau seseorang yang dituakan dalam kaum si calon Kotik Adat mencari seorang guru yang akan mengajarkan si calon kotik irama membaca teks khutbah adat. Memilih guru Kotik Adat dilakukan dengan teliti, karena kualitas guru menentukan kualitas si calon kotik. Orang yang ditunjuk menjadi guru membaca khutbah adat adalah seorang Kotik Adat yang diakui keindahan suaranya dan kemampuannya dalam menguasai irama pembacaan khutbah adat yang sedikit berbeda dengan membaca Al-Quran. 

 

Pada proses pelaksanaannya, setelah selesai makan bersama, calon kotik diarak bersama-sama menuju tempat upacara penobatan kotik adat. Calon Kotik Adat diarak memakai payung bubu, yaitu payung berukuran besar dengan hiasan warna-warni dan tirai. Warna payung disesuaikan dengan warna tonggue (bendera) suku. Payung putih untuk suku petopang, merah untuk suku melayu, hitam untuk suku domo dan warna kuning untuk suku piliang. Dalam arak-arakan tersebut ikut sertaorang tua calon Kotik Adat, ninik mamak suku, guru seni membaca khutbah, anggota keluarga luas dari keturunan Ibu dan Ayah, tetangga, panitia acara halal bihalal serta dimeriahkan oleh kelopok rebana laki-laki. Jalur yang dilalui arak-arakan biasanya diatur agar masyarakat dusun dan nogori mengetahui calon Kotik Adat yang akan dinobatkan. Tiba di tempat upacara, calon Kotik Adat beserta  pengiringnya disambut dengan penampilan pencak silat. Setelah semua pita digunting, calon Kotik Adat, pemangku adat, perangkat desa serta semua peserta memasuki mesjid atau surau tempat pelaksanaan upacara penobatan Kotik Adat. Di dalam mesjid, Kotik Adat duduk di depan mimbar mesjid didampingi oleh gurunya. Sebelah kanan hingga kebelakang mimbar biasanya ditempati oleh Kepala Desa dan kepala lembaga tingi desa. Di sebelah kanan mimbar bagian belakang ditempati oleh penghulu dan perangkat adat dari suku si calon Kotik Adat. Bagian depan sebelah kiri mesjid ditempati oleh ninik mamak suku lain dalam nogori. Bagian tengah depanruangan mesjid hingga batas syaf laki-laki merupakan posisi duduk kaum laki-laki (orang tua di depan, remaja dan anak-anak di belakang). Bagian tengah di belakang batas syaf laki-laki merupakan posisi duduk kaum perempuan (orang tua di depan remaja dan anak-anak di belakang). Setelah semua duduk di dalam mesjid, prosesi upacara dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh salah seorang qori/qoriah yang telah ditunjuk. Selanjutnya penyampaian kata sambutan sekaligus nasehat kepada calon Kotik Adat yang akan dinobatkan, dari tokoh agama, ninik mamak suku si calon kotik dan Kepala Desa. Setelah kata sambutan, seseorang yang bertindak sebagai belal, biasanya adalah guru calon kotik yang akan berkhutbah, mengumandangkan himbauan (dalam bahasa Arab) mengajak hadirin untuk dengan khidmat mendengarkan khutbah adat. Selanjutnya calon Kotik Adat langsung naik mimbar dan membacakan khutbah adat dengan irama yang telah ia pelajari. Pembacaan khutbah adat berlangsung selama 40 s.d.90 menit, tergantung seni atau irama yang dibawakan. Setelah pembacaan doa selesai, ninik mamak dari calon Kotik Adat beserta sijora sukunya berunding sebentar untuk menentukan gelar Kotik Adat yang akan diberikan. Perundingan ini diperlukan karena masyarakat Nogori Pulau Godang mengenal dua jenis gelar Kotik Adat. 

1, Gelar kotik kebesaran suku, yaitu gelar kotik yang dimiliki oleh suatu suku dan tidak boleh dipakai oleh suku lain. Gelar Kotik Adat kebesaran suku diwariskan menurut aturan botuong tumbuo di mato artinya diwariskan turun-temurun kepada laki-laki yang termasuk dalam garis keturunan matrilineal dari kaum pemilik gelar kotik tersebut. Gelar Kotik Adat kebesaran suku Domo adalah Majo Kotik dan Kotik Naro. Gelar Kotik Adat kebesaran suku Petopang adalah Kotik Malin dan Intan Kotik. Gelar Kotik Adat kebesaran suku Piliang adalah kotik Sutan dan Kotik Mudo. Gelar kebesaran Kotik Adat suku Melayu adalah Kotik Salio. 

2. Gelar Kotik Adat kebanyakan, yaitu gelar Kotik Adat yang boleh dipakai oleh siapa saja yang telah dinobatkan dalam upacara Kotik Adat. Pemberian gelar kotik adat mengacu pada aturan : 

  a. Gelar Kotik Adat yang diberikan merupakan gelar kebesaran suku si calon kotik sendiri, bukan gelar kotik adat milik suku lain. 

b. Gelar yang diberikan tidak sedang dipakai oleh kotik yang lain 

c. Usang-usang diperbaharui, yaitu gelar Kotik Adat yang dipakai oleh seseorang namun masyarakat tidak mengakui gelar tersebut karena akhlak dan perbuatan yang kurang baik, atau tidak menjalankan tugasnya sebagai Kotik Adat, gelar tersebut boleh dilekatkan kepada kotik adat yang baru. Penobatan ini sekaligus sebagai pencabutan gelar Kotik Adat yang lama yang dianggap telah usang.

d. Patah tumbuo hilang bagonti, yaitu gelar Kotik Adat yang telah meninggal dunia boleh dipakai oleh Kotik Adat yang baru. Setelah ninik mamak sepakat, gelar Kotik Adat langsung diumumkan oleh penghulu suku si Kotik Adat.  Setelah pengumuman tersebut maka resmilah si calon Kotik Adat menjadi Kotik Adat dan berhak menyandang gelar kotik yang diberikan. Malam hari berikutnya, dilakukan pembukaan jambau ponuo di rumah kotik adat yang baru dinobatkan. Selain sebagai rasa syukur atas kelancaran pembacaan khutbah dan penobatan gelar kotik, pembukaan jambau ponuo bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat nogori bahwa seorang pemuda dari keluarga mereka telah bergelar kotik. Saat ini upacara penobatan kotik adat telah mengalami beberapa perubahan seperti : waktu pelaksanaan upacara, penambahan prosesi pengguntingan pita serta adanya kotik hiburan. Perubahan yang terjadi tidak merubah fungsi upacara Kotik Adat bagi masyarakat Pulau Godang. 

 

 Upacara Kotik Adat tersebut paling tidak berfungsi sebagai :

1. Lambang kemakmuran Nogori dan sebagai upacara tolak bala. 

2. Menjaga kelangsungan struktur sosial dan budaya 

3. Memantapkan identitas dan rasa kolektifitas masyarakat Pulau Godang

4. Gerbang menuju pertaubatan dan penyucian diri

5. Sebagai hiburan.

 

Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Kotik Adat Kamparmenjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800641.

 

(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 133)

Di daerah aliran batang Indragiri bermukim Orang Talang Mamak yang masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya. Kelompok masyarakat ini tergolong Melayu Tua (Proto Melayu) yang merupakan orang asli Indragiri Hulu. Mereka adalah suku yang pertama sekali datang ke wilayah Indragiri.
 

Dalam kehidupan sosial masyarakat, mereka sangat tunduk kepada pucuk suku atau Batin. Begitu juga dalam hal adat istiadat perkawinan. Batin menjadi saksi penting bagi masyarakat yang hendak menikah. Dan perayaan nikah kawin tersebut dirangkai dalam suatu upacara besar yang dikenal dengan Gawai Gedang atau helat yang besar. Gawai sendiri memiliki pengertian sebagai pesta perkawinan dalam bentuk gotong-royong (kebersamaan) dalam mewujudkannya. Masyarakat Talang Mamak melakukan begawai untuk maksud merayakan ikatan pernikahan warga kelompoknya.

 

Rangkaian pesta perkawinan atau Begawai dilaksanakan minimal 2-4 bulan atau maksimal 6-7 bulan. Biasanya dilaksanakan setelah panen padi berlangsung yang ditandai dengan memasak dan mendirikan bangunan panjang untuk tamu. Pekerjaan ini dilaksanakan secara bergotong-royong diikuti makan sirih bersama-sama disaksikan oleh batin atau penghulu. Pernikahan orang Talang Mamak menurut adat dan tradisinya selalu menampilkan atraksi dan prosesi berarak melingkar di mana kedua pasang mempelainya diangkat di pundak dan diikuti oleh para batin dan mangku-manti (orang khusus/pengawal) batin khususnya, dan diiringi  kaum perempuan. Prosesi ini diringi musik Gendang, Tetawak dan Calempong. Di tengah-tengah lingkaran ini ada pula dua orang yang bersilat. Selesai berarak, batin dan pemangku adat berjalan menuju tangga naik rumah dan diikuti oleh para pengantin dan masyarakat. Di dalam rumah telah terhidang makanan. Maka barisan mempelai berpisah, mempelai laki-laki berada di depan dan pengantin perempuan duduk di belakang pengantin laki laki. Selain pengantin, orang yang khitanan juga ikut bersama-sama duduk dan makan.



Proses begawai secara umum terbagi dalam tahapan sebagai berikut:
1. Laki-laki menyediakan pengasih atau air tapai yang disimpan dalam tanah selama 3 bulan. Batang resam untuk pipa pengisap air dan selempang untuk bersanding dan maharnya sebuah peci, 2 buah kelapa, segantang beras atau sesuai kemampuan.

2. Kedua calon pengantin dihadapkan pada batin dan wakilnya monti keluarga tertua dari pengantin perempuan menyerahkan 3 bilah tombak didahului jabat tangan oleh batin (penghulu) dengan pedang terhunus melambai-lambai kearah kasau jantan serta memberikan pengumuman tentang sahnya perkawinan.

3. Akad nikah dilangsungkan di bawah pohon bergetah dan setelah calon suami atau istri dinasehati dan berjanji dengan saksi para tokoh-tokoh adat, dan orang-orang ramai maka batinpun menoreh pohon getah sampai keluar getahnya sambil membaca ikrar tanda sahnya perkawinan itu. Setelah membaca ikrar tanda sahnya perkawinan, maka salah satu tiang rumah digantung pau-pau yang terdiri dari sebilah keris yang dibungkus dengan kain putih.

4. Pegawai nikah membuka upacara

5. Upacara penutup, diberikan arahan agar jangan sampai kasau jantan (perceraian) yaitu dapat diteroka dalam kata bersayap yang disebut managul manajal arahan (nasehat) penghulu kepada pihak suami.

Dengan selesainya nasehat dari penghulu, resmilah pasangan itu menjadi suami istri. Perayaan begawai dilanjutkan dengan acara sabung ayam, pertunjukan kesenian dan lainnya. Sabung ayam ini biasanya terus berlanjut di hari-hari berikutnya hingga mencapai 80 pasang atau 160 ekor sabungan.

 

Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Gawai Gedang Talang Mamak Indragiri Hulu menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001116.

 

(sumber : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2043)

 

NOLAM  adalah sastra lisan yang disampaikan oleh seorang penutur. Biasa digunakan saat pengisi hiburan malam persiapan pesta perkawinan, mauludan, yang diselenggarakan oleh perorangan  warga atau persatuan amal di desa.  Sekarang lebih banyak digunakan sebagai musik latar pertunjukan garapan musik atau musik latar penampilan tari.

 

Isi syairnya tergantung judul. ”Nolam Kanak Kanak  dalam Surugo“ ( Surga) berkisah tentang cucu Nabi Saidina Husin. Judul yang lain seperti “Nolam Siti Sabariyah” berkisah tentang perjuangan seorang suka duka wanita menjalani kehidupan mulai ketika gadis hingga berumahtangga.

 

Nolam atau Manolam adalah budaya tradisi sastra lisan yang dilakukan masyarakat Kampar. Tradisi ini berbentuk syair-syair yang dinyanyikan tanpa menggunakan alat musik. Irama menyanyikannya sangat khas, layaknya membaca syair yang dilakukan menggunakan bahasa daerah Kampar.

 

Tradisi Manolam ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu kaum wanita di sebuah kampung kecil bernama Padang Danau, Dusun Pulau Sialang, Desa Rumbio, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Cara menyanyikannya bisa dalam bentuk kelompok maupun tunggal.

 

Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Nolammenjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001114.


(sumber : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2046)

 

Maawuo ikan di Danau Bokuok merupakan suatu tradisi yang sudah ada semenjak ratusan tahun yang lalu. Danau Bokuok yang menjadi tempat atau lokasi maawuo merupakan warisan dari leluhur masyarakat Danau. Maawuo Cerminan masyarakat danau yang memiliki sifat gotong-royong yang tinggi. Maawuo Danau Bokuok merupakan tradisi menangkap ikan bersama-sama menggunakan jala. Tradisi yang telah ada turun temurun ini dulu hanya dilaksanakan sekali setahun menjelang bulan puasa. Adapun tujuannya agar ikan yang telah ditangkap dapat dijadikan sebagai bahan makanan.

 

Untuk saat ini Tradisi Maawuo telah menjadi event wisata rutin, jadwal kegiatannya sudah ditetapkan berdasarkan keputusan bersama dalam rapat yang digelar oleh seluruh ninik mamak Kenegerian Tambang. Pesta rakyat Maawuo Danau Bokuok ini dipastikan berjalan meriah dan mendapatkan dukungan dari berbagi pihak baik pemerintah dan seluruh tokoh masyarakat Tambang. 

 

Danau Bokuok yang dijadikan tempat maawuo oleh masyarakat danau merupakan warisan dari leluhur. Masyarakat Danau memiliki komitmen akan selalu menjaga dan melestarikan Danau Dokuok , dulunya  kegiatan maawuo dilaksanakan menjelang masuk bulan suci Ramadan dan hasil maawuo dijadikan oleh masyarakat sebagai persiapan menghadapi bulan Suci Ramadan dan juga hasil maawuo juga dijadikan untuk membayar pajak pada zaman Belanda.

 

Tradisi Maawuo juga memiliki nilai budaya yang sangat tinggi terutama budaya gotong royong. Sebelum kegiatan maawuo dilaksanakan, masyarakat akan bergotong royong untuk mendirikan pondok-pondok di sepanjang Danau Bokuok. Masyarakat juga akan saling membantu untuk menarik perahu yang dijadikan sebagai alat transportasi menangkap ikan tersebut. Selama berada dipondokpun, masyarakat akan saling membantu dan memberi bantuan satu-sama lainnya.

 

Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tradisi Ma’awuo Danau Bokuok menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 202001119

 

Zapin atau Zafin adalah sejenis tarian yang pada dasarnya merupakan bentuk permainan yang menggunakan kaki yang semula hanya dimainkan oleh kelompok laki-laki saja, sekarang bisa ditarikan berpasangan. Dalam bahasa Arabnya Tari Zapin disebut dengan ?Al Raqh Wal Zafn? , yang berarti menari dengan menggunakan kaki. Masuknya Zapin di Asia Tenggara bermula dengan kedatangan pedagang-pedagang rempah yang juga sebagai pengembang Agama Islam. Tari Zapin Pecah Dua Belas telah ada sejak berdirinya kerajaan Pelalawan tahun 1811-1945 yang merupakan tari tradisi Kabupaten Pelalawan tepatnya di desa Pelalawan yang dibawa oleh pedagang atau pengembang ajaran Islam dari Johor.  

Dinamakan Tari Zapin Pecah Dua Belas dikarenakan ragam pertama dipecah menjadi ragam kedua atau berhubungan dengan ragam kedua. Ragam kedua dipecah menjadi ragam ketiga atau berhubungan dengan ragam ketiga, begitu seterusnya sampai dengan ragam ke dua belas yang ditutup dengan Tahtum atau Sembah. Tari Zapin Pecah Dua Belas biasanya ditampilkan pada acara keistanaan, acara peringatan agama Islam serta acara pernikahan yang diiringi gambus dan marwas.

 

Tari Zapin Pecah Dua Belas ditarikan dalam bentuk gerak yang pada umumnya banyak menggunakan gerakan kaki, sedangkan gerakan tangan kurang ditonjolkan. Posisi tangan kiri membentuk siku-siku dan dirapatkan di sisi dada sebelah kiri serta jari tangan digenggam sejajar dengan dada. Posisi tangan kanan bergerak sesuai dengan gerak kaki yang dilangkahkan. Tari ini ditarikan berpasangan dan maksimal 3 ( tiga ) pasang penari yang hanya menggunakan pola lantai sederhana dan tidak menggunakan properti. Pada ragamnya banyak menggunakan gerakan kaki sehingga gerakan tangan akan mengikuti badan karena tumpuannya hanya pada kaki. 

 

Instrumen musik yang digunakan adalah Gambus dan Marwas. Gambus yang dimainkan hanya satu buah, gambus mulai dimainkan dari awal pertunjukkan tari Zapin Pecah Dua Belas hingga akhir pertunjukkan tari tersebut. Gambus terbuat dari batang cempedak, bagian bawah diberi rongga dan ditutup dengan kulit kambing dan memiliki senar. Sedangkan Marwas yang dimainkan dalam mengiringi tari Zapin terdiri dari empat buah marwas, yang dimainkan oleh empat orang pemain. Marwas terbuat dari batang nangka atau batang kelapa serta dilengkapi dengan kulit kambing sebagai penutup kedua sisi yang berfungsi untuk dipukul. 


Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tari Zapin Pecah Dua Belas menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001118.

 

(sumber : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6991)

Tari Inai adalah sebuah tarian tradisional Melayu yang disajikan dalam rangkaian kegiatan adat Perkawinan Melayu di daerah Riau khususnya di Kabupaten Rokan Hilir. Tarian Inai ini umumnya hanya dilakukan di rumah mempelai wanita saja, sedangkan di rumah mempelai laki-laki tidak dilakukan kegiatan malam berinai, hanya saja inai akan diantarkan ke rumah mempelai laki-laki. Tetapi ada juga sebagian masyarakat melakukan kegiatan tari inai ini untuk menghibur anak laki-laki yang dikhitankan. Kegiatan tari inai ini dibagi menjadi dua macam yaitu Tari Inai Tunggal dan Tari Inai Pinggan 12:
 

   

 

 1. Tari Inai Tunggal yaitu tarian inai yang ditarikan satu orang penari saja, dimana penarinya juga memegang inai di dalam piring yang ditambah bunga atau lilin. Dan  tidak menari di atas pinggan yang bersusun dari 1-12. Pada zaman dahulu masyarakat lebih banyak melakukan kegiatan tari inai tunggal, sementara tari inai pinggan 12 hanya dilakukan sebagian masyarakat yang mempunyai persatuan saja, tetapi sekarang tari inai tunggal dan pinggan 12  sudah dilakukan bersamaan.

2.  Tari Inai Pinggan 12 yaitu penari inai menari di atas pinggan yang bersusun dari 1 sampai 12 menjulang ke atas dan di tangannya memegang inai di dalam piring dan ditambah dengan bunga atau lilin. Tarian inai ini dilakukan lebih dari satu orang.
Tari Inai merupakan bentuk seni pertunjukan yang mana gerakannya seperti gerakan silat yang berfungsi untuk menghibur raja sehari atau pengantin yang duduk di pelaminan dan mengibur masyarakat sekitar yang datang menyaksikan serta memperoleh keberkahan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.


Gerakan tari inai diawali dengan bersalaman dengan pengantin sebagai tanda penghormatan raja sehari atau pengantin untuk menandakan bahwa tari inai akan dimulai. Kemudian tiga langkah ke belakang dengan posisi jongkok yang artinya memohon izin kepada raja sehari atau pengantin untuk memulai tari inai. Setelah tiga langkah ke belakang penari dalam posisi jongkok berputar penuh ke arah kanan dan kiri, artinya memberi penghormatan dan memohon izin kepada masyarakat yang menyaksikan karena adab tarian ini tidak bisa membelakangi orang yang menyaksikan, karena orang yang meyaksikan tersebut ada orang tua-tua, karena itu diberikan gerakan seperti gerakan persembahan dengan arah berputar. Kemudian Penari maju tiga langkah ke samping kanan dalam keadaan jongkok sambil memainkan tangannya, kemudian tiga langkah ke samping kiri dan maju ke depan untuk mengambil inai. Kemudian penari kembali ke belakang untuk siap –siap mendaki pinggan yang sudah tersusun. 


Setelah itu penari mendaki pinggan yang tersusun sambil menari dengan menggunakan inai di atas pinggan menghadap raja sehari atau pengantin, kemudian turun dari pinggan dan meletakkan inai di tempat semula sambil menari dan melangkah tiga langkah ke belakang untuk menutup tarian inai dalam keadaan salam sembah sepuluh jari dan memutar badan ke arah kiri dan memutar balik ke arah kanan. Maknanya, ketika mendaki pinggan 12 apabila 12 pinggan yang dinaiki tidak runtuh, maka hubungan rumah tangga sang raja sehari akan baik-baik saja. 12 pinggan artinya 12 bulan. Penutup tiga langkah ke belakang bermaksud memberi hormat dan izin kepada raja sehari bahwa tari inai pinggan 12 selesai ditarikan. Lalu gerakan memutar badan bermaksud meminta izin dan mohon maaf kepada raja sehari dan masyarakat yang menonton jika dalam melakukan tarian ada tarian yang tidak sengaja membelakangi para orang tua.


Pada dasarnya gerakan tari inai tunggal dan pinggan 12 sama saja, yang membedakan hanya pada tari inai tunggal tidak menggunakan atau mendaki pinggan yang tersusun sebanyak 12 pinggan. Peralatan yang disediakan terlebih dahulu untuk mendukung proses berjalannya sebuah pertunjukan yaitu alat musik pengiring tarinya seperti biola, gendang, tetawak (gong).  Irama yang mengiringi tari inai ini adalah irama patam, mambang dan pelanduk.

1.     Patam artinya melambangkan ketegasan karena irama patam pergerakannya keras seperti pergerakan silat.

2.      Mambang, dalam bahasa Melayu adalah jin atau makhluk halus, pergerakan penari inai ini seperti orang yang tak sadarkan diri.

3.      Planduk arti dari bahasa Melayunya adalah kancil, dan irama musik yang dimainkan santai atau lemah lembut, begitu juga penarinya.

Urutan penampilan Tari Inai Pinggan Dua Belas:

Pertama, dalam keadaan jongkok penari mundur tiga langkah kebelakang sambil mengangkat tangan salam sepuluh jari, kemudian dengan posisi badan yang sama dengan mengangkat tangan salam sepuluh jari penari memutar badan kekiri  360 derajat dan memutar kembali kearah kiri.

Kedua, penari maju tiga langkah samping kanan dalam keadaan jongkok sambil menggerakan badan dan tangannya sesuai musik yang di mainkan, kemudian tiga langkah kesamping kiri dan maju kedepan untuk mengambil inai.

Ketiga,  Sebelum mengambil dan Memegang inai yang di atas paha, terlebih dahulu penari  mengangkat tangan separti salam jari sepuluh pernari memutar badan kearah kiri 360 derajat dan memutar kembali kearah kanan dalam pososisi jongkok. Kemudian penari kembali kebelakang untuk siap-siap mendaki pinggan yang sudah tersusun.

Keempat, penari mendaki pinggan yang tersusun sambil menari dengan menggunakan Inai diatas pinggan menghadap keraja sehari/pengantin, kemudian turun dari pinggan dan meletakan inai ditempat semula sambil menari dan melangkah tiga langkah kebelakang untuk menutup tarian inai dalam keadaan salam sembah sepuluh jari dan memutar badan 360 derajat kearah kiri dan memutar balik kearah kanan.

Dalam penampilan pertunjukan tari Inai ini, penari memakai busana melayu yaitu:

1.     Mengunakan baju teluk belanga atau cekak musang dan seluar/celana yang agak longgar untuk memudahkan gerakkan tari inai.

2.     Di bagian kepala penari memakai destar atau hiasan kepala seperti songkok, tanjak dan hiasan kepala lainnya untuk mengahalang peluh atau keringat yang menitis dan juga untuk mengikat bilamana rambut yang panjang.

3.     Kemudian memakai hiasan sampin untuk mengetahui identitas penari. 

Tari inai pinggan 12 masih dilestarikan di Kecamatan Pasir Limau Kapas, sedangkan di kecamatan sekitarnya hanya tari inai tunggal saja. Pada zaman dahulu Datuk atau orang tetua yang mempunyai  ilmu kebatinan, bisa menari di atas pinggan, bagaimanapun berat badan mereka pinggan tersebut tidak akan pecah. Hal tersebut sudah ada pada zaman dahulu dan menjadi tradisi, akan tetapi Datuk atau orang tetua tidak menurunkan ilmu kebatinan yang mereka punya. Untuk mengingat tradisi supaya tidak hilang seiring berkembangnya zaman, maka salah satu keturunan Datuk atau orang tetua zaman dahulu pada masa sekarang mengembangkan tari berdasarkan sejarah yang telah ada.

Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tari Poang menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001111. 

 

(sumber : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1847)

Silat pangean merupakan seni bela diri yang lahir dan tumbuh di Kenegerian Pangean Kabupaten Kuantan Singingi. Silat ini diwariskan secara turun temurun oleh guru-guru besar silat pangean yang biasa dikenal dengan Induak Barompek. Di dalam sejarah lisan, silat Pangean diyakini bermula saat salah seorang penduduk dari negeri Rantau Kuantan yang bergelar Bagindo Rajo pergi berguru ke Datuk Betabuh di Lintau, Sumatera Barat. Kepergiannya bertujuan untuk mempelajari agama Islam dan juga silat sebagai seni untuk membela keyakinan agama. Di saat kepergiannya ke negeri Lintau, istri Bagindo Rajo, Gadi Ome, yang tetap tinggal di Pangean bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya, Gadi Ome didatangi roh Syekh Maulana Aliyang datang dari tanah suci Mekkah. Selain bertemu Syekh Ali, Gadi Ome juga bertemu istri Syekh Ali yang bernama Halimatusakdiah. Dari Halimatusakdiah, Gadi Ome belajar ilmu silat. Sehingga Bagindo Rajo dan Gadi Ome merupakan guru yang pertama kali mengajarkan silat Pangean. Oleh sebab itu silat Pangean terdapat dua sifat yang berbeda, yaitu kasar/keras dan lunak/lemah gemulai tapi mematikan.
 

Seiring perjalanannya, pasangan suami istri ini mulai menurunkan keahlian silat mereka. Pada awalnya, silat hanya diajarkan di kalangan keluarga. Gadi Ome menurunkan ilmu silat menurut suku yang ada padanya (matrilineal). Sedangkan Bagindo Rajo menurunkan ilmunya kepada kemenakan dari keturunan ibu. Datuk Untuik adalah orang yang pertama menjadi murid Bagindo Rajo. Datuk Untuik diangkat menjadi murid karena Bagindo Rajo memiliki hutang budi terhadap ayahnya, Tan Garang. Kala Bagindo Rajo menuntut ilmu ke Lintau, Tan Garang merupakan orang yang menjaga Gadi Ome di kampung halaman. Dari Datuk Untuik, ilmu silat kembali diturunkan ke Pendekar Malin, Maliputi, Pak Ngacak, dan Menti Kejan. Keempat murid pertama Datuk Untuik ini kemudian diangkat menjadi Induak Barompek, gelar tertinggi yang dipakai dalam persilatan ini sampai sekarang. Mereka merupakan kelompok guru yang bertugas untuk menjaga kemurnian dan menurunkan ilmu silat Pangean.  

 

Secara umum silat pangean dikelompokkan dengan beberapa bagian yaitu: 1. Silek Tangan (silat tangan kosong),2. Silek Podang (silat dengan menggunakan senjata pedang),3. Silek Parisai (silatyang menggunakan senjata pedang dan perisai). Silat Pangean dikenal dengan gerakan yang lembut dan gemulai namun menyimpan kekuatan yang mematikan. Hal ini merupakan ciri dari gerakan silat pangean yang tidak hanya diandalkan pada teknik gerakan, namun lebih disertai oleh suatu refleksitas yang tinggi yang mudah terjadi karena suatu keyakinan dan keteguhan ilahiah seorang pesilat. Persebatian antara raga dan jiwa yang berserah pada Tuhan Yang Maha Kuasa, menciptakan gerak lembut dan tenang tetapi berisi kekuatan yang dahsyat. Setiap orang yang ingin memasuki Pencak Silat Pangean harus melalui serangkaian proses dan memenuhi syarat-syarat untuk bisa bergabung.

 

Persyaratan yang diperlukan untuk memasuki Pencak Silat ini antara lain ayam jantan satu ekor, beras segantang, kain putih, putik limau manis, pisau sebilah, dan cincin perak. Beberapa faktor yang mempengaruhi orang untuk memasuki pencak silat Pangean diantaranya adalah untuk melindungi diri, karena Pencak Silat dimaknai sebagai seni beladiri atau seniuntuk mempartahankan diri. Kemudian di dalam Pencak Silat terdapat unsur-unsur keagamaan yang mengajarkan untuk selalu bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Faktor lainnya, karena Pencak Silat ini masih tertutup, kebanyakan anggota yang bergabung dalam Pencak Silat ini bermula dari seseorang yang mereka kenal mengajak mereka.

 

Sebelum memulai proses latihan setiap anggota Pencak Silat diwajibkan untuk mengenakan atribut yaitu berupa peci dan kain samping. Anggota Pencak Silat yang tidak mengenakan atribut tidak diperbolehkan mengikuti sesi latihan namun tetap diperbolehkan masuk dan duduk di balai silat. Teknik-teknik dan gerakan dasar yang diajarkan dalam Pencak Silat Pangean ini memiliki empat gerakan dasar yaitu langkah empat. Langkah empat merupakan empat langkah dasar yang digunakan dalam Pencak Silat Pangean untuk bertahan dan menyerang. Teknik dasar dalam Pencak Silat Pangean yang digunakan untuk menyerang yaitu menggayung, memopat dan menikam. Pencak Silat Pangean memiliki struktur yang posisinya akandipilih oleh guru Pencak Silat itu sendiri. Posisi itu antara lain adalah guru, wakil guru, penghulu laman, induk berempat, anak bungsu dan anak laman (murid pencak silat). Silat Pangean sudah tersebar ke berbagai wilayah di Riau. Selain sebagai tradisi pewarisan bekal kehidupan, Silat Pangean kemudian digunakan sebagai rangkaian helat dan upacara adat dalam hal penyambutan atau pertemuan berbagai pihak.

 

Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Silat Pangean menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi  201800640.

 

(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 130)