Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Mesjid Raya Pekanbaru ditetapkan sebagai Cagar Budaya  atas dasar Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM 13/PW.007/MKP/2004 tertanggal 3 Maret 2004, sebagai cagar budaya namun kini Status Cagar Budayanya telah dicabut melalui Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan  status barunya sebagai Struktur Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru dan hal itu terjadi karena Renovasi Mesjid Raya yang mengubah wujud asli bangunan, namun proses renovasi tersebut masih menyisakan bangunan asli dan salah satu diantaranya adalah  Tiang Enam Mesjid Raya Pekanbaru sebagai tiang dasar pembangunan mesjid.  
Mesjid ini memiliki rangkaian sejarah yang cukup panjang, pembangunan Mesjid Raya yang selesai pada tahun 1936 melibatkan Banyak Tokoh dan juga donatur pada saat itu   seperti Imam H. M. Thaher, H. Sulaiman India, Guru Hasan dan M. Zain dll. Bangunan Mesjid Raya Pekanbaru telah mengalami beberapa kali pengembangan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan jumlah jamaah Masjid Raya yang cukup ramai, sehingga pada tahun 1939 M, dibangun selasar keliling mesjid dengan lebar 2,35 meter. Kemudian pada tahun 1940 dibangun pula pintu gerbang Mesjid Raya yang menghadap ke Timur. Dalam tahun 1973, bangunan Mesjid Raya kemudian ditambah dengan teras depan dan pada tahun 1985 dibangun kubah baru Mesjid Raya.

 
Masjid Raya Pekanbaru atau Masjid Senapelan Pekanbaru merupakan salah satu masjid tertua di Riau yang terletak di Kota Pekanbaru, Indonesia. Masjid ini dibangun pada abad ke-18, tepatnya tahun 1762. Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, sebagai sultan keempat dari Kerajaan Siak Sri Indrapura, dan kemudian diteruskan pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai sultan kelima dari Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Sejarah berdirinya Mesjid Raya Pekanbaru dikisahkan ketika di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan dan menjadikan Senapelan (sekarang Pekanbaru) sebagai Pusat Kerajaan Siak. Sudah menjadi adat Raja Melayu saat itu, pemindahan pusat kerajaan harus diikuti dengan pembangunan “Istana Raja”, “Balai Kerapatan Adat”, dan “Mesjid”. Ketiga unsur tersebut wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat dan ulama (agama) yang biasa disebut “Tali Berpilin Tiga” atau “Tungku Tiga Sejarangan”.
 
Pada penghujung tahun 1762, dilakukan upacara “menaiki” ketiga bangunan tersebut. Bangunan istana diberi nama “Istana Bukit” balai kerapatan adat disebut “Balai Payung Sekaki” dan mesjid diberi nama “Mesjid Alam” (yang mengikut kepada nama kecil sultan Alamuddin yaitu Raja Alam). Pada tahun 1766, Sultan Alamuddin Syah meninggal dan diberi gelar MARHUM BUKIT. Sultan Alamuddin Syah digantikan oleh puteranya Tengku Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Pada masa pemerintahannya (1766-1779), Senapelan berkembang pesat dengan aktivitas perdagangannya. Para pedagang datang dari segala penjuru. Maka untuk menampung arus perdagangan tersebut, dibuatlah sebuah “pekan” atau pasar yang baru, pekan yang baru inilah kemudian menjadi nama “Pekanbaru” sekarang ini.

Masjid ini mengalami beberapa renovasi. Yaitu pada tahun 1755, renovasi dilakukan dengan pusat pelebaran daya tampung masjid. Lalu pada tahun 1810, pada masa pemerintahan Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin, masjid ini kembali direnovasi dengan menambahkan fasilitas tempat berteduh untuk pada peziarah makam di sekitar area masjid. Dilanjutkan pada tahun 1940, ditambahkan sebuah pintu gerbang masjid yang menghadap ke arah timur. Renovasi yang terakhir, terjadi pada tahun 1940, renovasi ini merupakan renovasi dari keseluruhan masjid yang bisa disebut sudah sangat tua. Renovasi ini dimulai dari tahun 1755 sampai tahun 1940. Ini artinya masjid tersebut sudah berusia hampir 2 abad lamanya.

Sejak 2009, masjid ini masuk proyek revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Riau. Dengan adanya revitalisasi yang dikerjakan Dinas Pekerjaan Umum Riau, revitalisasi ini menghancurkan bangunan aslinya. Akibat proyek tersebut, yang tersisa hanya 26 tiang bekas bangunan lama yang ada di sisi timur, selatan, barat, dan utara. Ada enam tiang penyanggah tengah yang kini tersisa dan dijadikan bentuk menara. Hal ini membuat masjid ini menjadi satu-satunya masjid yang memiliki menara dalam bangunan. Menara itu terpaksa dibuat karena bekas sisa tiang penyanggah masjid masa lalu.

Tiang-tiang sisa bangunan lama memang masih dipertahankan. Tapi bentuk asli masjid sudah diratakan dengan tanah. Kini bangunan masjid itu begitu megah, sama seperti bangunan masjid modern masa kini. Dulunya, bangunan masjid bergaya arsitektur melayu kuno.

Masjid Raya Pekanbaru kini tidak lagi sebagai masjid tua yang tidak begitu raya. Pada 2009 Rumah ibadah yang penuh dengan untaian sejarah itu diubah. Tidak hanya fisik, tetapi juga ragam hiasnya. Sangat disayangkan, tetapi itulah yang terjadi. Bangunan masjid dirombak tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah pelestarian cagar budaya.
Masjid yang dibangun pada abad ke-18 ini kini menjadi lebih modern. Tak terlihat lagi kekhasan bangunannya seperti saat kali pertama dibangun oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Dahulu masjid ini didominasi gaya arsitektur Melayu yang dipengaruhi arsitektur Timur Tengah. Kini semuanya tinggal kenangan.

Sekarang yang tersisa hanya dinding bagian muka, gerbang, tiang atau sokoguru, dan mimbar. Statusnya pun harus berubah, dari Bangunan Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru menjadi Struktur Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru.

Tim Ahli Cagar Budaya Nasional menyatakan bahwa:
“sebelum Masjid Raya Pekanbaru mengalami perubahan secara signifikan seperti sekarang ini, dari aspek sejarah masjid ini merupakan kelanjutan pembangunan dari masjid pertama yang dibangun oleh Sultan. Masjid yang kali pertama dibangun erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Siak Sri Indrapura, yang pernah bertahta di Pekanbaru, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Namun, mengingat masjid lama yang dibangun oleh Sultan telah dibongkar dan kemudian dibangun kembali dengan masa yang jauh berbeda, maka secara historis masjid ini nilainya sudah tidak sama dengan masjid yang pertama. Hal ini menunjukkan telah terjadi penurunan nilai historisnya”.

Berubah dari banguan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya

Dengan memertimbangkan masih adanya peninggalan sejarah dan budaya yang tersisa, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional merekomendasikan untuk mengubah statusnya dari Bangunan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 209/M/2017 tentang Status Bangunan Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru pada 3 Agustus 2017.

Dan apa saja bangunan asli Mesjid Raya tersebut :

                                Gerbang Mesjid Raya Pekanbaru




                                     Tiang Penyangga Mesjid

 


                                               Mimbar Mesjid


 


Narasi 
Wikipedia
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

Rumah yang berada di Jl. Kesehatan Pekanbaru ini dulunya merupakan Lokasi Markas Heiho dan Kempetai Jepang atau Rumah ini lebih dikenal dengan Rumah Fateh Ali.
Rumah tersebut merupakan milik Abas Sultan Marajo yang diambil Jepang dan digunakan sebagai markas. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, rumah tersebut terbakar, sehingga pemiliknya menjualnya dan dibeli oleh Fateh Ali cucu dari Haji Sulaiman Ali. Pada sekitar tahun 1961-1962, rumah ini dibangun kembali oleh Fateh Ali dalam bentuk sebagaimana yang dapat dilihat sekarang ini.

Haji Sulaiman merupakan seorang India yang masuk ke Indonesia pada tahun 1823. Haji Sulaiman pada saat itu merupakan salah satu Orang Kaya di Pekanbaru dan menjadi donatur terbesar pembangunan Mesjid Raya dan sekitar 70persen tanah Pekanbaru merupakan milknya. Bahkan Tanah Caltex merupakan hibah dari Haji Sulaiman,setidaknya ada 191 surat hibah Tanah dari Haji Sulaiman.

Kini rumah ini ditempati oleh keluarga Anita binti Fateh Ali cicit dari  dari Haji Sulaiman India. Pada Rumah Fateh Ali ini menyimpan berbagai peninggalan etnografi dan dokumen. Di dalam rumah ini terdapat bunker atau terowongan yang tembus ke Sungai Siak. Di dalam bunker yang pernah digali tanpa sengaja ini ditemukan berbagai khazanah peninggalan sejarah Riau yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Bahkan, di dalam rumah ini terdapat berbagai peninggalan sejarah dan budaya, berupa benda bergerak seperti pakaian, pelaminan, barang-barang perjamuan dan peralatan makan, tempat tidur, meja rias, dan lain-lain sebagai peninggalan Haji Sulaiman pada seperempat pertama abad ke-20. Benda-benda ini merupakan sumber informasi sejarah sosial budaya di Pekanbaru khususnya pada pada masa sebelum kemerdekaan.

Almarhum Fateh Ali dan keluarga menemukan bunker di bawah rumah. Penemuan itu melalui penggalian tanpa sengaja. Bunker ini menimbun khazanah seperti ujung tombak, piring-piring dan alat pecah belah, samurai, bahkan kap mobil. Belum diketahui asal-muasal barang tersebut. Konon ada yang menduganya sebagai barang-barang dari Kerajaan Siak yang berhasil disita Jepang, sebagian lagi mungkin dari pihak tawanan tentara Belanda. Benda-benda temuan tersebut, karena kekurangtahuan, dibiarkan menumpuk di halaman. Sehingga, sedikit demi sedikit hilang dibawa pemulung. Sampai akhirnya sekarang yang tersisa dari penggalian itu berupa 1 buah mata tombak.
Ada rumor dikaitkan dengan bunker dan hartanya. Namun, sejauh ini belum ada upaya penggalian oleh pihak terkait. Pemilik rumahpun enggan melakukan penggalian, antara lain karena kepercayaan bahwa akan terjadi musibah atau petaka jika dilakukan penggalian. Diyakini bahwa di dalam bunker yang tertimbun itu kemungkinan ada peledak yang masih aktif, sehingga tidak bisa digali sembarangan tanpa persiapan matang dan melibatkan pihak terkait. Pintu masuk bunker ditimbun dan bekasnya sengaja sulit untuk ditemukan oleh pihak-pihak yang dikhawatirkan tidak bertanggung jawab. Sekalipun pintu bunker sudah ditimbun dan tidak mudah ditemukan, namun penghuni rumah tetap merasakan keberadaan bunker. Di bagian kamar tidur terdepan, lalu lalang mobil di jalan perdagangan depan rumah itu menimbulkan getaran dan gema atau pantulan suara dalam ruangan tatkala telinga didekatkan di lantai. Sekarang, rumah tersebut dihunioleh salah seorang anak Fateh Ali, Anita dan keluarganya.

Rumah Fateh Ali ini memiliki arti penting bagi
sejarah, karena pada masa pendudukan Jepang di tempat tersebut pernah ada kantor kampetei Jepang yang kemudian terbakar. Keberadaan tentara Jepang pada masa pendudukan Jepang tersebut diperkuat dengan adanya bunker yang terdapat di bawah tanah di dalam rumah tersebut.

Secara historis, lokasi rumah tersebut memiliki
informasi penting tentang kehidupan pada periode pendudukan Jepang di Riau khususnya diPekanbaru. Selain sebagai bangunan tua yang dibangun sejak tahun 1961, rumah tersebut terkait dengan peristiwa sejarah dan menjadi bukti benda (artefact) tentang keberadaan tentara Jepang di Pekanbaru pada masa perang dunia 
kedua. Rumah Fateh Ali tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi dengan adanya bunker Jepang. Keberadaan rumah ini memperkuat sejarah tentang tokoh-tokoh di Riau dalam melawan tentara Jepang.
Kampung Bandar Senapelan sebagai salah satu saksi sejarah kota Pekanbaru. Dahulunya di Kampung Bandar ini terdapat terminal dan kini terminal tersebut menjadi sebuah cerita ke anak cucu dan yang tersisa dari terminal tersebut  hanya dinding beratap dari batu yang merupakan sebuah Halte, dan halte ini terletak dibawah Jembatan Siak III.

Dulunya disekitar terminal juga terdapat jembatan dan jembatan ini merupakan satu-satunya (dan mungkin sebagai jembatan yang pertama melintasi Sungai Siak) sebagai sarana penyeberangan di era 1950 hingga 1970-an yang meghubungkan wilayah Senapelan dan Rumbai melalui Sungai Siak. Jembatan ini dilengkapi dengan fasilitas sebuah terminal oplet (mikrolet) dan halte terminal dimana halte ini digunakan sebagai tempat persinggahan bagi para penyeberang. Dan sebagian besar penyeberang tersebut merupakan Karyawan Caltex Pasific Indonesia (sekarang Chevron Pasific Indonesia).


Dulunya Karyawan Chevron Pasifik Indonesia (dh Caltex) yang akan bekerja ke Rumbai mendominasi pengguna Jembatan ataupun Terminal, dan sebagian karyawan Caltex tersebut menggunakan sepeda dan sepeda tersebut diparkir atau dititipkan di Rumah Rodiah Thaher yang persis berada di Depan Terminal, lalu mereka melajutkan perjalanan ke Rumbai menggunakan Transportasi lain dengan melewati jembatan dan terminal ini berfungsi sebagai terminal transit.




Terdapat sebuah rumah yang merupakan milik Rodiah Taher, dan rumah ini berada di Jalan Meranti yang dulu keberadaanya persis didepan Terminal atau Jembatan Penyeberangan (Jembatan Phonton Sungai Siak), rumah berbentuk panggung ini dibangun pada tahun 1951 dan dibagian kolong rumah dulunya merupakan tempat parkir atau penitipan Sepeda pegawai Caltex yang bekerja di Rumbai. Rumah ini cukuplah mempunyai nilai historis bagi perkembangan Kota Pekanbaru dan juga Caltex tentunya.


Keberadaan Kompleks makam Raja-Raja Rambah ini tidak terlepas dari eksistensi Kerajaan Rambah. Kerajaan Rambah merupakan salah satu dari lima Kerajaan Melayu di daerah Rokan Hulu.

Kerajaan Rambah diperkirakan berdiri sekitar pertengahan abad ke XVII Masehi dan
sudah menganut Agama Islam. Kerajaan Rambah ini memakai sistem Raja Empat Selo yaitu tiga anak raja, satu anak raja-raja. Secara hierarki, Kerajaan ini masih memiliki pertalian saudara dengan Kerajaan Tambusai.
 


Pendiri Kerajaan adalah Raja Muda beserta rombongan Sutan Perempuan. Raja Muda adalah anak dari Raja Kerajaan Tambusai, sedangkan rombongan dari Sutan Perempuan berasal dari Penyabungan. Mereka mencari lokasi kerajaan dengan mengikuti arus sungai ke hulu. Mereka menemukan satu lokasi yang dianggap tepat dan menjadikannya sebagai kerajaan. 

Dari hasil pantauan pada salah nisan di kompleks makam ini, terdapat angka tahun yang menunjukkan 1292 H atau sekitar 1871 m. Dalam kompleks makam tersebut, setidaknya ada sebelas (11) Raja Rambah yang dimakamkan, diantataranya adalah :
  1.  Gapar Alam Jang Dipertuan Muda
  2.  Mangkoeta Alam Jang Dipertua Djumadil Alam
  3.  Alam Sakti
  4.  Poetra Mansyoer
  5. Soeloeng Bakar yang Dipertuan Besar
  6. Abdoel Wahab Yang Dipertuan Besar (Alm. Kajo)
  7. Ali Domboer Jang Dipertuan Besar (Alm. Saleh)
  8. Sati Lawi Jang Dipertuan Besar (Alm. Pandjang Janggoet)
  9. Sjarif Jahja Jang Dipertuan Moeda 
  10. Ahmad Kosek Jang Dipertuan Djoemadil Alam
  11.  Muhammad Sjarif Jahja Jang Dipertuan Besar (Alm. Besar Tangan Sebelah)

Pemakaman ini merupakan kompleks pemakaman raja raja Rambah yang kedua. Lokasi pertama berada di Kampung Rambahan Tanjung Beling. Secara arkeologis, makam raja-raja rambah mengunakan nisan tipe Aceh.
 
Keberadaan kompleks makam ini diperkirakan mulai ada pada awal tahun 1800-an. Kompleks pemakaman ini dahulunya berada dalam kompleks istana Kerajaan Rambah yang berada di pinggir sungai Rokan Kanan dengan jarak sekitar 250 meter dari jalan raya Pasir Pengaraian - Dalu-Dalu. 

Makam Raja Raja Rambah telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Tidak Bergerak di Kabupaten Rokan Hulu oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya : 11/BCB-TB/B/05/2007

Gambaran Mengenai Makam Raja-Raja Rambah dapat dilihat pada video berikut 




Salah satu gedung Tua di Pekanbaru. Gedung ini merupakan Museum Penyiaran RRI Pekanbaru. 


Dulunya gedung ini merupakan Gedung RRI Pekanbaru dan saat ini sudah beralih fungsi menjadi Museum Penyiaran, sayangnya museum ini selalu tutup.

Gedung ini dibangun pada tahun 1930 dan merupakan salah satu bangunan peninggalan Belanda di Pekanbaru yang masih tersisa hingga saat ini. Keberadaan gedung RRI Pekanbaru diikuti oleh peristiwa sejarah mulai dari periode pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan tentara Jepang, perjuangan Kemerdekaan RI, sampai dengan periode pemberontakan PRRI di Sumatera. Selama 11 tahun (1931-1942), gedung RRI Pekanbaru ini berfungsi sebagai Kantor Controleur Belanda (Komplek Perkantoran Gubernur Jenderal Belanda), merupakan tempat kedudukan Controleur Kampar Kiri yang dipindahkan ke Pekanbaru. Selama 3 tahun (8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945), gedung RRI Pekanbaru dijadikan rumah kediaman Riau Syucokan Makino Shuzaburro, seorang Gubernur dari Militer Jepang yang mengepalai Riau Syu dan berkedudukan di Pekanbaru. Pada 1 Maret 1957, gedung ini difungsikan sebagai pusat pemberitaan oleh Tim PENAD (Penerangan Angkatan Darat) dengan tenaga dari RRI Pusat yang dipimpin oleh Kapten Syamsuri dari RTPI Jakarta dalam upaya untuk membebaskan rakyat di wilayah Riau daratan dan Riau lautan yang ketika itu dikuasai oleh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tahun 1958, penggunaan gedung diserahkan kepada RRI. Gedung ini berada di pertigaan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Juanda Pekanbaru. 



Laksamana raja di laut
Bersemayam di Bukitbatu
Ahai hati siapa
Ahai tak terpaut
Mendengar lagu zapin Melayu..

Petikan atas adalah lirik lagu Laksamana Raja di Laut yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Iyeth Bustami. Laksmana Raja di Laut bukanlah sekedar lagu. Datuk Laksamana Raja Dilaut menjadi legenda seorang penguasa laut yang terkenal. Kabarnya ditangann beliau segala bentuk kejahatan laut takluk padanya. Seperti banyaknya Lanun, yang merompak hasil bumi dan perdagangan di laut. Begitu juga dengan penyerangan-penyerangan dari negeri luar.
Sebelum Perang Dunia II pemerintah kolonial Belanda telah membuat rencana pembangunan jaringan jalan rel kereta api yang menghubungkan pantai timur dan pantai barat Sumatera, yang akhirnya akan meliputi seluruh pulau Sumatera. Jalur Muaro ke Pekanbaru adalah bagian dari rencana itu. Tapi hambatan yang dihadapi begitu berat, banyak terowongan, hutan-hutan dan sungai serta harus banyak membangun jembatan. Karena belum dianggap layak, rencana itu tersimpan saja di arsip Nederlands-Indische Staatsspoorwegen (Perusahaan Negara Kereta Api Hindia Belanda).

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942 , Jepang mengetahui rencana Kolonial Belanda. Penguasa militer Jepang melihatnya sebagai jalan keluar persoalan yang mereka hadapi. Pembangunan jalan rel yang menghubungkan Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera akan membuat jalur transportasi yang menghindari Padang dan Samudera India yang dijaga ketat kapal perang Sekutu. Jalan kereta api baru itu akan memperluas jaringan Staatsspoorwegen te Sumatra’s Weskust (SSS) sepanjang 215km ke pelabuhan Pekanbaru. Dari sana, melalui Sungai Siak akan mudah mencapai Selat Melaka.

Makam Putri Kaca Mayang berada di Desa Gasib Kecamatan Koto Gasib Kabupaten Siak, untuk menjumpai makam ini tidaklah begitu sulit. Dari Pekanbaru menuju pemakaman ini dapat ditempuh dengan perjalanan 2jam. Panduan yang paling mudah untuk menemui makam ini adalah Tugu Perbatasan Kecamatan Tualang dan Koto Gasib. Berselang 1 km dari tugu perbatasan tersebut dapat kita jumpai sebuah Tugu yang berbentuk mahkota dan juga Rambu Petunjuk Informasi  Makam Putri Kaca Mayang, dan dari tugu tersebut perjalanan kita lanjutkan kearah dalam menuju areal Pabrik Kelapa Sawit PT Kimia Tirta Utama, diperkirakan jarak dari Tugu  ke Makam Putri Kaca Mayang sejauh 10km.



Akses menuju Makam ini bisa dikatakan cukup baik, karena jalan yang kita lalui adalah jalan milik perusahaan. Sepanjang perjalanan menuju Makam kita akan menjumpai perkebunan Kelapa Sawit dan juga infrastruktur milik perusahaan.




Konon Putri kaca mayang merupakan Putri yang cantik dan merupakan Putri dari Raja Gasib. Keberadaan Putri kaca Mayang dianggap sebagai sosok yang misterius bagi warga Gasib, menurut warga Gasib dulunya di sekitar Makam utri kaca Mayang ditemukan benteng dan juga bekas puing-puing kerajaan, namun kini semuanya telah sirna dan hilang, karena minimnya pengetahuan masyarakat sekitar mengenai Sejarah dan Cagar Budaya.



Kini nama Putri Kaca Mayang dijadikan sebuah nama tempat hiburan di Kota Pekanbaru,yaitu Taman Ria Putri Kaca Mayang, namun keberadaan taman ini konon kan digusur, Taman Ria Putri Kaca Mayang akan dijadikan sebuah Taman Kota nantinya.

Bagi yang penasaran dengan kisah Putri Kaca Mayang bisa membaca Artikel Siapa Pendiri Kota Pekanbaru sebenarnya ? dan juga dapat melihat Video Singkat berikut mengenai Misteri Kerajaan Gasib dan Putri Kaca Mayang.

Siapa Pendiri Kota Pekanbaru sebenarnya ? Marhum pekan atau Panglima Gimbam ?

Untuk dapat menjawab pertanyaan diatas, tentunya kita harus mengetahui Sejarah Kota Pekanbaru. Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau, yang saat ini menjadi salah satu Kota selain Makassar yang diusulkan menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

Pada masa dahulu Pekanbaru hanya sebuah dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang.
Sebuah kerajaan Melayu Islam terbesar di Riau telah meninggalkan jejak yang cantik di bumi melayu dan nusantara, Istana  Siak, itulah nama yang biasa disebut. Ini adalah kunjungan kesekian kalinya bagi saya,namun tidak pernah bosan untuk berkunjung kembali, kunjungan ini begitu spesial, karena kami membawa turis lokal berkunjung ke Istana Siak, ini adalah kunjungan pertama mereka, dan dikunjungan pertamanya turis tersebut mendokumentasikan Istana Siak dalam bentuk Liputan Video Dokumenter Singkat Ala Bertuah TVRasa penat menempuh perjalanan 3 Jam dari Pekanbaru hilang seketika ketika kami melewati sebuah jembatan Megah Jembatan Tengku Agung Sulthanah Latifah. Secara eksplisit jebatan ini menggambarkan masa keemasan dan Kejayaan Kerajaan Siak tempo dulu. Panorama hamparan kebun sawit berubah menjadi pemandangan nuansa melayu ketika kami melewati jembatan tersebut.
Jembatan Tengku Agung Sulthanah Latifah


Makam Syech Burhanuddin merupakan salah satu Wisata Religi yang terdapat di kabupaten Kampar. Makam Syech Burhanuddin berada di Desa Kuntu  Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Makam ini cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan, terutama menjelang bulan ramadhan,mereka datang dengan tujuan memberi doa kepada Syech Burhanuddin. 


Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura yang terletak di kabupaten Siak  yang telah berdiri ratusan tahun disebut-sebut menyimpan harta tak ternilai baik materil maupun imateril. Uniknya, dibalik keindahan benda-benda yang dipamerkan ada sebuah lemari besi besar yang kokoh dan tidak bisa dibuka. Lemari besi yang tersimpan secara terbuka di bagian belakang istana berwarna hitam dengan ukuran 0,5 x 1,2 meter tampak biasa saja. Di balik dinginnya lemari yang knopnya telah dibongkar dan berbobot sekitar 300 kilogram tersebut ternyata tidak pernah bisa dibuka. Kuncinya dibuang ke laut oleh Sultan Syarif Kasim II Siak yang terakhir, sewaktu beliau menjadi penasehat Presiden Soekarno pada tahun 1945-1950.

Segala usaha sudah dilakukan oleh pihak keturunan kerajaan maupun pemda Siak untuk membuka brankas tersebut dengan mendatangkan ahli kunci dan orang pintar. Namun, segala upaya yang mereka lakukan tidak ada satu pun yang bisa membuka, bahkan lemari besi tersebut telah dibor, dilas, dicongkel, bahkan didoakan, namun tidak ada yang bisa membukanya. Bahkan ada cerita satu orang pintar yang terpental saat mendoakan lemari besi tersebut menyisakan retakan di salah satu dinding istana.

Lemari Besi Kerajaan Siak
Peradaban sebuah bangsa menjadi bermakna, ketika dia mampu memahami dan mengingatnya dalam memori yang dituangkan pada simbol-simbol peradaban. Dirasakan detak jantung dan napasnya pada kehidupan nyata, serta mampu menghargai simbol, makna yang terkandung di dalamnya. Melalui perilaku dan adab budaya, terkuaklah peradaban yang telah dimiliki.
Sebuah perhelatan bertajuk Wisata Fotografi adalah kegiatan hunting partisipatif pada kawasan prioritas penataan pemukiman sesuia dengan Visi " Menjadikan kelurahan Kampung Bandar Menjadi Kawasan Sejarah dan Budaya Melayu di Kota pekanbaru" dalam perspektif foto-foto mengantarkan kami untuk menelusuri sebuah kejayaan dan peradaban melayu masa lalu di kota Pekanbaru. Kami seakan berada di Pekanbaru masa lalu. Minggu pagi 7 Oktober 2012 kami dipandu oleh bapak Muhammad Thohiran juru pelihara situs kompleks makam Marhum Pekan, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). Dengan pengeras suara Bapak thohiran mengantarkan kami dan menjelaskan situs sejarah dan pusat budaya masyarakat masa lalu.
Tepian sungai siak tempat dimana kami berdiri dulunya adalah terminal lama pintu kedatangan ke pekanbaru, kini terminal tersebut sudah musnah dan hanya menyisakan sebuah bangunan kecil yang dulunya digunakan sebagai Kursi tunggu bagi penumpang.
TERMINAL KOTA PEKANBARU DI TEPIAN SUNGAI SIAK TEMPO DULU

LOKASI SAAT INI EKS TERMINAL KOTA PEKANBARU DI TEPIAN SUNGAI SIAK