GM Policy, Government, and Public Affair PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Usman Slamet mengatakan fakta sejarah terkait Perang Dunia II yang belum terkuak di area ladang minyak perusahaan di daerah Duri, Provinsi Riau sangat penting untuk dikaji untuk kepentingan bersama.

"Karena sampai sekarang belum ada dokumentasi terperinci mengenai sejarah Perang Dunia II di Duri" .
 
Di Duri tepatnya di Komplek CPI terdapat monumen untuk Korban Perang Dunia II , monumen ini didedikasikan untuk para korban kekejaman perang yang tak diketahui identitasnya. Kapan monumen itu didirikan dan siapa yang mendirikannya, ini juga menjadi misteri.

Bukti adanya sejarah Perang Dunia II di Duri sejauh ini baru bisa diketahui dari keberadaan monumen di tengah pemakaman, yang ada di Komplek Sago CPI tak jauh dari landasan helikopter. Pada bagian atas monumen itu ada tulisan berwarna emas dengan dua bahasa: "Monumen Korban Perang Dunia-II/`Monument of World War-II Victim".

LOGO PON XVIII RIAU 2012




LAYAR DAN GELOMBANG.
Layar dan Gelombang  melambangkan lambang daerah “Lancang Kuning” yang mempunyai makna :
  •  Daerah  Riau  dialiri  oleh  empat sungai besar yaitu: Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Indragiri dan Sungai Siak, dimana keempat sungai tersebut merupakan sumber kehidupan yang merupakan kebesaran rakyat Riau
  • Lancang memberikan simbol bahwa kehidupan penuh dengan semangat yang berpacu menuju prestasi.
  • Gelombang laut melambangkan kedinamisan masyarakat Riau bergerak terus menerus tanpa berhenti menghantarkan kemajuan negeri.
  • Warna  merah,  kuning  dan  hijau melambangkan bahwa Riau mempunyai budaya yang tinggi.
LINGKARAN  BERKAIT
Melambangkan  semangat sportifitas yang tinggi dalam persaudaraan menuju prestasi PON.

HURUF DAN ANGKA
Menunjukkan    penyelenggaraan  PON XVIII Tahun 2012 Provinsi Riau.




MASKOT PON XVIII RIAU 2012







BURUNG SERINDIT


WUJUD KESELURUHAN MASKOT
Terinspirasi dari bentuk burung Serindit yang juga sudah dijadikan simbol fauna khas Riau yang melambangkan semangat, enerjik dan kontinuitas gerakan mengejar prestasi bersumber dari rasa keinginan individual untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi kelompok, daerah dan prestasi nasional secara umum.

HURUF DAN ANGKA
Menunjukkan kegiatan PON yang ke XVIII Tahun 2012 diadakan di Provinsi Riau.

OBOR DENGAN API YANG BERKOBAR MENYALA
Sebagai gambaran yang lebih menjurus pada rasa semangat yang menyala-nyala, tak kunjung padam dalam lingkaran makna esensial dunia keolahragaan.

BUSANA MELAYU YANG DIKENAKAN BURUNG SERINDIT
Simbol lokalitas budaya Riau dengan penduduknya yang berbudaya Melayu dengan penonjolan ciri khas pada busana Melayu.

SELEMPANG DADA DENGAN TULISAN PEKAN OLAHRAGA NASIONAL XVIII
Pertanda simbol kebesaran sebagai ajang prestisius dalam bidang olahraga yang mengedepankan rasa sportifitas.

TAPAK (POST STAGE) MELINGKAR DENGAN TULISAN RIAU 2012
 Pertanda tempat dan tahun penyelenggaraan.


Sumber : 

MASKOT PON XVIII RIAU TAHUN 2012 

OFFICIAL WEBSITE PON XVIII

Di  Yogyakarta atau Kota lain di Jawa, Siswa SD begitu akrab dengan bahasa dan budaya Jawa, mereka sedari kecil sudah dididik untuk mengerti budaya Jawa, mereka sudah dididik untuk menggunakan bahasa jawa semenjak bayi. Di Bangku Sekolah mereka akan bertemu dengan Mata Pelajaran Bahasa Jawa. Tradisi ini terpelihara dengan sendirinya,sehingga  generasi muda mengerti dan tahu  warisan luhur nenek moyangnya.

Papan Nama RSUD Arifin Achmad yang menggunakan Tulisan Arab Melayu

Di Riau hal yang sama juga terjadi namun cara ini tidak berlangsung lama, dulunya di tahun 90an hingga awal 2000an Sekolah di Riau memiliki Mata Pelajaran Muatan Lokal Arab Melayu. Tulisan arab melayu menjadi program wajib kurikulum dasar muatan lokal yang meberikan arti dan makna bagi pelestarian budaya.  Mata Pelajaran Arab Melayu ini memiliki  makna sebagai interaksi dalam kehidupan masa lalu yang teraktualisasi pada pada cerita-cerita rakyat yang menggambarkan perilaku budaya yang ditampilkan dalam bentuk syair, hikayat, gurindam, pantun, petuah. 



Perkembangan kesusteraan Melayu ditandai dengan penggunaan Huruf Arab Melayu,masyarakat melayu merasa tulisan tersebut telah  menjadi milik dan identitasnya, awalnya tulisan ini disampaikan melalui media dakwah dalam penyeberan agama islam disemenanjung melayu.

Dulunya Huruf Arab melayu atau Jawi menjadi bahasa yang universal di nusantara, Surat-surat Raja-Raja Nusantara ditulis dalam huruf Arab melayu (Jawi),  Sebagian besar karya sastra nusantara seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, dll ditulis dalam huruf Jawi, Cap atau stempel kerajaab pun ditulis dengan dalam huruf Jawi (Arab Melayu), mata uang di awal-awal penjajahan yang diterbitkan VOC pun dengan huruf Jawi. Kini tradisi tersebut telah hilang seiring waktu, Mata Pelajaran Muatan Lokal Arab Melayu di Riau hanya bertahan sebentar, generasi saat ini di Kota Pekanbaru dan Kota Lain di Riau maupun  Nusantara tidak akan mengenal dan mengerti dengan huruf Arab melayu.

Plang Nama Kantor Bupati pelalawan dengan Tulisan ARab Melayu

Kini dengan adanya Visi Riau 2020 yang  menjadikan Riau sebagai Pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara, sebagian besar masyarakat kembali  mengenal dan mengerti dengan tulisan arab melayu (jawi), Visi Riau 2020 mulai terlihat hampir sebagian besar nama-nama jalan di Riau dan kabupaten/kota ditulis dengan huruf arab Melayu.

Kompetisi tertinggi bola voli Indonesia, Proliga 2012  putaran ke II diselenggarakan di Kota Pekanbaru,mulai tanggal 24 hingga tanggal 26 Februari 2012. 

Suasana GOR Remaja Pekanbaru Saat Pertandingan Bolo Voli Pro Liga 2012

Kota Bertuah  Pekanbaru terpilih menjadi salah satu tuan rumah turnamen antar tim yang kini bernama Bina Sarana Informatika (BSI) Proliga 2012 ini. Kota Pekanbaru dipilih oleh salah satu tim BSI Proliga 2012 yang juga runner-up tahun lalu, Popsivo Polwan, yang kebetulan dimanajeri  oleh Kapoltabes Pekanbaru Kompol Adang Ginanjar. 






Proliga Bola Voli Seri II Pekanbaru  ini menjadi ajang persiapan bagi Kota Pekanbaru sebagai tuan rumah PON XVIII  dan juga Tuan Rumah islamic Solidarity Games .
 
 
JADWAL ACARA:

Jumat 24/2/2012 
Pukul 14.30 WIB Tim Putri Gresik Petrokimia Vs Jakarta TNI AU
Pukul 16.30 WIB Tim Putra Palembang Bank Sumsel Babel vs Jakarta 
                             Electric PLN
Pukul 18.30 WIB Tim Putra Jakarta Sananta Vs Semarang Bank Jateng


Sabtu 25/2/2012 
Pukul 12.00 WIB Tim Putri Jakarta Electric PLN Vs Gresik Petrokimia
Pukul 14.00 WIB Tim Putra jakarta BNI 46 Vs semarang bank Jateng
Pukul 16.00 WIB Tim Putri Jakarta Popsivo Polwan Vs Jakarta BNI 46
Pukul 18.00 WIB Tim Putra Surabaya Samator Vs Jakarta Electric PLN
 
 
Minggu 26/2/2012 
Pukul 13.00 WIB Tim Putra Jakarta Sananta Vs Jakarta Pertamina
Pukul 15.00 WIB Tim Putri Jakarta Popsivo Polwan Vs Jakarta TNI AU
Pukul 17.00 WIB Tim Putri Jakarta Electric PLN Vs Jakarta BNI 46
Pukul 19.00 WIB Tim Putra Palembang Bank Sumsel Babel Vs Surabaya 
                           Samator   
Monumen pesawat A-4E Skyhawk ini terletak di Pos depan pintu masuk utama kawasan Lanud Pekanbaru. Monumen ini diresmikan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Imam Sufaat SIP, pada hari Sabtu tanggal 25 Februari 2012.



Pesawat Elang Perkasa A-4E buatan Mc Douglas USA merupakan pesawat andalan yang pernah dimiliki Indonesia. Pesawat tempur tersebut mampu melaksanakan operasi taktis, strategis, hanud terbatas dan visat Photo Recce. Selain itu, pesawat tempur yang pernah dioperasikan Skadron Udara 12 Lanud Pekanbaru, pernah melalang buana dan berkiprah dalam medan penugasan operasi seperti Operasi Rencong, Halau, Tetuko, Seroja Timtim dan lain-lain.





Dahulunya pesawat tempur A-4E Skyhawk  menjadi kekuatan inti di Skadron 11 Madiun hingga kemudian dipindahkan  ke Skadron Udara 12 Pangkalan TNI AU Pekanbaru. Dan ini  menjadi salah satu bukti sejarah pengabdian A-4E Skyhawk kepada bangsa dan negara yang tak pernah lekang oleh waktu, sehingga dibangunlah monumen peswat A-4E Skyhwak.  





PUAK MELAYU DI INDONESIA kini hanya dipandang sebagai bagian kecil dalam konsep nusantara. Padahal, di masa jaya kerajaan Sriwijaya dengan wilayah takluk yang begitu luas, sebenarnya konsep ke-Melayuan itu sempat menaungi sebagian besar wilayah Indonesia di masa silam.

Namun, jejak-rekam keperkasaan Melayu (baca juga: Melayu Nusantara) kini berbekas dalam wujud wilayah geografis yang sempit dengan indikasi-indikasi masih adanya peninggalan adat-tradisi dan nilai-nilai budaya.

Menoleh ke latar belakang sejarah yang panjang, orang-orang Melayu Nusantara yang menghuni sebagian wilayah teritorial di Indonesia berasal dari ras Weddoide yang kini direpresentasikan melalui suku-suku asli yang ada di Riau, Palembang dan Jambi, seperti suku Sakai, Kubu dan Orang Hutan. Setelah itu, antara tahun 2500-1500 SM datanglah golongan pertama ras Melayu dari bangsa Proto-Melayu yang menyeberang dari benua Asia

ke Semenanjung Tanah Melayu terus ke bagian Barat Nusantara termasuk Sumatera. Di Riau, keturunan Proto-Melayu ini dapat dijumpai melalui suku asli Talang Mamak dan Suku Laut.

Gelombang kedua kedatangan ras rumpun Melayu ini sekitar tahun 300 SM yang disebut Deutro-Melayu. Kedatangan bangsa Deutro-Melayu ini memaksa bangsa Proto Melayu menyingkir sehingga ada yang menyingkir ke pedalaman dan ada pula yang berbaur dengan pendatang. Bangsa Deutro Melayu inilah yang menjadi cikal-bakal rumpun Melayu yang ada di sebagian wilayah nusantara.

Sementara Prof. S. Husin Ali, Guru Besar dari Universiti Malaya menngatakan bahwa pendatang pertama di Semenanjung diperkirakan berasal dari kelompok Mesolitik dan Neolitik (sering disebut Proto-Melayu) yang berasal dari daerah Hoabinh di Indocina. Perpindahan ke arah selatan itu dimulai kira-kira 3000-5000 tahun yang lalu dan kebudayaan mereka sering disebut kebudayaan Hoabinhiano. Kelompok orang-orang ini terdiri dari orang-orang bertubuh kecil dan kuat, berkulit hitam dan berambut lebat. Mereka menyebar ke arah selatan Semenanjung dan beberapa di antara mereka menyeberang ke Pulau Sumatera, sedangkan lainnya terus ke Selatan sampai ke Kepulauan Melanesia di Lautan Pasifik.

Antara abad VII-XIII pada masa jaya kerajaan Sriwijaya yang pada mulanya berpusat di Muaratakus (Kampar, Riau) kemudian berpindah ke Palembang (Sumsel), wilayah kekuasaannya menyebar di seluruh Sumatera, Selat Melaka dan Semenajung Tanah Melayu. Di ujung kekuasaan Sriwijaya yang kian melemah, salah seorang Dinasti Syailendra bernama Sang Sapurba meninggalkan kerajaan Sriwijaya untuk melakukan perjalanan sambil membangun pengaruh di kerajaan-kerajaan yang sudah ada. Sang Sapurba sampai di Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan), Bintan (Riau Kepulauan), Kuantan (Riau Daratan) dan membina hubungan baik dengan mengawinkan putra-putranya dengan putri kerajaan yang dikunjunginya. Selanjutnya, Sang Sapurba mulai membangun Dinasti Melayu melalui kerajaan-kerajaan yang ada seperti Kerajaan Bintan, Tumasik (Singapura), Melaka, Kandis, Kuantan, Gasib, Rokan, Segati, Pekantua dan Kampar.

Di Kerajaan Bintan, seorang anak Sang Sapurba yang bernama Sang Nila Utama dikawinkan dengan putri Kerajaan Bintan yang kemudian dinobatkan menjadi raja. Sang Nila Utama pula yang membangun kerajaan Tumasik. Kerajaan Tumasik dengan raja terakhir, Prameswara saat diserang Kerajaan Majapahit, selanjutnya mendirikan Kerajaan Melaka.

Kerajaan Melaka akhirnya ditaklukkan Portugis. Muncullah kemudian Kemaharajaan Melayu dibawah kepemimpinan Sultan Mahmud Syah I yang berkedudukan di Bintan kembali merebut bekas-bekas taklukan Kerajaan Melaka.

Bentangan sejarah masa silam itu, memberikan gambaran bagaimana perkembangan puak Melayu di kawasan Nusantara yang dominan berada di kawasan Semenanjung Tanah Melayu dan pesisir Timur Sumatera. Di masa jaya Kerajaan Melaka, seorang Panglima Angkatan Lautnya yang sangat termasyhur, Laksemana Hang Tuah mengikrarkan semboyan yang sangat memuja kejayaan bangsa Melayu. Ikrar Hang Tuah itu berbunyi:
Esa hilang dua terbilang
Tak Melayu hilang di bumi
Tuah sakti hamba negeri

Perkembangan puak Melayu setelah masa jaya kerajaan-kerajaan Melayu senantiasa memberikan peluang bagi kaum pendatang untuk berasimilasi. Di abad ke-18, lima orang putera Upu Tenderi Burang Relaka dari Luwe mengembara di Kepulauan Riau. Kelima orang itu adalah Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Marewa, Daeng Celak dan Daeng Kemasi yang bergabung dengan para putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah II menggulingkan Raja Kecil yang memerintah Kemaharajaan Melayu di Bintan. Inilah awal mulanya para pendatang Bugis secara turun-temurun ikut memerintah atau menjadi pembesar kerajaan Bintan.

Proses migrasi dari para pendatang yang ada di sekitar kawasan Melayu Riau baik di masa bermunculannya kerajaan-kerajaan Melayu maupun setelah masa kemerdekaan, makin terbuka bagi para pendatang. Proses perbauran atau asimilasi tak terhindarkan sebagai proses alamiah terbentuknya puak Melayu Baru. Proses yang sama berlangsung pula di kawasan Melayu terutama di Sumatera dan Kalimantan seperti Palembang, Deli (Medan), Jambi, dan Pontianak. Puak Melayu Baru inilah yang membentuk pluralitas (kemajemukan) Melayu sehingga orisinalitas Melayu sangat sulit ditemukan sejak dulu.

Bila pemahaman ‘putra daerah’ Melayu dimaksudkan asal-usul orang Melayu yang pertama mendiami bumi Nusantara ini, tentulah dari ras Weddoide, Proto-Melayu dan Deutro Melayu yang kini tersisa sebagai suku-suku asli. Tapi pada generasi Melayu Baru, amat sulit mencari orisinalitas Melayu karena pengaruh perbancuhan ras dan suku yang datang silih-berganti di kawasan-kawasan bersempadan (perbatasan).

Bila daerah Melayu-Riau dijadikan studi kasus perbancuhan orang tempatan (penduduk yang menetap lebih awal di suatu kawasan) dengan orang-orang pendatang, maka sebenarnya orang-orang Melayu Riau tersebar dan dipengaruhi sekurang-kurangnya 5 sub-kultur dari hasil asimilasi budaya tersebut.

Kelima sub-kultur yang berbancuh dengan kultur Melayu itu adalah: Pengaruh Bugis dengan wilayah sebaran di Riau Kepulauan dan Indragiri Hilir, Pengaruh Minangkabau (wilayah Kampar dan Taluk Kuantan, Kuantan-Singingi), Pengaruh Banjar (wilayah Indragiri Hilir), Pengaruh Mandahiling (wilayah Pasir Pangarayan, Rokan Hulu), Pengaruh Arab (wilayah Siak Sriindrapura, Pelalawan, Indragiri Hulu).

Dalam wacana ‘putra daerah’ di era Otoda, pluralitas Melayu dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan redefinisi yang lebih fleksibel. Pengakuan politis dan sosiologis bagi seseorang untuk disebut sebagai orang Melayu dapat dipertimbangkan pola Malaysia yang mempertegas definisi orang Melayu di dalam konstitusi yang menetapkan seorang Melayu dicirikan dengan penganut agama Islam, berbicara dalam bahasa Melayu dan mematuhi adat-istiadat Melayu.


Bagi Melayu Riau, definisi orang Melayu versi konstitusi Malaysia ini menjadi dilema tersendiri karena adanya pluralitas Melayu yang dikebat oleh jalinan sejarah yang panjang. Bila persyaratan ‘berbicara dalam bahasa Melayu’ dijadikan kasus, pertanyaan yang muncul adalah bahasa Melayu di daerah pengaruh kultur apa? Sebab, orang-orang Melayu di Kampar dan Taluk Kuantan misalnya, sehari-hari ternyata menggunakan bahasa ibu yang dialek dan langgamnya mirip bahasa Minangkabau. Begitu pula, orang Pluralitas Melayu dalam Bentangan SejarahMelayu yang ada di Tembilahan justru sehari-hari dominan berbahasa Banjar dan Bugis. Bisa jadi, orang Melayu di Riau Kepulauan dan Siak Sri Indrapura yang justru berbahasa Melayu yang juga digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari di negara tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam, yang kelak dijadikan sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia.

Dilema lain berkaitan dengan penggunaan adat-istiadat atau nilai budaya Melayu yang juga cukup majemuk. Tradisi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Melayu di daerah sebaran dan pengaruh 5 sub-kultur yang ada ternyata sangat berbeda. Sebutlah tradisi nikah-kawin, kelahiran anak, pemberian gelar adat atau pengangkatan pemuka adat ternyata sangat bervariasi di masing-masing daerah di 5 sub-kultur tadi.


Barangkali jadi menarik pernyataan Prof. Tan Sri Ismail Hussein, budayawan Malaysia yang terkenal dengan konsepnya ‘memperbesar bilik-bilik kebudayaan Melayu’. Dalam pandangannya, rumpun Melayu Nusantara harus dipandang sebagai kesatuan budaya Melayu makro. Dalam kaitan ini, orang Minangkabau, Jawa, Sunda, Bugis, Bali di Indonesia dapat dipandang sebagai rumpun Melayu dalam arti yang luas.

Pandangan Tan Sri Ismail Hussein ini bisa terinspirasi atas pluralitas Melayu Baru di Malaysia yang kini sangat berbancuh dengan para pendatang dari kelompok pribumi termasuk pendatang-pendatang dari Indonesia yang mengalir deras sejalan dengan pertarungan nasib dalam mencari kerja. Di dalam sensus penduduk Malaysia, ada kecenderungan para pendatang Indonesia dari berbagai variasi suku dan ras yang ada dipandang sebagai orang-orang Melayu. Apalagi sebagian di antara mereka juga sudah terbiasa berbahasa Melayu atau logat dan dialek Melayu baik akibat pergaulan sehari-hari atau proses nikah-kawin dengan orang-orang tempatan.

Kesulitan dalam membuat pengakuan sebagai orang Melayu ini, pernah dilansir Prof. S. Husin Ali, seorang Guru Besar pada Universiti Malaya dalam bukunya, Rakyat Melayu: Nasib dan Masa Depannya. Prof. Husin Ali memberi tamsilan, sebuah pertanyaan dapat diajukan, dapatkah seorang Cina Melaka (baba) yang berbicara dalam bahasa Melayu, menyanyikan lagu-lagu Melayu (dondang sayang), mengenakan sehelai sarung di rumah, makan dengan tangan (tanpa sendok atau sumpit), serta duduk bersila di atas lantai dan menikahkan anaknya menurut adat Melayu, dianggap sebagai orang Melayu?

Selanjutnya, Husein Ali menambahkan, dan bagaimana dengan seorang perwira Melayu yang memperistri seorang gadis berkebangsaan Inggris, di rumah berbicara dalam bahasa Inggris, makan di atas meja dengan menggunakan sendok dan garpu, minum bir, mengenakan piyama waktu tidur dan mengawinkan anaknya menurut cara Barat dan mengadakan resepsi di Hilton? Bukankah ini bertentangan dengan Baba Melaka tadi? Tak seorang pun meragukan bahwa ia seorang Melayu atau mempersoalkan asal-usulnya jika pada masa pensiunnya ia menjadi seorang politisi yang memperjuangkan hak-hak Melayu, tetapi memanfaatkan posisinya yang penting itu untuk memperoleh surat izin untuk dirinya sendiri atau untuk ditunjuk sebagai dewan pengurus dari suatu perusahaan asing dan pada akhirnya diangkat sebagai seorang Datuk atau Tan Sri. Semuanya itu bisa dicapai, meskipun dengan pergaulan dan cara hidup non-Melayu.

Prof. Husin Ali juga mempertanyakan bagaimana dengan imigran yang berasal dari berbagai daerah di persada Nusantara Melayu ini yang karena latar belakang sejarah dan sosial budaya menjadi orang Melayu? Minangkabau, Aceh, Bugis, Banjar dan sebagainya. Kebanyakan dari mereka tinggal di negeri ini (Malaysia) semenjak kecil tetapi juga terdapat pendatang-pendatang baru. Banyak di antara mereka yang hanya menggunakan dialek bahasanya sendiri dan bukan bahasa Melayu. Dengan kata lain, persyaratan bahasa tidak mereka penuhi. Apakah dengan ipsio facto ini mereka bukan orang Melayu dan karenanya tidak berhak atas hak istimewa yang diperuntukkan bagi orang Melayu? Kelompok mereka dapat dianggap sebagai bagian dari rumpun besar Melayu Indonesia. Jika kita berbicara mengenai kebudayaan, mereka harus dianggap sebagai orang Melayu. Tetapi ini menurut definisi sosial-budaya dan bukan menurut definisi hukum yang sah. Dalam konstitusi (Malaysia) tidak ada pengakuan bahwa bahasa Jawa, Minangkabau dan Aceh masih berhubungan dengan bahasa Melayu.

Barangkali, konsep pluralitas Melayu menjadi penting untuk memperkecil penyempitan wawasan kebangsaan menurut ras atau suku secara mikro yang selalu ditumpangkan atas nama ‘putra daerah’. Bisa jadi, arogansi ras yang pernah diagung-agungkan Hitler dengan bangsa Aria di masa lalu justru makin memecah belah rasa kesatuan dan persatuan antar bangsa-bangsa dunia. Lebih-lebih lagi, tak ada sebenarnya dominasi suatu ras atas ras lain karena sesungguhnya semua bangsa-bangsa dunia pada mulanya adalah satu: we are the world.

Oleh :
Fakhrunnas MA Jabbar
Bangunan ini terletak di jalan Lintas Pekanbaru Bangkinang, bangunan ini berfungsi sebagai sekretariat Wadah Silaturahmi Lembaga Adat Suku Nan 12 Kenegerian Air Tiris Kampar.
GERBANG  ISTANA SAYAP PELALAWAN
PRASASTI PERESMIAN ISTANA SAYAP PELALAWAN

BANGUNAN INDUK ATAU RUANG UTAMA ISTANA SAYAP PELALAWAN
ISTANA SAYAP PELALAWAN

BAGIAN SAYAP ISTANA SAYAP TAMPAK DARI SAMPING


BAGIAN SAYAP ISTANA SAYAP TAMPAK DARI DEPAN

LAMBANG KEBESARAN KERAJAAN PELALAWAN


PENDOPO ISTANA SAYAP PELALAWAN
SALAH SATU JENDELA DI ISTANA SAYAP

STEMPEL BULAT KERAJAAN PELALAWAN (ALAT PENGESAHAN/LEGALITAS SURAT MENYURAT DALAM ADMINISTRASI KERAJAAN PELALAWAN)


SILSILAH KERAJAAN PELALAWAN



TENGKU SAID USMAN (RAJA PELALAWAN MEMERINTAH PADA TAHUN 1925-1940)
TENGKU SAID HARUN, RAJA TERAKHIR PELALAWAN (1941-1946)
SINGGASANA KEBESARAN KERAJAAN PELALAWAN
TEKTAWAK (GONG) PENINGGALAN KERAJAAN PELALAWAN
MERIAM PENINGGALAN KERAJAAN PELALAWAN
TEMPAT TIDUR PERADUAN SANG RAJA
ALAT TENUN YANG BIASA DIGUNAKAN OLEH PUTRI MAHKOTA
SALAH SATU SUDUT RUANGAN ISTANA SAYAP PELALAWAN
PEWARIS SULTAN KERAJAAN PELALAWAN
GRAMAPHONE MILIK ISTRI RAJA TERAKHIR KERAJAAN PELALAWAN

ARTIKEL TERKAIT :


SEJARAH ISTANA SAYAP
 
Pelalawan adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Riau, Pelalawan mempunyai sebuah sejarah yang panjang, Pelalawan adalah Kabupaten baru pemekaran dari Kabupaten Induk Kabupaten Kampar. Sejarah Pelalawan diawali dari kerajaan Pekantua yang didirikan oleh Maharaja Indera (sekitar tahun 1380 M). Beliau adalah bekas Orang Besar Kerajaan Temasik (Singapura) yang mendirikan kerajaan ini setelah Temasik dikalahkan oleComposeh Majapahit dipenghujung abad XIV. Sedangkan Raja Temasik terakhir yang bernama Permaisura (Prameswara) mengundurkan dirinya ke Tanah Semenanjung, dan mendirikan kerajaan Melaka. Maharaja Indera (1380-1420 M) membangun kerajaan Pekantua di Sungai Pekantua (di anak sungai Kampar, sekarang termasuk Desa Tolam, Pelalawan, Riau) pada tempat bernama "Pematang Tuo" dan kerajaannya dinamakan "Pekantua". 

Pekantua semakin berkembang, dan mulai dikenal sebagai bandar yang banyak menghasilkan barang-barang perdagangan masa lalu, terutama hasil hutannya. Berita ini sampai pula ke Melaka yang sudah berkembang menjadi bandar penting di perairan Selat Melaka serta menguasai wilayah yang cukup luas, oleh karena itu Melaka bermaksud menguasai Pekantua, sekaligus mengokohkan kekuasaannya di Pesisir Timur Sumatera. Maka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477 M), dipimpin oleh Sri Nara Diraja, Melaka menyerang Pekantua, dan Pekantua dapat dikalahkan. Selanjutnya Sultan Masyur Syah mengangkat Munawar Syah (1505-1511 M) sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penobatan Munawar Syah menjadi raja Pekantua, diumumkan bahwa Kerajaan Pekantua berubah nama menjadi "Kerajaan Pekantua Kampar" dan sejak itu kerajaan Pekantua Kampar sepenuhnya berada dalam naungan Melaka. Pada masa inilah Islam mulai berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar.

Pada masa pemerintahan Maharaja Dinda II (1720-1750 M) pusat kerajaan Pekantua Kampar dipindahkan ke di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo dan pada saat itu diumumkan maka nama kerajaan "PEKANTUA KAMPAR", diganti menjadi kerajaan 'PELALAWAN" (Pelalauan), yang artinya tempat lalau-an atau tempat yang sudah dicadangkan. Sejak itu, maka nama kerajaan Pekantua tidak dipakai orang, digantikan dengan nama Pelalawan saja sampai kerajaan itu berakhir tahun 1946.



Istana Sayap Pelalawan adalah Istana Kerajaan Pelalawan yang dibangun oleh Sultan Pelalawan ke 29, yakni Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 M).  Sebelum bangunan itu selesai beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Mangkat di balai. Selanjutnya pembangunan Istana diteruskan sampai selesai oleh pengganti beliau yakni Sultan Syarif Hasyim II ( (1892- 1930M).



Pada awalnya Pusat Kerajaan Pelalawan berada di Sungai Rasau (anak Sungai Kampar), berlokasi di Kota Jauh dan Kota Dekat. Ketika Tengku Sontol Ali menjadi Sultan Pelalawan, belaiu berazam memindahkan Istananya dari muara Sungai Rasau ke pinggir Sungai Kampar, tepatnya di muara sungai Rasau yang disebut' Ujung Pantai',karena itu Istana sebelumnya dinamakan ISTANA UJUNG PANTAI. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan Istana yang  melanjutkan pembangunan Istana yang sedang terbengkalai karena mangkatnya Tengku Sontol Ali,maka beliau membangun dua sayap disamping kanan dan kiri Istana yang dijadikan balai. Maka Istana inipun dinamakan "ISTANA SAYAP"



Sekitar tahun 1896 bangunan Istana Sayap selesai seluruhnya, dan  Sultan Syarif Hasyim II  berpindah dari Istana kota Dekat di Sungai Rasau ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak itu, pusat pemerintahan  Kerajaan pelalawan menetap di pinggir sungai Kampar yang sekarang  menjadi Desa pelalawan dan menjadi Ibu Kota Kecamatan Pelalawan.



FILOSOFI ISTANA SAYAP



Di Istana Sayap,bangunan induk adalah tempat Sultan beserta Keluarga dan orang-orang yang bertugas disana. Di bangunan ini pula terdapat Ruang Penghadapan, bilik tidur, dan ruangan anjungan yang diisi dengan segala alat perlengkapan Kerajaan. Menyatu dengan bangunan induk,disebelah depan terdapat ruang selasar dalam dan selasar luar untuk tempat menghadap rakyat dan Orang-orang besar Kerajaan. Dibagian belakang bangunan Induk ada ruangan telo, dan dibelakangnya lagi ada ruangan Penanggah,tempat kegiatan pekerja rumah tangga Istana dan kelengkapan jamuan dan sebagainya. 

Penduduk Kota Pekanbaru saat ini berjumlah lebih kurang 1.000.000 jiwa dan setiap tahunnya bertambah. Saat ini jumlah kendaraan Pribadi di Kota Pekanbaru tidak sebanding dengan jumlah ruas jalan yang ada sehingga menyebabkan kemacetan, pemborosan penggunaan bahan bakar, kebisingan serta tingginya tingkat polusi dan pemandangan yang tidak enak karena lalu lintas yang semrawut. Untuk menyikapi masalah tersebut pemerintah Kota Pekanbaru mengeluarkan kebijakan pelayanan transportasi perkotaan Sarana Angkutan Umum Massal (SAUM) dan diberi nama TRANS METRO PEKANBARU. "Trans Metro Pekanbaru" dilaksanakan berdasarkan surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP. 111 tahun 2009 dimana Kota Pekanbaru termasuk Kota Percontohan di Bidang Transportasi.

Bus Trans Metro Pekanbaru


Trans Metro Pekanbaru diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan secara bertahap dan terprogram bagi masyarakat. Pada awal operasional Bus Trans Metro Pekanbaru mendapat bantuan dari Kementrian Perhubungan berjumlah 20 unit untuk 2 koridor pertama.

Trans Metro Pekanbaru



Bus TRANS METRO PEKANBARU menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan sehingga bisa mengurangi tingginya polusi, berkapasitas 33 penumpang duduk dan 32 penumpang berdiri serta beberapa tempat untuk penumpang penyandang cacat yang menggunakan kursi roda dan dilengkapi AC, informasi tempat pemberhentian halte secara elektronik dan juga mengutamakan keamanan dan kenyamanan penumpang. Setiap 10 menit sekali bus TRANS METRO PEKANBARU berhenti di halte -halte khusus dan bus ini memiliki jadwal dari pukul 06.00 pagi hingga pukul 22.00, dan tidak harus menunggu penumpang penuh, karena sopirnya digaji bulanan tetap, bukan harus mengejar setoran untuk mendapatkan gaji seperti yang terjadi pada bus-bus kota pada umumnya.

Trans Metro Pekanbaru
Suasana didalam Bus Trans Metro Pekanbaru








Kredit Photo Forumers Skyscrapercity Riau


Pulau Jemur (luas 250 ha) adalah sebuah pulau milik Indonesia yang terletak di Selat Malaka, dekat dengan perbatasan Malaysia. Pulau ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Pulau Jemur terkenal dengan panorama alam seperti pantai berpasir putih dan sebagai habitat penyu hijau


Pulau Jemur terletak lebih kurang 45 mil dari Kota Bagansiapiapi ibukota Kabupaten Rokan Hilir. Pulau Jemur merupakan rangkaian dari gugusan pulau-pulau yang terdiri dari beberapa buah pulau antara lain, Pulau Tekong Emas, Pulau Tekong Simbang, Pulau Labuhan Bilik serta pulau-pulau kecil lainnya.





ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA

Pada zaman belanda pembagian wilayah secara Administrasi dan Pemerintahan masih berdasarkan persekutuan hukum adat, yang meliputi beberapa kelompok wilayah yang sangat luas yakni :
 
  1. Desa Swapraja meliputi : Rokan, Kunto Darussalam, Rambah, Tambusai dan Kepenuhan yang merupakan suatu landschappen atau Raja-raja dibawah District loofd Pasir Pengarayan yang dikepalai oleh seorang Belanda yang disebut Kontroleur (Kewedanaan) Daerah / Wilayah yang masuk Residensi Riau.
  2. Kedemangan Bangkinang, memawahi Kenegerian Batu Bersurat, Kuok, Salo, Bangkinang dan Air Tiris termasuk Residensi Sumatera, Barat, karena susunan masyarakat hukumnya sama dengan daerah Minang Kabau yaitu Nagari, Koto dan Teratak.
  3. Desa Swapraja Senapelan/Pekanbaru meliputi Kewedanaan Kampar Kiri, Senapelan dan Swapraja Gunung Sahilan, Singingi sampai Kenegerian Tapung Kiri dan Tapung Kanan termasuk Kesultanan Siak ( Residensi Riau ).
  4. Desa  Swapraja  Pelalawan  meliputi Bunut, Pangkalan  Kuras,  Serapung  dan  Kuala  Kampar  (Residensi Riau )

 
ZAMAN PEMERINTAHAN JEPANG

 
Saat itu guna kepentingan militer, Kabupaten Kampar dijadikan satu Kabupaten, dengan nama Riau Nishi Bunshu (Kabupaten Riau Barat) yang meliputi Kewedanaan Bangkinang dan Kewedanaan  Pasir Pengarayaan. Dengan menyerahnya Jepang ke pihak Sekutu dan setelah proklamasi kemerdekaan, maka kembali Bangkinang ke status semula, yakni Kabupaten Lima Puluh Kota, dengan ketentuan dihapuskannya pembagian Administrasi Pemerintahan berturut-turut seperti : cu (Kecamatan) , gun (Kewedanaan) , bun (Kabupaten), Kedemangan Bangkinang dimasukkan kedalam Pekanbaru bun (Kabupaten) Pekanbaru.

 
 
Pulau Padang berada di Kecamatan Merbau Kabupaten Meranti. Pulau padang merupakan lahan/tanah rawa gambut dengan ketebalan gambut mencapai 6 meter lebih.


Pulau Padang sudah dihuni oleh masyarakat sejak zaman Kolonial Belanda sampai saat ini. Hal ini terlihat pada Peta yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dalam peta tersebut telihat letak beberapa perkampungan yang sudah ada sejak dibuatnya peta tersebut seperti Tandjoeng Padang, Tg. Roembia S. Laboe, S. Sialang Bandoeng, Meranti Boenting, Tandjoeng Kulim, Lukit, Gelam, Pelantai , S. Anak Kamal dan lain-lain.  Selain itu, sebagai bukti bahwa Pulau Padang sudah didiami warga ratusan tahun yang lalu adalah nama tokoh Tuk Derosul di desa Lukit yang diperkirakan lahir pada tahun 1850an sebagai anak dari warga suku asli/sakai bernama Lukit (saat ini “Lukit” menjadi nama sungai lukit dan Desa Lukit. Tuk Darasul dimakamkan di pemakaman umum dusun I kampong Tengah Desa Lukit, sebelah barat Masjid Ar-Rohama.

Di Pulau Padang, terdapat danau yang dikelilingi hutan alam. Pulau Padang memiliki keistimewaan berupa keanekaragaman hayati yang bisa menjadi tujuan wisata ekoturisme. Selain itu Pulau Padang merupakan daerah penghasil Minyak Bumi dan Gas Alam dikawasan ini sudah ada  PT. Kundur Petroleum S.A



STADION KAHARUDDIN NASUTION

RENOVASI BAGIAN BELAKANG LUAR STADION


MOTIF UKIRAN MELAYU RIAU YANG TERDAPAT DISTADION


Proses penanaman dan pemeliharaan Rumput

Rumput Stadion yang baru ditanam dengan view Tribun Tertutup Stadion Kaharuddin
Penanaman Rumput Stadion Kaharuddin Nasution
Tribun Tertutup Stadion Kaharuddin nasution Pekanbaru
Tribun Terbuka Stadion Kaharuddin Nasution, Tribun diperbesar dari sebelumnya.