Tampilkan postingan dengan label KAMPAR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAMPAR. Tampilkan semua postingan

Pantun Batobo merupakan salah satu sastra lisan yang dikenal di wilayah budaya Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu. Pantun ini dilagukan oleh para petani ketika kegiatan Batobo dilakukan. Batobo adalah kegiatan gotong royong untuk mengerjakan ladang yang dilakukan bersama-sama. Anggota Batobo bergiliran mengerjakan sawah mereka yang tergabung dalam kelompok tersebut.Biasanya anggota Batobo terdiri dari 10 sampai 15 orang. Mereka bekerja mulai dari pagi hingga tengah hari. Kemudian dilanjutkan setelah waktu Zuhur sampai masuk waktu Ashar. Sebagai hiburan pengobat penat dan letih, maka para petani saling berpantun. Pantun inilah yang disebut dengan Pantun Batobo. Pantun Batobo merupakan salah satu bentuk karya sastra yang tergolong ke dalam sastra lisan. Dalam pantun ini terdapat metafor-metafor serta penggunaan tanda bahasa yang menarik.Keberadaan pantun Batobo terancam punah karena kegitan Batobo sudah berangsur ditinggalkan. Ditambah lagi perubahan dari berladang atau sawah berganti dengan perkebunan sawit. Sehingga kegiatan bergotong-royong dan berpantun akan semakin sulit ditemukan di masyarakat.

Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Batobo  menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda tersebut dengan Nomor Resgistrasi 201700480

 

(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 97) 
Silat Perisai adalah sebuah seni pertunjukan dari seni pencak Silat.  Silat Perisai  dimainkan      oleh   sepasang      atau   beberapa  pasang      pemuda       dan    pemudi      sebagai     pertunjukan       seni  tradisional guna menyambut kedatangan tamu pejabat daerah  pada sebuah upacara pembukaan seni tradisi seperti, Pekan Budaya Daerah, Pekan Olahraga Tradisional, Upacara Balimau  Kasai, pembukaan MTQ dll. 
 
Kelompok Silat Perisai ini tampil dengan      iringan musik    Calempong Oguong     yang   dimainkan oleh lima orang. Busana pesilat berwarna hitam berikat kepala  dengan properti   sebilah   pedang   dan sebuah   perisai.  Pedang dan perisai terbuat dari kayu.

Keberadaan   Silat   Perisai   dimulai   pada   masa   Wilayah   Negeri Kampar         dulunya       sebelum       kemerdekaan          RI    pernah mempunyai          sistem    pemerintahan        Andiko      dimana      yang berkuasa adalah Pucuk Adat yang disebut Ninik Mamak. Ninik  Mamak menaungi masyarakat yang disebut anak Kemenakan dan     Urang    Sumondo.      
 

Setiap    kelompok      masyarakat       yang  terdiri   dari   Anak  Kemenakan        dan   Urang   Sumondo   disebut  pasukuan. Setiap pasukuan memiliki dubalang/pendekar Silat  Perisai. Pada masa itu yang berlaku hukum adat.  Bila terjadi silang sengketa antara pasukuan misalnya tentang  wilayah hutan tanah, menurut hukum adat diputuskan untuk  menentukan          siapa    yang     berhak      mengadu       dua    orang  dubalang/pendekar   dari   dua   suku   yang   bersengketa   itu   di  gelanggang   silat.   Masing-masing   dubalang   memakai   busana  teluk belanga lengan pendek, kain sesamping dan ikat kepala, bersenjata sebilah pedang si tangan kanan dan sebuah perisai  di   tangan   kiri.   Dengan   diberi   aba-aba   oleh   dubalang   pucuk  adat   pertarungan      dimulai.    Bila  salah   seorang    dubalang      itu  sudah      terdesak     dan   tak   mampu       lagi  bertahan      sehingga mungkin   akan   terluka/terbunuh,   isteri   dubalang   dimaksud  akan      masuk       ke    gelanggang        (sebagai     wasit)      segera  menghentikan   pertarungan   itu   dengan   sebuah   isyarat   yang  menyatakan pada hadirin bahwa pendekar (suaminya) telah  mengaku        kalah.   Dengan      itu  Pucuk     Lembaga       Adat    akan  mengumumkan pasukan yang menang.

 

Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Silat Perisai menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201700475.

 

(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 84)

Pantun Atui adalah salah satu warisan sastra berupa adat kebiasaan turun-temurun dan pengungkapan melalui lisan yang berasal dari Kabupaten Kampar Riau. Berdasarkan sudut pandang kebahasaan, pantun ini berasal dari bahasa Ocu yang bermakna "pantun seratus" secara harafiah, terdiri dari seratus gugus pantun. Pantun Atui berlaku ketika hubungan percintaan terjadi dalam bentuk suara hati seorang laki-laki kepada perempuan yang menjadi pujaan hatinya. Pandangan sebenarnya yang mendasari tujuan pantun semacam ini adalah betapa tulus dan kuat sang laki-laki memberikan keyakinan cintanya kepada keturunan-keturunannya, sehingga harus menyediakan seratus pantun selama seratus malam.

Dalam satu gugus pantun, ada lima buah pantun. Pantunnya bersajak empat, lima, dan enam baris dalam satu untaian yang sudah rampung untuk ditampilkan serta bahasa Ocu berlogat Bangkinang dijadikan pilihan penyampaian dari mulut ke mulut. Pantun Atui berlaku ketika hubungan percintaan terjadi dalam bentuk suara hati seorang laki-laki kepada perempuan yang menjadi pujaan hatinya. Pandangan sebenarnya yang mendasari tujuan pantun semacam ini adalah betapa tulus dan kuat sang laki-laki memberikan keyakinan cintanya kepada keturunan-keturunannya, sehingga harus menyediakan seratus pantun selama seratus malam.

Pantun Atui dinyanyikan sambil duduk (biasanya diatas tilam yang disediakan di tengah rumah). Bentuk pantun ini adalah pantun berkait, berjenis pantun kasih sayang atau pantun muda-mudi. Pada masa kini, pantun ini dapat diiringi dengan alat-alat musik seperti biola atau rebab.

Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Pantun Atui menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi
201800645.
 
Bagaimana dengan Ragam Lisan atau pantun pada Pantun Antui silahkan disaksikan video berikut :
 

Air Terjun Lubuk Nginio salah satu wisata alam yang berada di Kabupaten Kampar tepatnya di Desa Merangin, Kecamatan Kuok. Akses menuju air terjun ini sudah cukup baik, Sebagian besar jalan menuju air terjun ini sudah beraspal dan juga tanah kuning yang cukup keras dan kita juga melewati areal kebun sawit dan karet milik warga.

Lubuk Nginio merupakan Lubuk kecil yang  tersuruk di tengah hutan yang menyimpan ketenangan dan kesederhanaan.  Lubuok atau Lubuk dalam bahasa kampar berarti lubuk atau ceruk terdalam dari sungai sedangkan Nginiu/nginio  mengandung arti dalam dan seram. Lubuk Nginiu berarti lubuk yang dalam dan  menakutkan.

Lubuk Nginio sering dikunjungi oleh Pesepeda, dan TrekLubuk Nginio merupakan Trek yang sempurna untuk Montain Bike,melewati jalan aspal, anak sungai , jembatan kecil,tanjakan dan juga mendorong sepeda, kepenatan terbayar dengan udara yang segar, hutan yang lebat serta suara gemercik air terjun lubuok nginio.

Lubuok/Lubuk ini tidaklah terlalu besar , menurut bapak yang berjualan makam dan minum disekitar Lubuk Nginio, ukuran dari Lubuk ini berkisar 20x15 meter. Bagian paling dalamnya hanya sekitar 4meter dan diatas Lubuk terdapat air terjun yang Tingginya sekitar 4 meter dengan lebar sekitar 10 meter.





Puncak Air Terjun merupakan tempat terbaik untuk berpoto ,
sisi kanan kiri lubuk dipenuhi bebatuan sungai yang cukup licin dan terjal.  Bagaimana keseruan bersepeda melewati Trek Lubuk Nginio silahkan menyaksikan video  berikut :  

Raja terakhir Kerajaan Gunung Sahilan Rantau Kampar Kiri, yakni Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sakti, wafat dan berkubur di Desa Lipatkain Selatan Kecamatan Kampar Kiri.

Dalam sejarah Kerajaan Gunung Sahilan, beliau inilah yang menyerahkan kedaulatan Kerajaan Gunung Sahilan kepada Pemerintah Republik Indonesia Ir. Soekarno dan bergabung kedalam Republik Indonesia. Pernyataan bergabungnya kerajaan Gunung Sahilan Kampar Kiri kepada Republik Indonesia dilakukan 3 hari sebelum Sultan Siak Sri Indapura Sultan Syarif Kasim II melakukan hal yang sama yakni bergabung ke Republik Indonesia.



Tengku Haji Abdullah juga dikenal sebagai Pejuang Kemerdekaan di Rantau Kampar Kiri , beliau turut berjuang melawan kembalinya penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia. beliau turut dalam perang gerilya melawan agresi militer Belanda I dan Belanda II, sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.



Setelah bergabung kedalam Republik Indonesia, Kerajaan Gunung Sahilan Rantau kampar kiri berstatus sebagai daerah Kewedanaan Kampar Kiri dan Sultan Tengku Haji Abdulllah YDP Sakti adalah Wedana Pertama Kampar kiri berkedudukan di Negeri Lipatkain yang kelak bernama Desa Lipatkain Selatan. Makam ini berada di Jalan Lintas Pekanbaru Teluk Kuantan tepatnya di KM 72 eks Mesjid Besar Al Mizan Kenegerian Lipat Kain yang sekarang menjadi Sekolah MI Miftahul Ulum Lipat Kain.


Untuk seperti apa Makam tersebut dapat menyaksikan Video berikut :


Tradisi Manggelek Tobu ini merupakan tradisi penggilingan tebu menggunakan alat tradisional berbahan kayu yang disebut 'Gelek Tobu. Gelek Tobu membutuhkan kekompakan banyak.orang dan biasanya dibutuhkan 10 orang untuk menggiling tebu , tebu digiling dengan menggunakan sebatang kayu besar dan didodorong bersamaan oleh peserta, air sari tebu akan jatuh ke saluran yang diletakkan di bawah kayu penggilingan dan ditampung dalam sebuah wadah.  Tradisi Menggelek Tebu ini dapat Kita Jumpai Di Desa Pulau Belimbing dan Desa Pulau Jambu ,kuok Kabupaten Kampar. Tradisi Manggelek Tobu adalah warisan turun-temurun dan dahulunya Tradisi Manggelek Tobu ini dapat dijumpai di seluruh wilayah Kuok dan dulunya Kuok merupakan daerah penghasil Tebu di Kampar. Dulunya Gelek Tobu tempat anak muda mencari jodoh. Cinta bisa bersemi saat sama-sama menggelinding kayu penggiling pada acara-acara besar di kampung.
 
Seperti apa Tradisi Menggelek Tebu, dapat menyaksikan Video singkat berikut : 


Ada sebuah Cerita Unik yang dituturkan secara Turun Temurun di Lipat Kain Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar, 

Cerita Unik ini mengenai Kisah Datuak Godang atau Datuak Kombuak Sang Pendiri Negeri Lipat Kain, dikisahkan bahwa  Datuok (Datuk)  memiliki  dua  kendi dan saat ini Kendi tersebut tersisa satu yang keberadaanya berada di Halaman Rumah Keluarga Datuk Kombuok di sekitar Koto Desa Lipat Kain Selata.

Datuok Kombuok merupakan orang yang pertama datang ke Lipat Kain, perawakannya tinggi besar dan tegap. Datuok Kombuok mendiami Lipat Kain dengan   menebang hutan lalu mendirikan permukiman.




Datuak Kombuok memiliki dua kendi besar atau warga Lipat Kain menyebut dengan Takagh Godang , dulunya Kendi Besar ini digunakan untuk mengangkut air dari sungai ke desa untuk menyirami lahan ataupun memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesuburan dan keindahan Desa Lipat Kain  tersiar ke daerah lainnya sehingga warga  dari kampung lain berdatangan dan pindah ke Lipat Kain.
 

Datuok menutup usia dan kendi besar milik Datuok merasa sedih dengan berpulangnya Datuok dan  kendi tersebut menghilang, dan warga disibukkan dengan mencari kendi tersebut , pada suatu hari  dua kendi tersebut muncul muncul dari sungai dan  Kendi tersebut  bergerak sendiri dan mengejar orang-orang di desa, kemudian warga berkumpul dan   sepakat untuk menghancurkan kendi kalau kembali menyerang. Satu kendi akhirnya berhasil dipecahkan bibirnya sehingga tak bergerak lagi sedangkan kendi yang lain tidak berhasil ditangkap dan kembali ke sungai lagi.


 

Kendi kembali ke sungai hingga kini masih dicari masyarakat dan diyakini bahwa kendi tersebut  berisi emas peninggalan Datuok Kombuok dan nilainya disebut bisa menghidupi orang satu desa.

Kendi yang berhasil ditangkap dan bibirnya pecah tersebut, saat ini masih bisa dilihat dan Kendi tersebut menjadi  ikon Desa Lipat Kain Selatan dan Kendi ini menimbulkan ketakjuban  masyarakat sekitar dimana wadahnya tidak pernah dipenuhi air ketika hujan deras turun meski posisinya di tempat terbuka dan saat  kemarau  kendi ini selalu dipenuhi air. 


Khatib ketika muda dikenal memiliki kesaktian dan keberanian. Karena itulah ia  amat disegani oleh orang kampungnya. Ayah Khatib adalah seorang guru agama Islam yang berasal dari Aceh. Beliau amat berjasa dalam mengembangkan agama Islam di Limo Koto. Khatib muda pun didik paham pada agama dan orang tua Khatib tidak melarang anaknya menguasai ilmu kebatinan. Sehingga Khatib juga mahir dalam beladiri dan menguasai sejumlah ilmu kebatinan.

Panglima Khatib merupakan sosok pejuang di zaman kolonial di Kabupaten Kampar. Dari inskripsi makam diketahui bahwa Panglima Khatib wafat pada tahun 1627 M. Dari inskripsi tersebut dapat diketahui tokoh merupakan salah seorang tokoh adat daerah Bangkinang dengan gelar Datuk.


                         

Jika dilihat dari tanggal wafatnya beliau, asumsi awal tim menyimpulkan bahwa pada masa beliau belum bersinggungan dengan masa kolonial. Dan jika melihat salah satu makam yang berada dalam satu arel dengan beliau (yakni makam Tengku Aceh) yang merupakan Makam Bapaknya dan dapat diperkirakan bahwa pada masa itu daerah Kampar yang merupakan salah satu daerah yang berada dalam pengaruh Aceh.
 
Makam ini terletak di sebelah utara jalan Raya Pekanbaru- Bangkinang tepatnya Km 54. Situs ini dikelola oleh Pemkab. Kampar dan pada areal situs sudah dibuatkan taman serta terdapat tugu Kabupaten kampar. Situs terletak dalam areal pagar seluas 7 m x 10 m (pagar ini berupa untaian rantai besi).



Pada areal ini terdapat dua buah makam yakni Makam Panglima Khatib dan Tengku Aceh. Bangunan makam Panglima Khatib berukuran 2,30 m x 1,30 m. Makam sudah dibuatkan jirat dari tembok yang sudah dilapisi keramik warna biru. Pada bagian sebelah selatan makam terdapat inskripsi “Dt. Panglima Khatib Th 1627.” Nisan makam terbuat dari kayu bulat yang sudah memfosil menjadi batu dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 45 cm, lebar bagian atas 9 cm dan bagian bawah 10 cm.

Makam Panglima Khatib  ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 08/BCB-TB/B/03/2007.

Mahmud Marzuki selain tokoh kemerdekaan juga merupakan tokoh pendiri dan pengembang Muhammadiyah di daerah Kampar. Perjuangan yang dilakukannya bukan saja menentang serta menghadapi penjajah namun juga mengentaskan masyarakat Kampar yang saat itu masih terbelenggu oleh kebodohan khususnya dari segi pendidikan. Salah satu bukti peran sertanya dalam pengentasan kebodohan pada saat itu adalah dengan mendirikan Perguruan-perguruan Muhammdiyah yang sampai saat ini masih ada di Bangkinang.Mahmud Marzuki lahir di Desa Kumantan Bangkinang pada tahun 1911 dari ayah bernama Pakih Rajo dan ibu Hainah. Ayahnya berasal dari Kubang Putih Bukittinggi dan ibunya dari KumantanBangkinang. Mahmud Marzuki adalah anak tunggal dari kedua pasangan ini. Pada tahun 1918 Mahmud Marzuki masuk ke Sekolah Desa (Volkschool), pada tahun 1921 beliau tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena kekurangan biaya. Untuk mengisi waktunya oleh ibunya beliau disekolahkan ke sekolah agama pada sore hari. Namun karena tekadnya yang tinggi untuk tetap melanjutkan sekolah maka pada tahun 1928, beliau masuk ke Pesantren Tarbiyah Islamiyah Bangkinang dengan bantuan biaya dari mamaknya Engku Kadhi Rajo. Selama belajar di pesantren ini Mahmud Marzuki merupakan seorang santri yang pandai dan cakap dalam berpidato. Pada akhir tahun 1935 beliau berangkat menuju India untuk belajar dan menambah pengetahuan dan wawasannya di Perguruan Islam Nazmia Arabic College Lucknow India. Setelah beliau menamatkan studinya, pada tahun 1938 beliau kemudian kembali ke Bangkinang.

Pada akhir tahun 1938 untuk memenuhi permintaan gurunya, beliau mengajar di Pesantren Tarbiyatul Islamiyah Bangkinang. Mahmud Marzuki selain giat dalam mengajar, beliau juga aktif dalam menyebarkan dakwah di sekitar wilayah Bangkiang. Beliau memiliki cita-cita untuk mencerdaskan tunas-tunas muda Islam yang akan mewarisi kemajuan Islam kelak, sedangkan dakwah yang ditujukan kepada orang-orang tua untuk menambah pengetahuan tentang agama dan mempertebal keimanan dalam mengahadapi musuh-musuh yang ingin menghancurkan Islam.

Sebagai langkah pertama yang dilakukannya dalam menunjang kegiatan pendidikan dan dakwah yang ia cita-citakan itu, maka pada tahun 1939 beliau masuk sebagai anggota Muhammadiyah ranting Penyasawan. Menjelang berakhirnya tahun 1939 berkat kegiatan dakwahnya, ranting-ranting Muhammadiyah tumbuh pesat dan berkembang. Bangkinang yang semula merupakan satu ranting Muhammadiyah berubah menjadi Cabang yang membawahi 47 ranting. Berkat hasil yang beliau lakukan, maka pada tahun awal tahun 1940 beliau diangkat sebagai Pimpinan Muhammadiyah cabang Bangkinang.

Kemudian pada akhir tahun 1940, beliau berangkat ke Payakumbuh. Disana beliau ditempatkan sebagai pengajar pada sekolah Tsanawiyah Muhammadiyah Payakumbuh. Pada tahun 1941, karena ketenarannya beliau diangkat sebagai Pimpinan Muhammadiyah Payakumbuh. Selama di Minangkabau ini pula Mahmud Marzuki bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah Minangkabau seperti Buya Hamka, Buya Mualimin, Buya Rasyid dan lain-lain, yang merupakan teman seperjuangannya dalam membangun Muhammadiyah. Pada tahun 1942 beliau kembali ke Bangkinang atas permintaan masyarakat Bangkinang, dengan alasan pada waktu itu masyarakat sangat membutuhkan seorang tokoh/pemimpin dalam masa-masa yang sulit dan genting untuk menghadapi penjajahan Jepang di Bangkinang. Langkah pertama yang diambil sekembalinya beliau dari Payakumbuh adalah memperkuat ukhwah islamiyah (persatuan) di kalangan masyarakat untuk menghadapi penjajah dengan jalan dakwah dan ceramah-ceramah yang membakar dan mengobarkan semangat anti penjajah. Selain itu guna menggalang pesatuan masyarakat, ranting-ranting Muhammadiyah yang berada di daerah Bangkinang kemudian lebih diaktifkan sebagai penggerak dan pusat perlawanan terhadap penjajah seperti pendirian Kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan.

Pada tahun 1942 itu juga beliau mendirikan Sekolah Menengah Muhammadiyah (yang sekarang menjadi Sekolah Mualimin Muhammadiyah Bangkinang, tempat dimana beliau dimakamkan). Selama masa penjajahan ini, beliau juga pernah ditahan dan di bawa ke Pekanbaru. Selama masa penahanan, beliau bersama-sama dengan tokoh pejuang lainnya disiksa oleh tentara Jepang selama 23 hari.
Pada tanggal 5 september 1945, berita kemerdekaan RI baru tersiar di Bangkinang yang dibawa oleh orang-orang yang datang dari Bukittinggi lewat selebaran-selebaran yang ditempelkan dibeberapa tempat di Bangkinang. Berita ini kemudian dicek langsung oleh Mahmud Marzuki dengan H. M. Amin ke Kepala Kantor Pos dan Telegraf Bangkinang. Dan ternyata benarlah berita kemerdekaan itu, namun belum bisa disebarkan karena pada waktu itu Jepang masih berkuasa di Bangkinang. Pada hari Rabu tanggal 6 September 1945 (bertepatan dengan shalat Idul Fitri 1365 H), Mahmud Marzuki sebagai Khatib pada waktu itu dalam khotbahnya menyiarkan secara langsung kepada masyarakat luas akan berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Lapangan Beringin. Dalam akhir khotbahnya beliau mengajak masyarakat untuk berkorban mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai tersebut.

Pada tanggal 8 September 1945 diadakan rapat untuk membahas,tindak lanjut dari berita proklamasi yang telah tersebar luas itu. Rapat ini dipimpin oleh Mahmud Marzuki. Salah satu Hasil rapat ini menyimpulkan bahwa bendera merah putih harus segera dikibarkan di pusat-pusat pemerintahan di Bangkinang, oleh karena itu masyarakat secara bersama-sama untuk dapat hadir pada upacara bendera di lapangan muka kantor demang Bangkinang pada hari senin tanggal 11 september 1945. Tanggal 11 September 1945 itu merupakan upacara penaikan bendera merah putih di Bangkinang yang dipimpin oleh Mahmud Marzuki sebagai pemimpin upacara.

Pada tanggal 10 september 1945, terbentuklah Komite Nasional Indonesia Bangkinang dengan ketua I adalah Mahmud Marzuki. Mahmud Marzuki wafat pada tanggal 5 agustus 1946 akibat sakit yang dideritanya (diperkirakan diperoleh semasa beliau ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang). Mahmud Marzuki dimakamkan di depan Sekolah Mualimin Muhammadiyah yang beliau dirikan. Atas ketokohan dan perjuangan (baik dalam pendidikan, dakwah dan tokoh pejuang kemerdekaan) beliau, maka Pemkab. Kampar mengusulkan Beliau sebagai Pahlawan Nasional dari daerah Kampar ke pemerintah pusat dari tahun 2004.


"Marzuki, dan sejumlah tokoh lainnya seperti Malik Yahya, M Amin serta lainnya bergerak secara diam-diam dalam satu kesatuan ilegal yaitu gerakan rahasia menyebar bibit nasional dan anti penjajah. Agama merupakan senjata yang ampuh untuk menghimpun mereka dan menggerakkan rakyat melawan penjajah Jepang, Marzuki dan tokoh lainnya kala itu, menyemangatkan untuk melawan Jepang sebagai kafir. Selanjutnya gerakan yang dia lalukan memboikot beberapa hasil panen padi. Warga diminta untuk tidak menyerahkan seluruh hasil panennya. Usaha yang dilakukan berjalan dengan baik, padi yang diberikan ke Jepang sebagian diisi dengan gabah.

Pada 6 September 1945, bertepatan Hari Raya Idul Fitri, dilaksanakan salad Id di lapangan tengah sawah Simpang Kubu, Air Tiris saat ini. Marzuki kala itu menyampaikan khotbahnya di hadapan masyarakat. "Penutup khotbahnya Mahmud Marzuki menyampaikan kepastian kemerdekaan yang telah dibacakan Bung Karno dan Hatta. Rakyat diminta bersedia berkorban mempertahankan kemerdekaan.

Sehingga pada Senin 11 September 1945, Marzuki mengajak seluruh masyarakat berkumpul di depan Kantor Demang Bangkinang untuk menggelar upacara kemerdekaan. Kabar ini terdengar oleh Jepang, sehingga bala tentaranya dikerahkan di lapangan tersebut.

"Di hadapan 2.000 warga Marzuki pidato mengajak agar seluruh rakyat terutama yang hadir bertekad mempertahankan Merah Putih tetap di tiangnya,

Nama Mahmud Marzuki sudah beberapa kali diusulkan untuk dikukuhkan sebagai pahlawan nasional ke Tim Peneliti Pengkaji Gelar Nasional (TP2GN) dan hingga saat ini usulan tersebut belum disetujui oleh Pemerintah Republik Indonesia, nama Mahmud Marzuki diabadikan sebagai Jalan di Kumantan di sekitar Sekolah Mualimin.


Makam Mahmud Marzuki terletak di Jalan Raya Bangkinang-Pekanbaru km 60, tepatnya di lingkungan MTsN Mualimin Muhammadiyah yang berada di bawah Yayasan Mualimin Muhammadiyah Bangkinag. Makam terletak di sebelah utara bangunan sekolah. Orientasi makam adalah utara-selatan. Makam berada dalam areal pagar yang terbuat dari tembok berlapis keramik warna biru dan pagar besi, dengan luas 3,5 m x 2,5 m. Pada bagian pagar besi sebelah selatan terdapat tulisan Mahmud Marzuki, yang juga terbuat dari besi. Secara umum tidak terdapat nisan pada makam ini. Yang menandai lokasi makam ini hanya berupa tembok keliling (seperti jirat) yang dilapisi keramik warna biru dengan luas 2 m x 2,70 m dan tinggi 15 cm. Pada bagian tengah-tengah makam ini terdapat inskripsi dari semen bertulisan “Ayahanda Mahmud Marzuki Wafat 1946”.

Makam Mahmud Marzuki ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 10/BCB-TB/B/03/2007.


Tampak Depan
Rumah Adat Kenagarian Bendang  ini terletak di Desa Ranah Kecamatan Kampar Kabupaten Kampar, rumah ini didirikan pada tahun 1785. Rumah ini dibangun atas dasar kesepakatan bersama seluruh ninik mamak dan kemenakan di Kenagarian Bendang. Proses pengerjaan bangunan sampai selesai, secara keseluruhan dilakukan secara gotong royong.

Bentuk bangunan Rumah Bendang ini merupakan perpaduan antara tradisional melayu dan minang. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa dahulunya daerah Kampar memiliki kedekatan kebudayaan dengan daerah Sumatera Barat.

Tampak Samping

Bahan bangunan secara keseluruhan terbuat dari kayu, beratap seng (berbentuk gonjong yang pada bagian ujung-ujungnya meruncing ke atas dan pada bagian ujung gonjong ukiran-ukiran bermotif flora). Bangunan secara umum terdiri dari 4 (empat) ruangan. Pada dinding bagian luar terdapat ukiran (pada sisi utara, barat dan timur). Pada dinding bagian dalam terdapat ukiran yang terletak antara dinding pembatas antar ruangan. Pintu masuk mengarah ke utara dengan ukuran tinggi 1,80 m dan lebar 0,8 m. Pada bagian depan bangunan terdapat tangga masuk terbuat dari kayu dan yang pada bagian sisi baratnya terdapat ukiran. Bentuk tiang sisi delapan dengan jumlah keseluruhan 53 buah.

Rumah Adat Kenagarian Bendang ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 03/BCB-TB/B/03/2007.





Sumber : 

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU
Keberadaan makam Raja-raja Gunung Sahilan ini tidak terlepas dari keberadaan serta eksistensi dari Kerajaan Gunung Sahilan itu sendiri.

Pada umumnya yang dikuburkan dalam areal pekuburan ini merupakan raja-raja, pembesar kerajaan, serta karib dan keluarga dari Kerajaan. Diperkirakan keberadaan makam ini dimulai sezaman dengan kehadiran Kerajaan Gunung Ibul dan Gunung Sahilan itu sendiri yakni pra Kerajaan Gunung Sahilan sebelum tahun 1700 (sebelum Raja Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati) sampai masa kemerdekaan tahun 1940-an. Dalam rentang waktu yang panjang itu sampai dengan sekarang diperkirakan sudah puluhan makam dari raja-raja, pembesar kerajaan, serta karib dan keluarga dari Kerajaan yang dimakamkan di kompleks makam ini. Namun untuk mengidentifikasi nama tokoh dari masing-masing makam diperkirakan sudah sulit, mengingat partanggalan serta penamaan pada makam tidak ada.

Makam Raja Gunung Sahilan ini terletak di sebelah baratdaya bangunan Istana Kerajaan Gunung Sahilan. Makam Raja-raja Gunung Sahilan ini berada dalam areal seluas 19,20 m x 9,5 m. Dalam areal ini terdapat 17 buah makam yang masih dapat dilihat secara kasat mata (ada beberapa makam yang sudah hampir hilang karena nisan dan jiratnya sudah tertimbun oleh tanah).

                             

Secara umum dari keselurahan makam-makam yang berada dalam lokasi, terdapat 5 (lima) buah makam yang sudah ditembok dan diberi keramik, dan tanpa nisan. Pada areal ini juga terdapat beberapa makam yang nisannya berupa nisan lokal, yang terbuat dari batu andesit tanpa motif dan pengerjaan, yang langsung ditanam di dalam tanah. Namun ada juga beberapa makam yang yang memiliki nisan berbentuk tipe aceh dengan pola dan motif flora.


Kompleks Makam Raja-raja Gunung Sahilan ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 05/BCB-TB/B/03/2007.


Sumber : 
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SUMATERA BARAT WILAYAH KERJA PROVINSI SUMATERA BARAT, RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

Dengan mengucap Bismillahirrahnanirrahim "saya nyatakan jembatan Rantau Berangin ini dibuka secara resmi" demikian Presiden Soeharto mengakhiri pidatonya pada upacara peresmian jembatan beton pra-tekan seharga Rp.450 juta pada Tanggal 2 Mei 1974. Dan ucapan dari Presiden SOeharto tersebut menandakan berakhirnya sejarah rakit penyeberangan antara Pekanbaru dan Padang setelah berjasa melayani lalu-lintas sejak dibukanya Jalan Raya antara Riau dan Sumatera Barat pada tahun 1929.

Kira-kira dua jam sebelumPresiden Soeharto meresmikan Jembatan Sepanjang 200meter tersebut pada Pukul 09:15 rakit penyeberangan Rantau Berangin menjalankan tugasnya yang terakhir menyeberangi Sungai Kampar dengan membawa Penumpang Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat Prof. Harun Zain yang baru tiba dari Padang untuk menghadiri upacara peresmian jembatan Rantau Berangin.

Berkata Presiden Soeharto, bahwa jembatan Rantau Berangin yang besar dan indah itu adalah hasil dari kerja keras. Merupakan jembatan dengan bentangan terpanjang di Indonesia (pada saat itu tercatat sebagai Jembatan dengan bentangan Terpanjang di Indonesia), Rantau Berangin adalah hasil terbesar yang dapat dicapai dalam sejarah pembangunan jembatan di negeri ini, Kata Presiden Soeharto.

Ini adalah bukti bahwa pikiran dan akal putera-puteri Indonesia bukan hanya tidak beku, melainkan dapat mengerjakan hal-hal yang baru" demikian kata Kepala Negara, yang sebelumnya Juga mengatakan kelegaan dan kegembiraannya datang ke Riau untuk meresmikan selesainya sebuah jembatan, dan bukan untuk meletakkan batu pertama sebuah rencana bangunan, yang dahulu biasanya tidak pernah disusul oleh batu kedua sampai batu terakhir .


Presiden Soeharto disertai oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Ir.
Sutami, Menteri Pertanian Prof. Thoyib Hadiwidjaya, Menteri Perhubungan dr. Emil Salim dan Menteri/Sekretaris Negara Mayjen. Sudharmono SH, tiba di lapangan terbang Simpang Tiga Pekanbaru jam 09:55 dengan pesawat F-28 dari Jakarta. Pangkowilhan I SUmatera dan Kalimantan Barat Letjen Widodo dan Walikota Pekanbaru Abdul Rachman Hamid menyambut Presiden di lapangan terbang. Perjalanan menuju Rantau Berangin dilanjutkan dengan pesawat helikopter menuju  desa Kuok, kemudian diteruskaan dengan mobil ke tempat peresmian Jembatan.

Menteri PUTL Ir. Sutami  menyampaikan laporannya  mengatakan bahwa sebelum Repelita I Jalan Padang Pekanbaru sepanjang 315Km ditempuh dengan Kendaraan Bermotor dalam waktu 14 jam dan jika terjadi banjir ,pasang naik atau turun perjalanan mencapai dua hari, selama Repelita I telah dilakukan  program rehabilitasi dan peningkatan Jalan Riau - Sumatera Barat , rehabilitasi buah jembatan dengan jumlah panjang 135 meter, pembangunan  jembatan baru untuk nengganti jembatan lama Sebanyak 19 buah dengan jumlah panjang 904meter, dan penbangunan dua
buah jenbatan pengganti rakit penyeberangan dengan panjang 200meter, yaitu jembatan rangka baja
Danau Bengkuang yang selesai tahun 1970 dan jembatan beton Pra tekan Rantau Berangin yang Selesai April 1974. Dengan selesainya proyek tersebut kini jarak Padang-Pekanbaru dapat ditempuh dalan waktu  7jam.


Dijelaskan o1eh Sutami bahwa Rantau Berangin mencatat peningkatan kemampuan penerapan teknlogi modern  dan menguntungkan dalam sejarah pembangun jembatan. Adapun keuntungan Jembatan beton  antara lain adalah harganya lebih murah dari pada baja karena Sebagian besar menggunakan bahan lokal,ebih banyak menyerap tenaga kerja, dan tidak memerlukan peme1iharaan. Sedangkan jembatan baja walaupun pembangunannya lebih ringan, cepat dan mudah namun harga lebih tinggi  karena bahnnya harus import dan bangunan memerlukan perawatan secara berkala.

Sebagainana juga disampaikan Presiden Soeharto , Ir. Sutami menyebutkan bahwa jembatan Rantau Berangin merupakan Jembatan Pra Tekan terpanjang bentangannya di Indonesia yaitu diatas air, sehingga tidak memerlukan tiang-tiang pilar di tengah aliran Sungai Kampar yang tergolong ganas . Pelaksanaan pembangunan bermula dari kedua tepi sungai menuju bagian tengah secara bertahap demi tahaptanpa tiang-tiang penyangga. Jembatan bertumbuh menuju tengah sungai  dengan kekuatannya sendiri , bahkan dibebani pula bagian ujung-ujungnya dengan alat alat pengecor beton seberat 30 hingga 40 ton. Cara- cara pelaksanaan  semacam ini baru untuk pertama kalinya dilakukan di Indonesia, yang lebih membaggakan lagi  Kata Sutami , Jembatan Rantau Berangin  direncanakan dan diawasi oleh Tenaga Tenaga Indonesia.

Sementara Gubernur Arifin Achmad mengatakan Jembatan yang melintasi Sungai Kampar ini sebagai pembuka lembaran sejarah baru, dan teratasinya hambatan alam dalam kelancarannya lalu lintas Pekanbaru - Padang , menurut Gubernur  Jalan Padang - Pekanbaru  yang dilanjutkan dengan jalan Pekanbaru - Dumai merupakan jalan yang membelah Jantung Sumatera  menghubungkan Pantai Barat dan Pantai Timur     

Sumber :
Buletin Mingguan Karyawan Minyak (CALTEX)
Baghandu berasal dari bahasa daerah ( Ocu ), dan jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bisa diartikan dengan “Bersenandung” atau makna-makna lain semisalnya bernyanyi, melantunkan, ayunan, buaian.

Sudah menjadi pemandangan umum bagi masyarakat Kampar pada masa dulu, bertani secara berpindah-pindah, hal ini didukung oleh alam nan hijau luas terbentang dan ketika penat saat bertani mereka  melepas kelelahan dengan Baghandu dan  melantunkan nyanyian dan nada-nada kehidupan. 

Salah satu baghandu yang melegenda adalah senandungan ibu-ibu meninabobokan buah hatinya. Hal ini diambil dari potongan Hadist Rasulullah Saw”tuntutlah ilmu itu dari ayunan hingga ke liang lahat”. Dengan dasar ini orang tua-tua Kampar mengenalkan dasar Islam kepada anak-anak balitanya dengan dua kalimat syahadat melalui ayunan atau Baghandu, bait berikut merupakan penggalan dari kalimat baghandu :

”Laa ilaa ha illallaah,
Muhammaa dur-Rasulullaah,
Tiado tuhan salain Allah
Muhammad du rasul Allah
Kok ai ba bilang ai,
Suda komi la jumat pulo,
Kok nak tontu nak agamo kami,
         Namonyo Islam, Muhammad nabi nyo...”
Malalak merupakan tradisi lisan yang bersajak prosa liris, dan berbahasa Melayu Kampar Kiri, Tradisi atau kebiasaan Malalak sangat berhubungan dengan ungkapan perasaan atau ungkapan hati seorang penutur Malalak. Malalak itu juga dapat dikatakan sebuah nyanyian ratapan atau nyanyian kesedihan atau cetusan perasaan yang menceritakan riwayat hidup seseorang yang telah meninggal atau seseorang yang dirindukan. Jadi dapat dikatakan Malalak merupakan ratapan, jerit tangis, atau senandung hati yang diuntai dalam bentuk kata-kata yang halus dan spontan, sebagai ungkapan perasaan yang sedih



Malalak merupakan Senandung seorang wanita yang mendapat tekanan batin dari sang kekasih. Isi dan irama malalak lebih cenderung seperti ratapan dan tangisan nasib diri sendiri. Malalak berisikan luapan perasaan, gejolak jiwa dan rindu dendam seorang wanita untuk kekasih yang telah meninggalkannya. Alat musik yang mengiringi malalak adalah rebab ditampilkan dalam sebuah pertunjukan. 

Contoh syair Malalak: Indak dapek dondang di ayu tidak dapat dendang air Dondang di daghek’kan dendang didekatkan dilalukan juo dilewatkan juga Indak dapek di dalam dunio, tidak dapat di dalam dunia Di akhirat kan deyen tuntuik juo diakhirat akan ku tuntut juga Di dalam tanah jasad batamu di dalam tanah jasad bertemu

Penasaran dengan Syair Malalak ? berikut Video Tradisi Lisan Malalak dari Kampar Kiri 

 
Ulu Kasok yang berada di Desa Koto Mesjid, Kenegerian Pulau Gadang Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar mendadak menjadi viral. Tempat tersebut menjadi perhatian netizen khususnya pengguna Instagram . Tidak terhitung banyaknya kendaraan yang parkir serta banyaknya orang yang datang untuk sekedar berphoto dan berselfie di Puncak Ulu kasok.  Kata orang-orang ini Raja Ampat Riau bang, makanya kami datang kesini biar kekinian kayak orang-orang ujar Roger salah satu pengunjung yang datang dari Pekanbaru.


Keindahan alam Ulu Kasok di Desa Pulau Gadang, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar ternyata tak hanya viral di media sosial namun ternyata juga benar-benar telah mampu menarik minat belasan ribu orang datang ke puncak bukit Ulu Kasok untuk menikmati keindahan alam Danau PLTA Koto Panjang dari atas bukit yang cukup tinggi itu.


Terlihat sepintas Ulu Kasok seperti gugusan pulau-pulau di raja Ampat Papua Barat, bahkan banyak netizen menyebut Ulu kasok dengan Raja Ampat Riau bahkan menyebut Ulu kasok dengan Raja Ampat Sumatra. Namun sebagian netizen lain tidak setuju Ulu Kasok disebut dengan Raja Ampat ,
Dentuman Lelo mengawali Penobatan Pewaris Kerajaan Rantau Kampar Kiri Gunung Sahilan. Dentuman tersebut sangat keras dan membuat sontak para tamu dan undangan kaget. Tengku Muhammad Nizar resmi dinobatkan sebagai pewaris Kerajaan Rantau Kampar Kiri di Istana Darussalam Koto Dalam, Kecamatan Gunung Sahilan Kabupaten  Kampar.

Tengku Muhammad Nizar SH.M.Hum dinobatkan oleh Drs. Tengku Akhyar bin Tengku Arifin bin Tengku Sulung menjadi Pewaris Kerajaan Rantau Kampar Kiri pada Tanggal 22 Januari 2017 , ia mengantikan Putra Mahkota Ayahanda Tengku Gazali yang dinobatkan menjadi raja pada 15 Juli 1941 namun Tengku Gazali belum naik tahta. 

Untuk meneruskan tahta kerajaan
Tengku Muhammad Nizar menjadi pewaris kerajaan setelah kerajaan ini sempat mengalami kekosongan pemimpin, sekaligus menjaga dan melestarikan budaya masyarakat Rantau Kampar Kiri dan penobatan yang dilakukan  ini adalah yang pertama kalinya setelah 87 tahun sebelumnya yaitu pada 1930 dilakukan penobatan pada raja sebelumnya, YDTB Tengku Sulung.

Sehari sebelum dilakukan penobatan dilakukan prosesi rantau baguluang, dimana para khalifah luak nan 4 bersama Datuk Singo akan berdatangan bersama ke Istana Gunung Sahilan. Mereka datang setelah melakukan prosesi rembuk adat di kekhalifahan Kuntu dan kemudian dilakukan prosesi arakan menghilir Sungai Kampar Kiri, selain itu juga dilakukan ritual mencuci benda-benda pusaka kerajaan.


Setelah dilakukan penobatan kemudian dilalukan pemasangan tanjak atau mahkota kerajaan dan juga pemasangan keris kepada Tengku Muhammad Nizar dan kemudian dilanjutkan penandatangan berita acara pengukuhan oleh Gubernur Riau H Arsyadjuliandi Rachman dan juga Pejabat Bupati Kampar Syahrial Abdi disaksikan ninik mamak, keluarga kerajaan, Ketua LAM Riau Al Azhar, Ketua DPRD Riau Septina Primawati Rusli, Raja-Raja Nusantara dan ribuan masyarakat dan setelah itu  Yang Mulia Yang Dipertuan Agung Tengku Muhammad Nizar menduduki singgasananya , dan kemudian acara penobatan ditutup dengan makan bejambau dan sebelumnya diawali pembacaan doa sebagai tanda syukur suksesnya acara penobatan.

Berikut Video Penobatan Tengku Muhammad Nizar SH.M.Hum sebagai Raja Rantau Kampar Kiri Gunung Sahilan
Ketika  mendengar kata Kereta Kabel mungkin yang terlintas dalam pikiran adalah  Kereta gantung Gondola (Detachable Monocable Gondola - MGD), Kereta Kabel Genting Highland, Singapore Cable Car, Titlis Rotair di Swiss yang merupakan kereta gantung putar pertama di dunia. atau Kereta kabel Langkawi yang merupakan Kereta Kabel terpanjang didunia.
Ini bukanlah kereta kabel modern dengan view yang indah seperti yang dimaksud diatas , ini adalah Kereta Kabel Sungai Kampar. Kereta Kabel ini berada di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar.
                      

Kereta Kabel ini menjadi sarana transportasi
untuk menuju lokasi air terjun Panisan, sebelum ada Kereta Kabel dulunya pengunjung yang akan ke air terjun panisan menggunakan rakit, kini dengan adanya Kereta Kabel setidaknya dapat memberikan sedikit kemudahan bagi pengunjung Air Terjun Panisan. 
                     
Kereta kabel yang bermuatan 6 penumpang atau 2 sepeda motor ini terbuat  dari Besi, kayu,  papan dan ditarik dengan menggunakan mesin motor, menurut Bang Hendri pemilik Rumah makan mandi Angin sekaligus Pengelola Paket Ekowisata Sugai Kopu, mesin motor yang digunakan Kereta Kabel ini merupakan mesin motor yang telah lama tidak terpakai, lalu didesain sedemikian rupa sehingga bisa dimanfaatkan dan lanjut bang Hendri dana pembuatan Kereta Kabel ini berasal dari pinjaman salah satu Bank.

Kereta Kabel yang penggunaanya diresmikan pada tanggal 1 Mei 2016 lalu diharapkan dapat membantu pengembangan pariwisata Desa Tanjung dan mampu menggerakkan ekonomi kreatif masyarakat sekitar.
Handphone sudah berulang kali berdering , ternyata Panggilan  dari Bapak Hendri pemilik Rumah Makan Mandi Angin sekaligus pengelola Ekowisata Sungai Kopu. Dalam percakapan telpon pak Hendri menyampaikan bahwa  Asam Pedas Baung Sungai Kampar sudah menanti kedatangan kami. Kami cukup larut dengan awan biru di sekitar Candi Muara Takus. Sungai Kopu yang menjadi tujuan perjalanan kami memiliki jarak yang tidak begitu jauh dari Candi Muara Takus. Jika Candi Muara Takus berada di kecamatan XIII Koto kampar,maka sungai Kopu berada di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar. 


Keberadaan Sungai belum begitu familiar , tetapi belakangan keberadaan Sungai Kopu menjadi fenomenal setelah kedatangan Plt. Gubernur Riau beserta istri dan Rombongan.  Setelah puas di Candi Muara Takus kami melanjutkan perjalanan menuju Sungai Kopu. Sungai Kopu berada di sekitar Kantor Camat Koto Kampar Hulu.

                           

Dan tibalah kami di Rumah Makan Mandi Angin, Pak Hendri dan Bapak M. Yunus telah menunggu kedatangan kami, seketika Pak M.Yunus menuju boat yang akan membawa kami menelusuri Sungai Kapur, Sungai Kopu dikenal juga dengan nama Sungai Kapur dan Batang Kopu, bahasa daerah sekitar (bahasa ocu) menyebut kata kapur dengan kata kopu. Pak Yunus mempersilahkan kami menaiki boat dan untuk keamanan bersama kami semua menggunakan rompi pengaman (pelampung) yang sudah disediakan oleh pengelola wisata Sungai kopu.


Kami begitu takjub melihat panorama alam sungai kopu, hamparan batu purba yang tinggi menjulang, sungai berkelok nan indah, gemercik air, suara burung bersahutan menjadi teman perjalanan kami menelusuri Sungai Kopu, Pak Hendri sebagai pemandu wisata menjelaskan kepada kami mengenai Sungai Kopu. Kami seakan dimanjakan dan dibuai oleh hutan alami yang masih asri, tebing dan bebatuan.  Batuan yang ada memiliki bentuk yang unik, ada seperti hidung disebut batu hidung, kemudian ada bebatuan yang disebut
Batu Dagu, Batu Balai, Batu Nisan Loba, Batu Gondang, Batu Lompatan Kancil,  Batu Buayo, Batu Iduong, Batu Kangkuong, Batu Ladiong, Batu Gawik, Batu Olang Onggok.
                                  

Warna dari sungai Kapur juga berbeda dengan sungai Kampar yang menjadi muara dari sungai, sungai kapur berwarna kehijauan dan bebatuan yang berada disisi kanan dan kiri anak sungai juga berwarna hijau dan bagi yang sudah pernah ke Grand Canyon pasti sepakat jika Sungai Kopu dikatakan dengan“ Green Canyon ala Riau”.

Keramahan Pak Hendri, ketenangan dan keahlian Bapak Pak M. Yunus mengenadalikan lajunya boat membuat perjalanan kami terasa aman dan menyenangkan.
Makanan dan minuman  yang menemani malam kami di sebuah Warung Empek-empek di daerah Panam sudah habis, dan malam semakin  larut, rasa kantuk menghampiri kami semua. Demikian suasana bincang bincang singkat kami untuk bepergian ke sebuah tempat yang dalam bayangan kami cukup indah dan terisolir, jauh dari sentuhan infrastruktur maupun jaringan internet 4G. Air Terjun Batang Kapas menjadi fokus pembicaraan kami, dengan begitu antusias Arika Harmon  Ketua Persatuan Anak Negeri Pangkalan Kapas (Pangkas) berbicara mengenai potensi Kenegerian Pangkalan Kapas khususnya Desa Lubuk Bigau. Hingga akhirnya disepakati tanggal keberangkatan kami adalah dua minggu berikutnya.

Hingga akhirnya waktu yang telah ditunggu tunggu tiba, dan kami berangkat menuju Desa Lubuk Bigau, Air Terjun Batang Kapas menjadi tujuan keberangkatan kami. Selain disebut dengan Batang Kapas, kadang ataupun sebagian orang ada yang menyebut Air Terjun ini dengan nama Air Terjun Pangkalan Kapas, dan Air Terjun Lubuk Bigau. Arika Harmon Pemuda Desa Lubuk Bigau menjelaskan kepada kami bahwa air terjun Batang Kapaslah nama yang benar, air terjun ini berada di Hulu Sungai  Batang Kapas dan terletak di Desa Lubuk Bigau Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar. Lubuk Bigau  merupakan pemekaran Desa Pangkalan Kapas bersama desa lainnya yaitu  Desa Tanjung Permai, Kampung Dalam dan Kebun Tinggi. Dahulunya beberapa desa tersebut tergabung dalam satu desa, yakni Desa Pangkalan Kapas dan karena itu jugalah air terjun ini dikenal dengan Air Terjun Pangkalan Kapas.


Disarankan untuk menuju Desa Lubuk Bigau menggunakan Mobil double gardan atau 4x4 , jika menggunakan mobil biasa ataupun mobil yang rendah kita akan kesulitan menuju Desa Lubuk Bigau  terutama jika hari hujan. Jika hujan dikhawatirkan mobil tidak akan mampu melanjutkan perjalanan dan jika ini terjadi kita dapat memarkirkan mobil di rumah warga dan kemudian  melanjutkan perjalanan menuju jasa ojek warga sekitar.

Tidak gampang untuk ke Air Terjun Batang Kapas, butuh mental dan fisik yang bagus, karena perjalanan menuju air terjun tersebut tidaklah melewati jalanan aspal yang mulus, karena kita mesti melewati jalanan berpasir dan berbatuan. Dari Kota Pekanbaru pejalanan dilanjutkan menuju Lipat Kain dengan jarak tempuh lebih kurang 1,5 s/d 2 jam, kemudian perjalanan dilanjutkan ke arah Taluk Kuantan dan sebelum Jembatan kita mengarahkan laju kendaraan berbelok kanan ke  Simpang Rakit Gadang atau yang lebih dikenal dengan Simpang Gema/ Simpang Kuntu, dan perjalanan kita lanjutkan hingga nantinya kita akan menemui persimpangan , jika kekiri kita akan menuju Desa Gema, dan arah perjalanan kita adalah ke Kanan. Lebih kurang 4 jam perjalanan ke dalam dengan berbagai kontur jalanan  yang ada yang berliku-liku dan mendaki dan menurun, jika musim kemarau maka jalanan akan berdebu, begitu pula sebaliknya jika musim hujan,meka jalan ini sangat sulit untuk dilalui. Sebelum kita sampai di Tujuan yaitu Desa terakhir yang terdekat ke air terjun Batang Kapas yaitu Desa Lubuk Bigau, kita melewati beberapa Desa di Kecamatan Kampar Kiri yaitu Desa Lipat Kain Selatan, Desa Teluk Paman Timur, Desa Tanjung Mas, Desa Sungai Rambai, Desa Padang sawah,Desa Sungai (Sei) Raja, Desa Muara Selaya, dan kemudian kita melewati beberapa Desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu yakni Desa Danau Sontul, Desa Tanjung Karaang, Desa Deras Tajak, Desa Batu Sasak hingga akhirnya kami tiba di Desa Lubuk Bigau. 

Warga desa Lubuk Bigau sangat terbuka dan  Keluarga  Arika Harmon  telah  menunggu kedatangan kami. Penat diperjalanan mengharuskan kami untuk beristirahat, karena esok paginya kami mesti melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Batang Kapas. Dan pagipun tiba, setelah sarapan kami melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Batang Kapas. Kami berjalan kaki melintasi kebun karet warga. Sebagian besar masyarakat Desa Lubuk Bigau bermata pencaharian sebagai Petani Karet. 

Kebun Karet Warga Desa Lubuk Bigau

Setelah melintasi Kebun Karet warga kami memasuki hutan alami yang masih perawan, rerimbunan pepohonan mengelilingi dan melindungi kami dari panas terik matahari. Udara segar serasa memenuhi setiap tarikan nafas kami. Arika pemandu kami memeritahu Perjalanan dapat ditempuh minimal 3 jam bahkan sampai 5 jam tergantung ketahanan fisik kita. Setelah berjalan kaki lebih kurang 1jam kami beristirahat di Ngalau Tada, demikian nama yang biasa disebut warga sekitar. Di Ngalau Tada kami melepas lelah sembari mengkonsumsi makanan ringan dan mengisi kembali perbekalan air minum, air minum yang kami konsumsi masih sangat alami yang berasal dari sumber mata air. Sayangnya keberadaan Ngalau Tada sedikit terusik oleh keberadaan tangan-tangan usil, ngalau tada penuh dengan coret-coretan nama.


Ngalau Tada
 
Setelah rasa lelah sedikit hilang, kami melanjutkan perjalanan. Serasa mendapat suntikan energi meskipun bahu dan punggung memikul beban perlengkapan. Perjalanan kian melelahkan tidak terhitung berapa tanjakan mapun turunan yng kami lewati, keringat cukup banyak bercucuran, jalan setapak yang kami lalui semakin terjal, bahkan harus melewati tangga kayu vertikal, dan berjalan melewati anak sungai, berjalan di bebatuan , mungkin saja ini menjadi salah satu tempat trekking yang terbaik yang ada di Riau.
Perjalanan Menuju Air Terjun Desa Batang Kapas

Ayo semangat tidak jauh lagi, hanya satu tanjakan lagi, didepan  sudah tidak ada  tanjakan atau penurunan, didepan sudah tidak ada bebatuan lagi, hanya 30 menit lagi kita berjalan kaki, demikian Ucapan dari Arika Harmon sambil memberikan semangat kepada kami, walau kami tahu sebenarnya perjalanan masih cukup panjang. Entah berapa kali kami beristirahat melepas lelah,sambil mengkonsumsi makanan ringan maupun mengisi kembali perbekalan air minum.  



Bukit dan Bebatuan yang dilewati untuk menuju Air Terjun
Dari kejauhan kami sudah mendengar bunyi air, woii air terjun kata teman yang berada di depan. Sudah pasti melelahkan, tapi rasa lelah hilang seketika ketika melihat air terjun, kami semua kagum melihat air mengalir dari atas ya lebih kurang 125meter hitungan yang kami lakukan, sayangnya saat itu sudah 1bulan tidak hujan sehingga debit air berkurang dan tentunya mengurangi ketinggian air terjun. Jika saat debit air cukup deras atau banyak mungkin saja ketinggian air terjun bisa mencapai 150meter. 



Air Terjun Batang Kapas dengan ketinggian 125meter pada saat debit air berkurang
Air Terjun Batang Kapas pada saat ebit air banyak dan diperkirakan ketinggian air mencapai 150meter
Kami beristirahat di bebatuan sambil menikmati panorama di sekitar air terjun, butiran-butiran air yang tumpah dari puncak tebing membasahi kami, dan sebagian dari kami berdiri tegak diatas permukaan batu untuk mengabadikan momen dengan vew air terjun batang kapas. Air terjun ini benar-benar masih alami dan terbilang masih jarang dijamah,  air terjun dikelilingi  hutan tropis yang lebat lagi tinggi, nyanyian burung, semilirnya angin dan bunyian percikan air serta tumpukan bebatuan yang ditumbuhi lumut yang terhampar disepanjang sisi aliran air yang telah membentuk layaknya anak sungai yang eksotis. 



Hari semakin gelap, dan kami melanjutkan perjalanan ke Bukit atas untuk beristirahat malam, dan momen ini kami gunakan untuk mengambil gambar matahari tenggelam. Kaki tebing menjadi tempat kami kami beristirahat malam, kami tidur seadanya  dengan memanfaatkan ceruk bukit untuk berlindung dan sedikit lebih  aman, terbebas dari hembusan angin. Memang butuh usaha yang tidak sedikit untuk mencapai tempat ini, tapi apa yang dijumpai juga merupakan bayaran yang sesuai. Sebuah keagungan dari alam yang sulit dicari tandingannya.

Matahari Tenggelam
Cerukan Bukit Tempat Kami Beristirahat
Istirahat semalam rasanya sudah cukup untuk mengembalikan kebugaran fisik kami, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak ke sumber air terjun tersebut.





Rasa penat kami berjalan kaki selama 4 jam terbayarkan. Air terjun ini sungguh akan membuat anda berdecak kagum. Posisinya berada disebuah tebing berbatu yang tegak setinggi tidak kurang dari 125meter jika saat kemarau atau kondisi debet air terjun kecil , bahkan jika musim hujan ketinggian air terjun dapat mencapai 160meter, bahkan menjadi air terjun tertinggi kedua di Sumatra setelah Air Terjun Siguragura yang juga merupakan air terjun tertinggi kedua di Indonesia. #Ayokeriau



Bagi yang ingin berpetualangan ke Air Terjun batang kapas Bisa menghubungi Arika Harmon di Telpon/WA : 085374932282