Sebelum mengenal medis Suku Sakai mempercayai Dikei sebagai sebuah pengobatan yang ampuh, Dikei merupakan pengobatan dengan bantuan Roh Halus. Roh-roh halus diundang untuk menyembuhkan penyakit dan Ritual Dikei dipimpin oleh seorang dukun yang disebut dengan
istilah kumantan. Peralatan Utama dalam Pengobatan Dikei Ini adalah Mahligai Sembilan Telingkat atau Mahligai Sembilan Tingkat.
Dikei Sakai berangkat dari konsep semangat dalam fungsinya sebagai
daya hidup yang menggerakkan kesadaran untuk melakukan berbagai hal.
Tanpa semangat, manusia seperti mati, kesadarannya tidak berada di
tempat semestinya. Keberadaan semangat dapat dirasakan pada denyutan
nadi, misalnya di pergelangan tangan, dada, dan kening. Titik-titik ini
adalah tempatnya dan menjadi fokus dalam ritual pengobatan Dikei
(Porath, 2012).
Orang Melayu pada umumnya, dan orang asli khususnya, mempercayai
bahwa semangat dapat menjadi lemah, yang disebut sebagai “lemah
semangat”. Semangat manusia digambarkan sebagai esensi yang rapuh,
setiap saat dapat terbang karena kejutan-kejutan, mudah terpikat dan
tergoda alam lain—bagai kanak-kanak yang mudah terbujuk oleh mainan
baru, bahkan dapat dipanggil tanpa bisa menolak dan tunduk pada
perintah. Apabila semangat di dalam tubuh hilang, kesadaran pun hilang,
tubuhnya akan mengikutinya kehendak yang memanggilnya. Karena sifatnya
yang rapuh, maka dalam dikei bagian yang tak kalah penting selain
pengobatan—mengembalikan semangat yang hilang atau terbang karena suatu
hal, adalah “memagari”, membuat pagar agar semangat tidak hilang atau
terbang lagi, “terbujuk” pengaruh dari luar, khususnya dari alam lain.
Sebagaimana di alam manusia, ada orang baik dan jahat, begitu pula di
alam lain. Roh baik tidak mengganggu, bahkan dapat membantu manusia bila
diimbo (dihimbau, diminta). Roh-roh baik diimbo dalam ritual pengobatan
dikei. Secara umum, roh-roh tersebut diyakini memiliki potensi kekuatan
tertentu, yang membangkitkan sebentuk rasa hormat, segan, dan kadang
menimbulkan takut, karena tidak dapat diperkirakan dan dibayangkan.
Keadaan “sakit” dipercaya sebagai akibat terganggunya semangat karena
adanya konflik dalam hubungan antara pasien dengan “alam lain” (baik
dengan alam roh maupun dengan semangat lain), oleh karena itu tujuan
ritual pengobatan dikei adalah memulihkan hubungan-hubungan agar
penyakit yang diderita pasien dapat disembuhkan.
Peralatan Utama dalam Pengobatan Dikei Ini adalah Mahligai Sembilan Telingkat atau Mahligai Sembilan Tingkat. Mahligai merupakan ini merupakan jalinan daun-daun khusus bernama daun angin-angin yang ada di hutan dan dibuat sebanyak tujuh tingkat ke atas. Puncak paling atas dipercayai merupakan singgasana Peri atau Tuan Putri dan Peri ini yang membantu proses penyembuhan dan Kumantan membaca mantra dengan mengelilingi Mahligai Sembilan Tingkat dan bermohon bantuan kepada Peri atau Tuan Putri. Ritual diawali dengan memberikan hormat dan juga persembahan kepada Sang Putri, kemudian Sang Kumantan membaca Mantra dengan iringan tabuhan gendang dan dibantu oleh seorang yang terlibat dalam proses pengobatan yang mengelilingi mahligai sambil membawa obor dan juga lonceng dan sekali kali ia menaburi sesuatu dimahligai tersebut dan menari berputar mengelilingi Mahligai dengan gerakan menyerupai burung (Tari olang Olang).
Pada
Tahun 2019 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 267 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Indonesia dan Dikei Sakai menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 201900843.
Dikei Sakai dapat dilihat pada video berikut :
Sumber :
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/ritual-pengobatan-masyarakat-riau-dikei-sakai/
.
0 komentar:
Posting Komentar