Pada awal tahun 1952 hanya ada beberapa orang Katolik di Pekanbaru,
tepatnya berdomisili di Rumbai. Seiring berjalannya waktu, penduduk Kota
Bertuah semakin meningkat terutama sejak diadakannya ekplorasi
penambangan minyak mentah di Riau melalui kerja sama bilateral Indonesia
dan Amerika Serikat.
Para pendatang yang masuk ke kota Pekanbaru ini berasal dari berbagai daerah dengan berbagai latar agama dan budaya, termasuk yang beragama Katolik.
Beberapa orang Katolik kemudian membentuk kelompok kecil dan berupaya untuk mendapatkan pelayanan imam. Paroki yang terdekat dengan wilayah Pekanbaru adalah Paroki Payakumbuh.
Oleh sebab itu datanglah pastor dari Paroki Payakumbuh secara teratur. Dengan demikian saat itu wilayah Pekanbaru merupakan stasi Paroki Payakumbuh.
Para pendatang yang masuk ke kota Pekanbaru ini berasal dari berbagai daerah dengan berbagai latar agama dan budaya, termasuk yang beragama Katolik.
Beberapa orang Katolik kemudian membentuk kelompok kecil dan berupaya untuk mendapatkan pelayanan imam. Paroki yang terdekat dengan wilayah Pekanbaru adalah Paroki Payakumbuh.
Oleh sebab itu datanglah pastor dari Paroki Payakumbuh secara teratur. Dengan demikian saat itu wilayah Pekanbaru merupakan stasi Paroki Payakumbuh.
Perkembangan selanjutnya, karena jumlah umat dipandang memadai oleh pastor maupun prefek apostolik Padang, sehingga dirasa perlu untuk menempatkan seorang pastor yang menetap di Pekanbaru agar pelayanan imam umat lebih teratur dan intensif.
Pada tahun 1954 dibangunlah tempat ibadah semi permanen, sejak tanggal 24 Mei 1954 Pekanbaru ditetapkan secara resmi sebagai wilayah pelayanan Pastoral Paroki tersendiri, tepatnya sebagai "Quasi Paroki". Dalam buku 60 Tahun Paroki Santa Maria a Fatima Pekanbaru diterangkan, seorang pastor bernama A. Nardello, SX melakukan peninjauan dan kunjungan pertama ke Pekanbaru dan kembali ke Payakumbuh. Kemudian pada tanggal 10 Nopember 1953 pada jam lima pagi, tibalah Pastor Danielli, SX di Pekanbaru yang berangkat dari Bukit Tinggi. Pastor dijemput oleh keluarga Ibu Kho Guan Ek (Bapak Cahya) dan beberapa orang Katolik lainnya.
Saat itu belum ada gedung gereja atau rumah milik gereja maka Pastor Danielli, SX menginap di rumah Bapak Cahya yang terletak di Jalan Bangka. Setelah beberapa lama pastor tinggal dirumah Bapak Cahya, kemudian disewalah sebuah kamar untuk pastor yang tidak jauh dari situ masih di Jalan Bangka.
Tidak lama berselang setelah Pastor Danielli, SX menyusullah Pastor A Nardello, SX yang kemudian berhasil membeli sebidang tanah yang terletak di Jl. Bangkinang (Sekarang Jl. A. Yani). Tanah ini adalah milik Bapak Cheng San, seorang Katolik yang tinggal di Payakumbuh.
Setelah tanah didapatkan diuruslah perijinan untuk membangun gereja, antara lain ke kantor pejabat agama yang saat itu dijabat oleh Tengku Yunus dan ke kantor walikota yang waktu itu dijabat oleh Tengku Ilyas.
Dalam mengurus segala sesuatu itu tentulah tidak boleh dilupakan jasa Pastor A Naderllo, SX dan Bapak Cahya. Bukanlah melupakan jasa dari Pastor Romano Danilely, SX yang memang saat itu belum fasih berbicara dalam bahasa Indonesia, maklum beliau baru datang dari Tiongkok. Sedangkan pastor A. Nardello, SX sudah bisa berbicara dalam bahasa Indonesia.
Untuk mendapatkan izin mendirikan gereja tidaklah mudah, bahkan awalnya gereja dibangun di tempat yang jauh agak terpencil dari kota letaknya. Berkat perjuangan yang keras Pastor A.Nardello, SX dan Bapak Cahya akhirnya izin tersebut didapatkan juga.
Dalam membuat permohonan tersebut haruslah ditandatangani oleh orang yang dianggap sebagai pemohon. Saat itu yang menandatangani sebagai pemohon adalah Ibu Lim Sui Hok, Bapak Cahya (Kho Guan Ek), Ibu Cahya (Lodovika Wong Ba)
Secara bersama-sama kedua Pastor itu mengusahakan sebuah rumah yang terbuat dari kayu yang kemudian digunakan sebagai tempat tinggal Pastor (Pastoran), sekaligus gereja.
Untuk membangun gereja tersebut diperlukan dana yang cukup besar. Maka selain dana yang berasal dari perfektur dan juga umat yang menyumbang, Pastor Danielli, SX juga berupaya untuk mendapatkan dana dari luar negeri yaitu Italia.
Sebagai usaha untuk mengetuk hati para penderma dari luar negeri itu, Pastor R. Danielli membuat sebuah foto seorang anak kecil dan anak kecil itu sekarang kita kenal sebagai Ibu TH. Suwanti.
Foto tersebut kemudian dikirim ke Italia, ternyata usaha itu berhasil dan memang sebagian dana pembangunan gereja saat itu berasal dari negara "sepak bola tersebut".
Pada saat Pastor A.Nardello, SX dan Pastor Danielli, SX datang di Pekanbaru belum ada tempat ibadah. Perayaan Ekaristi diadakan di rumah-rumah umat secara bergilir. Persis seperti jemaat pertama, zaman para Rasul (KPR 2: 41-47). Umat Katolik yang di Pekanbaru saat itu baru sembilan orang, umumnya berdomisili di daerah Rumbai, misa diadakan secara bergilir antara lain di rumah Ibu Cahya, Ibu Cecilia (Ng Gho), Sunardi (Karyawan Caltex), Lim Sui Hok, Ibu Sin, Ibu Onde.
Misa kudus diadakan secara rutin setiap hari minggu. Biasanya setelah merayakan ekaristi di rumah umat di Pekanbaru, Pastor langsung pergi ke Rumbai kawasan perusahaan Caltex dengan menumpang perahu kecil menyeberangi Sungai Siak untuk merayakan ekaristi di situ.
Meskipun fasilitas yang ada saat itu sangat sederhana tetapi semangat mewartakan Injil tetap membara di hati misionaris tersebut. Usaha ini ternyata menghasilkan buah yang baik, dari waktu ke waktu umat terus bertambah jumlahnya.
Berdasarkan adanya umat yang dipermandikan, sebenarnya Paroki Pekanbaru sudah ada semenjak 25 Desember 1952, akan tetapi berdasarkan adanya tempat ibadah, Paroki Pekanbaru ada sejak 25 Desember 1954 karena waktu itu gereja Katolik di Pekanbaru diresmikan.
Sedangkan menurut adanya Pastor yang menetap, maka Paroki Pekanbaru sudah ada sejak 10 Oktober 1953 yaitu dengan menetapnya pastor Romano Danielli SX sebagai pastor yang pertama.
Dengan berdirinya gedung gereja berarti di Pekanbaru sudah memenuhi empat kriteria sebagi persyaratan berdirinya suatu Paroki. Kriteria yang dimaksud yaitu: adanya suatu wilayah tertentu dalam hal ini wilayah Pekanbaru dan sekitarnya, sudah ada jumlah umat tertentu yaitu umat Katolik Pekanbaru dan sekitarnya, tempat peribadatan yaitu dengan sudah berdirinya gedung gereja, sudah ada Pastor yang menetap dan melayani kepentingan rohani umat yakni Pastor R. Danielli,SX.
Perkembangan umat Katolik dari waktu ke waktu terus meningkat baik dari paroki sendiri maupun pendatang, sehingga gedung gereja yang ada dianggap sudah tidak memadai lagi, tidak mencukupi lagi untuk menampung jumlah umat yang semakin banyak.
Melihat keadaan demikian maka para pastor yang berkarya di Paroki Pekanbaru dan bapak Uskup Padang Mgr. Bergamin SX merencanakan membangun gedung gereja baru yang lebih besar ukurannya dan mampu menampung perkembangan umat ke depannya.
Di sebelah gedung gereja ada sebidang tanah yang cukup luas. Pemilik tanah itu adalah seorang yang bukan beragama Katolik yaitu bapak Yap Tek atau ayah dari bapak Abu Bakar. Setelah ada persetujuan dari kedua belah pihak, maka tanah itu pun dibeli oleh pihak gereja. Kemudian izin untuk membangun gereja baru pun diurus.
Setelah segala sesuatu selesai maka pada bulan Maret 1963 Bapak Uskup Raimondo Bergamin, SX dan Gubernur Riau yang waktu itu dijabat oleh Kaharuddin Nasution meletakkan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung gereja yang baru tersebut. Pada tahun 1963 itu yang menjabat sebagai kepala paroki adalah Pastor Aniceto Morini, SX.
Mulai terlaksananya pembangunan ini tentunya tidak terlepas dari hasil kerja keras dari Pastor A. Morini,SX selaku Pastor Kepala Paroki bersama pastor-pastor lainnya yang bertugas di Pekanbaru. Para pastor yang dimaksud antara lain: Pastor Silvano Laurenzi,SX, Pastor Albino Orsi,Sx, Pastor Angelo Calvi,SX dan pastor Abdon Fantelli,SX.
Gedung gereja yang baru itu selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 27 Mei 1965, oleh Uskup Raimondo Bergamin, SX dan Gubernur Riau yang saat itu masih dijabat oleh bapak Kaharuddin Nasution.
Dengan selesainya pembangunan gedung gereja yang baru diharapkan umat paroki dapat lebih baik dalam melaksanakan ibadatnya, dan semakin lengkapnya fasilitas yang diharapkan agar kegiatan umat lebih bersemangat dan hidup lagi.
Pertumbuhan umat terus berkembang meski pada tahun 1965/1966 adalah masa terjadinya G 30 S/PKI. Keadaan tidak berpengaruh pada pertambahan dan kehidupan gereja Katolik Pekanbaru.
Jumlah umat tampak berkembang pesat sejak tahun 1970. Hal ini disebabkan selain karena besarnya arus migrasi dari berbagai daerah ke Provinsi Riau.
Perkembangan Paroki Pekanbaru.
Awalnya paroki Pekanbaru tidak terlalu jelas batas-batas wilayahnya.
Hal ini disebabkan karena umat di Pekanbaru pernah dilayani oleh
Pastor-pastor yang bertugas di Paroki Payakumbuh.
Sejak tahun 1953, dengan ditempatkannya Pastor Romano Danielli, SX dan dibangunnya gedung gereja, barulah wilayah Pekanbaru ini lebih jelas dan terlebih lagi setelah Pekanbaru diresmikan sebagai "QUASI Paroki" pada tanggal 24 Mei 1954.
Wilayah Paroki Pekanbaru mencakup Riau Daratan kecuali Bagansiapiapi yang waktu itu sudah menjadi Paroki sendiri dan Selat Panjang yang diurus dari Bagansiapiapi. Tetapi karena perkembangan Paroki Pekanbaru lebih pesat, maka sejak tahun 1958 karya misi dipusatkan di Pekanbaru sehingga pastor yang bertugas di Bagansiapiapi ditarik, dan Bagansiapiapi dilayani dari Paroki Santa Maria a Fatima Pekanbaru.
Pastor yang bertugas di Bagansiapiapi adalah Pastor A. Nardello, SX. Dengan demikian sejak tahun 1958 Pekanbaru meliputi seluruh daerah Riau Daratan yaitu, Rumbai, Duri, Dumai, Sungai Pakning, Bagansiapiapi, Selat Panjang, Bengkalis, Rengat, Lirik, Air Molek, Teluk Kuantan. Setiap daerah tersebut dikunjungi pastor setiap dua atau tiga bulan sekali.
Jumlah umat yang semakin banyak dan tentunya ini sangat menggembirakan, maka tahun 1964 Bagansiapiapi dan Selat Panjang di buka kembali. Daerah Indragiri di buka tahun 1969 sedangkan daerah Dumai menjadi paroki tahun 1971. Sebelumnya daerah pelayanan Air Molek pada tahun 1964 menjadi paroki sendiri.
Beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 1979 berdiri pula Paroki di Duri. Dengan demikian pada saat itu batas batas Paroki Pekanbaru adalah: di sebelah barat berbatasan dengan keuskupan Medan, di sebelah selatan berbatasan dengan Paroki Payakumbuh, sebelah Timur berbatasan dengan Paroki Air Molek, sebelah utara berbatasan dengan Paroki Duri.
Agar umat dapat dilayani dengan baik dan mudah maka wilayah suatu Paroki perlu dibagi-bagi menjadi wilayah yang lebih sempit. Demikian juga untuk paroki santa Maria a Fatima. Wilayah yang lebih sempit itu disebut Kring, lingkungan ataupun rayon.
Pembagian lingkungan atau Kring di Paroki Pekanbaru pertama kalinya dilaksanakan oleh Pastor A. Larruffa, SX bersama dengan Bapak Ulahayanan BA (seorang umat yang berasal dari kepulauan Kei, Suku Ambon) yang menetap di Pekanbaru sejak tahun 1966. Pada saat itu Pastor Larruffa, SX bersama Bapak Alo, panggilan Bapak Ulahayanan ini membagi Paroki Pekanbaru menjadi 12 Kring.
Nama-nama Kring diambil dari nama rasul-rasul yaitu: Kring I: Santo Petrus, Kring II: Santo Yohanes, Kring III: Santo Anreas, Kring IV: Santo Yakobus, Kring V: Santo Tedeus, Kring VI: Santo Tomas, Kring VII: Santo Filipus, Kring VIII: Santo Bartolomeus, Kring IX: Santo Simon, Kring X: Santo Mateos, Kring XI: Santo Simon Petrus, Kring XII: Santo Mateas.
Karena perkembangan umat cukup pesat ada beberapa Kring yang di mekarkan, misalnya Kring XII di pecah menjadi Kring XII dan XIV, Kring VII di pecah menjadi Kring VIII dan XIV, Kring II dipecah menjadi II A dan B, Kring VII dipecah menjadi Kring VII adan B, Kring X dipecah menjadi Kring Xa dan B, Kring XI menjadi XI A dan B.
Karena pasang surutnya perkembangan umat ada lingkungan kembali menyatu seperti semula, misalnya Kring X dan Lingkungan II. Kemudian sekarang wilayah lingkungan XIV, XIII demikian IX masuk dalam wilayah Paroki Santo Paulus.
Sejak tahun 1953, dengan ditempatkannya Pastor Romano Danielli, SX dan dibangunnya gedung gereja, barulah wilayah Pekanbaru ini lebih jelas dan terlebih lagi setelah Pekanbaru diresmikan sebagai "QUASI Paroki" pada tanggal 24 Mei 1954.
Wilayah Paroki Pekanbaru mencakup Riau Daratan kecuali Bagansiapiapi yang waktu itu sudah menjadi Paroki sendiri dan Selat Panjang yang diurus dari Bagansiapiapi. Tetapi karena perkembangan Paroki Pekanbaru lebih pesat, maka sejak tahun 1958 karya misi dipusatkan di Pekanbaru sehingga pastor yang bertugas di Bagansiapiapi ditarik, dan Bagansiapiapi dilayani dari Paroki Santa Maria a Fatima Pekanbaru.
Pastor yang bertugas di Bagansiapiapi adalah Pastor A. Nardello, SX. Dengan demikian sejak tahun 1958 Pekanbaru meliputi seluruh daerah Riau Daratan yaitu, Rumbai, Duri, Dumai, Sungai Pakning, Bagansiapiapi, Selat Panjang, Bengkalis, Rengat, Lirik, Air Molek, Teluk Kuantan. Setiap daerah tersebut dikunjungi pastor setiap dua atau tiga bulan sekali.
Jumlah umat yang semakin banyak dan tentunya ini sangat menggembirakan, maka tahun 1964 Bagansiapiapi dan Selat Panjang di buka kembali. Daerah Indragiri di buka tahun 1969 sedangkan daerah Dumai menjadi paroki tahun 1971. Sebelumnya daerah pelayanan Air Molek pada tahun 1964 menjadi paroki sendiri.
Beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 1979 berdiri pula Paroki di Duri. Dengan demikian pada saat itu batas batas Paroki Pekanbaru adalah: di sebelah barat berbatasan dengan keuskupan Medan, di sebelah selatan berbatasan dengan Paroki Payakumbuh, sebelah Timur berbatasan dengan Paroki Air Molek, sebelah utara berbatasan dengan Paroki Duri.
Agar umat dapat dilayani dengan baik dan mudah maka wilayah suatu Paroki perlu dibagi-bagi menjadi wilayah yang lebih sempit. Demikian juga untuk paroki santa Maria a Fatima. Wilayah yang lebih sempit itu disebut Kring, lingkungan ataupun rayon.
Pembagian lingkungan atau Kring di Paroki Pekanbaru pertama kalinya dilaksanakan oleh Pastor A. Larruffa, SX bersama dengan Bapak Ulahayanan BA (seorang umat yang berasal dari kepulauan Kei, Suku Ambon) yang menetap di Pekanbaru sejak tahun 1966. Pada saat itu Pastor Larruffa, SX bersama Bapak Alo, panggilan Bapak Ulahayanan ini membagi Paroki Pekanbaru menjadi 12 Kring.
Nama-nama Kring diambil dari nama rasul-rasul yaitu: Kring I: Santo Petrus, Kring II: Santo Yohanes, Kring III: Santo Anreas, Kring IV: Santo Yakobus, Kring V: Santo Tedeus, Kring VI: Santo Tomas, Kring VII: Santo Filipus, Kring VIII: Santo Bartolomeus, Kring IX: Santo Simon, Kring X: Santo Mateos, Kring XI: Santo Simon Petrus, Kring XII: Santo Mateas.
Karena perkembangan umat cukup pesat ada beberapa Kring yang di mekarkan, misalnya Kring XII di pecah menjadi Kring XII dan XIV, Kring VII di pecah menjadi Kring VIII dan XIV, Kring II dipecah menjadi II A dan B, Kring VII dipecah menjadi Kring VII adan B, Kring X dipecah menjadi Kring Xa dan B, Kring XI menjadi XI A dan B.
Karena pasang surutnya perkembangan umat ada lingkungan kembali menyatu seperti semula, misalnya Kring X dan Lingkungan II. Kemudian sekarang wilayah lingkungan XIV, XIII demikian IX masuk dalam wilayah Paroki Santo Paulus.
Dan kini Gereja tersebut telah memiliki Banyak Jemaah dan Gereja ini bernama Gereja Santa Maria a Fatima yang terletak di Jalan Ahma Yani persis di sebekah Rumah Sakit Santa Maria.
Sumber : Tabloid Pewarna
0 komentar:
Posting Komentar