Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA KAMPAR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA KAMPAR. Tampilkan semua postingan
Khatib ketika muda dikenal memiliki kesaktian dan keberanian. Karena itulah ia  amat disegani oleh orang kampungnya. Ayah Khatib adalah seorang guru agama Islam yang berasal dari Aceh. Beliau amat berjasa dalam mengembangkan agama Islam di Limo Koto. Khatib muda pun didik paham pada agama dan orang tua Khatib tidak melarang anaknya menguasai ilmu kebatinan. Sehingga Khatib juga mahir dalam beladiri dan menguasai sejumlah ilmu kebatinan.

Panglima Khatib merupakan sosok pejuang di zaman kolonial di Kabupaten Kampar. Dari inskripsi makam diketahui bahwa Panglima Khatib wafat pada tahun 1627 M. Dari inskripsi tersebut dapat diketahui tokoh merupakan salah seorang tokoh adat daerah Bangkinang dengan gelar Datuk.


                         

Jika dilihat dari tanggal wafatnya beliau, asumsi awal tim menyimpulkan bahwa pada masa beliau belum bersinggungan dengan masa kolonial. Dan jika melihat salah satu makam yang berada dalam satu arel dengan beliau (yakni makam Tengku Aceh) yang merupakan Makam Bapaknya dan dapat diperkirakan bahwa pada masa itu daerah Kampar yang merupakan salah satu daerah yang berada dalam pengaruh Aceh.
 
Makam ini terletak di sebelah utara jalan Raya Pekanbaru- Bangkinang tepatnya Km 54. Situs ini dikelola oleh Pemkab. Kampar dan pada areal situs sudah dibuatkan taman serta terdapat tugu Kabupaten kampar. Situs terletak dalam areal pagar seluas 7 m x 10 m (pagar ini berupa untaian rantai besi).



Pada areal ini terdapat dua buah makam yakni Makam Panglima Khatib dan Tengku Aceh. Bangunan makam Panglima Khatib berukuran 2,30 m x 1,30 m. Makam sudah dibuatkan jirat dari tembok yang sudah dilapisi keramik warna biru. Pada bagian sebelah selatan makam terdapat inskripsi “Dt. Panglima Khatib Th 1627.” Nisan makam terbuat dari kayu bulat yang sudah memfosil menjadi batu dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 45 cm, lebar bagian atas 9 cm dan bagian bawah 10 cm.

Makam Panglima Khatib  ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 08/BCB-TB/B/03/2007.

Mahmud Marzuki selain tokoh kemerdekaan juga merupakan tokoh pendiri dan pengembang Muhammadiyah di daerah Kampar. Perjuangan yang dilakukannya bukan saja menentang serta menghadapi penjajah namun juga mengentaskan masyarakat Kampar yang saat itu masih terbelenggu oleh kebodohan khususnya dari segi pendidikan. Salah satu bukti peran sertanya dalam pengentasan kebodohan pada saat itu adalah dengan mendirikan Perguruan-perguruan Muhammdiyah yang sampai saat ini masih ada di Bangkinang.Mahmud Marzuki lahir di Desa Kumantan Bangkinang pada tahun 1911 dari ayah bernama Pakih Rajo dan ibu Hainah. Ayahnya berasal dari Kubang Putih Bukittinggi dan ibunya dari KumantanBangkinang. Mahmud Marzuki adalah anak tunggal dari kedua pasangan ini. Pada tahun 1918 Mahmud Marzuki masuk ke Sekolah Desa (Volkschool), pada tahun 1921 beliau tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena kekurangan biaya. Untuk mengisi waktunya oleh ibunya beliau disekolahkan ke sekolah agama pada sore hari. Namun karena tekadnya yang tinggi untuk tetap melanjutkan sekolah maka pada tahun 1928, beliau masuk ke Pesantren Tarbiyah Islamiyah Bangkinang dengan bantuan biaya dari mamaknya Engku Kadhi Rajo. Selama belajar di pesantren ini Mahmud Marzuki merupakan seorang santri yang pandai dan cakap dalam berpidato. Pada akhir tahun 1935 beliau berangkat menuju India untuk belajar dan menambah pengetahuan dan wawasannya di Perguruan Islam Nazmia Arabic College Lucknow India. Setelah beliau menamatkan studinya, pada tahun 1938 beliau kemudian kembali ke Bangkinang.

Pada akhir tahun 1938 untuk memenuhi permintaan gurunya, beliau mengajar di Pesantren Tarbiyatul Islamiyah Bangkinang. Mahmud Marzuki selain giat dalam mengajar, beliau juga aktif dalam menyebarkan dakwah di sekitar wilayah Bangkiang. Beliau memiliki cita-cita untuk mencerdaskan tunas-tunas muda Islam yang akan mewarisi kemajuan Islam kelak, sedangkan dakwah yang ditujukan kepada orang-orang tua untuk menambah pengetahuan tentang agama dan mempertebal keimanan dalam mengahadapi musuh-musuh yang ingin menghancurkan Islam.

Sebagai langkah pertama yang dilakukannya dalam menunjang kegiatan pendidikan dan dakwah yang ia cita-citakan itu, maka pada tahun 1939 beliau masuk sebagai anggota Muhammadiyah ranting Penyasawan. Menjelang berakhirnya tahun 1939 berkat kegiatan dakwahnya, ranting-ranting Muhammadiyah tumbuh pesat dan berkembang. Bangkinang yang semula merupakan satu ranting Muhammadiyah berubah menjadi Cabang yang membawahi 47 ranting. Berkat hasil yang beliau lakukan, maka pada tahun awal tahun 1940 beliau diangkat sebagai Pimpinan Muhammadiyah cabang Bangkinang.

Kemudian pada akhir tahun 1940, beliau berangkat ke Payakumbuh. Disana beliau ditempatkan sebagai pengajar pada sekolah Tsanawiyah Muhammadiyah Payakumbuh. Pada tahun 1941, karena ketenarannya beliau diangkat sebagai Pimpinan Muhammadiyah Payakumbuh. Selama di Minangkabau ini pula Mahmud Marzuki bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah Minangkabau seperti Buya Hamka, Buya Mualimin, Buya Rasyid dan lain-lain, yang merupakan teman seperjuangannya dalam membangun Muhammadiyah. Pada tahun 1942 beliau kembali ke Bangkinang atas permintaan masyarakat Bangkinang, dengan alasan pada waktu itu masyarakat sangat membutuhkan seorang tokoh/pemimpin dalam masa-masa yang sulit dan genting untuk menghadapi penjajahan Jepang di Bangkinang. Langkah pertama yang diambil sekembalinya beliau dari Payakumbuh adalah memperkuat ukhwah islamiyah (persatuan) di kalangan masyarakat untuk menghadapi penjajah dengan jalan dakwah dan ceramah-ceramah yang membakar dan mengobarkan semangat anti penjajah. Selain itu guna menggalang pesatuan masyarakat, ranting-ranting Muhammadiyah yang berada di daerah Bangkinang kemudian lebih diaktifkan sebagai penggerak dan pusat perlawanan terhadap penjajah seperti pendirian Kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan.

Pada tahun 1942 itu juga beliau mendirikan Sekolah Menengah Muhammadiyah (yang sekarang menjadi Sekolah Mualimin Muhammadiyah Bangkinang, tempat dimana beliau dimakamkan). Selama masa penjajahan ini, beliau juga pernah ditahan dan di bawa ke Pekanbaru. Selama masa penahanan, beliau bersama-sama dengan tokoh pejuang lainnya disiksa oleh tentara Jepang selama 23 hari.
Pada tanggal 5 september 1945, berita kemerdekaan RI baru tersiar di Bangkinang yang dibawa oleh orang-orang yang datang dari Bukittinggi lewat selebaran-selebaran yang ditempelkan dibeberapa tempat di Bangkinang. Berita ini kemudian dicek langsung oleh Mahmud Marzuki dengan H. M. Amin ke Kepala Kantor Pos dan Telegraf Bangkinang. Dan ternyata benarlah berita kemerdekaan itu, namun belum bisa disebarkan karena pada waktu itu Jepang masih berkuasa di Bangkinang. Pada hari Rabu tanggal 6 September 1945 (bertepatan dengan shalat Idul Fitri 1365 H), Mahmud Marzuki sebagai Khatib pada waktu itu dalam khotbahnya menyiarkan secara langsung kepada masyarakat luas akan berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Lapangan Beringin. Dalam akhir khotbahnya beliau mengajak masyarakat untuk berkorban mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai tersebut.

Pada tanggal 8 September 1945 diadakan rapat untuk membahas,tindak lanjut dari berita proklamasi yang telah tersebar luas itu. Rapat ini dipimpin oleh Mahmud Marzuki. Salah satu Hasil rapat ini menyimpulkan bahwa bendera merah putih harus segera dikibarkan di pusat-pusat pemerintahan di Bangkinang, oleh karena itu masyarakat secara bersama-sama untuk dapat hadir pada upacara bendera di lapangan muka kantor demang Bangkinang pada hari senin tanggal 11 september 1945. Tanggal 11 September 1945 itu merupakan upacara penaikan bendera merah putih di Bangkinang yang dipimpin oleh Mahmud Marzuki sebagai pemimpin upacara.

Pada tanggal 10 september 1945, terbentuklah Komite Nasional Indonesia Bangkinang dengan ketua I adalah Mahmud Marzuki. Mahmud Marzuki wafat pada tanggal 5 agustus 1946 akibat sakit yang dideritanya (diperkirakan diperoleh semasa beliau ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang). Mahmud Marzuki dimakamkan di depan Sekolah Mualimin Muhammadiyah yang beliau dirikan. Atas ketokohan dan perjuangan (baik dalam pendidikan, dakwah dan tokoh pejuang kemerdekaan) beliau, maka Pemkab. Kampar mengusulkan Beliau sebagai Pahlawan Nasional dari daerah Kampar ke pemerintah pusat dari tahun 2004.


"Marzuki, dan sejumlah tokoh lainnya seperti Malik Yahya, M Amin serta lainnya bergerak secara diam-diam dalam satu kesatuan ilegal yaitu gerakan rahasia menyebar bibit nasional dan anti penjajah. Agama merupakan senjata yang ampuh untuk menghimpun mereka dan menggerakkan rakyat melawan penjajah Jepang, Marzuki dan tokoh lainnya kala itu, menyemangatkan untuk melawan Jepang sebagai kafir. Selanjutnya gerakan yang dia lalukan memboikot beberapa hasil panen padi. Warga diminta untuk tidak menyerahkan seluruh hasil panennya. Usaha yang dilakukan berjalan dengan baik, padi yang diberikan ke Jepang sebagian diisi dengan gabah.

Pada 6 September 1945, bertepatan Hari Raya Idul Fitri, dilaksanakan salad Id di lapangan tengah sawah Simpang Kubu, Air Tiris saat ini. Marzuki kala itu menyampaikan khotbahnya di hadapan masyarakat. "Penutup khotbahnya Mahmud Marzuki menyampaikan kepastian kemerdekaan yang telah dibacakan Bung Karno dan Hatta. Rakyat diminta bersedia berkorban mempertahankan kemerdekaan.

Sehingga pada Senin 11 September 1945, Marzuki mengajak seluruh masyarakat berkumpul di depan Kantor Demang Bangkinang untuk menggelar upacara kemerdekaan. Kabar ini terdengar oleh Jepang, sehingga bala tentaranya dikerahkan di lapangan tersebut.

"Di hadapan 2.000 warga Marzuki pidato mengajak agar seluruh rakyat terutama yang hadir bertekad mempertahankan Merah Putih tetap di tiangnya,

Nama Mahmud Marzuki sudah beberapa kali diusulkan untuk dikukuhkan sebagai pahlawan nasional ke Tim Peneliti Pengkaji Gelar Nasional (TP2GN) dan hingga saat ini usulan tersebut belum disetujui oleh Pemerintah Republik Indonesia, nama Mahmud Marzuki diabadikan sebagai Jalan di Kumantan di sekitar Sekolah Mualimin.


Makam Mahmud Marzuki terletak di Jalan Raya Bangkinang-Pekanbaru km 60, tepatnya di lingkungan MTsN Mualimin Muhammadiyah yang berada di bawah Yayasan Mualimin Muhammadiyah Bangkinag. Makam terletak di sebelah utara bangunan sekolah. Orientasi makam adalah utara-selatan. Makam berada dalam areal pagar yang terbuat dari tembok berlapis keramik warna biru dan pagar besi, dengan luas 3,5 m x 2,5 m. Pada bagian pagar besi sebelah selatan terdapat tulisan Mahmud Marzuki, yang juga terbuat dari besi. Secara umum tidak terdapat nisan pada makam ini. Yang menandai lokasi makam ini hanya berupa tembok keliling (seperti jirat) yang dilapisi keramik warna biru dengan luas 2 m x 2,70 m dan tinggi 15 cm. Pada bagian tengah-tengah makam ini terdapat inskripsi dari semen bertulisan “Ayahanda Mahmud Marzuki Wafat 1946”.

Makam Mahmud Marzuki ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 10/BCB-TB/B/03/2007.


Tampak Depan
Rumah Adat Kenagarian Bendang  ini terletak di Desa Ranah Kecamatan Kampar Kabupaten Kampar, rumah ini didirikan pada tahun 1785. Rumah ini dibangun atas dasar kesepakatan bersama seluruh ninik mamak dan kemenakan di Kenagarian Bendang. Proses pengerjaan bangunan sampai selesai, secara keseluruhan dilakukan secara gotong royong.

Bentuk bangunan Rumah Bendang ini merupakan perpaduan antara tradisional melayu dan minang. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa dahulunya daerah Kampar memiliki kedekatan kebudayaan dengan daerah Sumatera Barat.

Tampak Samping

Bahan bangunan secara keseluruhan terbuat dari kayu, beratap seng (berbentuk gonjong yang pada bagian ujung-ujungnya meruncing ke atas dan pada bagian ujung gonjong ukiran-ukiran bermotif flora). Bangunan secara umum terdiri dari 4 (empat) ruangan. Pada dinding bagian luar terdapat ukiran (pada sisi utara, barat dan timur). Pada dinding bagian dalam terdapat ukiran yang terletak antara dinding pembatas antar ruangan. Pintu masuk mengarah ke utara dengan ukuran tinggi 1,80 m dan lebar 0,8 m. Pada bagian depan bangunan terdapat tangga masuk terbuat dari kayu dan yang pada bagian sisi baratnya terdapat ukiran. Bentuk tiang sisi delapan dengan jumlah keseluruhan 53 buah.

Rumah Adat Kenagarian Bendang ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 03/BCB-TB/B/03/2007.





Sumber : 

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU
Keberadaan makam Raja-raja Gunung Sahilan ini tidak terlepas dari keberadaan serta eksistensi dari Kerajaan Gunung Sahilan itu sendiri.

Pada umumnya yang dikuburkan dalam areal pekuburan ini merupakan raja-raja, pembesar kerajaan, serta karib dan keluarga dari Kerajaan. Diperkirakan keberadaan makam ini dimulai sezaman dengan kehadiran Kerajaan Gunung Ibul dan Gunung Sahilan itu sendiri yakni pra Kerajaan Gunung Sahilan sebelum tahun 1700 (sebelum Raja Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati) sampai masa kemerdekaan tahun 1940-an. Dalam rentang waktu yang panjang itu sampai dengan sekarang diperkirakan sudah puluhan makam dari raja-raja, pembesar kerajaan, serta karib dan keluarga dari Kerajaan yang dimakamkan di kompleks makam ini. Namun untuk mengidentifikasi nama tokoh dari masing-masing makam diperkirakan sudah sulit, mengingat partanggalan serta penamaan pada makam tidak ada.

Makam Raja Gunung Sahilan ini terletak di sebelah baratdaya bangunan Istana Kerajaan Gunung Sahilan. Makam Raja-raja Gunung Sahilan ini berada dalam areal seluas 19,20 m x 9,5 m. Dalam areal ini terdapat 17 buah makam yang masih dapat dilihat secara kasat mata (ada beberapa makam yang sudah hampir hilang karena nisan dan jiratnya sudah tertimbun oleh tanah).

                             

Secara umum dari keselurahan makam-makam yang berada dalam lokasi, terdapat 5 (lima) buah makam yang sudah ditembok dan diberi keramik, dan tanpa nisan. Pada areal ini juga terdapat beberapa makam yang nisannya berupa nisan lokal, yang terbuat dari batu andesit tanpa motif dan pengerjaan, yang langsung ditanam di dalam tanah. Namun ada juga beberapa makam yang yang memiliki nisan berbentuk tipe aceh dengan pola dan motif flora.


Kompleks Makam Raja-raja Gunung Sahilan ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 05/BCB-TB/B/03/2007.


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

Cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan. Menurut UU no. 11 tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Ada Lima Kategori Cagar Budaya yaitu sebagai berikut :
Benda
Benda cagar budaya adalah benda alami atau buatan manusia, baik bergerak atau tidak, yang punya hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang. 
Bangunan
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding, tidak berdinding dan atau beratap. 
Struktur
Struktur Cagar Budaya adalah suatu susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. 
Situs
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. 
Kawasan
Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. 
Kabupaten Kampar  memiliki Banyak Cagar Budaya  , namun sayangnya Cagar Budaya tersebut tidak terawat dengan baik dan Cagar Budaya tersebut telah di tetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat , berikut kami rangkum Cagar Budaya yang ada di Kabupaten Kampar :


Makam Syech Burhanuddin merupakan salah satu Wisata Religi yang terdapat di kabupaten Kampar. Makam Syech Burhanuddin berada di Desa Kuntu  Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Makam ini cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan, terutama menjelang bulan ramadhan,mereka datang dengan tujuan memberi doa kepada Syech Burhanuddin. 


Candi Muara Takus merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah masa silam di Riau. Candi ini bernuansa dan berasitektur Budha, dan ini merupakan bukti bahwa Buddha pernah berkembang dan ada di Riau pada masa lalu. Namun  demikian hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti kapan Candi Muara Takus ini didirikan.

Mengenai penamaan Muara Takus, ada berbagai macam versi dan pendapat. Di sebuah literatur yang merupakan hasil penelitian candi Muara Takus pada tahun 1960 mengatakan bahwa penamaan Candi Muara Takus,
berasal dari nama sebuah anak sungai yang bermuara ke Batang Kampar Kanan. dan pendapat lain menyatakan bahwa , menurut Duta Besar Singapura yang pernah berkunjung ke Muara Takus pada tahun 1977 menyatakan bahwa Muara takus terdiri dari dua kata yaitu "Muara" dan "Takus", menurut pendapatnya "Muara" berarti tempat dimana sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau sungai yang lebih besar, sedangkan "Takus" berasal dari Bahasa China yang artinya : TA = besar, KU = Tua, SE = Candi. Jadi arti keseluruhannya  adalah Candi Tua yang besar yang terletak di Muara Sungai


Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa, yang merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Siwa. Pendapat tersebut didasarkan pada bentuk bentuk Candi Mahligai, salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus, yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan). Arsitektur candi ini juga memunyai kesamaan  dengan arsitektur candi-candi di Myanmar.


Sejarah Penemuan Candi Muara Takus
Sebagai Kota Serambi Mekkah Riau, Kabupaten Kampar mempunyai banyak cerita tentang Islam. Salah satunya adalah Masjid Jami'. Mesjid yang terletak di Jalan Pasar Usang Desa Tanjung Barulak, Air Tiris Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar ini dibangun pada tahun 1901 Masehi atas prakarsa Engku Mudo Sangkal, seorang ulama yang mengonsolidasikan potensi ninik-mamak dan cerdik-pandai dari 20 kampung di kenegerian Air Tiris. Sebagai panitia pembangunannya adalah yang disebut dengan Ninik Mamak Nan Dua Belas yaitu para ninik-mamak dari berbagai suku yang ada dalam seluruh kampung. Mereka mengerjakannya bersama anak kemenakan, termasuk tukang dari Trengganu, Malaysia, yang membuat mimbar yang dikerjakannya di Singapura. Tahun 1904 masjid ini selesai yang diresmikan dengan meriah oleh seluruh masyarakat Air Tiris dengan menyembelih 10 ekor kerbau.

                   

Arsitektur masjid ini menunjukkan adanya perpaduan gaya arsitektur Melayu dan Cina, dengan atap berbentuk limas, seluruh bagian bangunan terbuat dari kayu tanpa menggunakan besi dan paku
melainkan hanya pasak kayu. Masjid dengan bahan konstruksi utama kayu ini terdiri dari bangunan induk yang ukuran aslinya 30meter X 40meter, mihrab 7meter X 5meter, menara, dengan tinggi bangunan 24meter, serta dilengkapi dengan 2 mimbar, 2 bak untuk mengabil wudhu. Atapnya berupa limas tiga tingkat yang meruncing ke atas dengan tiang dan konstruksi kayu yang masih asli terlihat sangat indah. Demikian pula dindingnya yang miring, penuh dengan ornamen atau ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di dalam sebuah masjid di Pahang, Malaysia.  Engku Mudo Sangkal juga menukilkan ukiran di depan mimbar dan pada dua tonggak panjang dalam masjid masing-masing basmallah dan dua kalimah syahadat.
                   
Di dalam salah satu bak  air itu terdapat sebuah batu alam yang besar dan bentuknya seperti kepala kerbau tanpa tanduk dan telinga. Konon batu itu bisa berpindah posisi dengan sendirinya sehingga batu berbentuk kepala kerbau ini begitu disakralkan. Banyak yang mengunjungi mesjid ini hanya untuk mandi dengan air yang ada batu kepala kerbau bahkan mereka bernazar untuk meminta suatu keinginan dan kesembuhan penyakit, mereka mencuci muka atau tangan dengan air dari bak yang berisi kepala kerbau dan dipercaya dapat memberi berkah.
Arsitektur Bangunan Candi Muara Takus dapat dikatakan merupakan bangunan yang bersifat Budha karena adanya stupa, Stupa merupakan lambang dari Budha Gautama.  Tetapi jika dilihat dari salah satu Bangunan di Gugusan Candi Muara Takus yaitu Candi Mahligai,maka Candi Muara Takus juga dapat dianggap merupakan Candi di masa peralihan Ciwaitis ke Budha,karena adanya lambang Pallus dan Yoni serta bentuk Candi Mahligai yang seperti Menara.

Arsitektur Bangunan Candi Muara Takus memiliki persamaan dengan Bangunan Candi Acoka di India, dan juga memiliki persamaan dengan Candi yang ada di Myanmar. 

Gugusan Candi Muara Takus terdapat beberapa Bangunan Candi diantaranya Candi Mahligai, Candi Palangka, Candi Bungsu, Candi Tua, dan beberapa bangunan lainnya yang berupa onggokan tanah yang diyakini dulunya merupakan tempat pembakaran jenazah, dan juga terdapat pagar yang mengelilingi Candi seluas 74 meter x 74 meter.

Sekitar 8km, dari Candi Muara Takus terdapat sebuah Desa yang bernama Desa Pongkai,menurut cerita rakyat setempat,batu bata yang digunakan untuk membangun Candi Muara Takus dibat di Desa Pongkai. Desa Pongkai atau Pongkai berasal dari bahasa China yang bermakna Lubang Tanah "Pong" berarti lubang dan "Kai" berari tanah. Di Desa Pongkai terdapat lubang tanah yang luas yang diperkirakan merupakan tempat pengambilan tanah untuk dijadikan Batu Bata Candi Muara Takus Batu bata yang telah dibuat di Desa Pongkai pada awalnya dibawa atau diangkut melalui sungai ke Muara Takus, namun kemudian batu bata ini diangkut secara beranting yaitu menggunakan tenaga manusia yang berbaris dari Pongkai ke Tempat Pembuatan Candi Muara Takus, batu bata ini diangkut secara beranting yang memerlukan tenaga manusia yang banyak mengingat jaraknya 8km. 



CANDI MAHLIGAI
Candi Mahligai ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44M x 10,60M , tingginya sampai kepuncak 14,30M berdiri diatasnya pondamen segi delapan dan bersisikan 28 buah pada alasnya terdapat teratai berganda.
                                            Candi Mahligai

Ditengahnya menjulang menara, diatas puncaknya diperkirakan ada makarel, namun Cornet de Groot sang penemu Candi Muara Takus tidak menemukan makarel tersebut. Pada tahun 1860 Cornet de Groot menatakan disetiap sisin Candi Mahligai terdapat patung singa dengan posisi duduk,disebelah timur terdapat teras bujur sangkar ukuran 5,10 Meter x 5,10 Meter dan didepannya terdapat sebuah tangga.



CANDI PALANGKA

Bangunan ini terdiri dari Batu Bata merah yang dicetak, letaknya 3,85 meter sebelah Timur Candi Mahligai, candi palangka merupakan Candi Terkecil. Candi ini berbentuk segi delapan, dan memiliki tangga, pada saat ditemukan tahun 1860 Candi ini dalam keadaan rusak dan bagian puncaknyapun sudah tidak ada.
                                               Candi Palangka


CANDI BUNGSU

Candi Bungsu terletak di sebelah Barat Candi Mahligai. Bangunannya terbuat dari dua jenis batu yaitu Batu Pasir (tuff) dibagian depan, dan batu bata dibagian belakang. Dulunya di Candi Bungsu ini terdapat 8 buah Stupa Kecil yang mengelilingi Stupa besar.

Candi Tua dan Candi Bungsu pada Gugusan candi Muara Takus.

CANDI TUA

Merupakan candi terbesar di Gugusan Candi Muara Takus, candi ini terletak di sebelah utara Candi Bungsu, candi ini berukuran 32,8M x 21,8M. Pada sisi sebelah timur dan barat terdapat tangga dan dulunya dihiasi oleh stupa dan pada sisi bagian bawah dulunya terdapat patung singa duduk. Saat ini patung singa duduk,maupun stupa kecil serta bangunan lainnya sudah banyak yang hilang.



Sumber :
Wawancara dengan masyarakat Sekitar Candi Muara Takus.

SEJARAH CANDI MUARA TAKUS

Di Daerah riau banyak terdapat peninggalan Sejarah dan Purbakala,salah satunya terdapat di Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten kamparDesa Muara Takus terkenal baik didalam negeri maupun di luar negeri khususnya di Asia karena adanya Gugusan Candi Muara Takus. Menurut pengembara china I-Tsing  Candi Muara Takus tidak terlepas dari Sriwijaya dan ia menyebutkan bahwa ibukota Sriwijaya berada disuatu tempat dimana pada tengah hari tidak terlihat bayangan seseorang yang berdiri.
Penampakan Candi Tua dan Candi Mahligai di Gugusan Candi Muara Takus

Candi Muara Takus ditemukan pada tahun 1860 oleh Cornet De Groot, hasil penemuannya dituangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul "KOTO CANDI", tulisan tersebut dimuat dalam "Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde".
Candi Tua, merupakan Candi terbesar di Gugusan candi Muara Takus
kemudian setelah ditemukannya Candi Muara Takus dan setelah literatur dari Cornet De Groot dipublikasikan banyak peneliti dari luar negeri yang melakukan penelitian mengenai Muara Takus diantaranya ada G DU RUY VAN BEST HOLLE, W.P. GRONEVELD, R.D.M VERBEEK dan E.TH. VAN DELDEN, J.W. YZERMAN, DR. F.M. SCHNITGER, BOSCH, BENET KEMPERS dan lain lain dan sebagian besar dari hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sesunggugnya Sriwijaya berada di Muara Takus dan bukan berada di Sumatera Selatan.
Candi Mahligai




ASAL MUASAL NAMA MUARA TAKUS


Muara Takus berasal dari nama sebuah anak sungai yang bermuara ke Batang Kampar Kanan. Menurut Duta Besar Singapura yang pernah berkunjung k Muara Takus pada tahun 1977 menyatakan bahwa Muara takus terdiri dari dua kata yaitu "Muara" dan "Takus", menurut pendapatnya "Muara" berarti tempat dimana sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau sungai yang lebih besar, sedangkan "Takus" berasal dari Bahasa China yang artinya : TA = besar, KU = Tua, SE = Candi. Jadi arti keseluruhannya  adalah Candi Tua yang besar yang terletak di Muara Sungai
Candi Bungsu




LETAK GUGUSAN CANDI MUARA TAKUS


Candi Muara Takus Candi adalah candi Budha yang terletak di Kecamatan XIII Koto kampar Kabupaten kampar Provinsi Riau. Muara Takus ini jaraknya lebih kurang 150kilometer  dari kota Pekanbaru
Candi Palangka
 
Gugusan Candi Muara Takus terletak di garis Khatulistiwa 0"21 Lintang Utara dan 100"39 Bujur Timur. Gugusan Candi ini dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari batu putih yang berukuran 74meter x 74 meter dan terletak di pinggir jalan Desa Muara takus dan Desa tanjung. Dalam kompleks ini terdapat bangunan Candi yaitu Candi
Mahligai,Candi Palangka, Candi Bungsu,  Candi Tua, Tanggul Kuno, dan beberapa bangunan lainnya.

Candi Tua dan Candi Bungsu pada Gugusan candi Muara Takus.




SUMBER :
Penerus Ramli DT. RAJO DUO BALAI

Keberadaan Kampar sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya "tergilas" publikasi. Selama ini publik menyangka pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Sumatera Selatan (Sumsel) karena lebih banyak publikasi mengenai Sriwijaya oleh orang-orang Sumsel. Namun fakta berbicara lain. Keberadaan Candi Muara Takus membuktikan, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Kampar.

Sebenarnya ada sesuatu yang jauh lebih menarik dari sekadar view yang ditampilkan di kompleks Candi Muara Takus di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar. Sesuatu yang akan mengubah sejarah.
Tidak hanya sejarah Kampar secara khusus, namun sejarah Melayu di dunia.
Berdasarkan sejarah yang telah disusun di Indonesia, ibukota Kerajaan Sriwijaya berada di Sumsel. Bahkan, menurut sejarah Melayu di Malaysia, pendiri Kerajaan Melaka, yakni Prameswara yang kemudian berganti nama menjadi Muhammad Iskandar Syah berasal dari Sriwijaya yang diyakini berada di Sumsel.

Namun sebagaimana dikatakan Pemerhati dan Peneliti Sejarah Kampar Drs Abdul Latif MM, pandangan tersebut akan berubah. Sebab keberadaan Candi Muara Takus membuktikan lain.  ''Berdasarkan penelitian di dunia, sebuah candi merupakan pusat kerajaan dan pusat keagamaan di kerajaan Hindu/Budha. Jika Candi Muara Takus berasal dari Kerajaan Sriwijaya, dengan demikian pusat Kerajaan Sriwijaya pada zaman dulu berada di Kampar, bukan di Sumsel,'' jelas Latif yang juga seorang budayawan Kampar ini.

Hal yang paling menguatkan bahwa Candi Muara Takus merupakan pusat kerajaan tertua di Asia Tenggara tersebut adalah adanya istana yang berada di sekitar candi pada zaman dahulu. Saat ini istana yang terbuat dari kayu itu tidak ada lagi, terkikis oleh berjalannya waktu. Latif mengungkapkan, istana Sriwijaya telah lama runtuh. ''Dulu ada istana di sekitar candi. Tapi sudah lama runtuh. Masyarakat sekitar tidak ada lagi yang ingat persis tahun berapa istana runtuh saking sudah lamanya,'' urai Latif yang juga merupakan Guru PPKn di SMA 2 Bangkinang dan sudah 16 tahun berkecimpung dalam kegiatan penelaahan sejarah Melayu, terutama di Kabupaten Kampar ini.

Hanya saja, karena publikasi terhadap Kerajaan Sriwijaya sudah terlebih dahulu dilakukan orang-orang Sumsel, pusat Sriwijaya dianggap berada di wilayah Sumsel. Bahkan buku sejarah yang disusun juga memuat demikian. Padahal di Sumsel sendiri tidak pernah ditemukan bekas istana maupun situs sejarah berupa candi. Hanya di Kampar ditemukan situs peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya berupa candi dan bekas istana yang telah runtuh.
''Daerah Sumsel itu saya kira hanya sebagai daerah perhentian pelabuhan terakhir yang dilakukan orang-orang Kerajaan Sriwijaya,'' ungkap alumni Jurusan PPKn FKIP Universitas Riau ini.

Sebenarnya, Latif sudah memaparkan banyak hal terkait pusat Sriwijaya di Muara Takus pada seminar-seminar kebudayaan di Riau maupun di provinsi lain. Seperti di seminar kebudayaan di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Para akademisi UGM bahkan mendukung pandangan dan fakta yang disampaikan Latif. ''Akademisi UGM mendukung saya. Mereka memberi semangat agar saya terus mempublikasikan mengenai pusat Sriwijaya yang berada di Kampar agar diketahui masyakarat,'' sebut pria kelahiran Kuok 4 Juli 1958 tersebut.  Tidak hanya akademisi UGM yang mendukung pandangan yang menyebutkan pusat Sriwijaya ada di Muara Takus. Sebanyak 16 peneliti dari Belanda yang pernah meneliti di daerah Kampar menyatakan pandangan serupa. ''Hanya saja kurang terekspos ke publik,'' sebut Latif.

Jika hanya diperhatikan sekilas, bagi orang awam, Candi Muara Takus terlihat kurang menarik. Hanya terdapat 3 candi yang dinamakan candi tua, candi bungsu dan candi mahligai yang disebut juga stupa candi. Kompleks candi hanya terlihat berupa onggokan batu warna oranye kemerah-merahan . Di halaman candi yang seluruhnya dipagari besi tipis berwarna silver, ditanami rumput dan tanaman hias berupa bunga asoka. Sedangkan bekas pelabuhan di sekitar candi yang sekarang berupa Sungai Kampar pada tepiannya dibangun panggung sebagai tempat duduk-duduk dan melihat-lihat bagi pengunjung.
Tak jauh dari situ tampaklah bekas-bekas benteng yang dibangun untuk melindungi istana dan Candi Muara Takus. Sebagian benteng sudah tertimbun tanah.

Saat ini bekas benteng yang terlihat hanya berupa tembok-tembok dengan bahan batu yang sama dengan batu candi. Di sekitar lokasi juga terdapat bekas tempat pemandian putri yang sudah berupa onggokan batu. Sedangkan di sekitarnya terdapat tempat berjualan pedagang makanan, minuman dan pakaian bergambar Candi Muara Takus yang dijual kepada pengunjung candi.
Pada sebagian tanah yang diinjak di lokasi kompleks candi menuju bekas tempat pemandian putri didapati batu-batu yang sedikit menyembul ke atas permukaan tanah. Sepertinya batu-batu itu hendak bernafas ke permukaan tanah karena bagiannya yang lain masih tersembunyi di tanah.

Namun bagi pengunjung, candi terlihat kurang menarik sebagai objek wisata. Beberapa pengunjung menyatakan, view candi terlihat kurang menarik. Ahmad Supriadi (31) mengungkapkan, tidak ada sesuatu yang begitu menarik dari candi peninggalan abad 12 Masehi itu. Supriadi mengaku sudah 4 kali mengunjungi candi. Namun yang ia temukan hanya keadaan yang sama, onggokan batu berwarna oranye kemerah-merahan .
''Saya sudah berkali-kali ke sini, tapi terlihat hanya begitu-begitu saja,'' ungkap Supriadi yang ditemui di area candi. Hal yang sama dipaparkan Lina Hardian (27). Lina juga mengungkapkan bahwa candi kurang menarik dari segi view yang ditampilkan. Apalagi candi kurang terkelola dengan baik sebagai objek wisata. ''Kelihatan kurang menarik. Karena tidak dikelola dengan baik,'' tutur Lina.


Istana Raja Gunung Sahilan
Bekas istana Kerajaan Gunung Sahilan (1700-1941) masih berdiri di kawasan Kampung Gunung Sahilan, Kecamatan Gunung Sahilan (Kampar Kiri) Kabupaten Kampar. Sebuah bangunan renta yang tampak uzur dimakan usia, bahkan nyaris rubuh karena tidak adanya perhatian sama sekali. Melihat kondisinya yang sangat dan sangat memprihatinkan itu, niscaya beberapa tahun ke depan situs sejarah paling bernilai tersebut akan punah-ranah. 
Istana Raja Gunung Sahilan
Istana Kerajaan Gunung Sahilan dari Pekanbaru Ibukota Provinsi Riau berjarak lebih kurang 70km atau dapat ditempuh lebih kurang 1jam perjalanan darat. Dulunya jalan akses menuju Istana,kita harus melewati jalur sungai melewati Sungai Kampar melalui rakit,pompong atau sampan. Kini Telah berdiri dengan kokoh sebuah jembatan. Tidak jauh dari jembatan tersebut kita dapat menjumpai sebuah Istana Tua yang sudah tidak terawat yaitu Istana Kerajaan Gunung Sahilan, Istana ini tepat berada di Jalan Istana.
Istana Raja Gunung Sahilan (Tampak dari Samping)
Istana ini persis berada di depan Alun-alun Ninik mamak masyarakat Gunung Sahilan.  Didalam istana ini terdapat beberapa benda peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan, diantaranya  meriam kecil atau lelo (sebutan masyarakat tempatan), kendi, gong hitam, tombak, pedang, payung kerajaan, yang apabila dibuka diyakini masyarakat sekitar maka daerah gunung sahilan akan turun hujan, sebuah guci yang pada musim kemarau terisi penuh, tapi ketika musim hujan gucinya kosong, kata masyarakat setempat yang menyakininya., tempat tidur beserta kasur dan beberapa photo lama yang terpajang didalam istana.
Istana Raja Gunung Sahilan (Tampak Samping)
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng. Beberapa keturunan raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul. “Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang rumahnya berada tidak jauh dari istana. 
Bagian Belakang Istana Raja Gunung Sahilan
Menurut Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh. “Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan. “Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar. Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941). “Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.

Komplek Makam Raja Raja Gunung Sahilan

Tidak jauh dari Istana dapat kita jumpai Makam-Makam Raja Gunung Sahilan, namun ada yang sangat menarik perhatian diantara sekian banyak makam tersebut terdapat Makam yang di nisan bertuliskan tahun 1357, apakah tahun yang dimaksud Tahun Hijriah atau Tahun Masehi, kemudian juga terdapat Makam yang bernisankan batu alam. 
Salah Satu makam Tua di Kompleks Makam Raja Raja Gunung Sahilan, di Nisan Makam bertulsikan tahun 1357
Salah Satu Nisan Makam Raja Gunung Sahilan yang bernisankan Batu Alam




Muara Takus Temple is a Buddhist temple located in Riau, Indonesia. This temple complex is located in the village of precisely Barelang, District XIII Koto Kampar Regency or the distance is approximately 135 kilometers from the city of Pekanbaru, Riau. The distance between this temple complex in the village center Barelang approximately 2.5 miles and not far from the edge of the Kampar River Right.                   This temple complex surrounded by a wall measuring 74 x 74 meters outside the walls there are also arealnya sized ground 1.5 x 1.5 kilometers surrounding this complex sampal to Kampar Kanan river.


Within this complex there are also old temple buildings, temples and Mahligai Youngest Stupa and Palangka. Temple building material composed of sandstone, river rock and brick. According to sources original, bricks for this building built in the village Pongkai, a village located on the downstream side of the temple complex. Former mining land for the bricks until now regarded as a highly respected residents. To carry bricks to the temple, done in relay from hand to hand. This story must be true although not yet give the impression that temple building was the work together and conducted by the crowds.