Keberadaan Silat Perisai
dimulai pada masa Wilayah
Negeri Kampar
dulunya
sebelum
kemerdekaan
RI pernah mempunyai
sistem pemerintahan
Andiko dimana yang berkuasa adalah Pucuk Adat yang disebut Ninik Mamak. Ninik Mamak menaungi masyarakat yang disebut anak Kemenakan dan Urang
Sumondo.
Setiap kelompok masyarakat yang terdiri dari Anak Kemenakan dan Urang Sumondo disebut pasukuan. Setiap pasukuan memiliki dubalang/pendekar Silat Perisai. Pada masa itu yang berlaku hukum adat. Bila terjadi silang sengketa antara pasukuan misalnya tentang wilayah hutan tanah, menurut hukum adat diputuskan untuk menentukan siapa yang berhak mengadu dua orang dubalang/pendekar dari dua suku yang bersengketa itu di gelanggang silat. Masing-masing dubalang memakai busana teluk belanga lengan pendek, kain sesamping dan ikat kepala, bersenjata sebilah pedang si tangan kanan dan sebuah perisai di tangan kiri. Dengan diberi aba-aba oleh dubalang pucuk adat pertarungan dimulai. Bila salah seorang dubalang itu sudah terdesak dan tak mampu lagi bertahan sehingga mungkin akan terluka/terbunuh, isteri dubalang dimaksud akan masuk ke gelanggang (sebagai wasit) segera menghentikan pertarungan itu dengan sebuah isyarat yang menyatakan pada hadirin bahwa pendekar (suaminya) telah mengaku kalah. Dengan itu Pucuk Lembaga Adat akan mengumumkan pasukan yang menang.
Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Silat Perisai menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201700475.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 84)
0 komentar:
Posting Komentar