Ada sebuah Cerita Unik yang dituturkan secara Turun Temurun di Lipat Kain Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar,
Cerita Unik ini mengenai Kisah Datuak Godang atau Datuak Kombuak Sang Pendiri Negeri Lipat Kain, dikisahkan bahwa Datuok (Datuk) memiliki dua kendi dan saat ini Kendi tersebut tersisa satu yang keberadaanya berada di Halaman Rumah Keluarga Datuk Kombuok di sekitar Koto Desa Lipat Kain Selata.
Datuok Kombuok merupakan orang yang pertama datang ke Lipat Kain, perawakannya tinggi besar dan tegap. Datuok Kombuok mendiami Lipat Kain dengan menebang hutan lalu mendirikan
permukiman.
Datuak Kombuok memiliki dua kendi besar atau warga Lipat Kain menyebut dengan Takagh Godang , dulunya Kendi Besar ini digunakan untuk mengangkut
air dari sungai ke desa untuk menyirami lahan ataupun memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Kesuburan dan keindahan Desa Lipat Kain tersiar ke daerah lainnya sehingga warga dari kampung lain berdatangan dan
pindah ke Lipat Kain.
Datuok menutup usia dan kendi besar milik Datuok merasa sedih dengan berpulangnya Datuok dan kendi tersebut menghilang, dan warga disibukkan dengan mencari kendi tersebut , pada suatu hari dua kendi tersebut muncul muncul dari sungai dan
Kendi tersebut bergerak sendiri dan mengejar orang-orang di desa, kemudian warga berkumpul dan sepakat untuk menghancurkan kendi
kalau kembali menyerang. Satu kendi akhirnya berhasil dipecahkan
bibirnya sehingga tak bergerak lagi sedangkan kendi yang lain tidak berhasil ditangkap dan kembali ke sungai lagi.
Kendi kembali ke sungai hingga kini masih dicari masyarakat dan diyakini bahwa kendi tersebut berisi emas peninggalan
Datuok Kombuok dan nilainya disebut bisa menghidupi orang satu desa.
Kendi yang berhasil ditangkap dan bibirnya pecah tersebut, saat ini masih bisa dilihat dan Kendi tersebut menjadi ikon Desa Lipat Kain Selatan dan Kendi ini menimbulkan ketakjuban masyarakat sekitar dimana wadahnya tidak pernah dipenuhi air ketika hujan
deras turun meski posisinya di tempat terbuka dan saat kemarau kendi ini selalu dipenuhi air.
Perjalanan panjang Pekanbaru ke Rupat membuat kami cukup kelelahan, setiba di Penginapan kami melepas lelah dengan beristirahat. Baru saja akan beristirahat muncullah sosok yang antusias dan semangat, seraya ia berkata ayo kita akan Berangkat ke Makam Putri Sembilan dan ia juga berkata yang ke makam tidak boleh menggunakan Celana Pendek. Ternyata sosok tersebut merupakan Bapak Eduar Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bengkalis,
Timbul pertanyaan bagi kami, Makam Putri Sembilan ? Pasti makamnya ada 9 dan yang dimakamkan pasti putri yang cantik ? Putri Sembilan merupakan cerita yang melegenda di Nusantara, di beberapa daerah menceritakan putri sembilan merupakan Putri bungsu yang cantik bila dibandingkan 8 (delapan) saudaranya yang lain.
Di Rupat juga terdapat kisah Putri Sembilan, dan tidak hanya menjadi kisah turun temurun ataupun legenda pengantar tidur. Makam Putri Sembilan dapat kita temui di Desa Kadur. Di makam tersebut terdapat makam kedua orang tua Putri Sembilan serta makam kakek dan neneknya.
Kelayang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten
Indragiri Hulu, Riau, Indonesia. Dulu, Kelayang adalah nama sebuah desa
yang dikenal dengan Keloyang, sedangkan Keloyang berasal dari Kolam
Loyang.
Pada suatu masa,
Kerajaan Indragiri mengalami zaman keemasannya. Ibukota kerajaan yang
menjadi pusat pemerintahan berada di Japura. Semula Japura bernama
Rajapura. Rakyat Indragiri hidup dengan sejahtera, tenteram, dan damai.
Para datuk memimpin dengan baik dan menjadi teladan bagi seluruh
penduduk negeri.
Suatu hari, salah seorang datuk yang bernama
Datuk Sakti, pergi menghiliri Sungai Indragiri. Saat itu Sungai
Indragiri masih bernama Sungai Keruh. Datuk Sakti ingin melihat
kehidupan rakyatnya yang hidup di sepanjang sungai tersebut.
Lancang Kuning Merupakan perlambang atau Tanda akan kegemilangan Riau
dan Lancang Kuning juga menjadi simbol Provinsi Riau. Daerah Riau
(rumpun melayu Riau)
memiliki ribuan pulau yang bertebaran dari lautan cina selatan sampai ke
Selat
Melaka. Alat perhubungan yang utama adalah perahu layar. Karenanya di
daerah
ini terdapat berpuluh macam jenis perahu, yang telah dikenal sejak
berabad-abad
yang silam. Untuk pelayaran jauh dipergunakan perahu layar yang besar,
sedangkan untuk pelayaran dekat dipakai perahu berukuran sedang dan
kecil.
Perahu besar disebut : Kici, Pinisi, Tongkang, Kotak dan sebagainya.
Perahu
berukuran sedang di sebut : Nadi, Kolek, Keteman, Jung dan sebagainya.
Perahu
berukuran kecil dinamakan : Jalur, Sampan Kampar, Sampan Siak, Biduk,
dan
sebagainya. Disamping itu ada pula perahu yang khusus dipergunakan untuk
berperang. Yang paling terkenal adalah : Lancang dan Penjajab. Lancang
dipergunakan pula untuk kenaikan para Raja dan merupakan Kapal Komando
dalam
angkatan laut kerajaan. Lancang yang menjadi kenaikan raja dan menjadi
Kapal
Komando itu disebut LANCANG KUNING. Lancang Kuning adalah sebagai
lambang
kebesaran, kejayaan, kekuasaan, dan kepahlawanan. Karenanya Lancang
Kuning
diabadikan dalam nyanyian rakyat, dijadikan salah satu unsur utama dalam
upacara pengobatan tradisional (Belia dan Ancak), dan dituangkan dalam
cerita-cerita rakyat serta dalam tarian rakyat.
ASAL -USUL
Belum diketahui sejak kapan
Lancang ini bermula dan dipergunakan di daerah Riau ini. Demikian pula penciptanya.
Namun demikian, Lancang umumnya dan Lancang Kuning khususnya sudah disebut
dalam nyanyian rakyat (Lagu : Lancang Kuning), disebut dalam cerita rakyat (
Kisah : Lancang Kuning di Bukit Batu, si Lancang di Kampar Kiri, Batang Tuaka
di Indragiri Hilir, Pulau Dedap di Kabupaten Bengkalis). Ditarikan dalam tarian
rentak Zapin ( Tari Zapin : Lancang Kuning), dijadikan upacara pengobatan
tradisional (upacara : Belian dan Ancak) dan sebagainya, maka kita cenderung
berpendapat bahwa Lancang Kuning ini telah demikian berakarnya dalam kehidupan
rakyat daerah ini sejak beratus-ratus tahun yang silam. Dugaan ini dikuatkan
lagi dengan disebut-sebutnya Lancang sebagai kendaraan penting dalam
kisah-kisah kerajaan Riau Bintan, Kerajaan Pekantua, Kerajaan Siak Sri Indrapura,
Kerajaan Rokan, Kerajaan Pelalawan, Kerajaan Keritang, Kerajaan Kandis, dan
Kerajaan Indragiri, dan lainnya. Oleh sebab itu, negeri Riau disebut pula
sebagai Bumi Melayu LancangKuning. Bentuknya Lancang umumnya berbentuk panjang,
rendah dan ramping. Tiangnya dia buah yang disebut Tiang Agung dan Tiang
Cantel. Pada bagian buritan terdapat rumah-rumahan yang disebut Magun.
Young Dolah atau
yang nama aslinya adalah Abullah Bin Endong merupakan seniman berasal
dari Bengkalis, cerita yang didapatinya bersal dari pengalaman pribadinya yang penuh khayalan, lelucon dan kekonyolan.
Sosok Yong Dolah selalu pembual yang suka bercerita, tapi yang
diceritakan adalah kosong belaka. kisah-kisah yong dolah ini sudah
jarang ditemui, karena kurang publikasi dari penerus ke penerus,
sehingga cerita - cerita Yong Dolah ini hilang satu - persatu.
Dalam
ia bercerita Young Dolah sangat pandai berekspresi dan sangat hiperbola
sehingga yang mendengar ceritanya bisa membuat kita tertawa
terbahak-bahak dengan cerita yang dibawakannya. Yong Dolah bercerita
tidak mengenal batas waktu bahkan tidak menggunakan bahan literatur
atau referansi, sehingga ceritanya mengalir begitu saja seperti air
tanpa putus, yang pastinya lucu sesuai dengan kepiawaian beliau.
Legenda
Bengkalis ini seakan hilang begitu saja padahal beliau sangat berarti
bagi orang Bengkalis, kisah - kisah beliau yang lucu hilang begitu saja,
ini di akibatkan kurangnya publikasi dari generasi - kegenerasi
sehingga nama beliau tidak harum sebagai budayawan dan sekaligus seniman
Bengkali.
Beberapa Kisah Yong Dolah
Yong Dolah sang Abu Nawas Melayu
Yong Dolah Naik Haji
Perjalanan yong Dolah ke Negri Ngotjoleria
Yong Dolah - Memanjat Patung Liberty
Yong Dolah - Jadi Kapten Kapal Pesiar
Yong Dolah - Orang Riau Ikut Perang Teluk
Linggis dan Tangga Yong Dollah
Umpan Daun Yong Dolah
Yong Dolah Dan Piala Dunia
Yong Dolah Jadi Kapten Kapal Pesiar
Masih
banyak lagi kiasah - kisah sang lagenda Yong Dolah ini, tetapi sayangnya sudah ditemukan lagi, sayang sekali apa bila kisah - kisah Yong
Dolah ini hilang begitu saja, dan masih banyak tokoh - tokoh seperti
beliau yaitu lebai malang , pak pandir dan lain - lain.
Sumber : Dari berbagai Sumber
Peranap adalah salah satu kecamatan di Indragiri Hulu, Riau, Indonesia. Kecamatan ini juga terkenal dengan sebutan Luhak Tiga Lorong. Disebut demikian, karena pada masa kerajaan Indragiri yang berkedudukan di Pekan Tua, Raja Indragiri yang ke-16, Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah (1735-1765 M.), mengangkat tiga orang bersaudara menjadi Penghulu di tiga wilayah di Indragiri Hulu. Ketiga orang bersaudara tersebut diangkat menjadi Penghulu, karena mereka berhasil menumpas kesewenang-wenangan Datuk Dobalang yang berkuasa di negeri Sibuai Tinggi yang masih wilayah Kerajaan Indragiri. Untuk mengetahui kisah bagaimana Tiga Bersaudara tersebut mengalahkan Datuk Dobalang, ikuti kisahnya dalam Penghulu Tiga Lorong. Pada zaman dahulu, ketika ibukota Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah perkasa dan menguasai ilmu bela diri. Mereka mahir menggunakan senjata, lincah mengelak serangan lawan, gesit menyerang, dan cerdik pula berkelit. Mereka hidup rukun dan saling membantu dalam segala hal di suatu tempat bernama Batu Jangko. Pada suatu hari, mereka pergi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya subur, airnya jernih, ikannya jinak, dan udaranya segar. Dari satu tempat ke tempat lain, Tiga Bersaudara ini akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan untuk menetap di tempat tersebut. Sementara itu, di istana, Raja Indragiri sangat resah, karena Datuk Dobalang yang berkuasa di Negeri Sibuai Tinggi bertindak semena-mena. Dia suka berjudi, menyabung ayam, bermabuk-mabukan, dan memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Raja Indragiri sudah muak dengan tingkah laku Datuk Dobalang. Sang Raja kemudian memerintahkan Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri untuk memanggil Tiga Bersaudara yang dikabarkan berada di Koto Siambul. Sang Raja sudah mengetahui tentang kehebatan Tiga Bersaudara tersebut. Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga akhirnya tiba di Koto Siambul dan bertemu dengan Tiga Bersaudara yatiu Tiala, Sabila, Jati, dan Jo Mahkota. “Wahai anak muda, Baginda Raja meminta kalian menghadap ke istana di Pekan Tua,” sapa sang Duli kepada Tiga Bersaudara. Karena permintaan Raja, mereka tidak bisa menolak. Mereka pun berangkat ke istana menghadap sang Raja. Sesampai di hadapan Raja, mereka pun memberi hormat, “Ampun, Baginda! Apa gerangan Baginda Raja memanggil kami,” tanya ketiga bersaudara serentak. Sang Raja menjawab, “Begini saudara-saudara, kami bermaksud meminta bantuan kalian untuk menaklukkan Datuk Dobalang yang telah bertindak semena-mena di Negeri Sibuai Tinggi.” Mendengar jawaban sang Raja, mereka pun menyanggupi permintaan sang Raja. Sebagai bekal, masing-masing mengajukan perlengkapan yang diperlukan. Tiala meminta seekor ayam sabung betina dan dua buah keris bersarung emas buatan Majapahit. Sabila Jati meminta pedang Jawi yang hulunya bertatahkan intan dengan tulisan “Muhammad”. Jo Mahkota meminta lembing dengan sarung emas dan suasa. Setelah Raja memenuhi semua perlengkapan yang diminta, berangkatlah ketiga bersaudara tersebut ke Sibuai Tinggi dengan sebuah perahu yang dikayuh oleh 12 orang. Setiba di Sibuai Tinggi, mereka langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan ditantang untuk bersabung ayam. Ketiga bersaudara pun bertanya kepada Datuk Dobalang, “Maaf, Datuk! Apa pantang larangnya? Datuk Dobalang menjawab, “Ada empat pantang larang yang harus dipatuhi dalam pertandingan, yaitu:, dilarang bersorak dan bertepuk tangan. Kedua, dilarang memekik dan menghentak tanah. Ketiga, dilarang menyingsingkan lengan baju. Keempat, dilarang memutar keris ke depan. “Siapa yang melanggar peraturan tersebut dianggap kalah,” tegas Datuk Dobalang dengan pongahnya. Kemudian ketiga bersaudara bertanya lagi, “Berapa taruhannya Datuk?” Datuk Dobalang menjawab, “Tanah Inuman di kiri Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya sejauh mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi.” Mendengar begitu luasnya tanah yang dipertaruhkan Datuk Dobalang, ketiga bersaudara diam sejenak. Mereka berpikir bagaimana cara mengimbangi besarnya taruhan yang ditetapkan oleh Datuk Dobalang. Karena kecerdikan mereka, dengan percaya diri mereka pun berujar serentak, “Kami memberikan taruhan tanah Koto Siambul di kiri Sungai Indragiri, lebar dan panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi,” Sesungguhnya mereka tidak mempertaruhkan apa-apa, sebab Koto Siambul tidak dapat dilihat dari Sibuai Tinggi. Namun, Datuk Dobalang menerima taruhan itu tanpa menyadari kebodohannya. Setelah kedua belah pihak menetapkan taruhan, saatnya menentukan hari pelaksanaan pertandingan sabung ayam. “Hai anak muda, kapan kita laksanakan pertandingan itu,” tanya Datuk Dobalang. “Terserah tuanku,” jawab ketiga bersaudara serentak. “Kalau begitu, kita laksanakan tiga hari lagi, sebab kami harus mengumpulkan para penduduk di gelanggang,” ujar Datuk Dobalang. Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Pada hari ketiga, pertandingan Sabung ayam itu pun segera dilaksanakan. Semua penduduk berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikan pertarungan itu. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, suasana gelanggang menjadi hening. Datuk Dubalang melepas ayam jagonya, sedangkan tiga bersaudara melepas ayam betinanya. Beradulah kedua ayam tersebut dengan seru. Baru beberapa saat pertandingan berlangsung, tiba-tiba ayam betina Tiga Bersaudara terkena kelepau (serangan) hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang sangat gembira hingga bersorak, bahkan memekik dan menghentak tanah. Tanpa ia sadari, semua aturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri. Berkali-kali Tiga Bersaudara mengingatkan Datuk Dobalang bahwa dia telah melanggar peraturan, dan siapa pun yang melanggar peraturan harus dianggap kalah. Namun, Datuk Dobalang tidak peduli. Kesabaran itu ada batasnya. Tiga bersaudara tidak tahan lagi melihat tingkah si Datuk angkuh itu, sehingga kesabaran mereka pun habis. Sambil bersiap mengantisipasi serangan Dato Dobalang, mereka melantunkan sebuah gurindam: Penat mau bergalah coba-coba mengalas Penat hendak mengalah dicoba membalas” Ternyata benar. Baru saja gurindam itu lepas dari mulut Tiga Bersaudara, tiba-tiba Datu Dobalang menyerang mereka dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan mudah mereka mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Serang-menyerang berlangsung dengan seru. Pekikan dan bentakan bersahut-sahutan. Berkali-kali Datuk Dobalang mengayunkan kerisnya ke arah Tiga Bersaudara, berkali-kali pula Datuk Dobalang memekik geram karena serangannya dapat dielakkan oleh Tiga Bersaudara. Suasana di gelanggan semakin gaduh. Penduduk yang ada digelanggan itu hanya terperangah menyaksikan sengitnya perkelahian antara Datuk Dobalang dengan Tiga Bersaudara. Mereka menyaksikan sendiri Tiga Bersaudara berkali-kali berkelit mengelakkan tikaman Datuk Dobalang. Melihat serangannya selalu dipatahkan oleh Tiga Bersaudara, dengan menggeram macam singa lapar, Datuk Dobalang menyerang Tiga Bersaudara. Karena ia dalam keadaan emosi, ia tidak dapat mengendalikan serangannya dengan baik, sehingga tampak serangannya membabi buta. Tentu saja kelengahan itu tidak disia-siakan oleh Tiga Bersaudara. Dengan secepat kilat, Ketiga Bersaudara tersebut mengeluarkan senjata masing-masing yang mereka minta dari Raja Indragiri. Akhirnya, pusaka-pusaka sakti tersebut membuat Datu Dobalang tewas jatuh tersungkur ke tanah. Penduduk yang hadir di gelanggang itu segera mengerumuni mayat yang tergeletak itu. Mereka ingin memastikan apakah Datuk Dobalang benar-benar sudah mati. Dari kerumanan itu, sesekali terdengar decak kagum atau geleng kepala takjub akan keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan orang yang paling ditakuti di Negeri Sibuai Tinggi. Penduduk Sibuai Tinggi bergembira ria, sebab mereka sudah bisa mencari nafkah sehari-hari tanpa dihantui rasa takut. Selanjutnya, Tiga Bersaudara memasukkan jasad Datuk Dobalang ke dalam peti dan segera membawanya ke hadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan Datuk Dobalang. Atas jasa-jasanya itu, sang Raja meminta kepada Tiga Bersaudara menyebutkan hadiah yang mereka inginkan. “Wahai pahlawanku, hadiah apa yang kalian inginkan?” seru sang Raja menawarkan. Tiga bersaudara tidak mengharapkan uang, emas, ataupun harta benda yang lain. “Kami hanya meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan seumur hidup,” kata Tiala mewakili saudara-saudaranya. Sang Raja tidak mengerti apa maksud perkataan Tiala itu. Sang Raja pun mengumpulkan para menteri dan orang-orang tua yang bijak untuk mengadakan rapat tentang permintaan Tiga Bersaudara tersebut. Selama delapan hari mereka berpikir keras untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh Tiga Bersaudara tersebut. Atas petunjuk Tuhan, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa yang diinginkan Tiga Bersaudara adalah pangkat. Ketiga Bersaudara tersebut kemudian diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong. Tiala diangkat menjadi Lelo Diraja, Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri dengan bendera berwarna putih. Sabila Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghulu Pematang lawan Batanghari, dengan bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota diangkat menjadi Penghulu Baturijal Hulu dengan anugerah dua bendera, yaitu bendera merah dari Raja Indragiri dan bendera hitam dari Raja Kuantan. Atas anugerah pangkat yang mereka terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah, Tiada boleh akal buruk, Budi merangkak,Menggunting dalam lipatan,Memakan darah di dalam,Makan sumpah 1000 siang 1000 malam.Ke atas dak bapucuk,Ke bawah dak baurat,Dikutuk kitab Al-Qur‘an 30 juz. Tiga Bersaudara selanjutnya menerima hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya sejuk, airnya jernih, rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun wilayah Tiga Lorong sehingga hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan bangunannya tertata rapi, perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang pesat. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai, serta menjalankan syariat agama dengan taat. Sejak peristiwa di atas, ketiga orang bersaudara tersebut berusaha memajukan rakyat Tiga Lorong (sekarang dikenal Kecamatan Peranap). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Isjoni Ishak dan Mira Dewi Minrasih, ada beberapa usaha yang telah mereka lakukan dalam memajukan masyarakat Baturijal khususnya, dan Tiga Lorong umumnya, antara lain: Menyatukan rakyat yang bermacam-macam suku bangsa melalui pendekatan social Meningkatkan perekonomian rakyat melalui bidang pertanian, perkebunan dan perikanan. Menanamkan sifat solidaritas kepada masyarakat Tiga Lorong. Dalam hal ini, mereka tidak mau ikut campur dalam pelaksanaan adat-istiadat masyarakat yang berlainan tersebut. Menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam yang berpedoman kepada Alquran bagi masyarakat Tiga Lorong. Usaha-usaha yang telah mereka lakukan tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat desa Tiga Lorong. Hal ini terbukti dengan meningkatnya ekonomi masyarakat. Selain itu, masyarakat Tiga Lorong sangat taat terhadap ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah. Cerita Penghulu Tiga Lorong ini kiranya dapat dijadikan sebagai suri tauladan untuk menciptakan negara yang damai, sejahtera dan makmur. Penguasa yang zalim terhadap rakyat harus dilenyapkan dari muka bumi. Disadur dari Cerita Rakyat Indragiri Hulu : Mahligai keloyang dan Cerita lainnya : Elmustian Rahman, Drs. Fakhri,
Unri Press
-->
Bengkalis merupakan Kabupaten dengan julukan Negeri Junjungan. Asal mula terbentuknya nama Bengkalis berawal dari kedatangan Tuan Bujang alias Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah beserta pembantu dan pengikutnya pada tahun 1722 di kepulauan Bengkalis. Diambil dari kata “Mengkal” yang berarti sedih atau sebak dan “Kalis” yang berarti tabah, sabar dan tahan ujian. Raja Kecil mengungkapkan kepada pembantu dan pengikutnya “Mengkal rasanya hati ini karena tidak diakui sebagai Sultan yang memerintah negeri, namun tidak mengapalah, kita masih kalis dalam menerima keadaan ini” ketika ingin merebut tahta kerajaan Johor. Sehingga menjadi buah bicara penduduk bahwa baginda sedang Mengkal tapi masih Kalis, akhirnya ucapan itu menjadi perkataan “oh baginda sedang Mengkalis”. Dari kisah ini timbullah perkataan Mengkalis dan lama kelamaan perkataan ini berubah menjadi “Bengkalis”
Namun melaui musyawarah beliau dengan Datuk Laksamana Bukit Batu, Datuk Pesisir, Datuk Tanah Datar, Datuk Lima Puluh dan Datuk Kampar dan para Batin, di sepakati bahwa pusat kerajaan didirikan di dekat Sabak Aur yakni di sungai Buantan salah satu anak Sungai Siak, pusat kerajaan itu didirikan pada tahun 1723. Kerajaan inilah kemudian berkembang menjadi kerajaan Siak Sri Indra Pura, yang pernah menguasai kawasan yang luas di pesisir pantai Sumatra bagian utara dan tengah sampai ke perbatasan Aceh.
Catatan sejarah menunjukkan, bahwa Bengkalis pernah menjadi basis awal kerajaan Siak. Di Bengkalislah wawasan mendirikan kerajaan Siak di mufakati. Dan di Bengkalis pula bantuan moral dari rakyat di padukan ketika beliau keluar dari Bintan. Sejarah juga mencatat, setelah belanda semakin berkuasa. Maka Bengkalis pula yang menjadi tempat kedudukan residen pesisir timur pulau Sumatra berdasarkan perjanjian dengan Sultan Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifudin menyerahkan pulau bengkalis kepada Hindia Belanda tanggal 26 Juli 1823.
Sejarah juga mencatat sebelum kedatangan Raja Kecil, Bengkalis sudah menunjukkan peran penting dalam arus lalu lintas niaga di selat Melaka. Terutama sebagai persinggahan saudagar yang keluar masuk sungai Siak. Bahkan sejak Tapung (Petapahan) di temui timah (1674) dan emas.peran Bengkalis dalam hubungan Melaka dengan kerajaan di pesisir timur Sumatra semakin besar, terutama dimasa berdirinya kerajaan Gasib. Di masa pemerintahan Sultan Mansur Syah tahun (1459-1477) Gasib di kuasai oleh Melaka, raja Gasib yang belum menganut agama Islam di Islamkan dan di beri gelar Sultan ” Ibrahim” dan di jadikan wakil Sultan Melaka di Gasib, sejak itu kerajaan Gasib di bawah kepimpinan Sultan Ibrahim (Sebelum di Islamkan bernama Megat Kudu) menjadi kawasan pengembangan Islam.
Suku Talang Mamak tersebar di empat kecamatan yaitu Batang Gansal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu dan di Dusun Semarantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumai, Kabupaten Tebo, Jambi. Salah satu versi asal usul suku Talang Mamak yang sangat terkenal diceritakan dalam cerita rakyat tentang Putri Pinang Masak. Konon, di Indragiri hidup tujuh pasang putra-putri yang dilahirkan secara kembar. Ketujuh putra tersebut menjadi pemuda yang gagah berani, sedangkan ketujuh putri tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Dari ketujuh putri tersebut, salah seorang di antaranya yang termolek, Putri Pisang Masak namanya. Berikut kisahnya menurut ceritarakyatnusantara.com.
Alkisah, pada zaman dahulu, tersebutlah sebuah kisah di Negeri Simbul, Siberida, Indragiri, Riau. Di negeri itu hidup tujuh pasang putra-putri yang dilahirkan secara kembar siam. Marudum Sakti lahir kembar dengan Putri Pinang Masak (sulung), Buyung Selamat dengan Putri Mayang Mengurai, Sampurago dengan Subang Bagelan, Tonggak de Tonang dengan Putri Pandan Bajelo, Sapu Jagat dengan Putri Loyang Bunga Emas, Roger dan Putri Setanggi, dan yang bungsu Tuntun dengan Putri Bungsu.
Ketujuh putra tersebut tumbuh menjadi pemuda yang gagah berani, sedangkan ketujuh kembarannya tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Dari ketujuh putra tersebut, Roger adalah yang paling gagah dan pemberani. Sementara, dari ketujuh putri, Putri Pinang Masak adalah yang termolek.
Pada suatu hari, seluruh warga heboh, karena tiba-tiba Putri Pinang Masak hilang. Ketujuh saudara laki-lakinya sibuk mencarinya ke sana kemari, namun tak juga mereka temukan. Roger yang gagah dan pemberani kemudian pergi menyusuri berbagai tempat hingga bertemu dengan Datuk Motah. Dari Datuk itulah ia memperoleh kabar bahwa kakaknya, Putri Pinang Masak, dibawa lari dan dikawinkan dengan Raja Dewa Sikaraba Daik oleh Paduka Raja Telni Telanai dari Jambi.
Setelah mendengar kabar keberadaan kakaknya, Roger segera melaporkan kabar itu kepada saudara-saudaranya. Mereka kemudian berkumpul untuk mengadakan musyawarah. “Wahai, Adikku Roger! Kita semua sudah tahu, bahwa di antara kita bersaudara engkaulah yang paling gagah dan pemberani. Maka sepantasnyalah engkau yang harus menjemput Putri Pisang Masak ke Jambi,” kata Marudum Sakti kepada adiknya. “Benar, Abang! Kami setuju dengan pendapat Abang Marudum Sakti,” tambah Tuntun, adik Bungsunya. “Ya, kami juga sepakat,” sahut saudara-saudaranya yang lain serentak. Akhirnya, diputuskan Roger diutus ke Jambi untuk membawa pulang Putri Pinang Masak dengan damai.
Keesokan harinya, Roger berangkat ke Jambi seorang diri. Negeri Jambi dijaga ketat, karena terjadi pertentangan antara Raja Telni Telanai dengan Belanda. Setelah melakukan perundingan dengan para pengawal istana, Roger pun diizinkan untuk menemui Raja Telni Telanai.
“Hai, Orang Muda! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Raja Telni.
“Ampun, Baginda! Hamba Roger. Hamba berasal dari Indragiri,” jawab Roger, tanpa memberitahukan sang Raja kalau dirinya adalah adik kandung Putri Pinang Masak.
“Apa gerangan yang membawamu kemari, Roger?” Raja Telni kembali bertanya.
“Ampun, Baginda! Jika Baginda berkenan, izinkahlah hamba ikut membantu mengusir Belanda dari negeri ini,” Roger memohon kepada Raja Telni.
Raja Telni menyambutnya dengan gembira, seraya berkata, “Baiklah, Roger! Kamu boleh tinggal di istana ini.”
Sejak itulah, Roger tinggal di istana Kerajaan Jambi. Putri Pinang Masak telah mengetahui keberadaan adiknya itu, namun ia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang hubungan mereka.
Untuk menguji keperkasaan Roger, berkali-kali Raja Telni mengutusnya untuk menumpas para perampok yang berkeliaran di perairan Jambi. Oleh karena kesaktiannya, Roger selalu berhasil, sehingga ia diangkat menjadi dubalang negeri. Tak lama kemudian, Roger pun diperkenankan untuk ikut berperang melawan Belanda.
Pada malam sebelum berangkat ke medan perang, diam-diam Putri Pinang Masak menemui adiknya dan memberinya selendang cindai sebagai pusaka. Berbekal cindai dan kesaktiannya, Roger pun berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Segenap raja Jambi menyambutnya sebagai pahlawan. Oleh karena jasa-jasanya terhadap kerajaan, Raja Telni Telanai menganugerahkan gelar “Datuk” dan mengukuhkan Roger sebagai “Dubalang Utama”. Maka lengkaplah gelar Roger sebagai ”Datuk Dubalang Utama Roger”.
Waktu terus berjalan. Raja Telni Telanai mulai sakit-sakitan. Akhirnya, ia pun menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada putranya, Raja Dewa Sikaraba Daik. Namun sejak pemerintahan dipegang oleh Raja Dewa Sikaraba Daik, kerajaan menjadi lemah. Banyak pengkhianat muncul di lingkungan istana. Kesempantan itu kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk menekan raja muda itu.
Setelah terus dibujuk dan didesak oleh para hulubalang yang menjadi mata-mata Belanda, akhirnya Raja Dewa Sikaraba Daik yang lemah itu mau menandatangani perjanjian perdamaian dengan Belanda. Datuk Roger pun ditangkap. Dengan tangan diikat, Datuk Roger dibawa ke kapal untuk ditenggelamkan di tengah-tengah samudera.
Namun, sewaktu akan menaiki kapal, tiba-tiba terjadi peristiwa gaib. Dengan izin Allah, Roger tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Lama Roger tidak muncul, sehingga orang-orang Belanda menganggapnya telah mati.
Sepeninggal Datuk Roger, Belanda kemudian menyerang Kerajaan Jambi. Banyak pasukan Raja Dewa Sikaraba Daik yang gugur. Mereka pun semakin terdesak oleh Belanda. Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba Datuk Roger muncul. Kemudian ia memohon izin kepada Raja Sikaraba Daik untuk melawan Belanda. Dengan keperkasaannya, Roger dan pasukannya berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Para pengkhianat kerajaan kemudian ditangkap dan dihukum mati. Kerajaan Jambi kembali aman dan damai. Raja Dewa Sikaraba Daik pun memimpin rakyat Jambi dengan arif dan bijaksana.
Melihat kondisi sudah kembali aman, Datuk Roger pun bermaksud kembali ke Indragiri. Ia pun segera menghadap Raja Dewa Sikaraba Daik, “Ampun, Baginda! Kini saatnya hamba harus pulang. Jika Baginda memerlukan Hamba, panggillah hamba di Desa Siambul, di Hulu Batang Gangsal, Siberida, Indragiri,” kata Datuk Roger.
Mengetahui adiknya akan kembali ke Indragiri, Putri Pinang Masak segera bersimpuh di hadapan suaminya, Raja Dewa Sikaraba Daik, ”Maafkan Dinda, Kanda! Sebenarnya Dinda adalah kakak kandung Datuk Roger. Izinkanlah Dinda pulang ke Indragiri bersamanya. Dinda akan segera kembali ke istana ini untuk melahirkan putra kita.” Raja Dewa Sikaraba Daik terkejut mendengar perkataan Putri Pinang Masak. “Benarkah itu, Datuk Roger?” tanya sang Raja penasaran. “Benar, Baginda Raja!” jawab Roger singkat.
Akhirnya, Raja Dewa Sikaraba Daik mengetahui hubungan persaudaran mereka yang selama ini dirahasiakan. Namun, mengingat Datuk Roger telah berjasa kepada kerajaan Jambi, sang Raja pun memakluminya. Dengan berat hati, Raja Dewa Sikaraba Daik mengizinkan Putri Pinang Masak pulang ke Indragiri bersama adiknya.
Keesokan harinya, sebelum kakak beradik itu berangkat, Raja Dewa Sikaraba Daik menyerahkan Plakat Kerajaan yang berisi maklumat bahwa hutan di daerah Jambi diserahkan kepada anak cucunya melalui keturunan dari Putri Pinang Masak.
Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah Roger dan Putri Pinang Masak di Indragiri. Mereka disambut oleh masyarakat Siambul dengan suka-cita dan haru. Untuk meluapkan perasaan gembira tersebut, masyarakat desa mengadakan upacara gawai atau selamatan. Dalam suasana gembira tersebut, Datuk Marudum Sakti berkata, “Keluarga kita sudah utuh kembali. Peristiwa ini hendaknya kita jadikan pelajaran berharga agar selalu membela dan melindungi saudara-saudara kita.”
Sesuai dengan Plakat Kerajaan yang diberikan oleh Raja Dewa Sikaraba Daik, selanjutnya anak keturunan Putri Pinang Masak berkembang menjadi Suku Kubu dan Talang Mamak yang menguasai hutan Jambi. Hingga kini, kedua suku tersebut masih dapat ditemukan di daerah-daerah pedalaman di Indragiri Hulu dan Jambi.
Disadur dari Cerita Rakyat Indragiri Hulu Mahligai keloyang dan Cerita lainnya : Elmustian Rahman, Drs. Fakhri,
Unri Press
Buah bidaro adalah sejenis lengkeng kecil yang hanya terdapat di Peranap dan sekitarnya, yakni dari muara Batang Peranap hingga perbatasan bagian hilir Kecamatan Kelayang dan Rakit Kulim. Pernah dicoba ditanam ditempat lain seperti Rengat dan Pekanbaru, tetapi hanya tumbuh, tidak mau berbuah. Daging buahnya sangat tipis. Dan bijinya sangat hitam dengan kulit bijinya mengkilat. Persis seperti mata kucing. Karenanya, banyak para pendatang di daerah ini menyebutnya buah mata kucing.
Buah bidaro ini menurut dongeng merupakan buah istimewa karena datang dari khayangan.
Alkisah pada masa lalu di wilayah Indragiri terdapat sebuah kerajaan yang wilayahnya meliputi Peranap hingga ke Kelayang. Raja memerintah dengan sangat adil dan negerinya pun makmur sentosa. Tapi ada satu yang membuat masygul dan sedih raja dan rakyat negeri itu. Setelah sekian lama, tidak ada tanda-tanda permaisuri akan hamil.
Akhirnya disarankanlah agar baginda mau mengajukan permohonan ke khayangan. Singkat cerita, penguasa negeri khayangan mengabulkan dan menurunkan putri khayangan sebagai anak dari raja negeri tersebut. Hari berganti hari, putri itu tumbuh menjadi putri yang cantik jelita. Oleh karenanya, silih berganti putra-putra bangsawan yang mengajukan pinangan.
Menyadari kecantikan putri, raja kemudian menginginkan menantu yang istimewa. Menantu tersebut bukan hanya gagah, tetapi juga harus sakti mandraguna. Untuk memilih menantu pilihan tersebut, diadakanlah sebuah sayembara yang sebenarnya sangat tidak masuk akal, yakni memindahkan aliran air sungai yang menurut kebiasaan dari hulu ke hilir menjadi dari hilir ke hulu.
Tentu saja tidak ada yang berhasil memenangkan sayembara tersebut. Dan tidak ada seorang pangeran pun yang berjodoh dengan sang putri. Putri menangis mengenang nasib perjodohannya yang sangat buruk. Putri demikian sedihnya dan memutuskan untuk kembali ke khayangan. Sebelum pergi, Putri berkata, "Aku sangat menyayangi rakyatku. Oleh karenanya, sebelum aku pergi aku akan meninggalkan sesuatu yang akan sangat berarti bagi rakyatku semua. "
Setelah mengucapkan tersebut, terjadilah keajaiban. Dari air mata sang putri, terjelma satu buah yang belum pernah ada sebelumnya. Saat buah dicoba, buah tersebut sangatlah manis seperti manisnya wajah dan hati sang putri. Dalam panggilan masyarakat negeri itu, putri disebut dara. Oleh karenanya buah tersebut disebut "buah dara" yang untuk kemudahan lidah disebut "badara /badaro" yang berarti buah yang diberikan oleh dara (putri).
Pada zaman dahulu, nenek moyang Peranap tiba di Peranap menjumpai tanah rawa yang sulit dihuni oleh manusia. Oleh karenanya, mereka berdoa kepada dewata agar rawa tersebut dikeringkan. Ternyata, doa mereka dikabulkan.
Atas berkah yang diterima tersebut, mereka ingin mengadakan syukuran. Namun karena mereka baru mau menetap, mereka tidak memiliki apa pun untuk dipakai dalam kenduri. Bahkan, mereka pun tidak mempunyai piring untuk tempat makanan. Sementara itu, di tanah yang baru, belum ada tumbuh pohon apa pun yang bisa dijadikan untuk makanan, kecuali buah pauh, yang umumnya di mana-mana agak sedikit masam. Lalu bermohonlah sekali lagi mereka kepada Tuhan. Dan lagi-lagi Tuhan mengabulkan. Buah pauh yang umumnya masam berubah menjadi cita rasa yang cukup enak dimakan. Buah tersebut lebat dan besar-besar dan kulitnya dapat dijadikan piring.
Saat itu mereka dipimpin oleh Rajo Kuek Kuaso yang sakti mandraguna. Dengan sekali kayuh, sampai ke batas hilir Kecamatan Kelayang / Kecamatan Rakit Kulim. Di tempat itu, Rajo Kuek Kuaso memasang sawar untuk menangkap ikan. Ikan yang diambil cukup untuk kenduri. Sawar bekas Rajo Kuek Kuaso tadi sekarang telah menjadi batu dan kampungnya kemudian diberi nama Batu Sawar.
Rajo Kuek Kuaso mengayuh ke hulu, sekali kayuh sampailah dia di muara Batang Peranap tempat pertemuan Batang Peranap dan Batang Kuantan di Sungai Indragiri. Datuk Kuek Kuaso mengambil buah pauh yang ranap-ranap tadi yang mana daging buahnya cukup banyak untuk dicampur dengan ikan yang didapat untuk bahan kenduri sementara kulitnya cukup untuk menjadi piring. Karena pauhnya ranap-ranap, maka disebutlah Pauh Ranap yang saat ini menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Peranap. Lama-lama Pauhranap berubah menjadi Peranap.
Setelah mengumpulkan buah pauh sebagai makanan, ikan sebagai lauk, dan kulit pauh sebagai piringnya, Rajo Kuek Kuaso mengayuh sekali lagi dan sampailah ia di hulu Batang Peranap. Di sana, Rajo Kuek Kuaso membuka tudung saji dan menyajikan semua hidangannya. Dengan demikianlah terlaksanalah kenduri yang dihajatkan mereka. Tempat membuka tudung saji dan menyajikan hidang tersebut sekarang dinamakan Pesajian, salah satu desa di Kecamatan Batang Peranap yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jambi dan Propinsi Sumatera Barat, berbatasan dengan Pucuk Rantau Kabupaten Kuantan Singingi.