Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA INDRAGIRI HILIR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA INDRAGIRI HILIR. Tampilkan semua postingan
Cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan. Menurut UU no. 11 tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Ada Lima Kategori Cagar Budaya yaitu sebagai berikut :
Benda
Benda cagar budaya adalah benda alami atau buatan manusia, baik bergerak atau tidak, yang punya hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang. 
Bangunan
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding, tidak berdinding dan atau beratap. 
Struktur
Struktur Cagar Budaya adalah suatu susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. 
Situs
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. 
Kawasan
Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.


Kabupaten Indragiri Hilir  memiliki Banyak Cagar Budaya  , namun sayangnya Cagar Budaya tersebut tidak terawat dengan baik dan Cagar Budaya tersebut telah di tetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat , berikut kami rangkum Cagar Budaya yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir :
Deskripsi Historis
Berdasarkan keterangan Bapak Raja Satria rumah pesanggrahan Belanda ini dibangun setelah  Rumah Dinas  Amir Enok,  yakni tahun 1938. Dahulunya rumah ini digunakan sebagai rumah hunian bagi tamu-tamu (pejabat kolonial) yang datang ke Enok. Secara keseluruhan bangunan rumah masih dipertahankan keasliannya kecuali beberapa bagian pintu dan jendela. 

 


Deskripsi Arkeologis
Rumah ini berada di sisi barat  eks. Rumah Dinas  Amir Enok sekitar 10  m. Bangunan ini berdenah  persegi panjang dengan komponen utama bahan bangunan adalah kayu. Atap bangunan berbentuk limas terbuat dari seng. Bangunan berbentuk rumah panggung dengan umpak/sandi terbuat dari coran kerikil. Pintu masuk berada di sisi selatan terbuat dari kayu dengan  bentuk daun pintu bukaan dua  ini terdiri dari 3 ruangan, ruang utama berupa sebuah ruangan lepas, 1 buah kamar tidur, dan 1 buah dapur. Beberapa bagian kayu sudah agak lapuk, terutama di bagian dapur (lantai dan dinding). Sebagian atap juga telah rusak. Dinding bangunan terbuat dari kayu yang dipasang horisontal. Bangunan ini dari awal pembangunan hingga sekarang belum mengalami banyak perubahan.

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Fungsi awal sebagai  rumah hunian ba
Fgi tamu-tamu (pejabat  kolonial) yang datang ke Enok, kini difungsikan sebagai rumah hunian masyarakat.

Letak Astronomis
S 00° 30’ 27.8”E 103° 11’ 31.0”S (103,19225; -0,507944)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Untuk mencapai lokasi dari Tembilahan (Ibukota kabupaten) dapat ditempuh dengan kendaraan roda 2 dan speed boat. Dari Tembilahan dilakukan penyeberangan dengan menggunakan speed boat  (15 menit), kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan roda 2 (ojek) yang menempuh jarak 29 km dengan waktu tempuh 1 jam (catatan: jalan yang ditempuh jalan desa yang belum dilakukan pengerasan)


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 05/BCB-TB/B/09/2013 .



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Deskripsi Historis
Rumah ini dahulunya diperkirakan merupakan rumah salah seorang pejabat masa kolonial Belanda yang diperkirakan dibangun sekitar awal tahun 1900-an. Daerah Tembilahan dahulunya merupakan salah satu satu daerah strategis karena merupakan jalur perdagangan khususnya di pantai timur Pulau Sumatera. Salahsatu akses yang menunjang sektor perdagangan ini adalah terdapatnya Sungai Indragiri yang dapat dilayari oleh kapal-kapal besar.

Berdasarkan keterangan Sahlan (penghuni/penjaga rumah), sejak tahun 1970-an bangunan ini ditempati sebagai Rumah Dinas PU sampai tahun 1990-an.  Setelah itu sampai dengan sekarang bangunan ditempati oleh Badan Amil Zakat (BAZ) Tembilahan. Secara keseluruhan konstruktur dan bentuk bangunan masih asli. Perbaikan-perbaikan pada bangunan hanya berupa pergantian beberapa dinding dan lantai yang sudah keropos. Sedang tambahan pada bangunan hanya terdapat pada bagian depan rumah (teras). Berdasarkan temuan tinggalan pada bangunan, terdapat dua jenis yang memproduksi atap (genteng) bangunan yang  salah satunya diproduksi dan di import langsung dari Prancis. Pada salah satu genteng bertuliskan “Guichard Carvin & Cie. Marseille St. Andre France”. Kemungkinan inskripsi ini merupakan nama pabrik/perusahaan serta lokasinya. Sedangkan genteng lainnya bertuliskan “J.H. Morgan & Son, Mancalore”. Diperkirakan J.H. Morgan & Son merupakan pabrik/perusahan yang memproduksi bahan. 

 



Deskripsi Arkeologis
Rumah ini memiliki perpaduan arsitektur tradisional (Melayu) dan arsitektur kolonial. Gaya arsitektur tradisional terlihat pada penggunaan komponen bangunan yang terbuat dari kayu dan bentuk rumah berpanggung dengan sandi dari coran kerikil. Sementara arsitektur kolonial terlihat pada bentuk jendela yang tinggi, atap bangunan berbentuk limas yang terbuat dari genteng.


Bangunan ini terdiri dari 3 ruangan, yaitu 2 buah kamar tidur yang sekarang dipergunakan sebagai ruang kepala dan ruang staf, serta sebuah ruangan besar yang sekarang dipergunakan sebagai loby dan ruang rapat. Selain itu dibagian belakang terdapat terdapat kamar mandi dan dapur serta sebuah kamar yang dipergunakan sebagai tempat tinggal penjaga Bazda. Kamar mandi dan dapur merupakan hasil perehaban. Beberapa bagian rumah ini telah mengalami perubahan seperti terlihat pada lantai bangunan yang terbuat dari keramik , atap bangunan yang didanti dengan seng, sebelumnya terbuat dari genteng, dan penambahan teras pada  bagian depan. Pada sisi barat bangunan terdapat bangunan berupa bak tertutup yang difungsikan sebagai tempat penampungan atau penyimpanan air

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Dari awal  berdirinya bangunan, tempat ini digunakan sebagai  rumah hunian.


Letak Astronomis
103° 9' 34.800"E 0° 19' 31.900"S (103,159667 ; -0,325528)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Aksesibilitas situs sangat mudah karena berada di tengah-tengah pusat kota Tembilahan yaitu di Jalan M. Boya No. 40  dan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat.  Sekeliling bangunan merupakan rumah hunian/rumah dinas pemda/kantor dengan bentang lahan datar.


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 07/BCB-TB/B/09/2013



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Deskripsi Historis
Bangunan ini merupakan bangunan peninggalan masa kolonial Belanda yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1900-an. Berdasarkan bentuk bangunan, diperkirakan dari awalnya pembangunannya rumah difungsikan sebagai rumah hunian bagi pejabat-pejabat kolonial Belanda. Sekarang rumah ini digunakan sebagai Rumah Dinas bagi Dinas Kesehatan.  Pada awalnya diperkirakan rumah ini berbahan kayu, namun pada periode berikutnya rumah ini dilapisi dengan semen. Ini dapat dilihat pada beberapa bagian dinding bangunan yang sudah mengelupas. Selain itu perubahan-perubahan yang terdapat pada bangunan adalah lantai yang sudah dikeramik. Pada sisi timur bangunan terdapat tempat bak tertutup tempat penampungan atau penyimpanan air yang bangunannya masih asli.  


Deskripsi Arkeologis 

Rumah Dinas Kesehatan memperlihatkan arsitektur campuran, yaitu perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional. Arsitektur kolonial terlihat pada penggunaan material bangunan yang terbuat dari bata berspesi sementara arsitektur kolonial terlihat  pada bentuk rumah berpanggung. Sebagian bangunan telah mengalami perubahan seperti terlihat pada semua bentuk jendela dan pintu. Selain itu perubahan juga terlihat dari bentuk lantai yang telah berubah menjadi keramik putih. Denah bangunan berbentuk persegi panjang, sementara atap bangunan berbentu limas dan terbuat dari genteng. Bentuk dan ukuran genteng sama dengan bangunan kantor Bazda dan Mess Staf Lapas Tembilahan.

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Dari awal berdirinya bangunan, tempat ini digunakan sebagai rumah hunian/mess.

Letak Astronomis
103° 9' 34.800"E 0° 19' 29.500"S (103,159667 ; -0,324861)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Aksesibilitas situs sangat mudah karena berada di tengah-tengah pusat kota Tembilahan yaitu di Jalan M. Boya  dan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat.  Sekeliling bangunan merupakan rumah hunian/rumah dinas pemda/kantor dengan bentang lahan datar.


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 009/BCB-TB/B/09/2013



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Deskripsi Historis
Rumah  ini  merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda yang diperkirakan dibangun  sekitar tahun 1900-an. Berdasarkan bentuk bangunan, diperkirakan dari awalnya pembangunannya rumah difungsikan sebagai rumah hunian bagi pejabat-pejabat kolonial Belanda. Sejak tahun 2008 rumah ini digunakan sebagai
Rumah Dinas Kalapas dan selanjutnya dijadikan sebagai mess bagi staf Lapas (sipir)  Tembilahan. 


Deskripsi Arkeologis

Bangunan ini tepat berada di sisi utara  Rumah Pejabat Kolonial Tembilahan No. 40  (Rumah Dinas PU). Bangunan ini memperlihatkan perpaduan arsitektur tradisional dan kolonial. Bangunan tradisional terlihat dapat bentuk bangunan berpanggung dan komponen bangunan terbuat dari kayu. Sementara arsitektur kolonial terlihat pada bentuk atap limas yang terbuat dari genteng dan pada bagian atas atap terdapat lubang angin. Mess staf lapas ini berdenah persegi panjang dengan material komponen bangunan sebagian besar terbuat dari kayu. Bangunan ini sebagian besar masih asli, hanya pada bagian jendela dan pintu di bagian depan telah di ganti. Sebagian jendela juga terlihat asli, seperti jendela pada sisi utara di bagian depan, sisi selatan, dan sisi timur semua jendela masih asli. Bangunan ini menghadap ke arah jalan tepatnya ke arah timur dengan pintu masuk berada di arah timur. Pintu masuk ini terbuat dari kayu dengan bukaan satu. Pintu masuk ini merupakan hasil penggantian. Selain pintu, jendela yang berdampingan dengan pintu masuk ini juga merupakan hasil penggantian baru.

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Dari awal berdirinya bangunan, tempat ini digunakan sebagai rumah hunian/mess.

Letak Astronomis
103° 9' 35.100"E 0° 19' 32.100"S (103,15975 ; -0,325583)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Aksesibilitas situs sangat mudah karena berada di tengah-tengah pusat kota Tembilahan yaitu di Jalan M. Boya No. 41  dan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat.  Sekeliling bangunan merupakan rumah hunian/rumah dinas pemda/kantor dengan bentang lahan datar.


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 08/BCB-TB/B/09/2013



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Deskripsi Historis
Pendirian bangunan ini sezaman dengan pendirian Pesangrahan Belanda yakni tahun 1938. Dahulunya rumah ini juga difungsikan sebagai tempat tinggal (mess) bagi pegawai Keamiran Enok. Rumah ini juga pernah ditempati sebagai kantor bagi Balai  Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), dan sekarang ditempati oleh staf pegawai Kecamatan Enok. Secara keseluruhan bangunan ini  masih asli dinding dan lantai yang telah pernah diganti .

 
Deskripsi Arkeologis
Bangunan ini berada di sisi utara Rumah Dinas Amir Enok sekitar 50 m. Bangunan berbentuk semi  permanen dengan denah persegi. Bangunan ini terdiri dari dua buah rumah yang dijadikan satu atap. Dinding bagian bawah terbuat dari coran semen sedangkan dinding bagian ke atas terbuat dari kayu yang dipasang secara horisontal. Atap bangunan terbuat dari seng berbentuk atap limas. Bangunan ini terdiri dari 3 ruangan, yaitu 1 buah ruangan lepas, 1 buah dapur, dan 1 buah kamar tidur. Pintu masuk terdapa di sisi timur yang terbuat dari kayu, pintu masuk berbentuk bukaan satu. Pintu ini merupakan pintu baru. Jendela berjumlah 8 buah terbuat dari kaca dengan kunsen kayu. Pada bagian atas dinding terdapat ventilasi (lubang angin) benrentuk persegi panjang.

Fungsi awal dan fungsi sekarang
Fungsi awal sebagai tempat tinggal (mess) bagi pegawai Keamiran Enok
, kini difungsikan sebagai sekarang ditempati oleh staf pegawai Kecamatan Enok.

Letak Astronomis
103° 11' 33.100"E 0° 30' 24.200"S (103,192528 ; -0,506722)


Aksesibilitas Cagar Budaya
Untuk mencapai lokasi dari Tembilahan (Ibukota kabupaten) dapat ditempuh dengan kendaraan roda 2 dan speed boat. Dari Tembilahan dilakukan penyeberangan dengan menggunakan speed boat  (15 menit), kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan roda 2 (ojek) yang menempuh jarak 29 km dengan waktu tempuh 1 jam (catatan: jalan yang ditempuh jalan desa yang belum dilakukan pengerasan)


Rumah ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 06/BCB-TB/B/09/2013.



Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

 

Pada awalnya rumah ini merupakan rumah dinas bagi “Amir” di daerah Enok. Berdasarkan keterangan Raja Satria seorang tokoh masyarakat Enok, Amir yang memerintah pada masa itu bernama Thaib.

 



Kantor ini dibangun pada tahun 1936. Keberadaan Keamiran ini tidak terlepas dengan adanya tractaat Van Vrindchaap (perjanjian perdamaian dan persahabatan) tanggal 27 September 1938 antara Kerajaan Indragiri dengan Belanda, maka Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur. Berdasarkan ketentuan tersebut, di wilayah Indragiri Hilir ditempatkan seorang Controlleur yang membawahi 6 daerah keamiran, yaitu:
1.  Amir Tembilahan di Tembilahan.
2.  Amir Batang Tuaka di Sungai Luar.
3.  Amir Tempuling di Sungai Salak.
4.  Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah.
5.  Amir Enok di Enok.
6.  Amir Reteh di Kotabaru. 


Controlleur memegang wewenang semua jawatan, bahkan juga menjadi hakim di pengadilan wilayah ini sehingga Zelfbestuur Kerajaan Indragiri terus dipersempit sampai dengan masuknya Jepang tahun 1942.  Daerah ini pada masanya merupakan jalur pelayaran dan perdagangan yang sangat strategis.  Dari dahulu sampai dengan sekarang daerah ini adalah salah satu daerah penghasil kopra di daerah Kabupaten Indragiri Hilir. 


Setelah Indonesia Merdeka, kantor ini pernah difungsikan sebagai kantor Camat Enok dan sekitar tahun 2000-an digunakan oleh Unit Layanan Perpustakaan Kecamatan Enok. Secara struktur bangunan yang masih asli adalah atap (seng), sebagian jendela, dan bak penampungan air yang terdapat di sisi timur bangunan. Rehab terhadap dinding, lantai dan perubahan beberapa jendela dilakukan sekitar tahun 1981/1982.


Deskripsi Arkeologis :

Rumah Dinas Amir Enok ini  merupakan bangunan bertipe panggung yang  secara keseluruhan beratap seng  dan berbahan kayu. Sedangkan pada bagian pondasi bangunan menggunakan tonggak dari coran semen. Rumah berdenah segi empat dan berorientasi arah selatan (menghadap sungai Enok). Dahulunya sisi selatan ini terdapat pasar dan dermaga yang sekarang sudah tidak ada lagi akibat arus sungai Enok. Sedangkan pada bagian atap bangunan berbentuk limas segi empat. Pada sisi timur bangunan terdapat sebuah bak tertutup yang berfungsi sebagai tempat penampungan air yang masih asli. . Secara keseluruhan komponen bangunan yang  masih asli terdapat pada sebagian dinding dan jendela. Sedangkan perubahan-perubahan pada komponen bangunan antara lain sebahagian jendela dan pintu yang sudah diganti dengan jendela kaca/nako.


Aksesibilitas Cagar Budaya :

Untuk mencapai lokasi dari Tembilahan (Ibukota kabupaten) dapat ditempuh dengan kendaraan roda 2 dan speed boat. Dari Tembilahan dilakukan penyeberangan dengan menggunakan speed boat (15 menit), kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan roda 2 (ojek) yang menempuh jarak 29 km dengan waktu tempuh 1 jam (catatan: jalan yang ditempuh jalan desa yang belum dilakukan pengerasan).

 

Bangunan ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 04/BCB-TB/B/09/2013


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

Syeikh Abdurrahman Shiddiq Bin Syekh M. Afif Al Banjari (1857- 1939) atau lebih dikenal dengan sebutan “Tuan Guru Sapat” adalah salah seorang ulama kharismatik dari Kerajaan Indragiri di masa lalu (awal abad XX M). Tuan Guru Sapat berasal dari daerah Banjar (Kalimantan) dan mempunyai hubungan genetis dengan ulama terkenal Banjar, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812). Semasa hidupnya, Tuan Guru Sapat memerankan dirinya sebagai seorang ulama yang menjadi ikon penting dalam proses penyebaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam, khususnya di daerah Indragiri Hilir. Tuan Guru Sapat adalah seorang ulama yang menggabungkan beberapa kemampuan
sekaligus, mulai dari seorang pendakwah, pengajar, mufti, penulis, sampai sebagai seorang petani kebun yang berhasil. Oleh karena kiprah dan peranannya yang besar tersebut, tidak aneh jika riwayat hidup dan pemikiran Tuan Guru Sapat sudah sering menjadi objek penulisan, baik dalam bentuk penelitian akademis, mulai dari tingkat skripsi (S1) sampai disertasi (S3), maupun penulisan populer.


Abdurrahman dilahirkan oleh Safura binti Syekh Muhammad Arsad pada tahun 1875 di Kampung Kecil (Dalam Pagar) Martapura, Kalimantan Selatan. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman Yang memerintah di Kerajaan Banjar sejak tahun 1825-1857 M. Syekh Abdurrahman Siddiq adalah penerus generasi ke-5 dari Al- Arif Billah Maulana Syekh H. Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari yang kakeknya merupakan cucu dari seorang mubaligh yang datang dari Magribi ke Filipina yang mendirikan kerajaan Islam di Mindano yang bernama Sayyid Abdullah.


Pada usia satu tahun, ibundanya tiada dan Abdurrahman diasuh oleh Siti Saidah dan Ummi Salamah yang merupakan bibinya. Pada usia sembilan tahun Sang Syekh mulai menguasai ilmu-ilmu dasar: ilmu saraf, ilmu nahu (ilmu alat), bahkan ilmu kalam dan ilmu lainnya dengan berguru kepada Zainuddin, berasal dari hulu sungai selatan (Kandangan) yang saat itu mengajar di pondok pesantren di Kampung Dalam Pagar. Beranjak remaja, sekitar tahun 1297 H, Sang Mufti terus mempelajari pondasi keilmuan agama: ilmu syariah (fiqih), ilmu aqidah (tauhid), ilmu akhlak (tasawuf) dan ilmu hadis. Bidang keilmuan ini beliau tuntun pada Al-Amin Al-Allahamah Syekh H. Hasyim dan Al-Alim Al-Allamah Syekh Muhammad Said Wali.



Setelah berguru, tahun 1302 H beliau terjun dan berdakwah dalam menyiarkan Islam di berbagai wilayah Kalimantan. Pada tahun 1303 H disela menyebarkan agama, beliau bertukang emas permata. Dari kepandaiannya tersebut itu, di tahun 1305 H Syekh Abdurrahman berdagang permatan dan berlayar hingga kepulau Sumatera, Padang Panjang, Pulau Bangka juga Palembang.

Pada tahun 1310 H, dari Sumatera beliau menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji serta menuntut ilmu agama. Selama di Mekah beliau berguru kepada Masyaaih yang mengajar di Masjidil Haram dan sekitar Makah pada waktu itu, antara lain: Sayyid Bakri Syatta, Al-Alimul Fadhil Syekh Ahmad Dimyathi, Al- Alimul Fadhil Syekh M. Babashil Mufti Syafii, Al-Alimul Fadhil Syekh Umar Sambas, dan banyak guru lainnya yang membuat beliau mendapat syahada dari berbagai ilmu. Adapun semasa menuntut ilmu beliau berkawan dengan sejumlah sahabat dari Indonesia dan Malaysia: Syekh Jamil Jambek (Minangkabau), Syekh Ahmad Khatib (Minangkabau), Syekh Muhammad Sayuti (Singkang), Syekh Muktar (Bogor), dll. Karena kecerdasannya beliau dinobatkan untuk mengajar di Masjid Al-Haram Mekah.

Pada tahun 1310h hasrat besar untuk memulai berjuang di jalan agama membuatnya hijrah ke Pulau Jawa dan Sumatera, sampailah di kampung Mentok, Pulau Bangka, di mana sang ayah telah lama menetap lebih awal di ulau tersebut. Di Bangka, selain berdakwah ia pun berkebun cengkeh, karet, dan kelapa. Bahkan di sela waktunya ia sempatkan untuk menulis kitab-kitab. Delapan Belas tahun di Bangka Belitung beliau berpindah ke Pulau Mas Sapat sekitar tagun 1320 H. Selain berjuang dalam hal agama, beliau juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1327 H, Sultan Mahmusyah melantik SyekhAbdurrahman Siddiq sebagai mufti kerajaan Indragiri.

Makam Syeikh Abdurrahman Siddiq atau Makam Tuan Guru Sapat berada di Jalan Syech H.A. Rahman Sidik Dusun Hidayat Sepat Desa Teluk Dalam Kecamatan Kuala Indragiri Kabbupaten Indragiri Hilir terdiri , makam ini terdiri dari sebuah jirat dengan dua buah batu nisan yang terletak di bagian kaki dan kepala jirat.  Jirat makam Syekh Abdurrahman Shiddiq berbentuk persegi panjang bertingkat tiga dengan ukuran tingkat paling bawah panjang 2 m dan lebar 1,7 dan setiap tingkatnya berjarak 0,25 m. Tinggi dari lantai dasar ke jirat paling tinggi sekitar 1,15 m. Jirat initerbuat dari bata berlepa yang dilapisi dengan keramik berwana putih.

Jirat ini merupakan bangunan baru yang dibuat kemudian bersamaan dengan pembangunan cungkup makam pada tahun 2004. Pada sekeliling jirat diberi pagar berbentuk jeruji besi yang ditutup dengan tirai.Sementara itu, nisan makam Syeikh Abdurrahman Shiddiq berbentuk balok dengan kepala nisan berbentuk kubah atau kuncup bunga. Nisan ini terbuat dari batu berukuran tinggi 50 cm. Nisan pada kepala jirat terdapat inskripsi yang diukir pada lempengan batu marmer yang ditempel pada bagian badan nisan. Inskripsi tersebut memuat identitas orang yang dimakamkan (Syeikh Abdurrahman Siddiq) beserta waktu wafatnya (4 Sya’ban 1358 H). Adapun bangunan cungkup makam berdenah segi delapan (oktagonal) yang masing-masing sisinya berukuran panjang 3 m. Bangunan ini terbuat dari bata berlepa dengan atap berbentuk tumpang tiga yang terbuat dari seng.

Makam ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 01/BCB-TB/B/09/2007.


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU