Sejumlah ekspektasi melambung menandakan sebuah awal daripada akhir
dengan berakhirnya perhelatan olahraga nasional 4 tahunan, PON XVIII di
Riau. Dari tanggal 5 hingga 20 September publik nasional disuguhi kompetisi sengit dari 32
cabang olahraga, akhirnya Provinsi DKI Jakarta tampil sebagai yang
terdepan di antara 33 provinsi yang berpartisipasi,sedangkan Tuan Rumah Riau berada di posisi 6.
Empat besar provinsi pengumpul medali emas terbanyak ada di Pulau Jawa,tentu saja ini menjadi cerminan ketidakmerataan pembinaan atlet di
Indonesia, atau tidak menutup kemungkinan bahwa adanya beberapa aspek
konspiratif dalam penyelenggaraan kegiatan empat tahunan tersebut. Tentu
saja poin terakhir terkesan mengada-ada. Kegiatan dengan skala nasional
itu diharapkan dan seharusnya dipastikan untuk menjunjung tinggi asas
fairplay.
Maka jelas terlihat bahwa sesungguhnya di negara tercinta Indonesia,
dengan 235 juta penduduk, pembinaan sumber daya manusia masih belum
terdistribusi secara maksimal, khususnya dalam bidang olahraga. Analisis
ini, yang merujuk pada statistik pascahasil PON, dirasa cukup miris
oleh beberapa pengamat, terlebih ketika berimbas pada prestasi Indonesia
di mata dunia.
Dalam Olimpiade London pada tahun yang sama, masih pula dirasakan
dominasi dari atlet-atlet yang pembinaannya berbasis di Pulau Jawa.
Secara tersirat, supremasi Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI
Jakarta, yang seakan-akan telah menjelma menjadi barometer olahraga
nasional, akan menekan potensi atlet-atlet di penjuru Nusantara.
Di sisi lain, PON tahun ini tidak semata-mata menunjukkan perbedaan
kelas atlet antardaerah. Sejumlah 147 pemecahan rekor menjadi sebuah
milestone tersendiri bagi Indonesia. Yang mengganjal kemudian adalah sebuah ironi bahwa kita terkesan digdaya
pada taraf internasional, tapi gagal berbicara pada level Asia ataupun
dunia.
Permasalahannya bukan lagi mental kompetisi yang dulu sempat menjadi
dalih kegagalan atlet kita yang bertanding pada tingkat internasional,
melainkan profesionalitas lembaga pengelola, yang dalam hal ini diwakili
oleh Kemenpora.
Ketika contohnya diambil nyata dari cabang olahraga sepak bola, dualisme
liga (dan PSSI) telah berjalan cukup pelik dan dirasa oleh berbagai
pihak harus segera berakhir. Namun dalam kenyataannya, Menpora, selaku
otoritas yang memiliki eligibilitas untuk berbicara dan memediasi,
cenderung sedikit berkata-kata.
Memacu Prestasi
Apapun kasus yang terjadi dalam tubuh olahraga nasional, seperti kasus
suap wisma SEA Games XXVI di Palembang serta Pembangunan Pusat
Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olah Raga Nasional di Bukit Hambalang
Sentul Kabupaten Bogor, akan menjadi pukulan telak kepada para atlet di
dalamnya.
Atlet sudah seharusnya mencurahkan fokus mereka hanya pada kompetisi
yang berjalan. Namun idealisme ini tidaklah mudah, ketika cukup banyak
ekspose media yang menyoroti kinerja aparat penyelenggara.
Kembali ke PON XVII Riau, sudah cukup nyatakah peran pihak penyelenggara
(pemerintah) dalam menjadikan perhelatan ini sebagai kompetisi yang
juga kawah candradimuka bagi atlet-atlet nasional ? Ataukah PON itu hanya
sekadar lewat, dan tak lebih dari sebuah formalitas untuk menjaga
integritas negara?
Pun jika Wakil Presiden Boediono menyampaikan, dalam sambutannya pada
acara penutupan PON, pujian atas keberhasilan kegiatan empat tahunan
ini, pertanyaannya adalah: apakah hasil yang ada itu sudah cukup dapat
mengangkat prestasi Indonesia secara garis besar?
Kecenderungan sentralisasi seperti yang diungkapkan sebelumnya bisa jadi
sebuah zona nyaman yang akhirnya akan merugikan keberlanjutan capaian
sebuah bangsa. Berbicara tentang keberlanjutan, berbagai solusi sudah
diajukan seperti regenerasi yang mengedepankan atlet muda atau sistem
rotasi.
Pemerintah, dalam hal ini, mengemban kewajiban dalam memberikan
pengayoman dengan memfasilitasi pembinaan dan kompetisi yang tentu saja
tanpa melupakan asas profesionalitas.
Maka PON XVIII Riau adalah sebuah kontemplasi, cerminan, untuk kita
sebagai masyarakat Indonesia bahwa cakrawala Indonesia tidak boleh
berhenti di tingkat intern semata. Indonesia mampu, dan punya gigi, untuk melejit lebih dari yang selama
ini dicapai. Riau 2012 bukanlah sebuah judgment melainkan kumpulan
harapan untuk masa depan cerah atlet Merah Putih.
(Mikael Dian Teguh, editor-in-chief Jogja Destination TVRI Yogyakarta, kontributor Radio SBS Australia)