Tampilkan postingan dengan label WARISAN BUDAYA TAK BENDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WARISAN BUDAYA TAK BENDA. Tampilkan semua postingan
Pantun Atui adalah salah satu warisan sastra berupa adat kebiasaan turun-temurun dan pengungkapan melalui lisan yang berasal dari Kabupaten Kampar Riau. Berdasarkan sudut pandang kebahasaan, pantun ini berasal dari bahasa Ocu yang bermakna "pantun seratus" secara harafiah, terdiri dari seratus gugus pantun. Pantun Atui berlaku ketika hubungan percintaan terjadi dalam bentuk suara hati seorang laki-laki kepada perempuan yang menjadi pujaan hatinya. Pandangan sebenarnya yang mendasari tujuan pantun semacam ini adalah betapa tulus dan kuat sang laki-laki memberikan keyakinan cintanya kepada keturunan-keturunannya, sehingga harus menyediakan seratus pantun selama seratus malam.

Dalam satu gugus pantun, ada lima buah pantun. Pantunnya bersajak empat, lima, dan enam baris dalam satu untaian yang sudah rampung untuk ditampilkan serta bahasa Ocu berlogat Bangkinang dijadikan pilihan penyampaian dari mulut ke mulut. Pantun Atui berlaku ketika hubungan percintaan terjadi dalam bentuk suara hati seorang laki-laki kepada perempuan yang menjadi pujaan hatinya. Pandangan sebenarnya yang mendasari tujuan pantun semacam ini adalah betapa tulus dan kuat sang laki-laki memberikan keyakinan cintanya kepada keturunan-keturunannya, sehingga harus menyediakan seratus pantun selama seratus malam.

Pantun Atui dinyanyikan sambil duduk (biasanya diatas tilam yang disediakan di tengah rumah). Bentuk pantun ini adalah pantun berkait, berjenis pantun kasih sayang atau pantun muda-mudi. Pada masa kini, pantun ini dapat diiringi dengan alat-alat musik seperti biola atau rebab.

Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Pantun Atui menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi
201800645.
 
Bagaimana dengan Ragam Lisan atau pantun pada Pantun Antui silahkan disaksikan video berikut :
 
Kayat merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang masih hidup di tengah masyarakat Rantau Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Masyarakat Rantau Kuantan mengenal di antaranya Jumat dan Juman, sebagai tukang-tukang kayat yang mumpuni di zamannya. Mereka dan kelompoknya sempat menjadikan kayat sebagai bagian dari tradisi lisan yang menjadi kebanggaan masyarakat Kuantan Singingi, selain randai.

Kayat disampaikan oleh seseorang yang disebut tukang kayat. Lazimnya, tukang kayat adalah laki-laki, meskipun perempuan pun boleh menjadi tukang kayat. Penyajiannya dapat dilakukan di dalam atau di luar rumah. Waktunya malam hari, dimulai selepas sholat isya dan berakhir menjelang sholat subuh.
Pada mulanya kayat di Kuantan Singingi mendendangkan kisah-kisah nabi dan para pahlawan Islam, seperti Kayat Tangkurak Koriang (Hikayat Tengkorak Kering), Kayat Porang (atau Kayat Hasan dan Husin; mengisahkan peperangan cucu-cucu Rasulullah Muhammad SAW melawan Yazid bin Muawiyah), Kayat Kanak-kanak (berkisah tentang kehidupan anak-anak yang meninggal sebelum baligh, bebas dari dosa, dan dalam kedamaian hidup damai di akhirat mereka mencari, menolong, dan membimbing ibu-bapaknya untuk masuk surga).

Dalam bentuk tradisionalnya, kayat-kayat itu ditampilkan dalam majelis-majelis pengajian, atau sempena perayaan dan upacara keagamaan, seperti pesta perkawinan, syukuran, sunat rasul, dan aqiqah. Bila disajikan dalam perayaan-perayaan, maka pada bagian-bagian tertentu kisahannya, tukang kayat sering menyisipkan pantun-pantun popular untuk menyukakan hati khalayaknya, baik di bagian awal, di masa jeda, atau pada saat-saat penonton mulai jenuh.

Biasanya, kayat dimainkan oleh empat orang tukang kayat. Salah seorang dari mereka menjadi pemimpin kayat tersebut. Masing-masing tim terdiri atas dua orang sebagai teman untuk saling bersahut-sahutan. Kayat dimainkan di hadapan penontonnya tanpa ada jarak dan batas formal. Pada awalnya, dalam penampilannya, kayat diiringi alat musik berupa talam atau dulang yang terbuat dari kuningan/tembaga. Dalam perkembangannya, alat musik tersebut berkembang sehingga dipergunakan pula gendang, biola, ketabung dan kerincing.

Tukang kayat hendaknya memiliki suara yang bagus sehingga terdengar merdu di telinga masyarakat penikmatnya. Ternyata, untuk menjaga suara tetap merdu, tukang kayat terbiasa memakan tebu sebagai suguhan wajib, ditambah pisang rebus, serta sirih pinang sebagai pelengkap. Dengan suaranya yang merdu tersebut, tukang kayat akan menampilkan bermacam jenis irama, di antaranya; ungko tabobar (siamang jawab-menjawab), naik maligai (naik istana), dan pado-padi (irama permulaan).

Kayat tidak hanya berfungsi sebagai sebuah hiburan. Kayat juga berisi pandangan dan tuntunan perilaku hidup sehari-hari. Tak jarang, pertunjukan kayat ini dibungkus dengan cerita-cerita tentang kepahlawanan Islam atau gambaran kehidupan sesudah mati. Ada cerita yang berkisah tentang cerita dagang piatu (peruntungan), kayat kanak-kanak, dan kayat porang (perang).

Di Rantau Kuantan, keberadaan kayat tersebar di sejumlah daerah kecamatan, seperti Benai dan Kuantan Hilir. Kayat juga ada di Desa Toar, Kecamatan Gunung Toar, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Di daerah ini hidup tukang kayat Nasir (79 tahun) dan Juharli (57 tahun). Akan tetapi, dua orang ini sudah tidak pernah lagi menampilkan kayat di tengah keramaian. Mereka terakhir tampil sekitar tahun 2000. Menurut Nasir, selain kayat asli sudah tidak banyak peminat, mereka pun mengaku usianya sudah tidak muda lagi untuk berkayat.

Tim kayat mereka pun sudah tidak lengkap lagi karena dua orang sudah meninggal. Oleh karena itu, ketika menampilkan kayat, mereka sudah tidak bisa menyelesaikan kayat tersebut sampai tuntas. Seharusnya, setelah habih satalo (habis satu episode), kayat harus disambung oleh tukang kayat yang lain. Para pekayat ini berharap, kesenian kayat ini bisa diwariskan kepada generasi sekarang dengan cara diajarkan kepada pemuda yang punya kemauan/kepedulian terhadap kayat.


Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Kayat Kunasing/Kayat Rantau Kuantan  menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800644.(Sumber: Saduran dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/kayat-sastra-lisan-dari-kuantan/ )

 


Seperti apa   dengan Tradisi Lisan Kayat tersebut ? silahkan menyaksikan video berikut : 

 

 

Pola kehidupan masyarakat Banjar yang berpusat di pedesaaan dengan mata pencaharian bertani, berkebun dan menangkap ikan menyebabkan masyarakat Banjar memenuhi peralatan hidupnya dengan hal yang sederhana yang diambil dari alam dan lingkungannya. Seperti halnya mereka dalam menangkap ikan, mereka menggunakan alat yangdisebut ’lukah’. Alat tradisional ini ada seiring dengan engetahuan sederhana mereka bagaimana mereka bisa menagkap ikan tanpa harus menggunakan alat yang berbahaya. Alat yang disebut lukah ini dipergunakan oleh masyarakat Banjar hampir di seluruh wilayahKalimantan Selatan, baik untuk menangkap ikan di daerah-daerah aliran suangai maupun di danau-danau di tambak-tambak bahkan di rawa-rawa yang banyak terdapat di wilayah ini. Penggunaan lukah sampai saat ini masih dilakukan meskipun banyak pilihan lain berupa alat modern maupub obat-obat yang dapat dipakai sebagai alat untuk menangkap ikan.

 

Lukah adalah barang hasil kerajinan yang terbuat dari bambu dan rotan yang berbentuk tabung dengan ujung berbentuk kerucut tumpul yang diberi lubang yang gunanya untuk menagkap ikan. Lukah biasanya dibuat dengan panjang sekitar dua meter dan diameter kira-kira 30 centimeter (namun juga sangat tergantur dari lukah yang dibuat untuk keperluan menangkap ikan besar atau kecil). Menurut  bentuknya, lukah sibedakan menjadi dua yaitu ”lukah jarangdan ”lukah tatal”.

 

Kegunaan lukah disesuaikan dengan jenisnya. Lukah yang jarang hanya menangkap ikan yang besar-besar saja, sedangkan lukah tatal bisa digunakan untuk menangkap ikan baik besar maupun kecil. Namun yang biasa digunakan untuk menangkap ikan baik besar maupun kecil. Namun yang biasa digunakan oleh masyarakat Banjar, lukah tatal ini khusus dipakai untuk menangkap ikan papuyu atau ikan betook dan sepat. Adapun cara penggunaan lukah ini adalah sebagai berikut: sebelum lukah dimasukkan dalam air (sungai, tambak, atau rawa), di dalam lukah tersebut simasukan beberapa biji siput sawah yang besar yang kulitnya telah dipecah-pecah sebagai umpannya. Lubang belakangnya ditutup dengan ruas bambu atau tempurung. Pada saat lukah dimasukkan dalam permukaan hidup. Biasanya lukah dipasang berlawanan dengan arus air, sehingga bau siput yang dipecah itutercium oleh ikan-ikan, dan merangsang ikan-ikan itu untuk mencari sumber bau tersebut.

 

Biasanya lukah dipasang pada sore atau malam hari, dan pada pagi harinya, lukah-lukah itu diangkat ke permukaan untuk diperiksa ada ikan yang terperangkap atau tidak.Lukah-lukah itu diambil dan pada sore harinya dipasang umpan lagi dan dimasukkan ke air lagi untuk mencari ikan sebagai penghidupan mereka.

 

Selain di masyarakat  Banjar  Lukah Gilo cukup populer di Rkan Hulu khususnya di SUku Bonai,  Lukah Gilo merupakan kesenian tradisional yang sering dimainkan oleh rakyat dalam berbagai upacara, baik upacara adat maupun acara-acara lainnya. Kesenian ini mirip dengan Jailangkung yang dikendalikan oleh seorang pawang.  Lukah berarti alat tangkap ikan yang terbuat dari anyaman rotan dan Gilo berarti gila. Sebelum Lukah Gilo dimainkan, ada beberapa tahapan proses pembuatan yang perlu dilakukan hingga Lukah siap dimainkan. Lukah Gilo merupakan ekspresi dari hubungan atau komunikasi antara manusia (bomo) dan kawan-kawannya dengan makhluk gaib untuk masuk ke dalam Lukah, dengan berbagai tujuan keperluan budaya. Bagi suku Bonai, mahkluk halus yang masuk kedalam Lukah tersebut dikategorikan sebagai jin. Beberapa tahapan ritual yang harus dilakukan oleh sang bomo dan orang-orang yang terlibat dalam permainan ini, supaya lukah dipertunjukkan dapat berjalan lancar berikut tahapan pertunjukan lukah gilo ialah:

  1. Merokok. Bertujuan untuk mengumpulkan energi, menenangkan diri, dan berkonsentrasi;
  2. Makan. Bomo dan asisten bomo nmembawa bekal nasi dan lauk-pauk yang mereka masak sendiri dari rumah ketempat pertunjukan;
  3. Minum. Untuk melepas dahaga dan mengumpulkan energi;
  4. Membuka tutup lukah. Merupakan tahapan pertunjukan dimulai. Kain hitam penutup lukah dibuka oleh bomo utama. Bomo memanggil dua orang asistennya untuk memegang lukah, dan lukah pun kembali ditutup dengan menggunakan kain hitam oleh bomo sambil berkata kepada penonton;
  5. Mengambil mayang pinang dan memulai pertunjukan. Tahap ketika bomo duduk dihadapan lukah yang akan siap dimainkan sambil berkata kepada dua asistennya, "Dah siap ompun beduo?", yang artinya, "Apakah sudah siap kamu berdua?" (untuk melakukan lukah gilo sebagai tanda permainan dimulai);
  6. Membaca mantra perlahan dan cepat. Setelah semua lengkap dan bomo mulai menggoyang-goyangkan mayang pinang ke arah kiri dan kanan sambil membaca mantra lukah gilo;
  7. Lukah bergerak dan menggila, asisten bomo yang memegang lukah pun ikut bergerak ke manapun arah lukah digerakkan oleh bomo utama;
  8. Meniup lukah agar lukah berhenti bergerak;
  9. Lukah berhenti bergerak;
  10. Menyerahkan lukah kepada penyelenggara;
  11. Minum setelah pertunjukan


    Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Ghatib Beghanyut menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800637

     

    (Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 119)  

Suku Sakai merupakan  salah satu komunitas adat atau orang asli (indigeneous people) yang ada di Riau yang mendiami kawasan hutan belantara. Mereka hidup dengan memegang tradisi yang disarikan dari adaptasi mereka dengan lingkungan alam sekitar. Kini keberadaan Sakai cukup terancam dengan adanya Pengembangan dan alih fungsi hutan. Hutan  tempat mereka berdiam telah berubah menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit dan sentra ekonomi lainnya.

Sebelum mengenal medis Suku  Sakai mempercayai Dikei sebagai sebuah pengobatan yang ampuh, Dikei merupakan pengobatan dengan bantuan Roh Halus. Roh-roh halus diundang untuk menyembuhkan penyakit dan Ritual Dikei  dipimpin oleh seorang dukun yang disebut dengan istilah kumantan. Peralatan Utama dalam Pengobatan Dikei Ini adalah Mahligai Sembilan Telingkat atau Mahligai Sembilan Tingkat. 


Dikei Sakai berangkat dari konsep semangat dalam fungsinya sebagai daya hidup yang menggerakkan kesadaran untuk melakukan berbagai hal. Tanpa semangat, manusia seperti mati, kesadarannya tidak berada di tempat semestinya. Keberadaan semangat dapat dirasakan pada denyutan nadi, misalnya di pergelangan tangan, dada, dan kening. Titik-titik ini adalah tempatnya dan menjadi fokus dalam ritual pengobatan Dikei (Porath, 2012).

Orang Melayu pada umumnya, dan orang asli khususnya, mempercayai bahwa semangat dapat menjadi lemah, yang disebut sebagai “lemah semangat”. Semangat manusia digambarkan sebagai esensi yang rapuh, setiap saat dapat terbang karena kejutan-kejutan, mudah terpikat dan tergoda alam lain—bagai kanak-kanak yang mudah terbujuk oleh mainan baru, bahkan dapat dipanggil tanpa bisa menolak dan tunduk pada perintah. Apabila semangat di dalam tubuh hilang, kesadaran pun hilang, tubuhnya akan mengikutinya kehendak yang memanggilnya.  Karena sifatnya yang rapuh, maka dalam dikei bagian yang tak kalah penting selain pengobatan—mengembalikan semangat yang hilang atau terbang karena suatu hal, adalah “memagari”, membuat pagar agar semangat tidak hilang atau terbang lagi, “terbujuk” pengaruh dari luar, khususnya dari alam lain. Sebagaimana di alam manusia, ada orang baik dan jahat, begitu pula di alam lain. Roh baik tidak mengganggu, bahkan dapat membantu manusia bila diimbo (dihimbau, diminta). Roh-roh baik diimbo dalam ritual pengobatan dikei. Secara umum, roh-roh tersebut diyakini memiliki potensi kekuatan tertentu, yang membangkitkan sebentuk rasa hormat, segan, dan kadang menimbulkan takut,  karena tidak dapat diperkirakan dan dibayangkan. Keadaan “sakit” dipercaya sebagai akibat terganggunya semangat karena adanya konflik dalam hubungan antara pasien dengan “alam lain” (baik dengan alam roh maupun dengan semangat lain), oleh karena itu tujuan ritual pengobatan dikei adalah memulihkan hubungan-hubungan agar penyakit yang diderita pasien dapat disembuhkan.


Peralatan Utama dalam Pengobatan Dikei Ini adalah Mahligai Sembilan Telingkat atau Mahligai Sembilan Tingkat.  Mahligai merupakan ini merupakan jalinan daun-daun khusus bernama daun angin-angin yang ada di hutan dan dibuat sebanyak tujuh tingkat ke atas. Puncak paling atas dipercayai merupakan singgasana Peri atau Tuan Putri dan Peri ini yang membantu proses penyembuhan dan Kumantan membaca mantra dengan mengelilingi Mahligai Sembilan Tingkat dan bermohon bantuan kepada Peri atau Tuan Putri. Ritual diawali dengan memberikan hormat dan juga persembahan kepada Sang Putri, kemudian Sang Kumantan membaca Mantra dengan iringan tabuhan gendang dan dibantu oleh seorang yang terlibat dalam proses pengobatan yang mengelilingi mahligai sambil membawa obor dan juga lonceng dan sekali kali ia menaburi sesuatu dimahligai tersebut dan menari berputar mengelilingi Mahligai dengan gerakan menyerupai burung (Tari olang Olang). 

Pada Tahun 2019 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 267 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Dikei Sakai menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 201900843.



Dikei Sakai dapat dilihat pada video berikut :





Sumber :
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/ritual-pengobatan-masyarakat-riau-dikei-sakai/







.

Dahulunya di Ulak Patian Rokan Hulu  Infrastruktur Kesehatan jauh dari kata layak,mereka tidak mengenal Medis, tidak mengenal Dokter, Puskesmas, mantri, bidan ataupun yang lainnya.

Jika ada yang sakit maka diobati dengan ritual Tarian yang diiringi dengan musik dan pembacaan mantra, Tarian tersebut adalah Tari Burung Kwayang. Berbagai penyakit disembuhkan dengan pengobatan tradisional dengan mengundang jin-jin, ritual pengobatan ini  dipimpin oleh Bomo yang dalam tarian itu disebut Dondayang. Dalam istilah keseharian yang sakit selalu disebut dengan anak cucu Datuk Said Panjang jangguik dan Uak paneh Sopotang. Begitulah mereka mengakui bahwa mereka adalah keturunan datuk tersebut, dan masih berharap dengan perlindungan dari makhluk halus ini.


salah seorang penari burung kwayang dari Bonai, Rokan Hulu mengatakan, tari burung kwayang adalah sebuah ritual pengobatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat bonai. Tari burung kwayang dibawakan oleh seorang bomo atau dukun yang bertindak sebagai dondayang atau perantara dengan makhluk halus, yang disebut dengan deo. Di samping itu, penari penari yang disebut sebagai pomantan, yang dirasuki oleh para deo, dipanggil oleh sang dukun.

"Sebelum pengobatan ini dimulai, disiapkan sejumlah makanan tradisional, berbagai ramuan obat, air bunga, kemeyan, jeruk purut, dan lainnya. Ritual dimulai dengan pembacaan mantera oleh bomo untuk memanggil makhluk halus atau deo, yang dimasukkan ke tubuh pomanten



Setelah deo masuk ke tubuh pomaten, terjadi dialog yang membicarakan maksud penggilan deo tersebut. Pasien yang diletakkan di tengah-tengah dubalangpun mulai diobati oleh makhluk halus. Sedangkan bomo kembali membaca mantera untuk memanggil delapan deo lagi yang dimasukkan ke tubuh pomanen dengan menyebutkan namanya, yaitu Rajo Anak Tangah Koto, Anak Rajo Pulau Pinang, Dayang Limun, Dayang Mak Inai, Olah Kisumbo, Buaya Gilo, Burung Kwuayan, dan Kudo Lambung.

Para pomaten yang sudah dirasuki oleh roh para deo tersebut menari berputar-putardiiringi oleh music tradisionalyang terdengar magis. Pengobatan sesi pertama selesai, dan bomo membaca mantera untuk mengeluarkan para deo dari tubuh pomanten. Tapi pada sesi berikutnya, bomo kembali memanggil deo-deo yang lain, yakni, deo Uda Balai, Mak Ino Kuning Tanah Dareh, Anak Rajo Jopun, Anak Rajo Lelo Mongok, dan Kumbang Sulendang.

Pasien  kembali diobati oleh para deo tersebut dengan iringan musik tradisional hingga pengobatan selesai, dan bomo membaca mantera untuk mengusir para makhluk halus.

Pada Tahun 2019 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 267 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tari Burung Kwayang menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 201900838.






Baghandu berasal dari bahasa daerah ( Ocu ), dan jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bisa diartikan dengan “Bersenandung” atau makna-makna lain semisalnya bernyanyi, melantunkan, ayunan, buaian.

Sudah menjadi pemandangan umum bagi masyarakat Kampar pada masa dulu, bertani secara berpindah-pindah, hal ini didukung oleh alam nan hijau luas terbentang dan ketika penat saat bertani mereka  melepas kelelahan dengan Baghandu dan  melantunkan nyanyian dan nada-nada kehidupan. 

Salah satu baghandu yang melegenda adalah senandungan ibu-ibu meninabobokan buah hatinya. Hal ini diambil dari potongan Hadist Rasulullah Saw”tuntutlah ilmu itu dari ayunan hingga ke liang lahat”. Dengan dasar ini orang tua-tua Kampar mengenalkan dasar Islam kepada anak-anak balitanya dengan dua kalimat syahadat melalui ayunan atau Baghandu, bait berikut merupakan penggalan dari kalimat baghandu :

”Laa ilaa ha illallaah,
Muhammaa dur-Rasulullaah,
Tiado tuhan salain Allah
Muhammad du rasul Allah
Kok ai ba bilang ai,
Suda komi la jumat pulo,
Kok nak tontu nak agamo kami,
         Namonyo Islam, Muhammad nabi nyo...”
Bila mendengar kata Silat yang terpintas bagi kita di Riau adalah Silat Pangean, dternyata di Riau tidak hanya ada Silat Pangean tetapi juga terdapat jenis Silat lainnya. Salah satu jenis Silat tersebut adalah Silat Tiga Bulan yang berasal dari Rokan Hulu atau dengan bahasa Lokal Rokan biasa disebut Silek Tigo Bulan.


Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Belian menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800633.

Salah satu jenis Silat Melayu Sungai Rokan yang paling terkenal adalah silat tiga bulan. Jenis silat ini kemudian hari dibagi menjadi dua yaitu sendeng dan tondan. 

Gelanggang yang mengutamakan pelajaran dan latihan gerak ketangkasan disebut tondan. Sedangkan gelanggang yang lebih mengutamakan ketahanan fisik disebut sendeng. Kebanyakan orang lebih suka belajar tondan terlebih dahulu baru kemudian belajar sendeng.

Selain silat yang tersebut di atas masih ada istilah silek rimau (silat harimau), silek boruk (silat beruk), silek ula (silat ular), yang muncul karena perilaku pendekar itu seperti harimau, beruk atau ular. Inti pelajaran silat adalah memahirkan penggunaan nur (cahaya). Cahaya itu terbagi tiga, dua di antaranya mempunyai warna khas, dan satu lagi tidak dapat diwujudkan. Ketiga jenis cahaya itu berubah-ubah warnanya.

Selama tiga bulan itulah murid mompolasinkan (memahirkan) penggunaan cahaya tersebut dalam gerak silat. Untuk menamatkan pelajaran silat ini diperlukan waktu selama tiga bulan belajar silat gerak di tanah, ditambah 10 hari untuk menamatkan (kaji batin). hitungan 10 hari adalah kaji di rumah berupa; tujuh hari belajar kaji batin, sehari kaji duduk (silat dalam posisi duduk), sehari kaji togak (silat dalam posisi berdiri), dan sehari hari kaji guliang (silat dalam posisi guling). Kaji guling ini dilakukan dengan mandi berlimau terlebih dulu, kemudian guru menggulingkan muridnya. Dalam keadaan guling tersebut murid diserang dengan tikaman pisau belati. Murid yang guling tadi pasti dapat menghindar karena telah josom. Ujian silat yang terakhir adalah dua orang yang berada dalam satu kain sarung dibekali pisau belati sebilah seorang kemudian mereka saling tikam-menikam.

Jumlah bilangan hari yang dilalui hingga tamat belajar silat tiga bulan ini adalah 100 hari. Silat tondan biasanya lebih dahulu mempelajari silat batin barulah kemudian belajar silat gerak. Kaji di rumah dilalui selama 21 hari. Dalam rentang 21 hari tersebut sebenarnya hanya perlu 7 hari saja. Bilangan 7 hari itu untuk memberi tenggang waktu sebab di antara murid-murid tidak akan sama daya tangkap dan kemampuannya. Kaji di tanah dilakukan selama 21 hari, jumlah masa belajar silat tondan ini 70 hari.

Tondan mengutamakan keahlian, kecepatan dan ketepatan gerak silat, sehingga perlu kecerdasan memahami gerak. Keputusan tondan dan sendeng adalah moilak (mengelak) dan lak, disamakan dengan la (tidak, Arab), apabila ?lah dapek lak mako non tido kan konai kecuali datang molaikat maut? (kalau sudah mendapat keputusan lak maka tidak akan kena kecuali maut). Pendekar bertarung dengan memperhatikan tanda-tanda atau kotipanan yaitu ?apobilo lai nampak non kan di colo, mako indo kan mati indo kan luko? (apabila masih tampak tanda-tanda, maka tidak akan mati dan tidak akan luka) Sementara itu belajar silat sendeng biasa memakan waktu berbulan-bulan, berupa latihan tenaga dan kekuatan fisik. Pendekar sendeng berciri-ciri kuat dan tahan terhadap serangan.

Sumber 
Rudianto (Pegawai Bank Riau Kepri Capem Dalu-Dalu)
https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=1790


Berikut Video Singkat Gerakan dari Silek Tigo Bulan

Sastra Lisan atau Syair Rantau Kopa berkembang di Wilayah Rokan Hulu dan Rokan Hilir, awalnya berkembang di rantau Kopar (Rokan Hilir). Dahulunya remaja muda dan mudi di Sepajang Sungai Rokan terutama di rantau Kopar berbalas pantun melalui rayuan kepada pemudi atau remaja putri.

Syair Rantau Kopar atau Syair Rantau Kopa atau Syair Antau Kopa demikian penyebutan yang lazim di Wilayah Rokan.

Ada juga penyebutan lain yang kami dapatkan melalui seorang khalifah Suluk bahwa  Kopa berasal dari kata Kepal dari cerita Tuk Penyarang dengan Putri Hijau hingga  sampai pada sebuah rantau yang bernama Rantau Koopar.

Irama Syair  Rantau Kopa tidak diciptakan khusus, tetapi sudah ada sejak dahulu dan dikenal dikenal secara turun temurun kini penutur Syair Rantau Kopa sangatlah langka.


Berikut Syair Rantau Kopa dalam bentuk video singkat :
Kesenian berdah Inhil bukan hanya sekedar Kesenian musik melayu tetapi telah menjadi simbol yang kuat terhadap nilai-nilai Islam yang telah menyatu kedalam budaya Melayu. Berdah dimainkan pada acara pesta pernikahan, Perayaan Hari Besar Islam, Qasidah, barsanji, Tepung Tawar serta acara lainnya. 


Berdah berisikan lantunan pujian dan sanjungan untuk 
Nabi besar Muhammad SAW , berdah dimaikan dengan rebana dan pemain rebana duduk bersila. Di Indragiri Inhil berdah cukup familiar di Masyarakat Mandah, bahkan berdah dijadikan mata pelajaran ekstra kurikuler bagi siswa dengan tujuan agar kesenian tradisional islami ini tidak punah.



Berdah Inhil pada event wisata religi gema Muharram 1438 Hijriyah lalu telah dicatat sebagai Rekor MURI dengan Rekor Penabuh berdah terbanyak yaitu 1001 penabuh, tidak hanya itu Berdah Inhil pernah menjadi salah satu ritual pada saat Tepung tawar Bakal Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno.

Salah cara yang dilakukan Riau agar Berdah ini Tetap lestari adalah dengan mengusulkan Berdah Inhil sebagai Warisan Budaya Tak Benda bersama 60 Warisan Budaya lainnya, namun Berdah gagal menjadi Warisan Budaya Tak Benda, selain di Inhil Berdah juga ada di kepulauan Riau, Sumatra Utara, dan Jambi.

Penasaran dengan Berdah, berikut cuplikan Singkat Video Berdah : 

 
Kesenian Iranon dengan Iringan Musik kelintang merupakan Kesenian masa lalu yang terdapat di Desa Kuala Patah parang Kecamatan Sungai Batang Kabupaten Indragiri Hilir.

Kesenian ini dibawakan oleh Ibu-Ibu, rata-rata mereka berusia lanjut, dan Kesenian ini biasa dilantunkan pada saat acara pernikahan. Kesenian Iranun merupakan kesenian dari Melayu Timur , dan Melayu Timur merupakan Suku Bangsa di Mindanao Filipina Selatan dan kemudian berkembang ke Sabah (malaysia) dan juga Indonesia (Jambi dan Riau)


Kesenian Suku Iranon  menggunakan alat musik Agong (gong), Gandang (gendang), Kulintangan/Ghulintangan (Kelintang), Bebendir dan Debak, serama, anduk-anduk dan kudidi (kedidi).


Tradisi merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan  secara turun temurun kepada generasi ke generasi yang membuat tradisi tersebut akan selalu ada, tradisi tidak akan hilang telan bumi, tidak menjadi abu karena terbakar, tidak akan hanyut karena ombak, dan tak  lapuk karena hujan.
Salah satu tradisi yang sampai saat ini masih dipertahankan adalah Menumbai, menumbai adalah Ritual mengambil madu di sebagian besar Wilayah Riau, namun yang terkenal adalah tradisi Menumbai Madu Sialang Petalangan Pelalawan. Menumbai Madu Sialang masyarakat Melayu Petalangan merupakan  suatu ritual pengambilan madu lebah yang ada di suatu pohon besar dan biasanya pohon tersebut adalah pohon Sialang.

Koba merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat Melayu yang tinggal di daerah pesisir Sungai Rokan (sekarang menjadi Rokan Hulu dan Rokan Hilir) serta di daerah Mandau (sekarang masuk daerah Bengkalis). Koba disampaikan dengan gaya bernyanyi, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Orang yang menyanyikan koba disebut tukang koba. Koba di daerah Sungai Rokan menggunakan bahasa logat Rokan, sementara yang di daerah Mandau menggunakan logat sakai. Pertunjukan koba biasanya dilakukan di acara-acara perhelatan kampung seperti pernikahan, khitan dan sebagainya. Penyampaian koba oleh tukang koba dapat menggunakan music maupun tidak. Bagi yang menggunakan musik, alat musik yang digunakan biasanya menggunakan babano atau rebana dan gendang.

Koba dalam  Bahasa Rokan berarti Kabar sedangkan Bakoba berarti Memberikan Kabar, Koba ataupun Bakoba   berisi  nasihat kehidupan, cerita alam, hewan, makhluk halus, manusia, dewa, kayangan, kecantikan, ketampanan, kegagahan dan kadang diselingi dengan kisah-kisah lucu dan mengandung unsur edukasi dan nilai sejarah dan juga keagamaan.

Di Rokan Hulu, di Pasir Pengaraian , Kecamatan Tambusai, Rambah serta daerah lainnya KOBA ataupun BAKOBA dijadikan sebuah tontonan ataupun pertunjukan dalan sebuah acara Pernikahan, Koba dibacakan di malam hari baghda Isya dan pembacaanya dilakukan selama beberapa malam dengan cerita bersambung, dan ritual tersebut diawali dengan mensucikan diri atau mengambil wudhu oleh Tukang Koba kemudian tukang koba akan makan sirih lalu ia membacakan pantun singkat tentang proses perjalanannya hingga sampai ke tempat berkoba, dengan menyampaikan ungkapan terimakasih kepada Tuan Rumah yang memiliki hajat.

Beberapa waktu lalu kami (riaudailyphoto) berbincang dengan Pak Taslim yang didaulat menjadi Maestro Koba oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menurut Penuturan Pak Taslim yang bergelar Datuk Mogek Intan, Koba merupakan salah satu sastra Lisan yang ada di Rokan Hulu yang terancam punah, di usianya yang senja Pak Taslim cukup risau karena hingga saat ini belum banyak penerusnya yang mampu menjadi Peng-Koba. 


Cerita-cerita yang disajikan tukang koba, umumnya adalah pengembaraan tokoh atau pahlawan-pahlawan rekaan lokal, dengan bentang-ruang horisontal yang terbatas pada selat-selat, teluk, tanjung, sungai-sungai, dan daratan pesisir. Sedangkan bentang-ruang vertikalnya mencakup bumi hingga kayangan. Sebagian kecil dari korpus cerita koba dianggap sakral, karena menceritakan tokoh yang dikeramatkan oleh tukang koba. Untuk cerita yang demikian, penceritaannya tidak memerlukan perlakuan khusus. Namun saat menamatkannya, tukang koba melakukan ritual tertentu, dengan berdoa dan menyembelih ayam atau kambing pada petang sebelum cerita itu ditamatkan. Orang yang punya hajat juga harus menyediakan seperangkat persembahan kepada tukang koba, yang terdiri dari pisau belati, sekabung kain putih, dan limau purut.

Koba-koba yang terkenal misalnya Koba Panglimo Awang, Koba Gadih Mudo Cik Nginam, Koba Panglimo Dalong, dan Koba Dang Tuanku.


Sumber :
  • Wawancara Langsung Dengan Pak Taslim
  •  Menonton Langsung Pertunjukan Koba di Lancang Kuning Art Festival dan di Acara Pernikahan di Tambusai 
  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/koba/



    Penasaran apa itu Koba, bisa menyaksikan di video berikut : 
Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Onduo menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda tersebut dengan Nomor Registrasi 201700483.
Onduo merupakan Lagu Pengantar Tidur anak anak Rokan Hulu, dulunya Para Orang Tua di Rokan belum menenal Lagu Nina Bobok, mereka menidurkan anak dengan Onduo, Masyarakat Rokan  menyebut Onduo dengan  lagu buai anak atau timang anak.

Anak  yang dibuai dinyanyikan Onduo dengan irama yang syahdu  membuat anak - anak kecil tertidur dengan cepat dan pulas, Onduo memiliki banyak filosofi  dan syairnya berisikan nasehat, tunjuk ajar,  kerinduan ,kasih sayang, serta harapan dan doa orang tua kepada anaknya kelak.

Dalam perkembangannya Onduo ditampilkan dalam acara mencukur rambut bayi , turun mandi, akikah, atau sebelum anak menika. Onduo berisi nasihat yang mengajarkan berbagai nilai kepada anak,seperti nilai nilai keagamaan yang terdapat dalam syair Onduo  yakni perintah salat dan puasa

Contoh Syair Onduo :
La ela hailla lo buyung/Tiduo tiduo lo sayang/Kayula morang la telinduong bulan/Simpa jo dahan diguyang gompo/Tiapla tahun Nobi beposan/Suruah sumayang dengan puaso/Kalau mongaji momuji Allah/bersembahyang mongampun duso


Modernisasi menggerus keberadaan Onduo, kini Emak Emak (Ibu) membuaikan anaknya dengan lagu - lagu anak melalui smartphone dengan mendengarkan lagu yang ada di Youtube, beberapa waktu lalu Balai Bahasa Riau menyelenggarakan Kegiatan Revitalisasi Tradisi Onduo dan kegiatan Ini diikuti oleh Murid dan Guru SMP di Kabupaten Rokan Hulu dengan Tujuan Onduo dapat terjaga hingga ke generasi mendatang.


Malalak merupakan tradisi lisan yang bersajak prosa liris, dan berbahasa Melayu Kampar Kiri, Tradisi atau kebiasaan Malalak sangat berhubungan dengan ungkapan perasaan atau ungkapan hati seorang penutur Malalak. Malalak itu juga dapat dikatakan sebuah nyanyian ratapan atau nyanyian kesedihan atau cetusan perasaan yang menceritakan riwayat hidup seseorang yang telah meninggal atau seseorang yang dirindukan. Jadi dapat dikatakan Malalak merupakan ratapan, jerit tangis, atau senandung hati yang diuntai dalam bentuk kata-kata yang halus dan spontan, sebagai ungkapan perasaan yang sedih



Malalak merupakan Senandung seorang wanita yang mendapat tekanan batin dari sang kekasih. Isi dan irama malalak lebih cenderung seperti ratapan dan tangisan nasib diri sendiri. Malalak berisikan luapan perasaan, gejolak jiwa dan rindu dendam seorang wanita untuk kekasih yang telah meninggalkannya. Alat musik yang mengiringi malalak adalah rebab ditampilkan dalam sebuah pertunjukan. 

Contoh syair Malalak: Indak dapek dondang di ayu tidak dapat dendang air Dondang di daghek’kan dendang didekatkan dilalukan juo dilewatkan juga Indak dapek di dalam dunio, tidak dapat di dalam dunia Di akhirat kan deyen tuntuik juo diakhirat akan ku tuntut juga Di dalam tanah jasad batamu di dalam tanah jasad bertemu

Penasaran dengan Syair Malalak ? berikut Video Tradisi Lisan Malalak dari Kampar Kiri 

 
Bagi Orang Luar Riau jika mereka sudah Pernah ke Riau, akan melihat sebuah keunikan di sebagian besar Arsitektur di Riau terutama di fasilitas Umum ataupun Kantor Pemerintahan, keunikan tersebut adalah Selembayung, nyaris Setiap Bangunan yang berasitektur Melayu di Riau terdapat Selembayung.
Selembayung adalah hiasan yang terletak bersilangan pada kedua ujung perabung bangunan. Pada bangunan rumah adat melayu ini setiap pertemuan sudut atap diberi Selembayung yang bertekat dari ukiran kayu. Selembayung sering disebut juga “selo bayuang” dan “tanduk buang”. 

Hiasan bersilangan di kedua ujung perabung bangunan ini dalam pandangan adat Melayu adalah sumber pemancar bagi aura sebuah bangunan. Diletakkan di bagian paling tinggi atau ‘tajuk rumah’ karena lambang ini sangat tinggi arti dan nilainya.
 

Rumah Melayu Riau umumnya berukuran besar berbentuk panggung dan banyak dihiasi beragam bentuk ukiran yang dinamakan ragam hias. Ragam hias ini banyak terdapat pada pintu, jendela, ventilasi sampai ke puncak atap bangunan. Ragam hias yang dipakai pada atap bangunan ini dikenal dengan sebutan Selembayung.
 


Menurut para Budayawan Melayu Selembayung ini mengandung beberapa makna antara lain:
  1. Tajuk bangunan, menjadi penanda identitas budaya, membangkitkan seri dan cahaya di sebuah bangunan.
  2. Pekasih bangunan, mencerminkan keserasian pada sebuah objek bangunan.
  3. Pasak atap, melambangkan hidup masyarakat Melayu yang tahu diri
  4. Tangga dewa, bagi kalangan Melayu pedalaman selembayung juga dimaknai sebagai tangga tempat turunnya para dewa, mambang, akuan, soko, keramat dan membawa keberkahan bagi kehidupan.
  5. Rumah beradat, menunjukkan bangunan bersangkutan didiami oleh seseorang yang berbangsa, menjadi balai dan tempat orang berpatut-patut.
  6. Tuah rumah, selembayung diharapkan memberi tuah pada pemilik bangunan.
  7. Lambang keperkasaan dan wibawa orang Melayu
  8. Simbol kasih sayang dengan keberagaman.

Motif ukuran Selembayung berupa daun-daunan, bunga, burung dan lain-lain yang melambangkan perwujudan kasih sayang, tahu adat dan tahu diri. Selembayung ini untuk pemakaiannya tidak terbatas hanya pada bangunan rumah, tetapi pada pelaminan-pelaminan Melayu dipakai juga sebagai lambang/hiasan yang menunjukan bahwa pelaminan yang digunakan adalah Adat Melayu Riau. 


Seiring waktu Selembayung digunakan dan dipatut patutkan untuk menjadi sebuah identitas Melayu terutama menjadi sebuah Ornamen di Bangunan seperti di Gapura, Fasiltas Olahraga, bahkan konyolnya di Tong Sampah yang akhirnya banyak mendapat kritikan. 


 
Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Selembayung menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda tersebut dengan Nomor Resgistrasi 201700482.


Zapin Meskom merupakan Tari Zapin yang berada di kampung zapin yang terletak di Desa Meskom, Bengkalis. Tarian ini sudah mendapat pengakuan mata budaya Indonesia, yakni dengan meraih sertifikat Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada 2017 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Nomor Registrasi 201700477.


Sedangkan sebutan Kampung Zapin sendiri diberikan oleh Dinas Penanaman Modal Provinsi Riau dan   kemudian dibangunlah Tugu Selamat Datang di Dusun Simpang Merpati, Desa Meskom sebagai penanda keberadaan Kampung Zapin . Di Desa Meskom terdapat beberapa Sanggar Tari yang hingga kini masih melestarikan Zapin dan Sanggar inilah yang menjadi Nadi Kelestarian Zapin.


Sastrawan Riau Jefri Al Malay menyebut dulu zapin hanya dimainkan di ceruk-ceruk kampung. Di bawah pohon rambai dan halaman rumah-rumah penduduk Kampung Meskom, Kabupaten Bengkalis. Saat itu, zapin belum menjadi karya yang ramai dibicarakan, di serata negeri. Lalu, siapa yang menyangka, hari ini, Zapin Meskom kerap ditampilkan diberbagai perhelatan seni. Bahkan telah pula dipelajari banyak pihak, baik komunitas seni, maupun kampus seni.


Zapin adalah khazanah tarian rumpun Melayu yang menghibur sekaligus sarat pesan agama dan pendidikan. Tari ini memiliki kaidah dan aturan yang tidak boleh diubah namun dari masa ke masa namun keindahannya tak lekang begitu saja. Nikmati dendang musik dan syairnya yang legit.



Tari zapin dikembangkan berdasarkan unsur sosial masyarakat dengan ungkapan ekspresi dan wajah batiniahnya. Tarian ini lahir di lingkungan masyarakat Melayu Riau yang sarat dengan berbagai tata nilai. Tarian indah dengan kekayaan ragam gerak ini awalnya lahir dari bentuk permainan menggunakan kaki yang dimainkan laki-laki bangsa Arab dan Persia. Dalam bahasa Arab, zapin disebut sebagai al raqh wal zafn. Tari Zapin berkembang di Nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Islam yang dibawa pedagang Arab dari Hadramaut. 


Zapin mempertontonkan gerak kaki cepat mengikuti hentakan pukulan pada gendang kecil yang disebut marwas. Harmoni ritmik instrumennya semakin merdu dengan alat musik petik gambus. Karena mendapat pengaruh dari Arab, tarian ini memang terasa bersifat edukatif tanpa menghilangkan sisi hiburan. Ada sisipan pesan agama dalam syair lagunya. Biasanya dalam tariannya dikisahkan keseharian hidup masyarakat melayu seperti gerak meniti batang, pinang kotai, pusar belanak dan lainnya. Anda akan melihat gerak pembuka tariannya berupa gerak membentuk huruf alif (huruf bahasa Arab) yang melambangkan keagungan Tuhan.
Di Bengkalis dikembangkan lebih lanjut oleh Abdullah Noer asal Deli Medan sekitar tahun 1930-an yang sekaligus merupakan guru dari Muhammad Yazid bin Tomel asal Desa Meskom, Bengkalis sehingga Zapin ini lebih dikenal sebagai Zapin Meskom. Muhammad Yazid sebagai tokoh Zapin Meskom tak henti-hentinya terus berkarya dengan Zapin Meskom. Desa Meskom kini dijuluki Desa Zapin.

Yazid pandai berzapin dari ayahnya, Tomel dan dilanjutkan dengan berguru kepada Abdullah Noer, Ares dan Cik Muhammad sekitar pertengahan tahun 1930-an. Belajar secara sembunyi-sembunyi karena Belanda melarang masyarakat untuk berkumpul atau berkerumun yang dicurigai akan memicu perlawanan terhadap Belanda. Yazid berkumpul dengan gurunya di kebun untuk belajar menari Zapin satu atau dua ragam gerak tari.

Sekitar 1950-an, Yazid makin dikenal di Bengkalis bersama penari lainnya seperti Hasan, Harun, M. Yusuf, Hasan Matero dan M. Ali. Mereka keluar masuk kampung menari Zapin untuk meramaikan berbagai hajatan rakyat. Untuk mengembangkan Zapin Meskom, maka Yazid pada tahun 1998 mendirikan Sanggar Yarnubih yang merupakan singkatan dari nama Yazid, Nur dan Ebih. Melalui sanggar ini Yazid telah berzapin di Riau, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Johor serta Melaka.


Sumber :
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/tari-zapin-meskom-bengkalis-yang-makin-mendunia
https://www.indonesia.travel 
Tari Zapin : Khazanah Tarian Rumpun Melayu

Cegak merupakan tarian tradisi pengobatan suku Bonai di Rokan Hulu. Penari cegak berpakakan daun pisang yang sudah kering dan muka mereka ditutup dengan kulit kayu, tarian ini diiringi musik bebano dan pembacaan mantra dan syair.


Cegak artinya sembuh. Tari Cegak merupakan representasi dari kisah tragedi lima orang masyarakat Suku Bonai dalam menuntut ilmu kebatinan.

 
Asal mula tarian ini dimulai oleh lima orang pemuda Suku Bonai yang sedang mempelajari ilmu kebatinan. Karena mendapat perlawanan dari para penguasa, mereka melarikan diri dan mendapati jalan buntu sehingga mereka bersembunyi di kebun pisang, kemudian memakai ilmu kebatinan yang baru dipelajari dengan cara menghilang dan menyerupai manusia dengan berpakaian daun pisang. Meskipun berhasil, akan tetapi mereka tidak bisa merubah wujud mereka kembali ke wujud asal.
Randai Kuantan Singingi  merupakan sebuah kesenian unik yang memperlihatkan berbagai cerita rakyat, yang dibawakan dalam sebuah pertunjukan teater seni tradisional. Kesenian ini dimainkan oleh sekelompok orang yang berjumlah sekitar 15 hingga 30 orang dalam sekali pementasan. Terdapat beberapa peran penting, seperti tokoh cerita serta peran pendukung lainnya, dalam pertunjukan kesenian yang juga dimainkan oleh mayoritas anak muda yang juga sering disebut dengan nama Randai Bujang Gadi.

 


Kesenian ini identik dengan berbagai tingkah serta atraksi dari para pemain yang mampu mengundang gelak tawa dari para peonton yang menyaksikannya. Hal ini dikarenakan terdapat berbagai lawakan-lawakan khas dan juga unik, yang pastinya akan menjadi sajian untuk kita nikmati dalam pertunjukan kesenian Randai Kuantan. Salah satu daya tarik yang mampu mengundang kelucuan dalam kesenian ini  adalah tokoh yang diperankan  oleh laki-laki yang  berperan sebagai wanita, dan begitu juga sebaliknya para pemain wanita yang memerankan diri menjadi laki-laki.
 

Selain di Kuantan Singingi , Randai juga ada di Sumatra barat ,jika di Sumatra Barat tarian randai dikombinasikan dengan Gerakan Silat. Menurut Budayawan Riau asal Kuantan Singingi UU Hamidy, bahwa Randai di daerah Kuansing, erat hubungannya dengan kedatangan perantau-perantau Minang. Randai mulai dikenal di perkampungan sepanjang sungai kuantan Indragiri Riau, kira-kira tahun 1937. Ketika itu keadaan ekonomi rakyat didaerah itu cukup baik. Harga getah cukup mahal, lagipula banyak petani atau peladang getah yang diberi subsidi oleh Belanda. Ekonomi yang baik ini telah mendorong datangnya perantau-perantau Minangkabau ke Kuantan Singingi.


Pertunjukan Randai menjadi spesial bagi Orang Kuantan Singingi, terutama bagi perantauan asal kuantan Singingi, perantauan Asal Kuantan Singingi  melestarikan Randai ini di tempat ia tinggal dengan rutin menggelar pertunjukan Randai dan mereka akan mengundang sesama  Perantauan Asal Kuansing untuk menyaksikan Randai. Perantauan Asal kuansing akan mengadakan Randai jika melangsungkan pernikahan, acara khitanan, syukuran kelahiran anak, Khatam Quran dan acara lainnya.

Pertunjukan Seni Randai menampilkan cerita yang disajikan dalam  Dialog  dan diiringi oleh Musik Calempong sambil berjoget dengan membentuk lingkaran, para penari atau Anak Randai  dengan semangat berjoget sambil berjalanan dan berkeliling membentuk lingkaran dan Induk Randai bercerita dan memimpin Jalannya Randai dan Para Penonton akan terbahak ketawa mendengar Dialog Induk randai dan Anak Randai dan tentunya Penampilan Anak Randai Laki Laki yang menjadi Wanita dengan berpakaian Wanita  dan juga Bando di kepala akan menjadi menarik perhatian penonto. Kacamata dan Syal serta peluit menjadi perlengkapan wajib dalam kesenian Randai, Anak Randai berjoget mengelilingi lingkaran sambil meniup peluit dengan membentuk irama tertentu dan menyatu dengan hentakan kaki.

Kini Dokumentasi Kesenian randai banyak dijual dalam Bentuk Kepingan CD baik dalam bentuk MP3 maupun Video, dan CD Randai tersebut menjadi lagu Wajib di Kendaraan Roda Empat bagi Perantauan Asal kuantan Singingi, Syafri Depi Pegawai Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru perantauan Asal Desa Simandolak Benai kuansing menuturkan ia menjadikan Lagu Randai sebagai Nada Dering Handphone, menurutnya Lagu Randai dengan judul Sayang den Du menjadi favorit ia dan Keluarga.




 Susunan Acara Penampilan Randai
  1. Pembukaan
    Para pemain berbaris dua-dua lalu memasuki arena, diiringi dengan musik lagu pembuka, misalnya, “Bunga Setangkai”. Barisan ini dipandu “tukang peluit” yang meniup peluitnya sesuai irama musik. Lalu mereka berjoget mengelilingi lokasi hingga membentuk lingkaran. Jika lagu telah selesai, tukang peluit meniup peluitnya sembari memberi kode telah selesai. Barisan randai yang ada lalu meneriakkan “hep heeep ta”, kemudian jongkok ataupun duduk dengan posisi melingkar.
  2. Sambutan
    Pemandu acara meminta induk randai dan tuan rumah yang memiliki hajatan untuk menyampaikan kata sambutan. Ia juga meminta ketua randai untuk menyampaikan petatah petitihnya. Kemudian, para anak randai berdiri dan berjoget mengelilingi arena, selanjutnya mereka duduk lagi.
  3. Bercerita
    Pemandu menyampai isi cerita yang akan dimainkan, lalu anak-anak randai pun berakting sesuai dengan alur cerita yang disampaikan. Setiap adegan diawali dengan cerita dari pemandu dan ditutup dengan tarian atau joged.
  4. Istirahat
    Setelah sekitar 2 jam, biasanya permainan diistirahatkan. Waktu istirahat ini biasanya diisi dengan lelang lagu dan joged oleh para bujang gadih (pemeran laki-laki atas peran perempuan) yang disaksikan para penonton.
  5. Penutup
    Pada saat penutupan, biasanya dinyanyikan lagu “Gelang Sipaku Gelang”. Para anak randai pun berjoged mengelilingi arena sembari berjalan ke luar. 

Kini Pertunjukan randai bukan hanya sekedar Kesenian tetapi telah menjadi Sebuah Identitas dan Jati Diri bagi Kuantan Singingi.


Pada Tahun 2016 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Randai menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201600309.


Pada pembukaan Festival Pacu Jalur ke-116 pada Tanggal 21 Agustus 2019   Museum Rekor Indonesia (MURI) telah menetapkan Sebuah Rekor Baru dengan Nomor Register : 9124 kepada Kabupaten Kuantan Singingi yang telah mempersembahkan tari randai yang diikuti oleh 1.574 penari dari seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. 





Sumber :
  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/randai-kuantan-warisan-budaya-takbenda-indonesia-2016
  • Dialog dan Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Kuantan Singingi
  • Youtube (Randai )