RIAU AL-MUNAWWARAH: “SUATU KENISCAYAAN DALAM MENYONGSONG MASA DEPAN RIAU YANG GEMILANG, CEMERLANG DAN TERBILANG”

I. PENDAHULUAN
 

Sejarah perjalanan Riau telah memperlihatkan kepada kita kebesaran bangsa Melayu dengan kondisi kehidupan yang berbudaya, santun dan unggul Sumber Daya Manusianya, cinta akan ilmu pengetahuan serta hidup dengan penuh nilai-nilai keislaman.

Ciri-ciri kehidupan yang telah dilakoni oleh bangsa Melayu pada zaman lampau telah menggambarkan karakter yang sempurna, dari perpaduan keuletan, kegigihan, berbudaya, kesantunan, agamis dan intelektualitas tinggi, sungguh sempurna. Namun kebesaran tersebut pupus dan sirna oleh perjalanan waktu dan pergeseran peradaban dunia yang telah menjadikan barat sebagai kiblat kemajuan dan kemodernan.
 
Sebagai akibat dari perubahan ini, maka generasi Melayu kini tidak lagi mampu bersanding dan disandingkan dengan kebesaran masa lampaunya, tidak lagi mampu mengenal dan mewarisi jati diri leluhur mereka, tidak banyak lagi yang benar-benar menyukai ilmu pengetahuan dan menjadikan membaca sebagai rutinitas sebagai upaya menambah ilmu pengetahuan, bangsa melayu tidak lagi dikenal sebagai bangsa yang memiliki etos kerja yang tinggi, bukan lagi bangsa yang ulet dan gigih, tidak lagi mampu merepresentasikan nilai-nilai keislaman dengan baik sebagai jati diri mereka.

Untuk itu, sudah merupakan suatu keharusan bagi generasi melayu untuk melakukan upaya mengembalikan jati diri bangsa Melayu pada zaman modern ini. Upaya ini mesti dilaksanakan bersama-sama seluruh elemen bangsa melayu, mulai dari Pemerintah, praktisi akademik, budayawan, politisi hingga ke elemen terbawah masyarakat Melayu.

Pemerintah Riau dalam hal ini Gubernur Riau telah mencanangkan Visi Riau 2020 dalam rangka upaya mengembalikan jati diri bangsa melayu yang telah hilang, sehingga diharapkan kemudian Visi ini dapat terlaksana dengan baik dengan dukungan bulat dari semua unsur masyarakat Riau.

Visi Riau 2020 ini berbunyi: Terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan batin di Asia Tenggara tahun 2020”.

Untuk itu lah, dalam rangka partisipasi aktif dan bentuk dukungan riil terhadap Visi Riau 2020 ini, khususnya menyangkut poin masyarakat agamis, maka dipandang perlu suatu upaya konkrit untuk memulai usaha mengembalikan jati diri bangsa melayu dan melestarikan kebudayaannya yang sangat identik dengan nilai-nilai keislaman.

Sebagai salah satu upaya kongkrit yang layak dipertimbangkan adalah dengan gagasan penambahan nama Riau dengan Kalimat al-Munawwarah yang berarti bercahaya. Di samping itu, pernyataan yang selalu digaungkan oleh Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal, SE, MP, yaitu: Riau yang Gemilang, Cemerlang dan Terbilang adalah sejalan dan memiliki makna yang sama dengan Riau Al-Munawwarah yang mengandung makna dan do’a, harapan dan cita-cita, serta komitmen dalam rangka mewujudkan masyarakat Riau yang madani dan sejahtera.




II. SEJARAH RINGKAS PROVINSI RIAU
 

a. Sejarah Penamaan Riau.

Tercatat paling tidak ada 4 (Empat) kemungkinan asal nama Riau:
1. Troponomi Riau berasal dari penamaan orang portugis dengan kata Rio yang berarti sungai, seperti Rio de Jenairo yang berarti Sungai Januari.
2. Berasal dari tokoh Sinbad Al-bahar dalam kitab Alfu Laila Wa laila (seribu satu malam) yang menyebut Riahi, yang berarti air atau laut. Yang kedua ini pernah di kemukakan oleh Oemar Amin Husin, seorang tokoh masyarakat dan pengarang Riau dalam salah satu pidatonya mengenai terbentuknya Provinsi Riau.
3. Ucapan sehari-hari dalam masyarakat Siak dikenal kata “meriau” yang berarti musim ikan bermain-main, di Kuantan meriau dimaksudkan suatu cara mengumpulkan ikan pada suatu tempat untuk mudah ditangkap dalam jumlah yang lebih besar. Dari kata meriau ini kemudian berubah menjadi Riau.
4. Berasal dari penuturan masyarakat setempat dari Kata “Rioh” atau Riuh, yang berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja. Nama Riau yang berasal dari penuturan orang melayu setempat, kabarnya ada hubungannya dengan peristiwa didirikannnya negeri baru di sungai Carang, untuk dijadikannya pusat kerajaan dan sebagai pusat perdagangan yang terkenal dengan nama “Bandar Rioh” yang didirikan oleh Sultan Ibrahim Syah (1671-1682) dalam kemaharajaan Melayu. Hulu sungai Carang inilah yang kemudian bernama Ulu Riau. (Muchtar Luthfi, Sejarah Riau, Pemprov Riau, 1998: 11-12)

Adapun peristiwa itu kira-kira mempunyai teks sebagai berikut:

Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibu kota kerajaan Johor) diperintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru) di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “dimana tempat orang-orang Raja mendirikan negeri?” mendapat jawaban: “Di sana di tempat yang rioh”, sambil mengisyaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ke tempat yang dimaksud jika ditanya ke mana maksud mereka, mereka selalu menjawab “mau ke rioh”. Kata Rioh inilah yang melalui pergeserannya menjadi Riau (Rioh – Riouw – Riaw – Riau). (Muchtar Luthfi, Sejarah Riau, Pemprov Riau, 1998: 904)

Jika dihubungkan pengertian “Rio” yang artinya Sungai dengan kata “Rioh” yang artinya suara yang ramai, terdapat suatu pengertian yang bersamaan. Sebab sungai Riau ini terletak pada arus lalu lintas perdagangan internasional di selat Melaka sejak dahulu sampai sekarang. Maka pengertian Riau di sini adalah ramai dikunjungi para pedagang.

Berdasarkan beberapa keterangan di atas, maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecil memindahkan pusat Kerajaan Melayu dari Johor ke Ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu nama ini dipakai sebagai salah satu negeri dari 4 negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang,. Kemudian dengan perjanjian London 1824 antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbelah dua.

Belahan Johor, Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, sedangkan belahan Riau-Lingga berada dibawah pengaruh Belanda. Dalam Zaman Penjajahan Belanda 1905-1942 nama Riau di pakai untuk sebuah keresidenan yang daerahnya meliputi Kepulauan Riau serta Pesisir timur Sumatera bagian tengah. Demikian juga pada zaman Jepang relatif masih di pertahankan. Setelah provinsi Riau terbentuk tahun 1958, maka nama itu dipergunakan pula untuk nama sebuah provinsi yang penduduknya ketika itu sebagian besar terdiri dari orang Melayu.

Provinsi Riau yang didiami oleh sebagian puak Melayu dewasa ini masih dapat ditelusuri ke belakang, mempunyai suatu perjalanan yang cukup panjang. Riau yang daerahnya meliputi Kepulauan Riau sampai Pulau tujuh di laut Cina selatan lalu ke daratan Sumatera meliputi daerah aliran sungai dari Rokan sampai Kuantan dan Inderagiri.

Sebenarnya juga telah pernah dirintis oleh sang Sapurba, seorang diantara Raja-raja Melayu yang masih punya kerinduan terhadap kebesaran Melayu sejak dari Sri Wijaya sampai Malaka. Seperti diceritakan dalam sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) dalam cerita yang kedua, sang Sapurba telah mencoba menyatukan daerah Bintan (kepulauan Riau) dengan Kuantan di belahan daratan Sumatera. Kemudian Raja Kecil juga punya ambisi untuk menyatukan daerah Selat Melaka itu dengan Siak di belahan Sumatera. Yang terakhir Raja Haji Fisabilillah mencoba menyatukan daerah kepulauan Riau dengan Inderagiri, diantaranya Pekan Lais.


b. Sejarah berdirinya Provinsi Riau.


Pembentukan Provinsi Riau telah memerlukan waktu paling kurang 6 tahun, Yaitu dari tahun 1952 sampai 1958. Usaha pembentukan provinsi ini melepaskan diri dari provinsi Sumatera Tengah (yang meliputi Sumatera Barat, Jambi dan Riau) dilakukan di tingkat DPR pusat oleh Ma’rifat Marjani, dengan dukungan penuh dari seluruh penduduk Riau.

Pembentukan Provinsi ini telah ditetapkan dengan undang-undang darurat No 19/1957 yang kemudian diundangkan dengan Undang-Undang No 61 tahun 1958. Provinsi Riau ini merupakan gabungan dari sejumlah kerajaan Melayu yang pernah berdri di rantau ini, di antaranya ialah kerajaan Inderagiri (1658-1838), Kerajaan Siak (1723-1858), Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913), dan banyak lagi kerajaan kecil lainnya, seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis (Rantau Kuantan).

Dalam sejarahnya, daerah Riau pernah menjadi penghasil berbagai hasil bumi dan barang lainnya. Pulau Bintan pernah di juluki sebagai pulau segantang lada, karena banyak menghasilkan Lada. Daerah Pulau tujuh, terutama pulau Midai pernah menjadi penghasil Kopra terbesar di Asia Tenggara, paling kurang sejak tahun 1906 sampai tahun 1950-an. Bagan siapi-api sampai tahun 1950-an adalah penghasil ikan terbesar di Indonesia, Batu bata yang di buat perusahaan Raja Aji Kelana di pulau Batam, pasarannya mencapai Malaysia sekarang ini. Kemudian dalam bidang penghasil karet alam, dengan sistem kupon tahun 1930-an belahan daratan seperti Kuantan, Inderagiri dan kampar juga daerah yang amat potensial.

Provinsi ini memiliki 15 sungai, di antaranya adalah 4 sungai besar yang mempunyai arti penting sebagai sarana perhubungan, seperti Sungai Siak (300 Km), Sungai Rokan (400 Km), Sungai Kampar (400 Km), dan Sungai Indragiri (500 Km). Ke-4 sungai tersebut membelah dari pegunungan daratan tinggi Bukit Barisan. Sungai-sungai tersebut bermuara di Selat Malaka serta Laut Cina Selatan.

Salah satu perwujudan dari reformasi adalah dengan diberlakukannya pelaksanaan Otonomi Daerah yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001. Hal ini berimplikasi terhadap timbulnya daerah-daerah baru di Indonesia, dari 27 provinsi pada awalnya sekarang sudah menjadi 33 provinsi. Tidak terkecuali Provinsi Riau, terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi menjadi Provinsi ke 32 di Indonesia, itu berarti Provinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 12 Kabupaten/Kota. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah; (1) Kuantan Singingi, (2) Inderagiri Hulu, (3) Inderagiri Hilir, (4) Pelalawan, (5) Siak, (6) Kampar, (7) Rokan Hulu, (8) Bengkalis, (9) Rokan Hilir, dan Kota (10) Pekanbaru, (11) Dumai, dan yang termuda adalah kabupaten Kepulauan Meranti yang menjadi Kabupaten ke 12 di Provinsi Riau



c. Melayu dan Pengaruh Islam

Masyarakat Melayu Riau, sebelum kedatangan Islam berada di bawah pengaruh Hinduisme – Budhisme, dengan penerapan sistem berkasta. Ada 4 kasta dalam ajaran Hindu, yaitu: Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Agama hindu hanya difahami oleh dua kasta teratas, karena hanya mereka yang mempunyai kemampuan memahami kitab suci Hindu, karena tertulis dalam bahasa sanskerta yang sulit difahami oleh masyarakat biasa. Hal ini menghambat pemahaman mendasar dari ajaran hindu oleh masyarakat.

Kedatangan Islam ke daerah ini disambut baik karena Islam tidak membedakan derajat manusia dalam masyarakat. Dalam Islam, manusia itu sama di sisi Tuhan Yang Maha Esa, yang membedakan derajat manusia adalah ketakwaanya. Karena itu, agama Islam cepat berkembang dalam masyarakat dan berpengaruh besar dalam sendi kehidupan masyarakat Melayu. Bahkan Islam dapat mempengaruhi identitas kemelayuan masyarakat Riau, yaitu: seseorang disebut “orang melayu” adalah berbahasa Melayu, beradatkan melayu dan beragama Islam, jika ada orang melayu menganut selain agama Islam, maka merupakan aib yang sangat besar.

Pengaruh Islam dalam kehidupan Dunia Melayu bermula pada akhir pemerintahan Parameswara, yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Megat Iskandar Syah, dan beliaulah pembuka pintu Islam di Melaka. Puteranya yang menggantikan beliau dan bergelar Sultan Muhammad Syah (1424-1444) telah membangun melaka bukan saja sebagai pusat perdagangan, tetapi juga sebagai pusat pengkajian dan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Sejak itu, Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Melayu. Islam telah merubah bukan saja struktur lahir masyarakat Melayu, akan tetapi mampu merubah sampai ke struktur batinnya.

Dalam berinteraksi, orang melayu selalu menggunakan bahasa Melayu dan dengan tulisan Arab Melayu yang juga dikenal dengan nama huruf Jawi. Kata-kata melayu pun banyak yang merupakan adaptasi dari bahasa arab, seperti: sejarah, adab, ajal, urat, alat, ingkar dan lain sebagainya. (Raja Ali Haji, 1275H, Transliterasi R. Hamzah Yunus, 1986/1987: 33-144).

Orang melayu beradatkan melayu, artinya adat yang berlaku adalah adat istiadat yang bersendikan syarak. Dalam wilayah Riau berlaku hukum fara’id (dalam pembagian warisan), yang mengatur pembagian warisan dengan sistem patriarchaat sesuai dengan ajaran Islam.

Menurut pendapat sejumlah pakar sejarah Melayu, bahwa wilayah perairan selat melaka dan Riau adalah wilayah pertama sekali dimasuki oleh agama Islam di Nusantara, jika demikian, maka agama Islam telah berkembang ke arah timur melalui selat Melaka sampai ke Canton, sebuah bandar dagang terbesar di Cina pada abad ke 7 (Muchtar Lutfi, 1977: 123).

Islam telah mampu mempengaruhi kehidupan melayu, bukan hanya secara zahir saja, akan tetapi telah menjalar ke dalam sukma batin kemelayuan itu sendiri. Ini terbukti dari karya kesusasteraan Melayu yang termuat unsur-unsur intelektualisme dan rasionalisme Islam.

Di bidang politik, pengaruh Islam tercermin dalam struktur Pemerintahan, yaitu: suatu kerajaan yang berdasarkan Islam dengan Sultan sebagai kepala Pemerintahan. Ulama yang duduk dalam Pemerintahan (Mufti) berfungsi sebagai penasehat Sultan dalam pemecahan masalah-masalah sulit di bidang keagamaan dan hukum yang meliputi hukum munakahat (pernikahan), Jinayat (Kriminal), Ishlah (Persengketaan) dan Fara’id (Urusan Warisan).

Di bidang kesenian, pengaruh Islam nampak jelas dalam tarian zapin, rebana, marhaban, hiasan dan desain gedung, menara dan puncak masjid serta lukisan yang bercirikan Islam dengan penuh pesan perdamaian dan harmonis.

Dalam desain rumah, pengaruh Islam tampak dalam bangunan atap rumah orang melayu, apakah atap kajang, lipat pandan, dan lainnya adalah seperti dua telapak tangan yang dipertemukan ujung – ujung jarinya seperti ketika menjunjung duli (menyembah). Hakekatnya adalah, bahwa kita sebagai arwah yang hidup di dunia ini hendaklah senantiasa ingat kepada Allah dan bersyukur kepadaNya (Tenas Effendi, 1981: 78)

Di antara beberapa jenis rumah melayu itu, ada yang dinamakan “Rumah Lontik” yang mempunyai tiang tua sebagai tiang utama. Tiang-tiang di dalam sebuah rumah lontik akan berbentuk segi yang mempunyai makna sebagai berikut: segi enam melambangkan rukun iman yang enam dalam Islam. Pemilik bangunan akan menjadi orang yang taat beribadah. Segi tujuh melambangkan tujuh tingkat surga dan neraka. Pada bangunan rumah lontik anak tangga dibuat 5 tingkat, hal ini bermakna penghuni bangunan haruslah selalu berpijak pada rukun Islam yang lima.

Definisi jati diri Melayu setelah pengislamannya di abad ke-15, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Seseorang disebut Melayu apabila dia beragama Islam, sehari-hari berbahasa Melayu dan berada-istiadat Melayu. Adat Melayu itu, “Adat bersendikan Syarak, Syarak bersendikan kitabullah”. Jadi orang Melayu itu adalah etnis secara kultural (budaya), bukan mesti secara geneologis (persamaan keturunan darah);

2. Berpijak kepada Yang Esa seperti kata pepatah:
Bergantung kepada yang satu, berpegang kepada yang esa,
tuah hidup sempurna hidup, hidup berakal mati beriman,
malang hidup celaka hidup, hidup tak tahu halal haramnya;

3. Orang Melayu sangat mementingkan penegakan hukum (law enforcement) untuk keamanan, ketertiban, dan kemakmuran masyarakat. Seperti diungkapkan pepatah:
Adat di atas tumbuhnya, mufakat di atas dibuatnya,
Biar mati anak daripada mati adat,
Mati anak gempar sekampung, mati adat gempar sebangsa;

4. Orang Melayu mengutamakan budi dan bahasa. Hal itu menunjukkan sopan santun dan tinggi peradabannya, seperti diungkapkan pepatah:
Usul menunjukkan asal, bahasa menunjukkan bangsa,
taat pada petuah, setia pada sumpah,
Mati pada janji, melarat pada budi,
hidup dalam pekerti, mati dalam budi,
tahu budi ada hutangnya, tahu hidup ada bebannya;

5. Orang Melayu mengutamakan pendidikan dan ilmu. Hal ini tercermin dalam pepatah:
Menuntut ilmu jangan segan, ilmu yang benar,
yaitu ilmu kebajikan, isi kitab ini sudah disebutkan.
Segala perbuatan dengan berilmu, maka kebajikan boleh bertemu,
jangan sembarang-barang diramu, akhirnya engkau jatuh bersemu.
Ilmu itu besar faedahnya, membedakan hak dengan batilnya, mengetahui orang banyak benar salahnya, supaya dihukumkan dengan adilnya,
bekal ilmu mencelikkan, bekal iman menyelamatkan;

6. Orang melayu mementingkan budaya. Hal ini terungkap pada pepatah:
Bercakap tidak kasar, berbaju menutupi aurat,
menjauhkan pantang larang dan dosa.
Biar mati dari pada menanggung malu dirinya atau keluarganya, karena bisa menjatuhkan marwah keturunannya,
sebaliknya tidak dengan kasar mempermalukan orang lainnya;

7. Orang melayu mengutamakan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan sosial. Kondisi ini terlihat pada perkawinan, kematian, kenduri, mendirikan rumah, membuka ladang/usaha, di dalam Pemerintahan dan lain-lainnya;

8. Orang Melayu ramah dan terbuka kepada tamu. Keramah-tamahan dan keterbukaan orang Melayu terhadap segala orang pendatang (tamu) terutama yang beragama Islam, berpangkal kepada Politik Raja Melayu yang maritim untuk memeriahkan bandar dengan para pedagang, seperti dalam pepatah:
Apabila meraut selodang buluh, Siapkan lidi buang miangnya,
Bila menjemput orang nan jauh, Siapkan nasi dengan hidangnya;

9. Orang Melayu melawan jika terdesak, seperti dalam ungkapan:
Kalau sudah dimabuk pinang, dari pada ke mulut biar ke hati, kalau sudah masuk ke gelanggang, dari pada surut rela lah mati, Esa elang dua belalang, takkan kayu berbatang jerami,
Esa hilang dua terbilang, takkan Melayu hilang di bumi.

Jika perlawanan fisik sudah tak mungkin lagi, maka orang Melayu di zaman lalu “merajuk”, memencilkan diri, serta bersikap pasif dan apatis. (Suwardi MS, 2008: XXVII-XXVIII)




III. TANTANGAN GLOBALISASI DAN IDENTITAS MELAYU
 

a. Globalisasi Menghadang Kehidupan Bangsa Melayu

Pergeseran nilai dan perubahan budaya kehidupan modern semakin nyata, mau tak mau semua bangsa mesti menghadapinya, dengan atau tanpa kesiapan. Lalu apa pengaruh perubahan nilai dan budaya tersebut bagi eksistensi budaya Melayu? Setidaknya ada beberapa aspek yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam eksistensi budaya Melayu:
1. Aspek Politik (Demokrasi)
Perkembangan dinamika politik di Indonesia telah mengarah kepada liberalisasi dan demokrasi yang sangat terbuka. Sikap keterbukaan yang terkadang tidak pada tempatnya dengan mengatasnamakan demokrasi dan kebebasan berpendapat, terkadang kurang mengindahkan kaedah-kaedah berpendapat yang santun dan etika yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan musyawarah mufakat, dapat mengancam eksistensi jati diri melayu yang sangat menghargai sistem musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan. Dalam budaya Melayu, sopan santun dan etika menyampaikan fikiran dan berpendapat sangat dijunjung tinggi, yang tua dimuliakan, yang muda dihargai, yang besar dihormati dan kecil disayangi, sehingga terhindar daripada menyinggung perasaan orang lain dan terjauh dari konflik dan kekerasan atau dikenal dengan santun dalam berpolitik. Karena hati jika telah retak, bagaikan kaca yang susah untuk disatukan kembali;
2. Aspek Budaya
Pengaruh budaya barat sangat terasa merasuki sendi kehidupan Bangsa Indonesia, tidak terkecuali masyarakat Melayu. Kebebasan bergaul tanpa memandang batas muhrim, sehingga teman tidak ada bedanya dengan pasangan yang halal atau suami isteri. Padahal dalam budaya Melayu, hendaklah orang yang berlawanan jenis untuk menjaga pandangan, agar terhindar daripada perbuatan dan pergaulan yang tidak diinginkan oleh adat dan agama. Yang perempuan mesti menjaga marwah dan tidak terlalu terbuka kepada orang asing, dan yang lelaki hendaknya senantiasa dapat menghindar dari godaan yang dapat membinasakannya. Pengaruh budaya yang kurang baik dapat dengan cepat menjalar dalam dinamika pergaulan generasi muda, cara berpakaian yang tidak lagi menutup aurat, dan ini menjadi trend zaman modern yang serba minimalis, sehingga aurat dapat terlihat dengan mudah dan mengundang birahi siapa saja yang memandang. Sedangkan budaya melayu senantiasa menghendaki penggunaan busana yang menutup aurat, melindungi diri dari pandangan yang tidak baik, sehingga terhindar dari fitnah yang dapat terjadi kapan saja;
3. Aspek Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dikampanyekan oleh dunia barat kerap disalahgunakan, sehingga hanya semakin mendangkalkan keimanan dan menghancurkan rasa ilahiah yang ada dalam diri manusia. Dengan teknologi informasi saat ini, seakan-akan kehidupan di dunia ini benar-benar tanpa batas, dan dapat dipergunakan untuk melakukan apa saja. Jika saja seseorang itu keimanannya kurang baik, maka akan dengan mudah terjerumus ke dalam dunia yang sangat mengasyikkan tersebut. Dan ilmu pengetahuan yang saat ini digandrungi selalu saja melepaskan unsur robbaniah, sehingga seakan-akan kekuatan ilmu pengetahuan tidak bisa dicampurtangani oleh kekuasaan dan kekuatan Allah yang maha kuasa. Berbeda dengan pandangan Melayu, bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber dari Allah dan hanya sedikit yang diberikan kepada manusia, sehingga dalam mengembangkan ilmu, manusia tidak bisa melepaskan unsur-unsur ilahiah di dalamnya. Dan dengan ilmu pengetahuan modern, terkadang para ilmuan berupaya melawan ketentuan dari sang Khaliq yang maha menguasai semesta alam. Manusia itu tidak mampu mengatur dunia ini, karena mengatur dirinya sendiri saja tidak mampu, apalagi mengatur dunia dengan segala isinya. Bukti bahwa manusia tidak bisa mengatur dirinya adalah ketidakberdayaan manusia dalam mengatur jumlah detak jantungnya sendiri;
4. Aspek Penegakan Hukum (Law Enforcement)
Penegakan hukum dewasa ini terasa jauh dari keadilan, dan kekuatan untuk penegakan hukum selalu terganjal oleh kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga hukum bisa diperjualbelikan sesuka penguasa negeri. Lalu kemana rasa keadilan akan dituntut, kemana tindak kezaliman dapat diadukan? Nuansa penegakan hukum yang penuh dengan unsur kepentingan-kepentingan yang kadang kala tidak mampu dicerna oleh rakyat lambat laun dapat mengikis habis konsep kekuatan budaya dan nilai melayu yang gigih dan tegas dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, yang berhukumkan dengan hukum yang Esa, yaitu Allah SWT.
5. Aspek Moral dan Etika
Ini yang menjadi beban fikiran dan PR bagi para orang tua zaman sekarang ini, melihat anaknya tidak lagi menghormati guru, tidak lagi menghargai teman, tidak lagi patuh kepada orang tua, tidak lagi menyayangi terhadap anak sendiri, berlaku kasar terhadap yang tua, berlaku sadis terhadap yang muda dan lain sebagainya. Ini jelas bertentangan dengan prinsip moral dan etika Melayu yang santun, ramah dan tidak berlaku kasar terhadap sesama. Berbagai kebiasaan dan fenomena zaman modern yang berseberangan dengan sikap dan etika Melayu ini, saat ini dapat dengan mudah beradaptasi menjadi kebiasaan baru yang dianggap wajar-wajar saja berbagai pihak. Dan masih banyak aspek lainnya yang dapat mengancam eksistensi budaya melayu dewasa ini.

b. Kemana Melayu hendak menagak?

Lalu dengan berbagai macam ancaman tersebut, apa yang mesti dilakukan oleh bangsa melayu? Mau tak mau, mesti ada sebuah upaya untuk melawan derasnya tantangan globalisasi sekaligus diharapkan dapat membentengi generasi muda melayu dari pengaruh negatif perkembangan zaman modern saat ini. Di antaranya adalah dengan mengenali dan kembali kepada jati diri bangsa melayu sepertimana yang telah dipaparkan pada bab II tentang Jati Diri Melayu. Di samping itu, diharapkan generasi muda melayu dapat menumbuhkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dalam bingkai keimanan kepada yang Maha Kuasa. Dengan demikian, landasan keimanan dan keilmuan orang melayu senantiasa disandarkan kepada kekuasaan dan kekuatan yang Maha Kuasa, sehingga dapat menjadi perisai dalam menghadapi kerasnya tantangan dan perubahan zaman.


IV. SEJARAH YATSRIB DAN RIAU AL-MUNAWWARAH
 

a. Hijrah Rasulullah SAW dan Perubahan Yatsrib

Rasulullah Muhammad SAW telah melakukan sebuah perubahan besar terhadap kota Yatsrib ketika beliau pertama kali menginjakkan kaki di kota tersebut, yang dibawa bersama dengan semangat hijrah dari kota Mekkah yang telah beliau bina masyarakatnya menuju jalan perdamaian yang lebih terang benderang. Perubahan ini sangat berarti bagi kehidupan masyarakat kota Yatsrib di kemudian hari, dan tercatat dalam sejarah kemajuan kota yatsrib. Perubahan yang mendasar adalah digantinya nama Yatsrib menjadi “Madinah al-Munawwarah”, yang berarti Kota yang penuh cahaya dan menerangi sekitarnya.

Filosofi dari perubahan nama tersebut adalah sebuah keinginan perubahan yang mendasar dari kondisi kehidupan masyarakat yang sebelumnya serba jahiliyah dan tanpa hukum kecuali berlandaskan hukum adat yang kurang simpatik terhadap fitrah manusia, menuju kehidupan yang harmonis, damai, tenteram dan penuh dengan nilai-nilai ilahiah dan memenuhi unsur-unsur kebutuhan fitrah manusia. Hal ini dibuktikan dengan kerukunan hidup antara para muhajirin yang datang bersama Rasulullah SAW dari Mekkah dengan masyarakat yang menyambut di madinah yang dikenal dengan kaum anshor.

Madinah Al-Munawwarah diharapkan juga dapat menciptakan kondisi kehidupan yang intelek dan suka terhadap ilmu pengetahuan seperti yang selalu diserukan Allah, yaitu menjadi ummat yang suka membaca, karena kunci ilmu pengetahuan adalah membaca, sehingga ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di fase Madinah lebih mengarah kepada perbaikan dan peningkatan mutu kepribadian seorang muslim, baik dari segi muamalah ma’allah maupun mu’amalah ma’annaasnya.

Setelah mengganti nama Yatsrib menjadi “Madinah al-Munawwarah”, langkah Rasulullah berikutnya adalah mendirikan masjid yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, dakwah dan politik. Dari sini beliau kemudian mengendalikan kondisi kehidupan masyarakat madinah dengan memperkuat ikatan persaudaraan antara kaum pendatang (al-Muhajirin) dan penduduk tempatan (al-Anshar), di samping beliau juga membuat pakta perjanjian dengan kaum Yahudi yang ada di Madinah.

Secara global, langkah-langkah yang dilakukan Rasulullah SAW tercakup dalam beberapa hal berikut:
1. Al-Muakhah: Menyatukan Visi dan Misi yang diikat dengan semangat persaudaraan;
2. Al-Musaawaat: Menanamkan rasa kasih sayang dan persamaan derajat/tingkatan, tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya kecuali tingkat ketaqwaanya;
3. Al-Mu’ahadah: Mengadakan perjanjian Perdamaian, kerukunan antar umat beragama;
4. Al-Musamahah: Meningkatkan rasa saling toleransi dalam menjalankan keyakinan beragama/kepercayaan, tidak ada paksaan dalam beragama;
5. Al-Muhakamah: Menata sistem hukum dan perundang-undangan yang berlandaskan kepada rahmat dan kasih sayang, keadilan, dan kemaslahatan ummat.

Lima hal ini lah yang mengawali kondisi kehidupan di kota Madinah al-Munawwarah yang kemudian menjadi dasar kemajuan dan keberhasilan pembangunannya.

b. Makna Riau Al-Munawwarah


Apa kaitan antara Madinah Al-Munawwarah dengan Riau? Secara langsung memang tidak ada kaitan antara Madinah Al-Munawwarah dengan Riau, namun ada beberapa aspek positif yang ingin diadopsi dari keberhasilan Rasulullah SAW merubah nama Yatsrib menjadi Madinah Al-Munawwarah, antara lain adalah terjalinnya hubungan harmonis antara pendatang dan masyarakat tempatan, kondisi kehidupan yang semakin tenteram dan sejahtera.

Kata Al-Munawwarah yang mengikuti nama Madinah rupanya mempunyai andil besar dalam memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara ketika itu, sehingga mampu menciptakan kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupan sebelumnya. Kata Al-Munawwarah sendiri berasal dari akar kata nawara, yang berarti menyinari atau memberikan cahaya. Kata Al-Munawwarah mempunyai arti bercahaya. Sehingga diharapkan keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW tersebut dapat diikuti oleh Riau dengan menyandingkan kata Al-Munawwarah ke dalam kata Riau yang kemudian akan memilki makna seperti berikut:

1. Riau Al-Munawwarah bermakna: bahwa Riau telah memberikan anugerah dan cahaya kehidupan bagi bangsa Indonesia dengan menyumbangkan bahasanya, yaitu bahasa melayu untuk dijadikan sebagai bahasa persatuan Indonesia;
2. Riau Al-Munawwarah bermakna: bahwa Riau telah menyumbangkan budayanya secara maksimal menjadi budaya Indonesia, sehingga menjadi karakter yang sangat dikenal dirantau asia dengan kejujuran, kesantunan dan saling menghormati sesama;
3. Riau Al-Munawwarah bermakna: bahwa Riau dengan hasil kekayaan alamnya telah memberikan cahaya bagi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia serta mampu menghidupinya;
4. Riau Al-Munawwarah bermakna: bahwa Riau akan memberikan cahaya dalam kehidupan berpolitik bangsa Indonesia, dengan mengesampingkan segala perbedaan dan senantiasa mencari persamaan untuk mencapai pembangunan dalam kerangka ridho ilahi dengan mengutamakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat serta mampu menjadi contoh kehidupan berdemokrasi;
5. Riau Al-Munawwarah bermakna: bahwa Riau akan memberikan cahaya bagi pembangunan kebudayaan melayu di rantau Asia dengan menjadi pusat peradaban melayu modern dengan tetap berpegang dan bersendikan nilai Islam yang berorientasikan kepada konsep rahmatan lil ‘alamin;
6. Riau Al-Munawwarah bermakna: Riau akan menjadi pusat pergerakan kehidupan masyarakat modern yang bernuansa kemelayuan dan Islami, sehingga mampu menjadi motor penggerak bagi harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara;
7. Riau Al-Munawwarah bermakna: Riau akan menjadi kiblat pendidikan dunia dengan memadukan ilmu pengetahuan modern, kebutuhan rohaniah manusia, kelestarian Alam, dengan budi pekerti yang luhur yang didasari oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT;

Berdasarkan fenomena perubahan nama ini dan filosofinya, tergambar dengan jelas bahwa nama bukan tidak mempunyai arti dan tujuan, akan tetapi nama mengandung makna dan diikuti oleh spirit untuk memperjuangkan makna tersebut. Terkait dengan hal ini, tidak ada salahnya jika Riau ikut mencontoh spirit Rasulullah SAW dengan menambah nama Riau dengan kata Al-Munawwarah dengan tujuan perbaikan dan kesempurnaan masa depan pembangunan Riau, sehingga tercipta Riau yang aman, sejahtera, harmonis dan maju dalam bingkai pembangunan yang menuju Riau Cemerlang, Gemilang dan Terbilang, sejalan dengan Visi Riau 2020.



V. KESIMPULAN DAN SARAN
 

a. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Visi Riau 2020 mempunyai obsesi dan tujuan menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara dengan kondisi masyarakatnya yang agamis, di samping itu, Gubernur Riau periode 2008-2013 juga mempunyai Visi yang harus didukung yaitu terciptanya Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu dan Riau Daarul Qur’an. Jika melihat dari latar belakang sejarah Riau yang penuh dengan nuansa keislamannya sehingga menjadi karakter utama bagi masyarakat melayu, maka cita-cita dan visi yang digulirkan sangat relevan untuk diperjuangkan kembali di zaman modern ini;
2. Dari aspek penamaan Riau, berdasarkan sejarah yang diuraikan terdahulu, ditemukan bahwa Riau “kemungkinan” berasal dari kata Riuh atau Rio yang berarti sungai, sehingga dengan demikian, nama Riau belum memiliki makna yang sempurna untuk dapat dijadikan panduan dalam mengatur arah kebijakan dan pembangunan ke depan, di samping belum menggambarkan karakter dan jati diri bangsa Melayu yang dibesarkan dengan nilai-nilai keislaman. Untuk itu, tidak lah salah rasanya jika dilakukan perbaikan agar dapat kembali memperlihatkan kebesaran Melayu masa silam dengan Islam sebagai landasan berpijak dalam bernegara;
3. Bahwa leluhur bangsa Melayu yang hidup di bawah naungan nilai-nilai keislaman mampu mencapai kemajuan yang pesat, baik di bidang Pemerintahan maupun di bidang ilmu pengetahuan;
4. Kondisi masyarakat Melayu saat ini sangat mengkhawatirkan, karena pengaruh kehidupan dan kebudayaan modern yang bersumber dari Barat terus saja merasuki segala sendi kehidupan, sebagai akibatnya, generasi Melayu tak lagi mampu menyandang sejarah kebesarannya pada masa silam, yang identik dengan nilai-nilai keislaman dan memiliki karakter yang unggul jika dibandingkan dengan bangsa lainnya;
5. Untuk mendukung terciptanya kondisi kehidupan masyarakat Melayu yang agamis dan intelek, mesti ada upaya untuk melakukan perubahan dan kembali kepada Jati diri bangsa Melayu itu sendiri;
6. Dan dalam rangka mendukung Visi Riau 2020 dan Visi Gubernur Riau serta mengikuti jejak ajaran Rasulullah SAW, maka sudah sepatutnya nama Riau ditambah dengan kata Al-Munawwarah yang berarti bercahaya, dengan tujuan agar Riau memiliki nama yang lebih sempurna maknanya, sehingga diharapkan mampu mengembalikan kejayaan Melayu pada masa silam, dan bermakna bagi perjuangan dan pembangunan masyarakat Melayu ke depan. Dan hal ini sejalan dengan Visi Gubernur Riau Periode 2008-2013 pada huruf G: “Terbangunnya Pusat Kebudayaan Melayu Riau (Riau Malay Culture Centre)” dan huruf H: “Terbangunnya Riau Daarul Qur’an”;
7. Riau Bercahaya mempunyai harapan agar Riau ke depan dapat lebih menyinari dan mempengaruhi sendi kehidupan bangsa Indonesia dengan pengaruh-pengaruh positif, agar Indonesia dapat kembali kepada hakikat budaya dan jati dirinya sebagai bangsa dari timur yang besar, berwibawa, santun dan berbudi bahasa, serta menghargai sesama dan terhindar dari perpecahan dan disharmonis.
b. Saran
Dengan demikian, diharapkan semua pihak agar dapat mendukung sepenuhnya upaya penambahan nama Riau menjadi Riau Al-Munawwarah, sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing, demi terwujudnya cita-cita mulia untuk membangun Masyarakat Madani dan terwujudnya Riau yang Gemilang, Cemerlang dan Terbilang di bawah naungan ridho dan rahmat ilahi, amin.
 
 



Sumber : 
Penggagas : H. Rusli Effendi, S.Pd.I, SE, M.Si

0 komentar: