Deskripsi Historis
Berdasarkan keterangan Bapak Raja Satria rumah pesanggrahan Belanda ini dibangun setelah  Rumah Dinas  Amir Enok,  yakni tahun 1938. Dahulunya rumah ini digunakan sebagai rumah hunian bagi tamu-tamu (pejabat kolonial) yang datang ke Enok. Secara keseluruhan bangunan rumah masih dipertahankan keasliannya kecuali beberapa bagian pintu dan jendela. 

 


Deskripsi Arkeologis
Rumah ini berada di sisi barat  eks. Rumah Dinas  Amir Enok sekitar 10  m. Bangunan ini berdenah  persegi panjang dengan komponen utama bahan bangunan adalah kayu. Atap bangunan berbentuk limas terbuat dari seng. Bangunan berbentuk rumah panggung dengan umpak/sandi terbuat dari coran kerikil. Pintu masuk berada di sisi selatan terbuat dari kayu dengan  bentuk daun pintu bukaan dua  ini terdiri dari 3 ruangan, ruang utama berupa sebuah ruangan lepas, 1 buah kamar tidur, dan 1 buah dapur. Beberapa bagian kayu sudah agak lapuk, terutama di bagian dapur (lantai dan dinding). Sebagian atap juga telah rusak. Dinding bangunan terbuat dari kayu yang dipasang horisontal. Bangunan ini dari awal pembangunan hingga sekarang belum mengalami banyak perubahan.

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Fungsi awal sebagai  rumah hunian ba
Fgi tamu-tamu (pejabat  kolonial) yang datang ke Enok, kini difungsikan sebagai rumah hunian masyarakat.

Letak Astronomis
S 00° 30’ 27.8”E 103° 11’ 31.0”S (103,19225; -0,507944)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Untuk mencapai lokasi dari Tembilahan (Ibukota kabupaten) dapat ditempuh dengan kendaraan roda 2 dan speed boat. Dari Tembilahan dilakukan penyeberangan dengan menggunakan speed boat  (15 menit), kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan roda 2 (ojek) yang menempuh jarak 29 km dengan waktu tempuh 1 jam (catatan: jalan yang ditempuh jalan desa yang belum dilakukan pengerasan)


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 05/BCB-TB/B/09/2013 .



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Makam Belanda lni terletak gang makam, Jalan Tuanku Umar. Desa Kelurahan Kota Selat Panjang, Kecamatan Tebing Tinggi,  Kabupaten Kepulauan Meranti, . Dilihat dari tata  letak makam, makam ini bukan merupakan makam Islam. Karena Makam ini memanjang ke arah Timur Barat, sedangkan makam  Islam memanjang darl Utara Keselatan. Makam inl berundak undak terdiri dari lima undakan, atau bertingkat·tingkat, makin ke atas upak makam ini makin kecil. Makam ini terbuat dari bata yang dilapisi dengan semen berlepa, pada bagian luar dihaluskan. Pada bagian atas makam ditemukan tulisan berbahasa Belanda antara lain Hier Rust, Onze Geveling, Hendriette Souvisa, Geboten, Overleden 15 Th September 1925 RIP, Hare Ouder.

 

Souisa merupakan nama Ayah dari bayi perempuan Henriette , Henriette merupakan seorang Dokter Berdarah Belanda dan Maluku. Dr. D Souisa ditugaskan sebagai Dokter di Selat Panjang pada tahun 1922 , kemudian bertugas di Medan pada tahun 1932, dan pada tahu 1937 bertugas di Banda Neira dan selanjutnya pada Tahun 1949 bertugas di Surabaya sebagai Direktur Rumah Sakit CBZ .

 


Bangunan ini  ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 05/BCB-TB/B/12/2010 


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

 

Bangunan ini dulunya adalah Markas  BKR/TKR yang kemudian  menjadi markas TNI selatpanjang pada awal kemerdekaan. Di tempat ini semua strategi perang di atur dan perintah komando dikeluarkan saat menghadapi pasukan belanda. Ketika selat panjang dikuasai belanda, tempat ini menjadi kantor Offseter (pekerja umum). Kini tempat ini menjadi kantor UPTD Dispenda Provinsi Riau di selat panjang.



Bangunan ini  ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 03/BCB-TB/B/12/2010


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

Bangunan ini pernah di duduki pasukan belanda, kemudian dijadikan kantor controleur belanda. Tempat ini juga pernah menjadi kantor camat tebing tinggi, sekarang tempat ini menjadi kantor dinas pendapatan daerah kepulauan Meranti

Rumah Kolonial Dinas Pendapatan Daerah Kab. Meranti  ini terletak di jalan merdeka yang memiliki luas bangunan 25 x 37,7 m dan luas lahan sebesar 35 x 64 m yang dikelilingi oleh pagar. Ciri khas bangunan belanda masih terasa pada bangunan ini yang terlihat dengan pintu dan jendela yang besar.

Bangunan ini  ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 02/BCB-TB/B/12/2010


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Deskripsi Historis
Rumah ini dahulunya diperkirakan merupakan rumah salah seorang pejabat masa kolonial Belanda yang diperkirakan dibangun sekitar awal tahun 1900-an. Daerah Tembilahan dahulunya merupakan salah satu satu daerah strategis karena merupakan jalur perdagangan khususnya di pantai timur Pulau Sumatera. Salahsatu akses yang menunjang sektor perdagangan ini adalah terdapatnya Sungai Indragiri yang dapat dilayari oleh kapal-kapal besar.

Berdasarkan keterangan Sahlan (penghuni/penjaga rumah), sejak tahun 1970-an bangunan ini ditempati sebagai Rumah Dinas PU sampai tahun 1990-an.  Setelah itu sampai dengan sekarang bangunan ditempati oleh Badan Amil Zakat (BAZ) Tembilahan. Secara keseluruhan konstruktur dan bentuk bangunan masih asli. Perbaikan-perbaikan pada bangunan hanya berupa pergantian beberapa dinding dan lantai yang sudah keropos. Sedang tambahan pada bangunan hanya terdapat pada bagian depan rumah (teras). Berdasarkan temuan tinggalan pada bangunan, terdapat dua jenis yang memproduksi atap (genteng) bangunan yang  salah satunya diproduksi dan di import langsung dari Prancis. Pada salah satu genteng bertuliskan “Guichard Carvin & Cie. Marseille St. Andre France”. Kemungkinan inskripsi ini merupakan nama pabrik/perusahaan serta lokasinya. Sedangkan genteng lainnya bertuliskan “J.H. Morgan & Son, Mancalore”. Diperkirakan J.H. Morgan & Son merupakan pabrik/perusahan yang memproduksi bahan. 

 



Deskripsi Arkeologis
Rumah ini memiliki perpaduan arsitektur tradisional (Melayu) dan arsitektur kolonial. Gaya arsitektur tradisional terlihat pada penggunaan komponen bangunan yang terbuat dari kayu dan bentuk rumah berpanggung dengan sandi dari coran kerikil. Sementara arsitektur kolonial terlihat pada bentuk jendela yang tinggi, atap bangunan berbentuk limas yang terbuat dari genteng.


Bangunan ini terdiri dari 3 ruangan, yaitu 2 buah kamar tidur yang sekarang dipergunakan sebagai ruang kepala dan ruang staf, serta sebuah ruangan besar yang sekarang dipergunakan sebagai loby dan ruang rapat. Selain itu dibagian belakang terdapat terdapat kamar mandi dan dapur serta sebuah kamar yang dipergunakan sebagai tempat tinggal penjaga Bazda. Kamar mandi dan dapur merupakan hasil perehaban. Beberapa bagian rumah ini telah mengalami perubahan seperti terlihat pada lantai bangunan yang terbuat dari keramik , atap bangunan yang didanti dengan seng, sebelumnya terbuat dari genteng, dan penambahan teras pada  bagian depan. Pada sisi barat bangunan terdapat bangunan berupa bak tertutup yang difungsikan sebagai tempat penampungan atau penyimpanan air

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Dari awal  berdirinya bangunan, tempat ini digunakan sebagai  rumah hunian.


Letak Astronomis
103° 9' 34.800"E 0° 19' 31.900"S (103,159667 ; -0,325528)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Aksesibilitas situs sangat mudah karena berada di tengah-tengah pusat kota Tembilahan yaitu di Jalan M. Boya No. 40  dan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat.  Sekeliling bangunan merupakan rumah hunian/rumah dinas pemda/kantor dengan bentang lahan datar.


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 07/BCB-TB/B/09/2013



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Sejarah tentang Vihara Sakti Sejahtera tidak diketahui secara pasti kapan pendiriannya. Informasi yang didapat dari Pengurus Vihara yaitu Sdr. Juan,SH. bahwa Viharaini pertama kali direnovasi Tahun 1903. Diperkirakan Kelenteng ini dibangun pada tahun 1868 dan menjadi Kelenteng tertua di Riau. Sejarawan memprediksi kelenteng ini berumur lebih dari 150 tahun setelah dilihat dari relief arsitektur bangunannya. Awal berdirinya bangunan ini merupakan gubuk sederhana yang dibangun oleh perantauan China yang menetap di Kota Selatpanjang pada masa kolonial Belanda.

Kelenteng ini juga dikenal dengan nama Hoo Ann Kiongdan juga Tua Pek Kong Bio ( bahasa Hokkian ), Kelenteng ini berada di Jalan Jenderal Ahmad Yani,Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti.


Vihara Sakti Sejahtera, merupakan salah satu bangunan yang  sangat monumental di Kota Selat Panjang.  Bangunan ini merupakan tempat beribadah bagi umat Budha. Pada umumnya yang beribadah di tempat lni adalah etnis keturunan Cina yang beragama Budha. 

 

Vihara ini  ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 01/BCB-TB/B/12/2010



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 



Deskripsi Historis
Bangunan ini merupakan bangunan peninggalan masa kolonial Belanda yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1900-an. Berdasarkan bentuk bangunan, diperkirakan dari awalnya pembangunannya rumah difungsikan sebagai rumah hunian bagi pejabat-pejabat kolonial Belanda. Sekarang rumah ini digunakan sebagai Rumah Dinas bagi Dinas Kesehatan.  Pada awalnya diperkirakan rumah ini berbahan kayu, namun pada periode berikutnya rumah ini dilapisi dengan semen. Ini dapat dilihat pada beberapa bagian dinding bangunan yang sudah mengelupas. Selain itu perubahan-perubahan yang terdapat pada bangunan adalah lantai yang sudah dikeramik. Pada sisi timur bangunan terdapat tempat bak tertutup tempat penampungan atau penyimpanan air yang bangunannya masih asli.  


Deskripsi Arkeologis 

Rumah Dinas Kesehatan memperlihatkan arsitektur campuran, yaitu perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional. Arsitektur kolonial terlihat pada penggunaan material bangunan yang terbuat dari bata berspesi sementara arsitektur kolonial terlihat  pada bentuk rumah berpanggung. Sebagian bangunan telah mengalami perubahan seperti terlihat pada semua bentuk jendela dan pintu. Selain itu perubahan juga terlihat dari bentuk lantai yang telah berubah menjadi keramik putih. Denah bangunan berbentuk persegi panjang, sementara atap bangunan berbentu limas dan terbuat dari genteng. Bentuk dan ukuran genteng sama dengan bangunan kantor Bazda dan Mess Staf Lapas Tembilahan.

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Dari awal berdirinya bangunan, tempat ini digunakan sebagai rumah hunian/mess.

Letak Astronomis
103° 9' 34.800"E 0° 19' 29.500"S (103,159667 ; -0,324861)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Aksesibilitas situs sangat mudah karena berada di tengah-tengah pusat kota Tembilahan yaitu di Jalan M. Boya  dan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat.  Sekeliling bangunan merupakan rumah hunian/rumah dinas pemda/kantor dengan bentang lahan datar.


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 009/BCB-TB/B/09/2013



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Deskripsi Historis
Rumah  ini  merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda yang diperkirakan dibangun  sekitar tahun 1900-an. Berdasarkan bentuk bangunan, diperkirakan dari awalnya pembangunannya rumah difungsikan sebagai rumah hunian bagi pejabat-pejabat kolonial Belanda. Sejak tahun 2008 rumah ini digunakan sebagai
Rumah Dinas Kalapas dan selanjutnya dijadikan sebagai mess bagi staf Lapas (sipir)  Tembilahan. 


Deskripsi Arkeologis

Bangunan ini tepat berada di sisi utara  Rumah Pejabat Kolonial Tembilahan No. 40  (Rumah Dinas PU). Bangunan ini memperlihatkan perpaduan arsitektur tradisional dan kolonial. Bangunan tradisional terlihat dapat bentuk bangunan berpanggung dan komponen bangunan terbuat dari kayu. Sementara arsitektur kolonial terlihat pada bentuk atap limas yang terbuat dari genteng dan pada bagian atas atap terdapat lubang angin. Mess staf lapas ini berdenah persegi panjang dengan material komponen bangunan sebagian besar terbuat dari kayu. Bangunan ini sebagian besar masih asli, hanya pada bagian jendela dan pintu di bagian depan telah di ganti. Sebagian jendela juga terlihat asli, seperti jendela pada sisi utara di bagian depan, sisi selatan, dan sisi timur semua jendela masih asli. Bangunan ini menghadap ke arah jalan tepatnya ke arah timur dengan pintu masuk berada di arah timur. Pintu masuk ini terbuat dari kayu dengan bukaan satu. Pintu masuk ini merupakan hasil penggantian. Selain pintu, jendela yang berdampingan dengan pintu masuk ini juga merupakan hasil penggantian baru.

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Dari awal berdirinya bangunan, tempat ini digunakan sebagai rumah hunian/mess.

Letak Astronomis
103° 9' 35.100"E 0° 19' 32.100"S (103,15975 ; -0,325583)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Aksesibilitas situs sangat mudah karena berada di tengah-tengah pusat kota Tembilahan yaitu di Jalan M. Boya No. 41  dan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat.  Sekeliling bangunan merupakan rumah hunian/rumah dinas pemda/kantor dengan bentang lahan datar.


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 08/BCB-TB/B/09/2013



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Deskripsi Historis
Pendirian bangunan ini sezaman dengan pendirian Pesangrahan Belanda yakni tahun 1938. Dahulunya rumah ini juga difungsikan sebagai tempat tinggal (mess) bagi pegawai Keamiran Enok. Rumah ini juga pernah ditempati sebagai kantor bagi Balai  Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), dan sekarang ditempati oleh staf pegawai Kecamatan Enok. Secara keseluruhan bangunan ini  masih asli dinding dan lantai yang telah pernah diganti .

 
Deskripsi Arkeologis
Bangunan ini berada di sisi utara Rumah Dinas Amir Enok sekitar 50 m. Bangunan berbentuk semi  permanen dengan denah persegi. Bangunan ini terdiri dari dua buah rumah yang dijadikan satu atap. Dinding bagian bawah terbuat dari coran semen sedangkan dinding bagian ke atas terbuat dari kayu yang dipasang secara horisontal. Atap bangunan terbuat dari seng berbentuk atap limas. Bangunan ini terdiri dari 3 ruangan, yaitu 1 buah ruangan lepas, 1 buah dapur, dan 1 buah kamar tidur. Pintu masuk terdapa di sisi timur yang terbuat dari kayu, pintu masuk berbentuk bukaan satu. Pintu ini merupakan pintu baru. Jendela berjumlah 8 buah terbuat dari kaca dengan kunsen kayu. Pada bagian atas dinding terdapat ventilasi (lubang angin) benrentuk persegi panjang.

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Fungsi awal sebagai tempat tinggal (mess) bagi pegawai Keamiran Enok
, kini difungsikan sebagai sekarang ditempati oleh staf pegawai Kecamatan Enok.

Letak Astronomis
103° 11' 33.100"E 0° 30' 24.200"S (103,192528 ; -0,506722)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Untuk mencapai lokasi dari Tembilahan (Ibukota kabupaten) dapat ditempuh dengan kendaraan roda 2 dan speed boat. Dari Tembilahan dilakukan penyeberangan dengan menggunakan speed boat  (15 menit), kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan roda 2 (ojek) yang menempuh jarak 29 km dengan waktu tempuh 1 jam (catatan: jalan yang ditempuh jalan desa yang belum dilakukan pengerasan)


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 06/BCB-TB/B/09/2013.



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Dalam suatu daerah pasti memiliki identitas yang membuat orangorang mengingat dan jika mendengar ataupun melihat logo dari identitas tersebut, orangorang akan langsung tertuju pada daerah itu.


Riau memiliki identitas atau branding yaitu The Homeland of Melayu. Riau The Homeland Of Melayu merupakan slogan atau branding yang dapat diartikan yaitu Tanah Tumpah Darah Melayu.


Branding yang diusung oleh Pemerintah Provinsi Riau untuk mempromosikan potensi pariwisata unggulan (yang terbaik) yang selama ini menjadi daya tarik utama pariwisata Riau dengan harapan mampu meningkatkan tingkat kunjungan wisata mancanegara atau luar negeri dalam menggerakkan roda ekonomi masyarakat, meningkatkan citra daerah, dan daya saing daerah dikancah nasional maupun internasional.


Maksud dan
Maksud dan tujuan dari branding Riau The Homeland Of Melayu adalah sebagai kampanye yang mempromosikan pariwisata Riau dengan tujuan akhir meningkatkan daya saing pariwisata, meningkatkan kunjungan wisatawan, serta menguatkan perekonomian masyarakat Riau.


Logo Riau the Homeland of Melayu atau Riau Tumpah Darah Melayu berbentuk perahu lancing kuning yang melambangkan kejayaan atau kekuasaan Melayu seperti di citacitakan dalam Visi Riau 2020. Dalam Visi tersebut di sebutkan citacita besar Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan batin dikawasan Asia Tenggara.




Penggunaan Logo Riau Tanah Tumpah Darah Melayu  merupakan salah satu bentuk sarana pencitraan daerah yang mencirikan karakter budaya melayu sebagai asas promosi daerah yang berperan aktif dalam kegiatan Pemerintah Provinsi Riau terutama terkait dengan kepariwisataan, untuk penggunaan logo Riau Talah Tumpah Darah Melayu



Adapun
Filosofi Warna Logo ini, yaitu

  • Hijau warna kesuburan, pertumbuhan, pembaharuan dan persahabatan
  • Merahwarna melambangkan energi, kekuatan dan keberanian
  • Kuning warna melambangkan kegembiraan, loyalitas, dan kebijaksanaan
  • Biru warna melambangkan ketenangan, kelembutan,dan kedamaian.

 

Tagline dan Logo Riau The Homeland Of Melayu telah dipatenkan, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Riau, M Diah  menyerahkan hak paten tagline "Riau Tanah Tumpah Darah Melayu" (Riau The Homeland of Melayu) dan "Riau Menyapa Dunia" kepada Gubernur Riau (Gubri) H Arsyadjuliandi Rachman pada saat hari jadi Provinsi Riau ke-61.

Sertifikat merek untuk logo Riau Tanah Tumpah Darah melayu telah ditetapkan oleh Kementerian Hukum & HAM RI dengan nomor IDM000625104 dan logo itu telah diatur melalui peraturan Gubernur (Pergub) Riau nomor 44 tahun 2018, tanggal 8 Agustus 2018 tentang logo Riau Tanah Tumpah Darah Melayu dan Riau Menyapa Dunia.


Dalam Ajang Anugerah  Pesona Indonesia (API) tahun 2020 Riau The Homeland of Melayu menjadi Brand Wisata Terpopuler di Indonesia, Anugerah Pesona Indonesia merupakan rangkaian kegiatan tahunan yang  diselenggarakan dalam upaya membangkitkan apresiasi masyarakat terhadap  pariwisata Indonesia. Disamping itu penyelenggaraan API juga  bertujuan untuk mendorong peran serta berbagai pihak, baik Masyarakat,  pihak Industri/Swasta maupun Pemerintahan Daerah  dalam mempromosikan pariwisata serta  mengembangkan ekonomi kreatif secara langsung, nyata dan masif di  masing-masing daerah.



Sumber :

  • BRANDING RIAU THE HOMELAND OF MELAYU DALAM MEMPROMOSIKAN PARIWISATAPROVINSI RIAU Oleh: Berlianti Munir
  • Edisi Pertama Ebook Riau The Homeland Of Melayu 2017 

Tersebutlah nama Elang Pulai,nama yang tidak begitu Asing bagi masyarakat Pangean dan nama Elang Pulai diabadikan menjadi sebuah Tugu. Sebelum TNI resmi dibentuk , Nusantara sudah memilki pasukan perang yang berjuang melawan penjajah Di Pangean, tersebutlah pasukan Elang Pulai.

Pada 5  Januari 1949 Pukul 10.00, pasukan payung kolonial Belanda mendarat di Rengat, ibukota Kabupaten Indragiri. Pertempuran pun tak terelakkan lagi. Pemerintah kabupaten dan rakyat dengan mengambil tempat di balai adat Koto Tinggi Pangean yang diprakarsai oleh Ja’far Thaher selaku wali militer bersama pemuka adat, alim ulama guru silat dan lainnya membentuk kesatuan gerilya Pangean dengan nama Elang pulai pada 25 Januari 1949. Menurut sejarah, seekor burung elang yang keramat, bersarang di pucuk kayu pulai yang tumbuh di ujung taye, yaitu tempat yang dikeramatkan karena tempat berpendamnya para guru silat pangean, tempat yang lazim diziarahi orang sampai sekarang. Setiap pasukan Elang pulai yang akan diberangkatkan ke medan perang, berziarah terlebih dahulu ke ujung Taye, berharap berhasil dan kembali dengan selamat.

Tanggal 5 Maret 1949 pasukan elang punai dipimpin oleh Harun Haban dan Intan Judin dengan 70 anggota diberangkatkan dari surau godang Teluk Pauh Pangean pukul 10.00, dilepas oleh pemuka masyarakat termasuk rang (Orang) padek-padek. Dalam pengepungan dan penyerbuan pasar Cirenti, pasukan elang pulai dibagi tiga regu, untuk regu satu jurusan timur, dipimpin oleh Harun Aban, regu dua dipimpin oleh musmil untuk jurusan dan regu tiga di selatan dipimpin oleh Intan Judin. Pukul 00.30 hari itu terjadi kontak senjata dengan dahsyat berlangsung sampai fajar terbit.

Pada 15 April 1949 Belanda datang dan masuk di Koto Rajo menuju penahan pasukan elang pulai di pematang pangean sepuluh hari, dan terjadi pertempuran sengit. Dalam pertempuran ini, pasukan Belanda mundur ke Koto Rajo. 3 orang pasukan elang terjebak, Leman Ransu, Mail Birit, dan Dujang. Leman dan Mail ditembak mati sedangkan Dujang dipukuli hingga pingsan.

Tanggal 28 Mei 1949 sang merah putih tetap berkibar di dua tempat. Di kasana kayu batu dan pekan Selasa. Di Pembatang Balung berada staf wali militer Jaafar Thaher dan Wedana Amiruddin oleh tentara Belanda diadakan pengepungan terhadap kekuatan elang punai waktu itu adalah Musmil, Syamsudin dan Lasin Gomuk yang beranggotakan sebanyak 60 orang. Belanda meneruskan penyerangannya sampai ke Rawang Binjai.

Selama bulan Juni 1949 Belanda bertemu dengan dua orang pasukan elang punai yaitu A. Muin dan Umar Burhan di Rawang Binjai. Umar ditembak mati dan Muin berhasil meloloskan diri, kegiatan operasi tentara Belanda selain membakar dan merampas, telah berhasil menembak 2 orang lagi yaitu Samsu dan Musa di sungai pangean.

Setelah mendapat informasi bahwa pasukan elang punai berada di Pauh Angit, Amir Ranjau bersama militer bersenjata britis menuju kesana. Melalui pengepungan, mereka berhasil menagkap komandan elang pulai-Zainal Abidin berikut 6 orang anggota yaitu Lasin Gomik, M. Yusuf, Hadap, Bujang, Ali Negara dan Raja Ewa. Senjata mereka dilucuti dan mereka diangkut ke Baserah, menuju Taluk Kuantan, Air Molek dan Rengat sebagai tawanan perang. Tetapi mereka dikembalikan ke pasukan republik karena tidak dibenarkan melakukan penangkapan dan tindakan lainnya karena di negeri Belanda sedang melaksanakan konferensi meja bundar.

Akhirnya perjuangan ini disudahi dengan syukuran makan bersama dihibur dengan rarak bertalempong dan dikumandangkan lagu rimba raya sebagai lagu perjuangan rakyat pangean, yang diciptakan oleh Sulaiman Isma’il dengan nama panggilan Leman Kaomato, berirama lagu Pantai Padang.

Tiga orang tentara yang gugur dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Darma di Pekanbaru. Tanggal 29 Desember 1949 dibangun tiga tugu pahlawan elang pulai yang terletak di pematangan oleh rakyat pangean dengan pemerintahan RI sebagai bukti sejarah perjuangan rakyat kenegarian Pangean di Indragiri Hulu. Tugu pahlawan ini masih bediri.

Demikian sekelumit dari perjalanan perjuangan masyarakat Pangean melalui kesatuan gerilya elang punai dalam usaha ikut mempertahankan proklamasi 17 Agustus dari ancaman kolonial Belanda.

 

(Sumber : https://bahanamahasiswa.co/pasukan-gerilya-elang-pulai-pangean/)


Pada awalnya rumah ini merupakan rumah dinas bagi “Amir” di daerah Enok. Berdasarkan keterangan Raja Satria seorang tokoh masyarakat Enok, Amir yang memerintah pada masa itu bernama Thaib.

 



Kantor ini dibangun pada tahun 1936. Keberadaan Keamiran ini tidak terlepas dengan adanya tractaat Van Vrindchaap (perjanjian perdamaian dan persahabatan) tanggal 27 September 1938 antara Kerajaan Indragiri dengan Belanda, maka Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur. Berdasarkan ketentuan tersebut, di wilayah Indragiri Hilir ditempatkan seorang Controlleur yang membawahi 6 daerah keamiran, yaitu:
1.  Amir Tembilahan di Tembilahan.
2.  Amir Batang Tuaka di Sungai Luar.
3.  Amir Tempuling di Sungai Salak.
4.  Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah.
5.  Amir Enok di Enok.
6.  Amir Reteh di Kotabaru. 


Controlleur memegang wewenang semua jawatan, bahkan juga menjadi hakim di pengadilan wilayah ini sehingga Zelfbestuur Kerajaan Indragiri terus dipersempit sampai dengan masuknya Jepang tahun 1942.  Daerah ini pada masanya merupakan jalur pelayaran dan perdagangan yang sangat strategis.  Dari dahulu sampai dengan sekarang daerah ini adalah salah satu daerah penghasil kopra di daerah Kabupaten Indragiri Hilir. 


Setelah Indonesia Merdeka, kantor ini pernah difungsikan sebagai kantor Camat Enok dan sekitar tahun 2000-an digunakan oleh Unit Layanan Perpustakaan Kecamatan Enok. Secara struktur bangunan yang masih asli adalah atap (seng), sebagian jendela, dan bak penampungan air yang terdapat di sisi timur bangunan. Rehab terhadap dinding, lantai dan perubahan beberapa jendela dilakukan sekitar tahun 1981/1982.


Deskripsi Arkeologis :

Rumah Dinas Amir Enok ini  merupakan bangunan bertipe panggung yang  secara keseluruhan beratap seng  dan berbahan kayu. Sedangkan pada bagian pondasi bangunan menggunakan tonggak dari coran semen. Rumah berdenah segi empat dan berorientasi arah selatan (menghadap sungai Enok). Dahulunya sisi selatan ini terdapat pasar dan dermaga yang sekarang sudah tidak ada lagi akibat arus sungai Enok. Sedangkan pada bagian atap bangunan berbentuk limas segi empat. Pada sisi timur bangunan terdapat sebuah bak tertutup yang berfungsi sebagai tempat penampungan air yang masih asli. . Secara keseluruhan komponen bangunan yang  masih asli terdapat pada sebagian dinding dan jendela. Sedangkan perubahan-perubahan pada komponen bangunan antara lain sebahagian jendela dan pintu yang sudah diganti dengan jendela kaca/nako.


Aksesibilitas Cagar Budaya :

Untuk mencapai lokasi dari Tembilahan (Ibukota kabupaten) dapat ditempuh dengan kendaraan roda 2 dan speed boat. Dari Tembilahan dilakukan penyeberangan dengan menggunakan speed boat (15 menit), kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan roda 2 (ojek) yang menempuh jarak 29 km dengan waktu tempuh 1 jam (catatan: jalan yang ditempuh jalan desa yang belum dilakukan pengerasan).

 

Bangunan ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 04/BCB-TB/B/09/2013


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

Togak tonggol merupakan tradisi menegakkan tonggol kebesaran pebatinan dan suku pada masyarakat adat Petalangan di Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau yaitu wilayah yang berada di bawah naungan Datuk Rajo Bilang Bungsu. Tonggol terbuat dari kain persegi empat yang pada bagian bawahnya berjumbai-jumbai. Tonggol dimiliki oleh perangkat adat yaitu batin, penghulu, dan ketiapan (pembantu batin, induk suku). Masing-masing memiliki tonggol dengan warna-warna khas yang membedakan satu dengan lainnya. Hampir semua warna boleh dijadikan warna dasar tonggol, kecuali warna kuning yang merupakan warna kebesaran Sultan.

Pada tonggol-tonggol tersebut dapat dihias dengan warna-warna lain, seperti yang ada pada foto di atas. Warna-warna yang dipakai dalam tonggol antara lain warna-warna yang memiliki makna adat, yaitu: 1) Hitam yang melambangkan adat, 2) Putih yang melambangkan alim ulama (agama), 3) Kuning yang melambangkan raja, 4) Hijau melambangkan rakyat.

Tonggol diwariskan secara turun temurun dan menjadi alat kebesaran bagi pebatinan dan pesukuan. Setiap tonggol disimpan di rumah suku (rumah soko) karena setiap tonggol adalah milik suku. Sebagai alat kebesaran adat, tonggol juga bermakna marwah. Oleh karena itu, tradisi Togak Tonggol tidak hanya bermakna menegakkan alat kebesaran, tetapi juga menegakkan marwah.

Tegaknya tonggol juga menjadi penanda bahwa anak-kemenakan yang berada dalam lindungan datuk adat berada dalam hubungan yang harmonis dan tidak ada ketegangan. Hal ini disebabkan setiap tonggol tidak berada di tangan datuk adat, batin atau ketiapan, melainkan berada di rumah suku (pihak perempuan). Apabila hubungan antara datuk adat dan anak-kemenakan tidak harmonis akan sulit untuk mengeluarkan tonggol dari rumah soko. Seorang batin atau ketiapan yang tidak dapat menegakkan tonggolnya bermakna ia sebagai pemimpin suku tidak dapat melindungi anak-kemenakan dan bagi orang Petalangan sangat memalukan. Tonggol utama yang harus ditegakkan yaitu tonggol Datuk Rajo Bilang Bungsu, pemimpin seluruh pebatinan di wilayah Langgam. Apabila tonggolnya tidak dapat ditegakkan karena satu atau lain hal, maka tradisi Togak Tonggol tidak dapat dilaksanakan.

Sebagai alat kebesaran dan marwah, tonggol tidak dapat ditegakkan setiap saat dan harus ditegakkan dengan memenuhi syarat-syarat adat. Oleh karena itu, tradisi Togak Tonggol erat terkait dengan tegaknya marwah, karena di sinilah datuk adat (batin dan ketiapan) sebagai ninik-mamak memperlihatkan dukungan dan kebersamaan anak-kemenakan yang dinaunginya.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan upacara Togak Tonggol dinyatakan dalam dari pepatah adat berikut ini “apobilo kebesaran itu nak naik, balai talintang, agung totangkuik, kambing tabebek, silat tari dimainkan”, artinya ada tiga syarat utama Togak Tonggol yaitu:

Menyediakan balai atau tempat acara gondang ogung,  Menyediakan seekor kambing dan Pencak silat. Menurut kepercayaan setempat, apabila ketiga syarat tersebut tidak dipenuhi akan mengundang bencana. Namun, seiring perkembangan zaman, syarat tersebut dianggap berat sehingga tradisi ini pun mulai jarang dilaksanakan oleh masyarakat untuk keperluan pribadi.

Kini di wilayah naungan Datuk Rajo Bilang Bungsu, tradisi Togak Tonggol telah menjadi acara rutin tahunan yang didukung oleh pemerintah daerah. Waktu pelaksanannya menjelang bulan Ramadhan disejalankan dengan tradisi Balimau Potang Mogang. Pesertanya adalah pebatinan dan ketiapan yang berada di wilayahnya.

Tujuan tradisi Togak Tonggol menurut Datuk Rajo Bilang Bungsu adalah: 1) untuk menjalin silaturahmi antara batin dengan batin, ketiapan dengan ketiapan (pemuka adat Petalangan), beserta seluruh anak-kemenakan; 2) mempererat hubungan antara adat dengan pemerintah; 3) untuk memperlihatkan budaya dan adat di Kecamatan Langgam. Ketiga tujuan ini diterjemahkan di dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan Togak Tonggol.

Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tradisi Togak Tonggol Pelalawan menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001113.

 

 

Sumber 

(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/tradisi-togak-tonggol-pelalawan/ oleh  Sita Rohana (Peneliti Madya BPNB Kepri)

Tunjuk Ajar Melayu  identik dengan nama almarhum Tenas Effendy, budayawan ternama asal Riau. Tunjuk Ajar Melayu ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia tahun 2017. Tunjuk Ajar Melayu sarat dengan petuah hidup yang jadi panduan hidup Orang Melayu.

 

Tenas Effendy (9 November 1936 – 28 Februari 2015) merupakan seorang yang sangat ahli dan akrab dalam seni bahasa dan tradisi Melayu. Ia tunak mengumpulkan tafsir-tafsir empirik dan kitab-kitab otoritatif yang berserakan dengan kondisi kenyataan yang terus berubah. Ia mampu mengambil intisari dari tafsir-tafsir tersebut lalu kemudian dipadukan dengan kelaziman sastrawi. Ia seperti sosok pengembara peradaban yang mampu terus bercerita dalam merawat tradisi dan kebudayaan melayu melalu seni baca tulis.

 

Tunjuk Ajar Melayu berisi pernyataan yang bersifat khas, mengandung nilai nasihat dan petuah, amanah, petunjuk dan pengajar serta contoh teladan yang baik. Dapat mengarahkan manusia pada kehidupan yang benar dan baik serta dalam keridhaan Allah untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.

 

Tenas Effendy merumuskan dan mengemukakan :
yang disebut tunjuk ajar dari yang tua,
petunjuknya mengandung tuah
pengajarannya berisi marwah
petuah berisi berkah
amanahnya berisi hikmah
nasehatnya berisi manfaat
pesannya berisi iman
kajinya mengandung budi
contohnya pada yang senonoh
teladannya di jalan Tuhan
(hal. 10-11)

Tunjuk Ajar Melayu yang disusun oleh Tennas Effendy tersebut secara garis besar berisi 25 pemikiran utama yang disebut juga sebagai Pakaian Dua Puluh Lima. Dari ke 25 butir pemikiran utama tersebut, di setiap butirnya mengandung nilai konseling spiritual yang dapat digunakan untuk membimbing kondisi spiritual seseorang. Diantara sifat yang 25 itu adalah sifat tahu asal mula jadi, tahu berpegang pada Yang Satu, sifat tahu membalas budi, sifat hidup bertenggangan, mati berpegangan, sifat tahu kan bodoh diri, sifat tahu diri, sifat hidup memegang amanah, sifat benang arang, sifat tahan menentang matahari dan sebagainya.

 

Upaya penyebaran dan pewarisan tunjuk ajar Melayu yang dilakukan secara tradisional meliputi dua cara yakni melalui lisan-verbal dan suri-teladan. Melalui suri tauladan misalnya dengan langsung menunjukkan perbuatan, tindakan serta prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang mengacu pada nilai-nilai tunjuk ajar tersebut, sementara melalui pewarisan dilakukan dengan peristiwa lisan yang dilakukan sehari-hari, misalnya nasihat para oran tua kepada anaknyanya, dongeng seorang ibu kepada anaknya menjelang tidur, dendang syair dan cerita-cerita dongeng yang langsung keluar dari si tukang cerita. Bisa juga melalui upacara adat yang ada dalam tradisi kehidupan melayu.

 

Tunjuk Ajar Melayu secara metafor memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan masyarakat Melayu diantaranya adalah :
Sebagai pegangan
Sebagai azimat,
Sebagai pakaian
Sebagai rumah
Sebagai tulang
Sebagai jagaan
Sebagai amalan dan
Sebagai timang-timangan bagi diri.

Sementara bagi mereka yang melanggar nilai-nilai tunjuk ajar tersebut, dikatakan akan:
tidak jadi orang,
tidak selamat,
tidak terpuji
tidak bertuah
tidak terpandang
tidak sentosa
tidak terpilih
tidak diberkahi
tidak disayangi

Butir-butir yang terkandung dalam Tunjuk Ajar Melayu seringkali disandarkan pada pernyataan ‘kata orang tua-tua dulu’. Wawasan pengalaman yang didapati oleh orang-orang terdahulu melalui dua sumber yakni bacaan terhadap alam (melalui interaksi ekologis), serta bacaan terhadap kitab-kitab otoritatif.

 

Setelah Islam masuk ke dalam tradisi dan budaya melayu, tafsir-tafsir tersebut semakin kekal karena semakin membuat kebudayaan Melayu lebih bersinar. Al-Quran, Hadits, kitab-kitab para ulama dan aulia mengekalkan lagi isi setiap tafsir dari butir tunjuk ajar yang ada. Pada kondisi ini tak heran jika Tunjuk Ajar Melayu memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dijadikan sebagai rujukan dan patokan utama untuk kesadaran, moralitas, serta pembentukan jatidiri dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu tradisional. 

 

Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tunjuk Ajar Melayu menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda tersebut dengan Nomor Resgistrasi 201700473.

 

Tahun 1880, Negeri Makmur Kencana Bandar  Tebing Tinggi
dibawah kekuasaan JM Tengkoe Soelong Tjantik Saijet Alwi yang bergelar Temenggung Marhum Buntut. Ia bertanggungjawab langsung pada Sultan Siak. Saat inilah terjadi perselisihan dengan penguasa Belanda yang bernama Controleur Van Huis. Belanda mengubah nama Negeri Makmur Kencana Bandar Tebing Tinggi menjadi Selatpanjang.

Aksi ini ditolak oleh Tengkoe Soleong. Keduabelah pihak berdamai dan sepakatmengubah nama Negeri Makmur Kencana Tebingtinggi menjadi Negeri Makmur Bandar Tebingtinggi Selatpanjang tanggal 4 September 1899. Tengkoe Soelong sendiri wafat tahun 1908 dan makamnya ada di Jalan Teuku Umar,
Selatpanjang. 

Makam J.M. Tengkoe Soelong Tjantik Saijet Alwi  (Tengkoe Tumenggung Marhum Buntat) yang terletak di jl. Tengku umar ini mempunyai luas bangunan 4 x 3 m dan luas lahan 17,4 x 15,3 m. Mempunyai cungkup berwarna kuning. Pada  Makam J.M. Tengkoe Soelong Tjantik Saijet Alwi  (Tengkoe Tumenggung Marhum Buntat)  dilapisi dengan keramik berwarna putih serta pada nisan berwarna kuning dan terdapat kain berwarna kuning.

 


 



Makam ini  ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 04/BCB-TB/B/12/2010


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU