Debus Indragiri Hulu adalah sebuah kesenian tradisional masyarakat Melayu Indragiri Hulu, yang telah ada semenjak kesultanan Indragiri yang dibawa oleh Syeh Ali Al Idrus (bangsa Arab Hadratul Maut). Tempo dulu kesenian Debus digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam di wilayah Indragiri, dan sekarang kesenian debus sebagai sarana hiburan pada perayaan pernikahan, Sunat Rasul, serta perayaan Islam lainnya. Alat yang dipakai dalam debus berupa sebilah besi yang tajam bermata tiga. Debus dilakukan secara bergiring-giring dengan kalimat berjanji diiringi musik Gebano serta dipimpin oleh seseorang Khalifa', lalu penari/pemain debus menusukkan debus bermata tajam ke lengan dan ke perut penari. Maka dengan izin Allah SWT penari Debus tidak terluka oleh tajamnya mata Debus. Pada akhir pertunjukan Debus ditutup oleh Khalifa' dengan do'a -do'a
Pada Tahun 2016 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Debus Indragiri Hulu menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201600312.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 73)
Keberadaan Silat Perisai
dimulai pada masa Wilayah
Negeri Kampar
dulunya
sebelum
kemerdekaan
RI pernah mempunyai
sistem pemerintahan
Andiko dimana yang berkuasa adalah Pucuk Adat yang disebut Ninik Mamak. Ninik Mamak menaungi masyarakat yang disebut anak Kemenakan dan Urang
Sumondo.
Setiap kelompok masyarakat yang terdiri dari Anak Kemenakan dan Urang Sumondo disebut pasukuan. Setiap pasukuan memiliki dubalang/pendekar Silat Perisai. Pada masa itu yang berlaku hukum adat. Bila terjadi silang sengketa antara pasukuan misalnya tentang wilayah hutan tanah, menurut hukum adat diputuskan untuk menentukan siapa yang berhak mengadu dua orang dubalang/pendekar dari dua suku yang bersengketa itu di gelanggang silat. Masing-masing dubalang memakai busana teluk belanga lengan pendek, kain sesamping dan ikat kepala, bersenjata sebilah pedang si tangan kanan dan sebuah perisai di tangan kiri. Dengan diberi aba-aba oleh dubalang pucuk adat pertarungan dimulai. Bila salah seorang dubalang itu sudah terdesak dan tak mampu lagi bertahan sehingga mungkin akan terluka/terbunuh, isteri dubalang dimaksud akan masuk ke gelanggang (sebagai wasit) segera menghentikan pertarungan itu dengan sebuah isyarat yang menyatakan pada hadirin bahwa pendekar (suaminya) telah mengaku kalah. Dengan itu Pucuk Lembaga Adat akan mengumumkan pasukan yang menang.
Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Silat Perisai menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201700475.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 84)
Syair Ibarat Khabar Kiamat merupakan salah satu sastra lisan yang karang dan diciptakan oleh seorang Mufti Kerajaan Indragiri bernama Syekh Abdurrahman Shiddiq.
Sejarah Singkat Tentang Tuan Guru Sapat
Syech Abdurrahman Siddiq. Tuan Guru Syech Abdurrahman Siddik atau yang
akrab disapa Tuan Guru Sapat merupakan seorang guru agama islam (Mufti
Kerajaan Indragiri) yang cukup tersohor dan banyak memiliki murid yang
berasal dari negeri Malaysia, Singapura, Kalimantan, Jambi dan
Palembang. Beliau lahir di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan
Selatan pada tahun 1867 M (1284 H). Ayahnya bernama Muhammad Afif bin
Khadi H. Mahmud dan Ibunya bernama Shafura dan beliau merupakan
keturunan ulama besar dari Kalimantan bernama Syekh Arsyad Al-Banjari.
Sebelum menetap di Sapat Indragiri Hilir, Tuan Guru sempat merantau ke
Padang (Sumatera Barat) untuk menemui paman beliau bernama As’ad. Di
Tanah Minang tersebut, beliau menjalankan usaha sebagai penyepuh emas
sembari berdakwah ke pelosok-pelosok Sumatera Barat berbekal ilmu agama
yang telah di dapatkannya di pesantren sewaktu kecil.
Sekitar tahun 1886, Tuan Guru memutuskan berangkat ke Mekkah untuk lebih mendalami ilmunya. Setelah tujuh tahun menetap di Negeri Padang Pasir akhirnya Tuan Guru meminta izin untuk pulang ke Tanah Air dengan alasan ingin mengabdikan illmunya di kampung halaman dan mendapatkan persetujuan dari birokrasi pendidikan Mekkah. Setelah sampai di Kalimantan, beliau memutuskan untuk migrasi ke Sumatera tepatnya ke Bangka Belitung di mana Muhammad Affif (Ayah beliau) merantau panjang di negeri itu. Sekitar Tahun 1980 Tuan Guru tiba di Sapat, Indragiri Hilir. Migrasinya beliau dari Bangka Belitung ke Indagiri berdasarkan informasi dari seorang saudagar asal Indragiri Hilir bernama Haji Arsyad bahwa Indragiri Hilir (Sapat) memiliki potensi dan membutuhkan seorang ulama seperti Tuan Guru.
Seiring berjalannya waktu, Sultan Indragiri (sewaktu itu Sapat
adalah bagian dari wilayahnya) mendapat informasi dari Panco Atan (Warga
Indragiri yang pernah belajar di Mekkah) bahwa di Sapat terdapat
seorang ulama besar. Atas informasi tersebutlah, Sultan mengundang Tuan
Guru untuk bertemu. Dalam perbincangan keduanya munculah permintaan
Sultan Indragiri agar Tuan Guru bersedia menjadi Mufti yakni seorang
ahli agama yang ditugaskan oleh Sultan untuk memenuhi kebutuhan umat
Islam khusunya dalam hal perkawinan, mawaris, pengadilan dan perceraian.
Namun awalnya, permintaan Sultan tersebut ditolak secara halus oleh
Tuan Guru karena alasan masih memiliki tanggung jawab sebagai pengajar
dilembaganya yang sebenarnya juga Tuan Guru tidak menyukai akan sebuah
jabatan. Akhirnya dengan bujukan Sultan dan demi kepentingan agama
diwilayahnya, Tuan Guru bersedia menjadi Mufti dengan syarat
diantaranya, beliau tetap tinggal di Sapat dan tidak mau menerima gaji
dari kerajaan.
Permintaan dari Tuan Guru tersebut disetujui oleh pihak Istana
dan pada tahun 1327 H / 1910 M, Tuan Guru diangkat menjadi Mufti
Kerajaan Indragiri hingga tahun 1354 H / 1935 H. Tidak semata-mata hanya
menjadi seorang Mufti, Tuan Guru Juga sering pulang pergi menggunakan
perahu kecil dari Sapat ke Istana Rengat, Indragiri untuk memberikan
pengajian atas permintaan Sultan. Bahkan sebagian pejabat istana pada
hari-hari tertentu juga pergi ke Sapat untuk mengikuti Majelis Ta’lim
Tuan Guru.
Tuan Guru Syeck Abdurrahman Siddiq wafat pada hari Senin,
tanggal 4 Sya’ban 1358 H, atau bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1939 M
karena sakit. Beliau berpulang kerahmatullah dalam usia kurang lebih 82
tahun. Jenazah dimakamkan di Kampung Hidayat, Sapat Indragiri Hilir.
Acara haul Tuan Guru Sapat Syech Abdurrahman Siddiq diadakan sebagai bentuk penghormatan atas peran beliau di dalam mengembangkan keilmuan pendidikan dan pengetahuan keagamaan islam. Dilaksanakan tiap-tiap tahun bertepatan hari wafatnya Tuan Guru Sapat. Acara tersebut dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai pelosok Nusantara bahkan dari negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Kitab-kitab Karangan Tuan Guru Sapat Syech Abdurrahman Siddiq
Selain
aktif mengajar tentang agama islam, Tuan Guru juga merupakan seorang
ulama yang prolific di dalam keilmuan Fiqih, Aqidah, Tasawuf, Tata
Bahasa Arab, Hukum Waris, Sejarah dan lainnya. Di antara kitab yang
telah ditulisnya adalah:
- Jadwal Sifat Dua Puluh
- Sittin Masalah dan Jurumiyah
- Asrarul Shalah min’iddatiil kutubi al mu’tamadah
- Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam
- Fathul ‘alim fi tartib al ta’lim
- Sya’ir Ibarat dan Kabar Kiamat
- Risalah fi Aqa’id al-Iman
- Risalah Takmilat Qawi al-Mukhtasar
- Kitab al-Faraid
- Bay al-Haywan lil-Kaafiriin
- Tadzkirah li Nafsi wa-li Amtsa li min al-Ikhwan
- Maw’izhah li Nafsi wa-li Amtsa li min al-Ikhwaan
- Risaalat Amal Ma’rifat
- Mu’jamul aayaat wal ahaadits fi fadhaaidil al’lm wa al’ulamaa wa al mutaalimiin wa al-mutasaami’iin
- Risalaah al-Arsyadiyah wa ma ulihqa biha
- Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Banjar
- Dam Ma’a Madkhal fi ‘ilm al-s arf
- Beberapa Khutbah Mutlaqiyah
Salah satu petikan Mutiara Syair Khabar Kiamat oleh Syeck Abdurragman Shiddiq :
Bismillahirohmanirrohim
Terbit dari pada, hati yang salim (bersih)
Mendapat surge Jannatun Na’im
Dengan Kurnia, Robbir Rohim
Alhamdulillahirobbilalamin
Mengikuti sabda, Saiyidil Mursalin
Dapat syafaat, sekalian mu’minin
Masuk surga, Salamin Aminin
Diiringi dengan, sholat salam
Kehadirat Nabi, Saiyidil Anam
Dengan Nas (dalil), Qur’anul A’zom
Wajib mengikuti, dengan Ihtirom
Kemudian dengarkan, suatu cerita
Terbit dari pada, hati yang duka
Bukannya hamba, mengada-ada
Supaya dikenal, saudara kita
Suatu cerita, hamba khabarkan
Kepada sekalian, ahli dan ikhwan
Tandanya dunia, akhir zaman
Orang yang salah, dapat kebenaran
Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Syair Ibarat Khabar Kiamat menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001123.
(sumber : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2046)
Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Ghatib Beghanyut menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800636.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 114)
Upah-upah adalah upacara adat di Rokan (Rokn Hulu dan Rokan Hilir) , tujuannya adalah untuk memulihkan kondisi dan menguatkan semangat pada orang-orang yang baru sembuh dari sakit keras, selamat dari sebuah musibah, menempuh hidup baru (menikah, khitan), atau meraih cita-citanya (wisuda, khatam Qur'an, mendapat pekerjaan baru), Situasi peralihan, atau bimbang, linglung, dianggap rawan, sehinggga membutuhkan semangat dan dukungan para kerabat, sahabat, dan handai taulan. Orang yang terhormat dan disegani akan dipilih sebagai pengupah-upah dalam upacara ini, diantaranya adalah:
- Pucuk suku atau ketua suku.
- Alim Ulama'.
- Guru (Guru madrasah dan guru mengaji).
- Cendikiawan.
- Kerabat yang lebih tua dari orang yang diupah-upah, seperti nenek. datuk (Kakek), Mamak (paman), dan mak cik (tante) dari pihak ayah maupun ibu.
Diserangkaian upacara ini, pengupah-upah tidaklah lebih dari sepuluh orang. Jika pengupah-upah sudah siap, maka ditentukanlah waktu upacara upah-upah tersebut. ditentukan pada hari Jum'at, sebelum waktu shalat, karena pada hari ini para lelaki tidak berkerja di ladang maupuan di kebun karet. Sedangkan upah-upah dalam rangkaian upacara pernikahan dilaksanakan setelah ijab kabul. Pelaksanaannya dilakukan dirumah orang yang diupah-upah dan diruangan yang cukup luas untuk mengadakan upacara. Orang yang akan diupah-upah akan duduk di salah satu sudut ruangan, para undangan duduk di setiap sisi ruang menghadap orang yang diupah-upah, disiapkan pula nasi balai dan nasi upah-upah. Prosesi akan dimulai setelah semua tamu dan pengupah-upah berkumpul ditempat tersebut.
Tata cara pelaksanaan upacara upah-upah
Tempat pelaksanaannya adalah rumah orang yang akan diupah-upah. Dipilih ruangan yang cukup lapang. Orang yang akan diupah-upah ditempatkan di dalam satu sudut ruangan, para tetamu undangan duduk bersila di setiap sisi ruang. Di hadapan orang yang diupah-upah diletakkan nasi balai dan nasi upah-upah. Setelah semua berkumpul, prosesi upah-upah dapat dimulai.
Mula-mula, kemenyan dibakar oleh para perempuan yang duduk di dapur. Kemenyan diletakkan di atas wadah berupa dasa (tempurung kelapa yang sudah dikikis hingga licin dan menghitam), atau di atas piring seng sebagai tempat bara kayu sebagai pembakar kemenyan. Kemenyan yang telah menebar aromanya ini kemudian secara beranting diserahkan kepada tuan rumah, pertanda upah-upah siap dilaksanakan.
Kemenyan kemudian diserahkan kepada pengatur upacara yang menyerahkannya kepada pengupah-upah. Kemudian diserahkannya kemenyan bpada orang yang duduk di sebelah kanannya, dan beranting kepada orang di sebelah kanannya hingga berkeliling ke seluruh ruangan, sebanyak tujuh kali putaran dan berakhir di hadapan pengupah-upah. Prosesi ini merupakan pembersihan tempat upaara dari hasrat-hasrat jahat yang mengganggu manusia dan jalannya upacara.
Selanjutnya, pengupah-upah bangkit menuju tempat orang yang akan diupah-upah untuk menabur beras kuning ke arahnya. Sebelum melakukannya, pengupah-upah memanjatkan doa dalam hati untuk minta perlindungan kepada yang maha kuasa, agar diberi kekuatan untuk mengupah-upah.
Tahap selanjutnya adalah mengupah-upah. Pengupah-upah mengambil nasi upah-upah dan mengangkatnya sejengkal di atas kepala orang yang diupah-upah, kemudian menggoyang-goyangkannya dengan gerakan berputar ke arah kanan, sebanyak tujuh kali. Penghitungannya diucapkan secara jelas: “oso” (esa/ satu), “duo” (dua), “tigo” (tiga), “ompek” (empat), “limo” (lima), “onom” (enam), “tujuh”, dengan intonasi datar dan tetap.
Setelah itu, pengupah-upah memberikan nasihat yang isinya anjuran untuk menuju kebaikan, yang berdasarkan kondisi dan alasan upah-upah diadakan. Upah-upah diakhiri dengan kembali menguapkan hitungan satu sampai tujuh, kemudian diikuti dengan kalimat, “salangkan kerbau tujuh sekandang, masih dapat dikendalikan, apalagi semangat kalian”. Lalu pengupah-upah meletakkan nasi upah-upah ke tempat semula dan kembali ke tempat duduknya dan menyerahkan kembali kemenyan kepada pengatur acara. Usai upah-upah, tuan rumah menjamu tetamu dengan hidangan sesuai kemampuan. Setelah menikmati hidangan, upacara ditutup dengan doa.
Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tari Poang menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001117. (sumer : Wikipedia & https://kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Seperti Apa Tradisi Upah Upah tersebut ? Jawabannya ada pada video berikut :
Perahu baganduang menjadi bagian dari tradisi yang ada di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuansing, Riau. Perahu Baganduang adalah kendaraan adat yang digunakan untuk tradisi Majompuik Limau. Tradisi ini telah dilakukan masyarakat selama kurang lebih satu abad.
Perahu baganduang pertama kali digelar sebagai festival pada tahun 1996. Festival perahu baganduang dilaksanakan sekali dalam setahun, terutama pada saat hari raya Idul Fitri. Perahu-perahu ini kemudian dihias agar menarik. Hiasan-hiasan yang digunakan, antara lain, bendera, daun kelapa, payung, kain panjang, buah labu, foto presiden dan wakil presiden, dan benda-benda lainnya yang memiliki simbol adat. Misalnya, padi yang melambangkan kesuburan pertanian dan tanduk kerbau yang melambangkan peternakan.
Dalam festival tersebut, masyarakat disuguhkan berbagai hiburan, di antaranya Rarak Calempong, Panjek Pinang, dan kegiatan Potang Tolugh. Proses pembuatan perahu baganduang sama dengan pembuatan perahu jalur, yaitu dengan memakai upacara Melayu
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 94)
Suku Sakai merupakan salah satu masyarakat adat yang ada di Provinsi Riau, kini wilayah penyebaran mereka terletak di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak. Salah satu kesenian yang hidup dan berkembang pada masyarakat suku Sakai ini adalah Tari Poang yang diyakini sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka dahulu.
Masyarakat
adat atau suku asli asli di Riau yang salah satunya ialah Sakai
memiliki tradisi yang berupa pertunjukan yaitu tari Poang. Tradisi Poang
ini sudah begitu lekat pada suku sakai yang berada dan bermukim di
beberapa tempat yang ada. Tradisi ini sangat unik, meskipun merupakan
praktek berperang, namun hanya disimbolkan saja. Dan hal ini telah ada
sejak sakai menyadari bahwa hidup dan cara mereka bertahan harus
memiliki kemampuan untuk berperang, baik lahiriah maupun batiniah.
Keberadaan Tari tradisi Poang yang menjadi bagian dari masyarakat suku
Sakai di desa Kesumbo Ampai Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis sudah
ada sejak zaman nenek moyang mereka. Tari Poang ini dipertunjukkan pada
saat acara penyambutan kepala suku adat ketika datang meninjau desa
Kesumbo Ampai. Pelaku dari Tari Poang seperti yang terdapat di Desa
Kesumbo Ampai, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis Riau misalnya
dimainkan oleh pelaku-pelaku yang memiliki usia dia atas lima puluhan
tahun. Salah seorang pelaku tersebut adalah Ridwan yang diakuinya
didasarkan secara turun temurun.
Kemudian pada masyarakat suku Sakai yang juga terdapat di desa mandiangin Kabupaten Siak, Tari Poang berfungsi untuk bela diri dan dilakukan untuk menghadapi/melawan musuh berupa manusia, hewan, dan makhluk gaib yang tidak tampak. Pelaksanaannya dapat seiring dengan dikei atau badewo saat mengobati orang sakit.
Tarian
ini adalah simbolik dari orang Sakai menyelamatkan diri dari
marabahaya: antara manusia dengan manusia, manusia dengan hewan. Tari
poang bisa menggunakan senjata maupun tanpa senjata, adapun senjata
(properti) yang digunakan adalah:
1. Kujo
2. Keris
3. Panah
4. Pedang
5. Sumpit
6. Tameng/perisai
7. Tombak
Poang ini ditarikan oleh 6 orang laki-laki atau lebih di tanah lapang atau halaman. Adapun pakaian, gerak, musik, dan panggungnya adalah sebagai berikut:
a. Rias busana
Tari Poang merupakan salah satu seni tradisional masyarakat adat suku Sakai yang tidak memiliki kebakuan dalam rias. Sementara busana dari penampilan Tari Poang ini menggunakan baju Teluk Belange warna hitam, putih dan merah serta menggunakan ikat kepala yang terbuat dari kain sesuai dengan warna kostum yang digunakan.
b. Tata gerak
Tata gerak dalam Tari Poang terdiri dari enam ragam, yakni ragam hentak-hentak kaki, berputar di tempat, berputar pindah posisi, memberi salam, menjaga kekompakkan, dan menyerang. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Ragam hentak-hentak kaki
Pada raga mini penari melakukan gerak hentak-hentak kaki maju ke depan berbaris dua berbanjar sambil kedua tangan mereka diturunnaikkan ke atas dan ke bawah serta memegang keris pada tangan sebelah kanan. Pada gerak ini penari sudah berada di panggung.
b. Berputar di tempat
Pada ragam ini penari melakukan gerak berputar di tempat, dimana penari yang berada di sebelah kanan berputar ke arah kanan belakang.
c. Berputar pindah
Pada raga mini penari melakukan gerak berputar pindah posisi dimana penari yang berada di sebelah kiri pindah ke kanan dan yang kanan pindah ke kiri.
d. Memberi salam
Pada raga mini penari melakukan gerak memberi salam sambil bertepuk tangan dan memegang keris yang mereka bawa.
e. Menjaga kekompakkan
Pada ragam ini penari melakukan gerakkan menjaga kekompakkan antara penari satu dengan penari yang lainnya dalam mempersiapkan menyerang. Dalam gerakkan ini penari juga menggerakkan keris yang mereka bawa ke samping kiri dan ke kanan.
f. Menyerang
Pada ragam ini penari melakukan gerak menyerang dengan melakukan gerakkan hentak-hentak kaki ke depan yang lebih cepat.
c. Iringan musik
Iringan musik Tari Poang menggunakan alat musik Gondang Bebano, yakni alat musik perkusi yang terbuat dari kayu dan kulit sapi. Alat musik Gondang Bebano dimainkan dengan cara dipukul menggunakan kedua tangan. Alat musik lainnya yang digunakan adalah Celempong Kayu Tembaga. ALat musik ini memiliki suara nada yang berbeda yang tersusun menjadi enam bagian. Jika Gendang Bebano sebagai pengiring tempo, Celempong Kayu Tembaga digunakan untuk ragam tingkah nada.
d. Panggung
Panggung yang digunakan dalam pertunjukan Tari Poang bukanlah kebakuan panggung pertunjukan. Dikarenakan keberadaan Tari Poang untuk menyambut kedatangan tamu, tari ini dilakukan di laman terbuka dengan penonton dapat melihat dari sudut pandang mana saja.
Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tari Poang menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001115.
Seperti Apa Tari Poang dari Suku Sakai ini ? Jawabannya ada pada video berikut
Sumber : (https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2025)