Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA ROKAN HILIR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA ROKAN HILIR. Tampilkan semua postingan
Situs Candi Sintong terletak di Desa Sintong Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir. Riwayat penelitian dan pengkajian yang pernah dilakukan terhadap Candi Sintong dilakukan oleh BP3 Batusangkar, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Sumatera Utara dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau. Pada tahun 1992/1993 Provinsi Riau bekerjasama dengan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Sumbar Riau melakukan ekskavasi pada bangunan candi. Pada tahun 1993/1994 dilakukan penelitian oleh Puslitarkenas. Kemudian pada tahun 2008 dilakukan ekskavasi lanjutan oleh Provinsi Riau bekerjasama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar. Dari hasil ekskavasi juga ditemukan berbagai macam keramik, gerabah, tulang, perhiasan emas dan arang. Dari hasil-hasil ini diperkirakan candi dibangun pada abad 12-13 M dan berlatar belakang Hindu/Budha.

Berdasarkan hasil Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagan Siapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau oleh: Lucas Partanda Koestoro, Taufiqurrahman Setiawan, Suprayitno, Fitriaty Harahap, Ratna, dan Rita Margaretha Setianingsih, kemungkinan pada masa ini daerah Rokan Hilir dikuasai oleh Kerajaan Rokan. Karena itu peninggalan-peninggalan berupa reruntuhan Candi Sintong dan Candi Sedinginan di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir merupakan peninggalan Kerajaan Rokan.


Dari hasil ekskavasi tahun 1992/1993 di Candi Sintong diperkirakan candi ini dibangun pada abad 12--13 M. Periode ini merupakan masa kemunculan Kerajaan Rokan, Ghasib, dan Kandis seiring dengan mundurnya kekuasaan Suwarnabhumi akibat berperang dengan Singosari. Mundurnya peran Suwarnabhumi merupakan peluang yang dimanfaatkan Malik Al Saleh dalam membangun Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1283.

Candi Sintong terletak diantara perkebunan sawit masyarakat dengan bentang lahan yang datar. Lokasi berada ± 500 m dari jalan Ferry. Tidak jauh dari lokasi (sebelah timur) terdapat sungai Rokan yang berjarak ± 200 m. Berdasarkan hasil penelitian candi ini berlatar belakang agama Hindu/Budha. Di sekitar Situs Candi Sintong terdapat tempat yang oleh masyarakat disebut sebagai Tapak Mahligai. Tempat ini berupa gundukan tanah seluas 16 m² yang dikelilingi oleh semacam parit. Tapak Mahligai ini berjarak ± 160 m dari ke arah barat Candi Sintong.  Secara umum diareal Candi Sintong terdapat dua buah gundukan tanah yang merupakan bekas candi. Untuk diketahui pada lokasi ini tinggalan hanya berupa serakan bata yang kondisinya sudah amat rapuh dan posisinya sudah tidak pada tempatnya.


Di sisi barat laut situs terdapat sebuah kolam yang oleh masyarakat disebut dengan Kolam Putri Hijau. Disebelah barat struktur candi terdapat sebuah parit kuno yang membujur arah timur-barat yang bermuara ke Sungai Rokan. Berdasarkan hasil peneitian Puslitarkenas pada tahun 1993/1994 pada lokasi sekitar situs diindikasikan adanya bangunan suci yang terbuat dari bata sebanyak 2 buah bangunan candi.


Situs Candi Sintong  ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 01/BCB-TB/B/08/2007.


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU
Cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan. Menurut UU no. 11 tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Ada Lima Kategori Cagar Budaya yaitu sebagai berikut :
Benda
Benda cagar budaya adalah benda alami atau buatan manusia, baik bergerak atau tidak, yang punya hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang.
Bangunan
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding, tidak berdinding dan atau beratap.
Struktur
Struktur Cagar Budaya adalah suatu susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
Situs
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
Kawasan
Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. 
Kabupaten Rokan Hilir memiliki banyak Cagar Budaya  ,  berikut kami rangkum Cagar Budaya yang ada di Kota Rokan Hilir :
  1. Situs Candi Sintong
  2. Situs Candi Sedinginan
  3. Rumah Kapiten Cina Ng Hi Tam
  4. Klenteng In Hok King
  5. Gereja Katholik St. Petrus dan Paulus
  6. Kompleks Pillbox Jepang Pulau Jemur
Bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Propinsi Fujian - Cina, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tsb agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan. Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba2 mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran dimana ada api disitulah ada daratan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan selat Melaka. Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang, diantaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur Bagansiapiapi.



Di daerah yang baru mereka tempati (bagansiapiapi) mereka menemui banyak ikan, dengan ikanlah mereka bertahan hidup hingga beranak pinak dan  mereka juga mengajak keluarga dari negeri tirai bambu datang kebagansiapiapi, sehingga jumlah masyarakat Tionghoa kian banyak.



Setelah sekian lama menetap di Bagansiapiapi pada tahun 1875 masyarakat Tionghoa disana membangun sebuah kelenteng dan diberi nama Kelenteng In Hok Kiong. Pada 1928 kelenteng ini dibuat secara permanen. Disinilah Dewa Kie Ong Ya disembahyangkan secara utuh/asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi. 


Hingga saat ini Kelenteng In Hok Kiong digunakan untuk aktivitas keagamaan dan ritual lainnya, seperti cap go meh, tempat pelaksanaan ritual kematian, serta tempat dimulainya pengarakan replika tongkang dalam acara festival bakar Tongkang.




Bangunan Rumah Kapitan Di Bagansiapiapi merupakan warisan budaya dengan arsitektur paduan gaya Tradisional Tionghoa dan Melayu yang sesungguhnya perlu dirawat, dijaga dan dilestarikan. Di Bagansiapiapi terdapat beberapa rumah Kapitan namun tidak terawat,bahkan beberapa rumah kapitan lainnya telah dihancurkan dan kini dilokasi tersebut telah dibangun Ruko. Rumah Kapitan Tua Marga NG milik Kapitan NG I Tam, merupakan salah satu Rumah Kapitan yang tersisa di Kota Bagansiapiapi , rumah Kapitan tersebut didirkan pada awal tahun 1900.

Rumah Kapitan marga NG. Orang bagansiapiapi menyebutnya dengan Kapitan NG I Tam

Di balik Bangunan Rumah Kapitan tua nan reot dan lapuk yang berdiri kokoh hampir lebih satu Abad lamanya tersebut merekam jejak kenangan yang menunjukkan suatu catatan penting sistem Kekuasaan Opsir ( Kapitan ) Tionghoa berkuasa pada masa silam di kota Bagan Si Api-api. Kapitan Tionghoa merupakan sebutan yang diberi dan diciptakan oleh sistem Pemerintahan Kolonial Belanda dalam upaya mengendalikan dan mengatur komunitas masyarakat Tionghoa. 
Terlihat Ornamen Tionghoa yang menghiasi Pintu Rumah Kapitan