Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA PEKANBARU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA PEKANBARU. Tampilkan semua postingan
Tidak banyak referensi ataupun bukti ilmiah yang kami dapat mengenai Mesjid AL Huda ini selain artikel ataupun tulisan dari beberapa media online yag menyatakan bahwa Mesjid Al Huda merupakan Cagar Budya Yang ada di ota Pekanbaru,  Mesjid Al Huda, merupakan Mesjid yang dibangun pada tahun 1963 di tepi Sungai Siak Mesjid ini bentuknya sudah tidak asli, demikian narasi yang tertulis mengenai Status Cagar Budaya Mesjid Al Huda, dan tanpa diketahui Nomor Registrasi Penetapan Cagar Budayanya serta siapa yang mentapkan Statusnya sebgai Cagar Budaya. Terlepas dari hal tersebut, mari kita lihat Bangunan dari Mesjid Al Huda tersebut, bangunan ini terletak di Pinggir Sungai dan berada dalam sebuah Gang yang cukup sempit di Jalan Perdagangan.





Makam Haji Muhammad Sulaiman atau biasa disebut Haji Sulaiman ini berada di kompleks pemakaman umum.  Makam Haji Sulaiman ini cukup mudah untuk diketahui dan ditandai, bentuk makamnya yang berbeda dengan makam lainnya , makam Haji Sulaiman dibangun agak tinggi dan diberi relief seperti relief Taj Mahal di India.

Makam Haji Sulaiman berdampingan  dalam satu tempat dengan istrinya, Hajjah Towiyah. Selain kedua makam tersebut, di sekitarnya terdapat makam keluarga besar Haji Sulaiman, antara lain Asiah (istri kedua Haji Sulaiman), Fatimah binti Sulaiman, Abdul Manan (keponakan Haji Sulaiman sekaligus menantunya karena menikah dengan Fatimah), Jamilah (istri kedua Abdul Manan), Fateh Ali bin Abdul Manan (cucu Haji Sulaiman). Pembangunan makam ini dilakukan oleh ahli waris Haji Sulaiman.



                             
Haji Sulaiman semasa hidupnya adalah tokoh pionir Pekanbaru pada awal abad ke-20 hingga setelah Indonesia merdeka. Sekalipun ia berasal dari India, namun kecintaannya kepada Indonesia tidak diragukan. Haji Sulaiman menikah dengan perempuan Melayu dari keluarga kaya, bernama Towiyah. Selain itu, Haji Sulaiman juga menikah dengan seorang perempuan dari Gasib bernama Asiah. Makam H. Sulaiman dan keluarganya ditempatkan berdekatan di komplek makam Senapelan ini.

Haji Sulaiman pada masa hidupnya merupakan seorang pedagang kaya raya, berjiwa penyayang dan sangat dermawan. Harta yang dimilikinya berupa tanah lengkap dengan dokumen surat tanah terdapat di berbagai tempat di Pekanbaru. Tanahnya terbentang di sepanjang jalan Bangkinang (Ahmad Yani sekarang), Senapelan, Rumbai, Teluk Lembu, dan lain lain. Tanah-tanah tersebut banyak yang dihibahkan kepada masyarakat. Daftar nama orang-orang yang diberikan tanah tercantum di dalam dokumen pribadi H. Sulaiman dan sekarang disimpan oleh ahli warisnya.

Kiprah Haji Sulaiman terkait dengan perkembangan perekonomian di Pekanbaru pada separuh pertama abad ke-20. Haji Sulaiman membuka usaha pabrik roti yang pertama di Pekanbaru. Haji Sulaiman juga beternak sapi dan dipusatkan di daerah Teluk Lembu. Usaha perdagangan Haji Sulaiman meningkat, terutama tekstil yang didatangkan dari India. Haji Sulaiman gemar membeli barang-barang mewah dan indah untuk kemudian dihadiahkan kepada sahabat yang disayanginya, yaitu Sultan Siak ke- 12, Sultan Syarif Kasim. Hampir setiap barang yang dihadiahkan kepada Sultan, maka Haji Sulaiman memiliki kembarannya yang disimpan di rumahnya. Sosok Haji Sulaiman semasa hidup juga terkait dengan keberadaan Masjid Raya Pekanbaru. Beliau adalah salah seorang pendiri panitia pembangunan Masjid Raya, sebagai ketua. Sumur tua di dalam Masjid Raya dilebarkannya

untuk memastikan keberadaan air untuk keperluan jama’ah masjid tersebut. Peran Haji Sulaiman dengan Masjid Raya ini sudah diketahui oleh umum pada masa lalu. Menurut penuturan saksi sezaman, dulu pada tahun 1970an-1980an,
pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan, foto-foto para tokoh dan pendiri Masjid Raya akan dikeluarkan dan dipamerkan di teras masjid. Salah satunya adalah foto Haji Sulaiman. Saat ini, kebiasaan yang beberapa dekade sempat hilang ini telah dimulai lagi, yaitu memamerkan foto para tokoh yang telah berjasa terhadap keberadaan Masjid Raya termasuk daerah Senapelan.

                                


Pada masa penjajahan, Haji Sulaiman disegani, baik oleh Belanda maupun Jepang. Oleh karena itu, Haji Sulaiman tetap dapat mengembangkan usahanya. Pada masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan, sikap segan tentara pendudukan kepada dirinya, membuat Haji Sulaiman dengan leluasa membantu perjuangan rakyat lepas, terutama dalam memasok kebutuhan makanan para pejuang. Perannya dalam mempertahankan tanah air dari agresi Belanda ini pernah dipertimbangkan untuk mengangkatnya sebagai pejuang veteran. Hanya saja, tidak ada orang yang membantunya mengurusnya dan karena sifat Haji Sulaiman tidak ingin ditampilkan atau ditonjolkan, maka usulan dirinya sebagai pejuang veteran di Pekanbaru tidak dilanjutkan.

Makam Haji Sulaiman sekalipun baru dibuat bangunannya, yaitu pada tahun 1999 oleh ahli warisnya, namun sosok yang berbaring di bawahnya yang memiliki arti dan nilai khusus bagi perkembangan Pekanbaru pada masa lalu, sebagaimana juga sejumlah sosok penting yang dimakamkan di sana, seperti Muhammad Amin, Muhammad Thahir Ima, Muhammad Husain, Khadijah Ali, dan lain-lain



Sumber Narasi :
SK Gubernur Riau Nomor 1135/XII/2018 Tanggal 27 Desember 2018 Tentang Penetapan Status Cagar Budaya Tahun 2018 
Kompleks Pemakaman Islam Senapelan lazim disebut Kuburan Senapelan merupakan komplek kuburan Islam tertua di Pekanbaru. Bisa jadi kawasan ini sama tuanya dengan keberadaan Senapelan, cikal bakal Pekanbaru. Komplek pekuburan merupakan tanah wakaf masyarakat Pekanbaru sekitar tahun 1923. Sejak tahun 1975, secara resmi pengelolaan lahan pekuburan ini diserahkan kepada Badan Pengelola Pandam Perkuburan Islam Senapelan (BP3S). Didalam kawasan seluas 3Ha ini terdapat beberapa makam tokoh masyarakat Pekanbaru yang dimasukan ke dalam 6 (enam) kategori yaitu Tokoh Perintis Kemerdekaan, Tokoh Pemerintahan, Tokoh Pendidikan, Tokoh Agama, Tokoh Wanita, dan Tokoh Budayawan.



                                  

Muhammad Thahir salah satu  Tokoh Agama yang   dimakamkam di Makam Senapelan, Muhammad Thahir lahir tahun 1892 di Pekanbaru. Beliau merupakan seorang ulama Senapelan yang ditetapkan sebagai Imam Negeri Pekanbaru oleh kerajaan Siak Sri Indrapura semasa pemerintahan Sultan Syarif Kasim II, sebagai menjadi Hakim Syariah serta mengurus hal-hal yang menyangkut bidang keagamaan (islam) termasuk zakat. Dalam Kesehariannya beliau menjadi imam tetap setiap sholat jumat di Mesjid Raya Pekanbaru dan Sholat Ied yang dilaksanakan di Lapangan Bukit Senapelan, Beliau wafat tanggal 21 juni 1986 di Pekanbaru dalam usia 94 tahun dan dimakamkan di Kompleks Perkuburan Senapelan Pekanbaru.

Makam M.Thahir Imam Districhoofd Kerajaan Siak    merupakan Salah Satu Cagar Budaya Tidak Bergerak yang ada di Kota Pekanbaru yang telah mendapat pengakuan dari Balai Pelestarian Cagar  Budaya Sumatera Barat dengan Nomor Register : 17/BCB-TB/B/01/2014
Keberadaan makam ini memiliki penting bagi sejarah, sosial, budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangsaan. Nilai pentingnya terletak kepada ketokohan Haji Muhammad Amin yang telah berkiprah sejak masa Kerajaan Siak dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Kompleks Pemakaman Islam Senapelan lazim disebut Kuburan Senapelan merupakan komplek kuburan Islam tertua di Pekanbaru. Bisa jadi kawasan ini sama tuanya dengan keberadaan Senapelan, cikal bakal Pekanbaru. Komplek pekuburan merupakan tanah wakaf masyarakat Pekanbaru sekitar tahun 1923.


                                 

Sejak tahun 1975, secara resmi pengelolaan lahan pekuburan ini diserahkan kepada Badan Pengelola Pandam Perkuburan Islam Senapelan (BP3S). Didalam
kawasan seluas 3 Ha ini terdapat beberapa makam tokoh masyarakat Pekanbaru yang dimasukan ke dalam 6  (enam) kategori yaitu Tokok Perintis Kemerdekaan, Tokoh Pemerintahan, Tokoh Pendidikan, Tokoh Agama, Tokoh Wanita, dan Tokoh Budayawan.

Muhammad AMin juga dikenal dengan nama Mohammad Husin, Muhamad Husin merupakan nama kecilnya sehingga kadang makam ini juga disebut dengan Makam Muhammad Husin.

Muhammad Husin atau Haji Muhammad Amin merupakan tokoh pergerakan Nasional asal Riau seangkatan dengan tokoh pahlawan nasional seperti H. Agus Salim, H. Samanhudi, KH. Ahmad Dahlan, dan HOS Cokroaminoto


Haji Mohammad Amin lahir di Sikijang pada tahun 1863. Pada tahun 1916, ia telah memprakarsai berdirinya Sarikat Dagang Islam di Pekanbaru dengan susunan pengurus antara lain Vorzitter dijabat oleh Abdurrahman, Vice Vorzitter dijabat oleh Haji Muhammad Amin, Sekretaris dijabat oleh A. Salam dan Vice Secretaris dijabat oleh Hasan Gur serta Komisaris dijabat oleh Muhammad Jamal.

Pada tahun 1917, Haji Muhammad Amin juga memprakarsai terbentuknya Koperasi Sarikat Islam di Pekanbaru sebagai bagian dari Sarikat Dagang Islam dengan susunan pengurus antara lain Haji Muhammad Amin sebagai Ketua, Guru Hasan sebagai Sekretaris dan A. Salam sebagai Bendahara. Kegiatan rapat-rapat pengurus koperasi ini diadakan di rumah Haji Muhammad Amin dan istrinya Siti Amin, di Gang Pinggir, berdekatan dengan Masjid Raya Senapelan. Rumah ini masih dalam bentuk asli namun telah dicat dengan warna orange, sehingga ada yang menyebutnya sebagai rumah orange.

Pada tahun 1918, kepengurusan Koperasi Sarikat Dagang Islam ini mengalami perubahan struktur baru menjadi Vorzitter dijabat oleh Muhammad Jamal, Vice Vorzitter dijabat oleh Haji Muhammad Amin, Sekretaris dijabat oleh Guru Hasan, Komisaris I dijabat oleh A. Salam dan Komisaris II dijabat oleh Ibrahim.

Karena sikap perlawanannya kepada penjajah Belanda, Haji Muhammad Amin ditangkap dan di penjara di Betawi. Kemudian dipindahkan ke Semarang dan ke Ambarawa selama 7 tahun (1927-1934). Setelah dibebaskan pada tahun 1934, Haji Muhammad Amin pindah ke Malaya dan mendirikan Persatuan Indonesia Malaya (PIM). Tujuan organisasi ini ialah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang hakikatnya adalah dalam rangka pergerakan kebangsaan. Pada tahun 1934, Haji Muhammad Amin menerbitkan sebuah buku berjudul Syamsul Bayan. Pada tahun 1938, Haji Muhammad Amin kembali ke Pekanbaru. Tidak lama kemudian, ia kembali ditangkap oleh Belanda dan ditahan sampai Jepang masuk pada tahun 1942


Haji Muhammad Amin terus berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Perjuangan Muhammad Amin dalam rangka mencapai kemerdekaan Indonesia mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia sebagai tokoh perintis kemerdekaan. Menteri Sosial pada tahun 1971, yaitu Mintareja SH, menetapkan Haji Muhammad Amin sebagai pejuang perintis kemerdekaan dari Riau, dengan SK Pol 89/71/ PK tanggal 7 Oktober 1971. Sebelumnya, pada tahun 1964, Pemerintah Republik Indonesia juga telah menetapkannya sebagai tokoh pergerakan Islam asal Riau berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial RI, Rusiah Sardjono, SH, No. Pol. 602/PK tanggal 15 Oktober 1964.
Haji Muhammad Amin wafat tanggal 12 Agustus 1968 di Pekanbaru dalam usia 105 tahun dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Senapelan Pekanbaru. Makam Haji Muhammad Amin menjadi bukti keberadaan seorang tokoh yang
telah berjasa bagi umat, bangsa dan negara ndonesia. Tokoh yang telah memprakarsai dan merintis berdirinya Sarikat Dagang Islam dan koperasi Sarikat Dagang Islam di Pekanbaru.


Makam Haji Muhammad Amin Perintis Kemerdekaan Asal Riau ini  merupakan Salah Satu Cagar Budaya Tidak Bergerak yang ada di Kota Pekanbaru yang telah mendapat pengakuan dari Balai Pelestarian Cagar  Budaya Sumatera Barat dengan Nomor Register : 18/BCB-TB/B/01/2014



Sumber Narasi :
SK Gubernur Riau Nomor 1135/XII/2018 Tanggal 27 Desember 2018 Tentang Penetapan Status Cagar Budaya Tahun 2018 



Datuk Tanah Datar Abdullah bin Moh. Saleh merupakan salah seorang petinggi Kerajaan Siak Sri Indrapura. Beliau wafat di Pekanbaru pada tanggal 8 Rajab 1351 bertepatan dengan tanggal 8 November 1932. Beliau dimakamkan di dalam Kawasan Komplek Makam Marhum Pekan sebagai kawasan wisata sejarah Pekanbaru.




Menurut Babul Al-Qawa'id yang merupakan kitab hukum kesultanan Siak, wilayah administrasi kesultanan Siak Sri Inderapura dibagi ke dalam 10 propinsi, setiap propinsi dipimpin oleh hakim polisi yang memiliki gelar masing-masing. Untuk urusan keagamaan, tiap propinsi tersebut ditunjuk seorang Imam jajahan sebagai hakim syari'ah. Adapun pembagiannya adalah Propinsi Siak, Propinsi Tebing Tinggi, Provinsi Merbau, Propinsi Bukit Batu, Propinsi Bangko, Propinsi Tanah Putih, Provinsi Kubu,  Provinsi Pekanbaru, Provinsi Tapung Kanan dan Provinsi Tapung Kiri.

Provinsi Pekanbaru dulunya dipimpin oleh Hakim Polisi yang Bergelar Datuk Syahbandar, dan Abd. Djalil bergelar Datuk Syahbandar memimpin Provinsi Pekanbaru selain menjadi Kepala Daerah Datuk Syahbandar juga menjabat Hakim yang mengadili Perkara Pidana dan Perdata dengan Ketentuan ketentuan yang telah diatur dalam Undang Undang , misalnya untuk Perkara Perdata akan dihukum setingi tingginya 150 ringgit dan Perkara Pidana selama-lamanya enam bulan.


Datuk Syahbadar Abd. Jalil tercatat lahir pada tahun 1868 dan wafat pada tahun 1942, selama pengabdiannya di Kerjaan Siak Sri Inderapura Datuk Syahbandar juga pernah menjabat di Onder District Tapung Kanan.
Tahun 1919, kedudukan Datuk Syahbandar Abdul Jalil dihapuskan dan diganti dengan kedudukan Kepala District Senapelan yang dikepalai oleh Datuk Pesisir Muhammad Zain, berdasarkan Keputusan Kerajaan Siak Sri Indrapura (Besluit van Het Inlandsch Zelfbestuur van Siak) Nomor 1 tanggal 25 Oktober 1919 sedangkan Datuk Syahbandar Abdul Jalil menjabat sebagai Kepala Onderdistrict Tapung Kanan yang berada dalam wilayah District Senapelan Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Makam Datuk Syahbandar terletak di Komplek Pemakaman Pendiri Kota Pekanbaru yang terletak di Sekitar Mesjid Raya Pekanbaru.


 



Sumber :
Buku Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah Riau Oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 
Mesjid Raya Pekanbaru ditetapkan sebagai Cagar Budaya  atas dasar Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM 13/PW.007/MKP/2004 tertanggal 3 Maret 2004, sebagai cagar budaya namun kini Status Cagar Budayanya telah dicabut melalui Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan  status barunya sebagai Struktur Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru dan hal itu terjadi karena Renovasi Mesjid Raya yang mengubah wujud asli bangunan, namun proses renovasi tersebut masih menyisakan bangunan asli dan salah satu diantaranya adalah  Pintu Gerbang Mesjid Raya Pekanbaru.

Pintu gerbang Mesjid Raya Pekanbaru ini dibangun sekitar tahun 1940 dengan letak menghadap ke arah timur dan berhadapan langsung dengan Jalan Hasyim Straat, dengan mengedepankan filosofis Melayu yang berkaitan dengan kehidupan serta pelestarian alam semesta.

Pintu gerbang memiliki pintu utama di tengah yang berbentuk atap rumah dan dilengkapi dengan 2 (dua) daun jendela yang dihiasi dengan ukiran Melayu bermotif tumbuh-tumbuhan dan dedaunan serta kuntum dan kembang bunga. Pada bagian dalam sisi atas pintu masuk terdapat inskripsi aksara Arab Melayu yang berbunyi "Masjid Raya Pekanbaru".
  
Bangunan atau Gedung A-SMA Negeri I Pekanbaru merupakan gedung yang dibangun oleh PT Caltex Pasific Indonesia pada tahun 1955. Gedung tersebut disumbangkan kepada pemerintah dan kemudian menjadi SMA negeri pertama di Pekanbaru. Kecuali atap, plafon dan beberapa buah jendela, gedung ini masih dalam keadaan asli dan terlihat kokoh.

 

Menurut penuturan Soeman Hs dalam biografinya, pada tahun 1950-an, tatkala ia diangkat menjadi kepala PPK (Departemen P & K) Pekanbaru dan sekitarnya, ia mendapat tugas membangun sekolah-sekolah dan memulihkan pendidikan yang rusak, hancur dan lumpuh akibat masa pendudukan Jepang dan Agresi Belanda. Pada tahun 1953, dibuka SMP Swasta di Pekanbaru yang menampung para pelajar tamatan SD. Setelah itu, pada tahun 1954, didirikan sekolah lanjutannya, yaitu SMA Swasta Setia Dharma dan inilah SMA pertama di Riau.Kebetulan pada waktu itu, datang Menteri Pendidikan Muhammad Yamin ke Pekanbaru. Oleh Soeman Hs, Menteri Muhammad Yamin dibawa ke Setia Dharma. Di situ menteri berpidato. Tatkala Soeman berpidato, ia menyatakan: “Pak Menteri, kami di Riau ini seolah-olah dianaktirikan.” Lalu Menteri bertanya, “ada apa itu?” Soeman Hs menjelaskan bahwa di seluruh Riau ini tidak ada satupun SMA. Sementara kalau di Sumatera Utara, Aceh atau provinsi lain, banyak ditemukan SMA. Jadi, Riau merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Untuk itu, dimohon supaya SMA Setia Dharma diberi guru pemerintah. Agaknya Mohammad Yamin marah, terbukti dari suratnya Menteri Pendidikan kepada Gubernur Sumatera Tengah, Marah Ruslan.Namun, di akhir suratnya, menteri menegaskan tidak akan memberi guru untuk SMA Setia Dharma, tetapi akan mendirikan sebuah SMA negeri di Pekanbaru. Itulah awal mula berdirinya SMA I Pekanbaru. Berhubung majelis guru sangat kurang pada waktu itu, Soeman pun turut serta mengajar Bahasa Indonesia di SMA I Pekanbaru.

Bangunan A SMA Negeri I Pekanbaru ini disebut juga gedung Leter U, terdiri dari lokal belajar dan laboratorium, ruang multi media, ruang kepala sekolah dan ruang tata usaha. Atap gedung pernah diganti karena adanya kebijakan dari Walikota Pekanbaru Herman Abdullah pada tahun 2011, untuk menyamakan atap gedung dengan atap melayu. Plafon juga diganti karena pada saat penggantian atap gedung, plafon mengalami kerusakan karena kena hujan. Berdasarkan keterangan Bapak H. Ahmad Bebas selaku alumni pertama SMAN 1 Pekanbaru mengatakan bahwa kayu pada tiang masih asli.



Gedung sekolah ini sudah sangat lama dan dapat dipandang sebagai SMA pertama di Pekanbaru. Alumni sudah tersebar dimana-mana, dan telah menjadi sumber daya pembangunan di negeri ini. Menurut Prof. Suwardi MS, di SMA I ini juga dibuka sekolah pendidikan untuk guru SLP (PGSLP). Memang SMA I telah melahirkan lulusan yang telah berperan dalam pembangunan bangsa dan negara, tidak hanya untuk tingkat lokal, tetapi juga tingkat nasional dan global. SMAN I Pekanbaru ini layak dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya, sebabnilai historis dari gedung tersebut dan fungsinya sebagai sekolah sangatlah besar.
Mesjid Raya Pekanbaru ditetapkan sebagai Cagar Budaya  atas dasar Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM 13/PW.007/MKP/2004 tertanggal 3 Maret 2004, sebagai cagar budaya namun kini Status Cagar Budayanya telah dicabut melalui Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan  status barunya sebagai Struktur Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru dan hal itu terjadi karena Renovasi Mesjid Raya yang mengubah wujud asli bangunan, namun proses renovasi tersebut masih menyisakan bangunan asli dan salah satu diantaranya adalah  Tiang Enam Mesjid Raya Pekanbaru sebagai tiang dasar pembangunan mesjid.  
Mesjid ini memiliki rangkaian sejarah yang cukup panjang, pembangunan Mesjid Raya yang selesai pada tahun 1936 melibatkan Banyak Tokoh dan juga donatur pada saat itu   seperti Imam H. M. Thaher, H. Sulaiman India, Guru Hasan dan M. Zain dll. Bangunan Mesjid Raya Pekanbaru telah mengalami beberapa kali pengembangan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan jumlah jamaah Masjid Raya yang cukup ramai, sehingga pada tahun 1939 M, dibangun selasar keliling mesjid dengan lebar 2,35 meter. Kemudian pada tahun 1940 dibangun pula pintu gerbang Mesjid Raya yang menghadap ke Timur. Dalam tahun 1973, bangunan Mesjid Raya kemudian ditambah dengan teras depan dan pada tahun 1985 dibangun kubah baru Mesjid Raya.

 
Bangunan Papan seluas 22m x 15m yang terletak di Jalan M.Yatim ini terlihat tidak terawat, bangunan tersebut merupakan Kantor PT. Pelayaran Sri Indrapura dan bangunan tersebut merupakan bangunan lama bermaterial berbahan kayu (papan) dengan atap seng. Dari bagian depan
hanya terdapat satu pintu masuk dan 2 buah jendela.

Ternyata bangunan tersebut merupakan salah satu Cagar Budaya Tidak Bergerak di Kota Pekanbaru yang telah mendapat pengakuan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat dengan nomor register 12/BCB-TB/B/01/2014 .

Gedung ini dulunya merupakan Kantor PT Pelayaran Sri Indrapura (PELSRI) . PT. Pelayaran Sri Indrapura merupakan perusahaan pelayaran nasional dengan kantor pusatnya di Pekanbaru dan didukung oleh kantor cabang dan sub agen di Jakarta. Saat ini, P.T. Pelayaran Sri Indrapura mengoperasikan dan memiliki kapal kargo umum, membawa kontainer dan kargo umum.

Kantor PELSRI dapat dilihat pada video berikut :

Pada awal tahun 1952 hanya ada beberapa orang Katolik di Pekanbaru, tepatnya berdomisili di Rumbai. Seiring berjalannya waktu, penduduk Kota Bertuah semakin meningkat terutama sejak diadakannya ekplorasi penambangan minyak mentah di Riau melalui kerja sama bilateral Indonesia dan Amerika Serikat.

Para pendatang yang masuk ke kota Pekanbaru ini berasal dari berbagai daerah dengan berbagai latar agama dan budaya, termasuk yang beragama Katolik.

Beberapa orang Katolik kemudian membentuk kelompok kecil dan berupaya untuk mendapatkan pelayanan imam. Paroki yang terdekat dengan wilayah Pekanbaru adalah Paroki Payakumbuh.

Oleh sebab itu datanglah pastor dari Paroki Payakumbuh secara teratur. Dengan demikian saat itu wilayah Pekanbaru merupakan stasi Paroki Payakumbuh.


Perkembangan selanjutnya, karena jumlah umat dipandang memadai oleh pastor maupun prefek apostolik Padang, sehingga dirasa perlu untuk menempatkan seorang pastor yang menetap di Pekanbaru agar pelayanan imam umat lebih teratur dan intensif.

Pada tahun 1954 dibangunlah tempat ibadah semi permanen, sejak tanggal 24 Mei 1954 Pekanbaru ditetapkan secara resmi sebagai wilayah pelayanan Pastoral Paroki tersendiri, tepatnya sebagai "Quasi Paroki". Dalam buku 60 Tahun Paroki Santa Maria a Fatima Pekanbaru diterangkan, seorang pastor bernama A. Nardello, SX melakukan peninjauan dan kunjungan pertama ke Pekanbaru dan kembali ke Payakumbuh. Kemudian pada tanggal 10 Nopember 1953 pada jam lima pagi, tibalah Pastor Danielli, SX di Pekanbaru yang berangkat dari Bukit Tinggi. Pastor dijemput oleh keluarga Ibu Kho Guan Ek (Bapak Cahya) dan beberapa orang Katolik lainnya.

Saat itu belum ada gedung gereja atau rumah milik gereja maka Pastor Danielli, SX menginap di rumah Bapak Cahya yang terletak di Jalan Bangka. Setelah beberapa lama pastor tinggal dirumah Bapak Cahya, kemudian disewalah sebuah kamar untuk pastor yang tidak jauh dari situ masih di Jalan Bangka.

Tidak lama berselang setelah Pastor Danielli, SX menyusullah Pastor A Nardello, SX yang kemudian berhasil membeli sebidang tanah yang terletak di Jl. Bangkinang (Sekarang Jl. A. Yani). Tanah ini adalah milik Bapak Cheng San, seorang Katolik yang tinggal di Payakumbuh.




Setelah tanah didapatkan diuruslah perijinan untuk membangun gereja, antara lain ke kantor pejabat agama yang saat itu dijabat oleh Tengku Yunus dan ke kantor walikota yang waktu itu dijabat oleh Tengku Ilyas.

Dalam mengurus segala sesuatu itu tentulah tidak boleh dilupakan jasa Pastor A Naderllo, SX dan Bapak Cahya. Bukanlah melupakan jasa dari Pastor Romano Danilely, SX yang memang saat itu belum fasih berbicara dalam bahasa Indonesia, maklum beliau baru datang dari Tiongkok. Sedangkan pastor A. Nardello, SX sudah bisa berbicara dalam bahasa Indonesia.

Untuk mendapatkan izin mendirikan gereja tidaklah mudah, bahkan awalnya gereja dibangun di tempat yang jauh agak terpencil dari kota letaknya. Berkat perjuangan yang keras Pastor A.Nardello, SX dan Bapak Cahya akhirnya izin tersebut didapatkan juga.

Dalam membuat permohonan tersebut haruslah ditandatangani oleh orang yang dianggap sebagai pemohon. Saat itu yang menandatangani sebagai pemohon adalah Ibu Lim Sui Hok, Bapak Cahya (Kho Guan Ek), Ibu Cahya (Lodovika Wong Ba)

Secara bersama-sama kedua Pastor itu mengusahakan sebuah rumah yang terbuat dari kayu yang kemudian digunakan sebagai tempat tinggal Pastor (Pastoran), sekaligus gereja.

Untuk membangun gereja tersebut diperlukan dana yang cukup besar. Maka selain dana yang berasal dari perfektur dan juga umat yang menyumbang, Pastor Danielli, SX juga berupaya untuk mendapatkan dana dari luar negeri yaitu Italia.

Sebagai usaha untuk mengetuk hati para penderma dari luar negeri itu, Pastor R. Danielli membuat sebuah foto seorang anak kecil dan anak kecil itu sekarang kita kenal sebagai Ibu TH. Suwanti.

Foto tersebut kemudian dikirim ke Italia, ternyata usaha itu berhasil dan memang sebagian dana pembangunan gereja saat itu berasal dari negara "sepak bola tersebut".

Pada saat Pastor A.Nardello, SX dan Pastor Danielli, SX datang di Pekanbaru belum ada tempat ibadah. Perayaan Ekaristi diadakan di rumah-rumah umat secara bergilir. Persis seperti jemaat pertama, zaman para Rasul (KPR 2: 41-47). Umat Katolik yang di Pekanbaru saat itu baru sembilan orang, umumnya berdomisili di daerah Rumbai, misa diadakan secara bergilir antara lain di rumah Ibu Cahya, Ibu Cecilia (Ng Gho), Sunardi (Karyawan Caltex), Lim Sui Hok, Ibu Sin, Ibu Onde.

Misa kudus diadakan secara rutin setiap hari minggu. Biasanya setelah merayakan ekaristi di rumah umat di Pekanbaru, Pastor langsung pergi ke Rumbai kawasan perusahaan Caltex dengan menumpang perahu kecil menyeberangi Sungai Siak untuk merayakan ekaristi di situ.

Meskipun fasilitas yang ada saat itu sangat sederhana tetapi semangat mewartakan Injil tetap membara di hati misionaris tersebut. Usaha ini ternyata menghasilkan buah yang baik, dari waktu ke waktu umat terus bertambah jumlahnya.

Berdasarkan adanya umat yang dipermandikan, sebenarnya Paroki Pekanbaru sudah ada semenjak 25 Desember 1952, akan tetapi berdasarkan adanya tempat ibadah, Paroki Pekanbaru ada sejak 25 Desember 1954 karena waktu itu gereja Katolik di Pekanbaru diresmikan.

Sedangkan menurut adanya Pastor yang menetap, maka Paroki Pekanbaru sudah ada sejak 10 Oktober 1953 yaitu dengan menetapnya pastor Romano Danielli SX sebagai pastor yang pertama.

Dengan berdirinya gedung gereja berarti di Pekanbaru sudah memenuhi empat kriteria sebagi persyaratan berdirinya suatu Paroki. Kriteria yang dimaksud yaitu: adanya suatu wilayah tertentu dalam hal ini wilayah Pekanbaru dan sekitarnya, sudah ada jumlah umat tertentu yaitu umat Katolik Pekanbaru dan sekitarnya, tempat peribadatan yaitu dengan sudah berdirinya gedung gereja, sudah ada Pastor yang menetap dan melayani kepentingan rohani umat yakni Pastor R. Danielli,SX.

Perkembangan umat Katolik dari waktu ke waktu terus meningkat baik dari paroki sendiri maupun pendatang, sehingga gedung gereja yang ada dianggap sudah tidak memadai lagi, tidak mencukupi lagi untuk menampung jumlah umat yang semakin banyak.

Melihat keadaan demikian maka para pastor yang berkarya di Paroki Pekanbaru dan bapak Uskup Padang Mgr. Bergamin SX merencanakan membangun gedung gereja baru yang lebih besar ukurannya dan mampu menampung perkembangan umat ke depannya.

Di sebelah gedung gereja ada sebidang tanah yang cukup luas. Pemilik tanah itu adalah seorang yang bukan beragama Katolik yaitu bapak Yap Tek atau ayah dari bapak Abu Bakar. Setelah ada persetujuan dari kedua belah pihak, maka tanah itu pun dibeli oleh pihak gereja. Kemudian izin untuk membangun gereja baru pun diurus.

Setelah segala sesuatu selesai maka pada bulan Maret 1963 Bapak Uskup Raimondo Bergamin, SX dan Gubernur Riau yang waktu itu dijabat oleh Kaharuddin Nasution meletakkan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung gereja yang baru tersebut. Pada tahun 1963 itu yang menjabat sebagai kepala paroki adalah Pastor Aniceto Morini, SX.

Mulai terlaksananya pembangunan ini tentunya tidak terlepas dari hasil kerja keras dari Pastor A. Morini,SX selaku Pastor Kepala Paroki bersama pastor-pastor lainnya yang bertugas di Pekanbaru. Para pastor yang dimaksud antara lain: Pastor Silvano Laurenzi,SX, Pastor Albino Orsi,Sx, Pastor Angelo Calvi,SX dan pastor Abdon Fantelli,SX.

Gedung gereja yang baru itu selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 27 Mei 1965, oleh Uskup Raimondo Bergamin, SX dan Gubernur Riau yang saat itu masih dijabat oleh bapak Kaharuddin Nasution.

Dengan selesainya pembangunan gedung gereja yang baru diharapkan umat paroki dapat lebih baik dalam melaksanakan ibadatnya, dan semakin lengkapnya fasilitas yang diharapkan agar kegiatan umat lebih bersemangat dan hidup lagi.

Pertumbuhan umat terus berkembang meski pada tahun 1965/1966 adalah masa terjadinya G 30 S/PKI. Keadaan tidak berpengaruh pada pertambahan dan kehidupan gereja Katolik Pekanbaru.

Jumlah umat tampak berkembang pesat sejak tahun 1970. Hal ini disebabkan selain karena besarnya arus migrasi dari berbagai daerah ke Provinsi Riau.

Perkembangan Paroki Pekanbaru.

Awalnya paroki Pekanbaru tidak terlalu jelas batas-batas wilayahnya. Hal ini disebabkan karena umat di Pekanbaru pernah dilayani oleh Pastor-pastor yang bertugas di Paroki Payakumbuh.

Sejak tahun 1953, dengan ditempatkannya Pastor Romano Danielli, SX dan dibangunnya gedung gereja, barulah wilayah Pekanbaru ini lebih jelas dan terlebih lagi setelah Pekanbaru diresmikan sebagai "QUASI Paroki" pada tanggal 24 Mei 1954.

Wilayah Paroki Pekanbaru mencakup Riau Daratan kecuali Bagansiapiapi yang waktu itu sudah menjadi Paroki sendiri dan Selat Panjang yang diurus dari Bagansiapiapi. Tetapi karena perkembangan Paroki Pekanbaru lebih pesat, maka sejak tahun 1958 karya misi dipusatkan di Pekanbaru sehingga pastor yang bertugas di Bagansiapiapi ditarik, dan Bagansiapiapi dilayani dari Paroki Santa Maria a Fatima Pekanbaru.

Pastor yang bertugas di Bagansiapiapi adalah Pastor A. Nardello, SX. Dengan demikian sejak tahun 1958 Pekanbaru meliputi seluruh daerah Riau Daratan yaitu, Rumbai, Duri, Dumai, Sungai Pakning, Bagansiapiapi, Selat Panjang, Bengkalis, Rengat, Lirik, Air Molek, Teluk Kuantan. Setiap daerah tersebut dikunjungi pastor setiap dua atau tiga bulan sekali.

Jumlah umat yang semakin banyak dan tentunya ini sangat menggembirakan, maka tahun 1964 Bagansiapiapi dan Selat Panjang di buka kembali. Daerah Indragiri di buka tahun 1969 sedangkan daerah Dumai menjadi paroki tahun 1971. Sebelumnya daerah pelayanan Air Molek pada tahun 1964 menjadi paroki sendiri.

Beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 1979 berdiri pula Paroki di Duri. Dengan demikian pada saat itu batas batas Paroki Pekanbaru adalah: di sebelah barat berbatasan dengan keuskupan Medan, di sebelah selatan berbatasan dengan Paroki Payakumbuh, sebelah Timur berbatasan dengan Paroki Air Molek, sebelah utara berbatasan dengan Paroki Duri.


Agar umat dapat dilayani dengan baik dan mudah maka wilayah suatu Paroki perlu dibagi-bagi menjadi wilayah yang lebih sempit. Demikian juga untuk paroki santa Maria a Fatima. Wilayah yang lebih sempit itu disebut Kring, lingkungan ataupun rayon.

Pembagian lingkungan atau Kring di Paroki Pekanbaru pertama kalinya dilaksanakan oleh Pastor A. Larruffa, SX bersama dengan Bapak Ulahayanan BA (seorang umat yang berasal dari kepulauan Kei, Suku Ambon) yang menetap di Pekanbaru sejak tahun 1966. Pada saat itu Pastor Larruffa, SX bersama Bapak Alo, panggilan Bapak Ulahayanan ini membagi Paroki Pekanbaru menjadi 12 Kring.

Nama-nama Kring diambil dari nama rasul-rasul yaitu: Kring I: Santo Petrus, Kring II: Santo Yohanes, Kring III: Santo Anreas, Kring IV: Santo Yakobus, Kring V: Santo Tedeus, Kring VI: Santo Tomas, Kring VII: Santo Filipus, Kring VIII: Santo Bartolomeus, Kring IX: Santo Simon, Kring X: Santo Mateos, Kring XI: Santo Simon Petrus, Kring XII: Santo Mateas.

Karena perkembangan umat cukup pesat ada beberapa Kring yang di mekarkan, misalnya Kring XII di pecah menjadi Kring XII dan XIV, Kring VII di pecah menjadi Kring VIII dan XIV, Kring II dipecah menjadi II A dan B, Kring VII dipecah menjadi Kring VII adan B, Kring X dipecah menjadi Kring Xa dan B, Kring XI menjadi XI A dan B.

Karena pasang surutnya perkembangan umat ada lingkungan kembali menyatu seperti semula, misalnya Kring X dan Lingkungan II. Kemudian sekarang wilayah lingkungan XIV, XIII demikian IX masuk dalam wilayah Paroki Santo Paulus.

Dan kini Gereja tersebut telah memiliki Banyak Jemaah dan Gereja ini bernama Gereja Santa Maria a Fatima yang terletak di Jalan Ahma Yani persis di sebekah Rumah Sakit Santa Maria.
Sumber : Tabloid Pewarna
Masjid Raya Pekanbaru atau Masjid Senapelan Pekanbaru merupakan salah satu masjid tertua di Riau yang terletak di Kota Pekanbaru, Indonesia. Masjid ini dibangun pada abad ke-18, tepatnya tahun 1762. Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, sebagai sultan keempat dari Kerajaan Siak Sri Indrapura, dan kemudian diteruskan pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai sultan kelima dari Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Sejarah berdirinya Mesjid Raya Pekanbaru dikisahkan ketika di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan dan menjadikan Senapelan (sekarang Pekanbaru) sebagai Pusat Kerajaan Siak. Sudah menjadi adat Raja Melayu saat itu, pemindahan pusat kerajaan harus diikuti dengan pembangunan “Istana Raja”, “Balai Kerapatan Adat”, dan “Mesjid”. Ketiga unsur tersebut wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat dan ulama (agama) yang biasa disebut “Tali Berpilin Tiga” atau “Tungku Tiga Sejarangan”.
 
Pada penghujung tahun 1762, dilakukan upacara “menaiki” ketiga bangunan tersebut. Bangunan istana diberi nama “Istana Bukit” balai kerapatan adat disebut “Balai Payung Sekaki” dan mesjid diberi nama “Mesjid Alam” (yang mengikut kepada nama kecil sultan Alamuddin yaitu Raja Alam). Pada tahun 1766, Sultan Alamuddin Syah meninggal dan diberi gelar MARHUM BUKIT. Sultan Alamuddin Syah digantikan oleh puteranya Tengku Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Pada masa pemerintahannya (1766-1779), Senapelan berkembang pesat dengan aktivitas perdagangannya. Para pedagang datang dari segala penjuru. Maka untuk menampung arus perdagangan tersebut, dibuatlah sebuah “pekan” atau pasar yang baru, pekan yang baru inilah kemudian menjadi nama “Pekanbaru” sekarang ini.

Masjid ini mengalami beberapa renovasi. Yaitu pada tahun 1755, renovasi dilakukan dengan pusat pelebaran daya tampung masjid. Lalu pada tahun 1810, pada masa pemerintahan Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin, masjid ini kembali direnovasi dengan menambahkan fasilitas tempat berteduh untuk pada peziarah makam di sekitar area masjid. Dilanjutkan pada tahun 1940, ditambahkan sebuah pintu gerbang masjid yang menghadap ke arah timur. Renovasi yang terakhir, terjadi pada tahun 1940, renovasi ini merupakan renovasi dari keseluruhan masjid yang bisa disebut sudah sangat tua. Renovasi ini dimulai dari tahun 1755 sampai tahun 1940. Ini artinya masjid tersebut sudah berusia hampir 2 abad lamanya.

Sejak 2009, masjid ini masuk proyek revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Riau. Dengan adanya revitalisasi yang dikerjakan Dinas Pekerjaan Umum Riau, revitalisasi ini menghancurkan bangunan aslinya. Akibat proyek tersebut, yang tersisa hanya 26 tiang bekas bangunan lama yang ada di sisi timur, selatan, barat, dan utara. Ada enam tiang penyanggah tengah yang kini tersisa dan dijadikan bentuk menara. Hal ini membuat masjid ini menjadi satu-satunya masjid yang memiliki menara dalam bangunan. Menara itu terpaksa dibuat karena bekas sisa tiang penyanggah masjid masa lalu.

Tiang-tiang sisa bangunan lama memang masih dipertahankan. Tapi bentuk asli masjid sudah diratakan dengan tanah. Kini bangunan masjid itu begitu megah, sama seperti bangunan masjid modern masa kini. Dulunya, bangunan masjid bergaya arsitektur melayu kuno.

Masjid Raya Pekanbaru kini tidak lagi sebagai masjid tua yang tidak begitu raya. Pada 2009 Rumah ibadah yang penuh dengan untaian sejarah itu diubah. Tidak hanya fisik, tetapi juga ragam hiasnya. Sangat disayangkan, tetapi itulah yang terjadi. Bangunan masjid dirombak tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah pelestarian cagar budaya.
Masjid yang dibangun pada abad ke-18 ini kini menjadi lebih modern. Tak terlihat lagi kekhasan bangunannya seperti saat kali pertama dibangun oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Dahulu masjid ini didominasi gaya arsitektur Melayu yang dipengaruhi arsitektur Timur Tengah. Kini semuanya tinggal kenangan.

Sekarang yang tersisa hanya dinding bagian muka, gerbang, tiang atau sokoguru, dan mimbar. Statusnya pun harus berubah, dari Bangunan Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru menjadi Struktur Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru.

Tim Ahli Cagar Budaya Nasional menyatakan bahwa:
“sebelum Masjid Raya Pekanbaru mengalami perubahan secara signifikan seperti sekarang ini, dari aspek sejarah masjid ini merupakan kelanjutan pembangunan dari masjid pertama yang dibangun oleh Sultan. Masjid yang kali pertama dibangun erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Siak Sri Indrapura, yang pernah bertahta di Pekanbaru, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Namun, mengingat masjid lama yang dibangun oleh Sultan telah dibongkar dan kemudian dibangun kembali dengan masa yang jauh berbeda, maka secara historis masjid ini nilainya sudah tidak sama dengan masjid yang pertama. Hal ini menunjukkan telah terjadi penurunan nilai historisnya”.

Berubah dari banguan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya

Dengan memertimbangkan masih adanya peninggalan sejarah dan budaya yang tersisa, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional merekomendasikan untuk mengubah statusnya dari Bangunan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 209/M/2017 tentang Status Bangunan Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru pada 3 Agustus 2017.

Dan apa saja bangunan asli Mesjid Raya tersebut :

                                Gerbang Mesjid Raya Pekanbaru




                                     Tiang Penyangga Mesjid

 


                                               Mimbar Mesjid


 


Narasi 
Wikipedia
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

Rumah ini diperkirakan dibangun Tahun 1887 dan didiami oleh H. Yahya seorang getah karet ternama pada masa itu, H. Yahya beserta Istrinya  Zainab memiliki 5 orang anak yaitu H. Abdul Hamid Yahya yang merupaka salah satu pejuang perintis kemerdekaan, Hj. Ramzah Yahya, Kamsah Yahya, Hj Ramnah Yahya dan Nurisah Yahya

Pada masa  Pra Kemerdekaan rumah ini pernah dijadikan basis pejuang Fisabilillah sekaligus menjadi logistik dan dapur umum, namun karena alasan keamanan basis pejuang Fisabilillah tersebut dipindahkan ke Surau Irhaash yang terletak di Jalan Senapelan.

Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1958 rumah ini difungsikan sebagai salah satu markas sekaligus tempat tinggal Tentara Nasional Indonesia  di era penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah khususnya Riau.

Rumah ini juga pernah ditempati oleh KH. Muhammad Sech seorang Imam Besar Mesjid Raya Nur Alam (Mesjid Raya)  yang juga menjabat sebagai Kadi yang diangkat langsung oleh Sultan Siak  pada masa Sultan Syarif Kasim II dan beliau merupakan salah satu menantu H. Yahya , selanjutnya rumah ini ditempati oleh Hj Ramnah Yahya  yang bersuamikan H Ibrahim, semasa ditempati oleh Hj. Ramnah Yahya  rumah ini digunakan untuk aktifitas mengajar anak-anak mengaji , bertenun, menekat, dan beliau juga sebagai Mak Andam pernikahan dan kemudian rumah ini ditempati anak Hj. Ramnah Yahya yaitu Yusuf Ibrahim, kemudian setelah Yusuf Ibrahim memiliki Rumah dn rumah ini dibiarkan kosong dan hingga saat ini dimanfatkan oleh Ibu Ibu dan Remaja Putri Kampung Bandar sebagai kegiatan menenun.

Surau Al Irhash dari poster yang tertempel di dinding surau diketahui bahwa bangunan ibadah ini dibangun tahun 1925. Bangunan ini juga diklaim sebagai surau tertua di Pekanbaru. Surau dibangun di atas lahan yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung Bukit. 

Pada zaman perang kemerdekaan surau difungsikan sebagai markas besar pejuang tentara Fisabilillah, Disurau ini dulu pemuda muslim Riau di Kota Pekanbaru bersatu mengulas strategi perang melawan Jepang yang terkenal zalim dan kejam kepada rakyat Indonesia. 

Denah asli bangunan ini berbentuk segi empat, tetapi pada tahun 1970 mengalami perubahan dengan adanya tambahan bangunan mihrab. Pada tahun 2007 bangunan ini mengalami renovasi total.

Dahulu surau dimanfaatkan sebagai tempat menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi anak-anak. Untuk mengikuti syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat alat pertanda masuknya waktu sholat.

Bangunan surau awalnya berdenah segi empat, yang memakai gaya bangunan kolonial. Terdapat ornamen ukiran  pada dinding masjid. Surau ini memiliki 6 jendela dengan desain khas timur tengah terbuat dari kayu dan ventiasinya berukir. Jendela ini sendiri memiliki tinggi 1,7 m, lebar 0,9 m serta satu daun jendela memiliki lebar 0,45 m.

Selain jendela, Suaru ini memiliki pitu yang unik yang hampir mirip dengan jendela, terbuat dari kayu dan ventiasinya berukir,terdapat 4 buah pintu dengan ukuran tinggi 2,5 m dan lebar 1,57m serta lebar satu daun pintu 0,77 m.

Interior dalam bangunan surau sekarang dihiasi dengan berbagai kaligrafi islam berupa kutipan ayat-ayat Al Quran dengan ventilasi ruangan berupa kayu yang berukiran khas timur tengah.

Untuk diketahui, sebelah selatan Surau sudah ada tambahan bangunan berupa WC dan tempat berwudhu dengan panjang 8 m dan lebar 5,23 m dengan bahan semen dan cat sama dengan surau yaitu berwarna hijau. Selain itu masih terdapat sumur tua yang konon ceritanya sumur tersebut tempat wudhu pertama di surau seusia dengan surau, tetapi sekarang sumur tersebut tidak difungsikan.

Berikut Cuplikan Video Surau Al Irhaash :