Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CAGAR BUDAYA. Tampilkan semua postingan

Benteng Tujuh Lapis terletak di Dalu-Dalu Lingkungan Benteng Tujuh Lapis Kelurahan Tambusai Tengah Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu . Benteng ini berada dalam kawasan pemukiman penduduk, dan berada di pinggir sungai sosah. Benteng ini berjarak sekitar 30Km dari Pasir Pangaraian Ibukota kabupaten Rokan Hulu dan sekitar 210km dari pekanbaru Ibukota  Provinsi Riau.


Sejarah pendirian benteng ini tidak terlepas dari Tuanku Tambusai, Tuanku Tambusai lahir pada masa zaman kekuasaan Duli yang dipertuan Besar Radja ke-14 Kerajaan Tambusai. Nama asli Tuanku Tambusai adalah Muhammad Saleh, bapaknya bersama Maulana Kali, seorang Qadhi, alim ulama, dan Imam  dalam Kerajaan Tambuaai. Masa kecil Tuanku Tambusai dihabiskan di tempat-tempat dengan nilai religius karena sering mengikuti kegiatan bapaknya yang seorang Imam Tambusai.
Tuanku Tambusai memiliki sifat yang menarik perhatian orang yaitu  pendiam, cepat mengerti dan memiliki pendirian yang kokoh. Tuanku Tambusai memperdalam  ilmu dan pengetahuan agamanya di Minangkabau , ia berguru Kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao) dan kemudian ia ke Mekkah. Setelah kembali ke kampung halamannya Tuanku Tambusai muda menggantikan kedudukan Ayahnya sebagai seorang Qadhi.

Meriam Peninggalan Tuanku Tambusai
                                       
Bersama Tuanku lmam Bonjol dan Tuanku Rao, Tuanku Tambusai mencetuskan pemikiran pembaharuan di bidang agama Islam (pemberantasan bid'ah serta. hal-hal yang bertentangan dengan Islam). Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao di daerah Bonjol dan Rao, sedangkan Tuanku Tambusai di daerah Tambusai. 

Mereka secara bersama bergabung dalam satu wadah yang dinamakan  "Kaum Paderi""yang dipimpin oleh Peto  Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. 

Sebelum Tuanku imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai berjuang dengan Gerakan Kaum Paderi, gerakan Paderi telah dirintis mulai Tahun 1803 oleh Haji  Miskin,  Haji  Sumanik dan Haji Piobang dan Gerakan ini    ditentang oleh kaum adat  dan  terjadilah  perperangan saudara antara keduanya dan kaum Adat dibantu oleh Belanda.  Momen ini dimanfaatkan oleh Belanda  untuk   ikut   campur   dalam tatanan kehidupan masyarakat   minangkabau  hingga akhirnya terjadilah Perang antara Kaum Paderi dan Kolonial Belanda.

Salah Satu Lapis Dari Benteng Tujuh Lapis

Benteng Tujuh Lapis Dalu-Dalu ini didirikan pada tahun 1835 oleh Tuanku Tambusai yang fungsinya sebagai kubu perlahanan dalam melawan penjajah Belanda. Pada awalnya benteng ini dinamai Kubu Aur Duri, karena parit dan tanggul pertahanan benteng ini di perkuat dengan aur berduri.

Benteng ini
sargat kokoh dan kuat, benteng terdiri dari tanggul pertahanan yang berjumlah tujuh lapis dan tiap lapis dilapisi lagi oleh kubu kubu kecil dan ditamai  bambu berduri. Bagian belakang benteng langsung berhubungan dengan Sungai Sosah sebagai jalur pelarian untuk menyelamatkan diri,

Benteng Tujuh Lapis berulang kali diserang oleh Belanda namun selalu gagal
, Pada tanggal 27 November 1873. Kolonel Michiels diangkat menjadi Gubernur Militer baru untuk menghadapi Tuanku Tambusai, karena kuatnya pertahanan Benteng Tujuh Lapis , Kolonel Micheils meminta bantuan pasukan dari Batavia. Pasukan bantuan ini terdiri dan empat kompi dari pasukan Batalyon ke-6 dan di bantu pasukan pribumi yang berpihak kepada Belanda. Selain itu Micheils dibantu  Mayor Bethoven yang bergerak dari Lubuk Sikaping dengan 1.500 pasukan dan juga Mayor Weslenberg  dengan 2 kompi pribumi.



Gelanggang Silat Tuanku Tambusai
Gelanggang Silat Tuanku Tambusai

Menurut Laporan Micheils kepada atasannya tertanggal 12 Februari 1839 ,bahwa Banyak Korban Jiwa dari Belanda antara lain  Mayor Bethoven tewas, dan Kolonel Micheils berhasil merebut Benteng Tujuh Lapis pada tanggal 28 Desember 1838 , dan Tuanku Tambusai berhasil melarikan diri dan Hijrah ke Malaysia dan hingga di penghujung hidupnya Tuanku Tambusai wafat dan dimakamkan di Malaysia dan Dulunya sudah ada upaya dari Pemerintah Kabupaten Kampar dan Provinsi Riau untuk memindahkan Makam Tuanku Tambusai dari Malaysia ke Indonesia, namun usaha tersebut gagal, di Malaysia Tuanku Tambusai di anggap Tokoh dan juga Penyebar Agama Islam. 

Kokohnya pertahanan Benteng Tujuh Lapis ini dapat dilihat dari lamanya waktu pertempuran dalam merebut Benteng , berdasarkan Catatan Kolonel Michels ia dan pasukan bertempur selama 11 hari hingga akhirnya Benteng berhasil dikuasai. Salah satu faktor penyebab adanya rasa cinta tanah air yang tinggi di kalangan para pengikut Tuanku Tambusai adalah karena faktor wibawa, jiwa kepemimpinan yang baik, tidak mau kompromi, serta kecerdasan yang di miliki oleh Tuanku Tambusai, Tuanku Tambusai dapat menyatakan pengikutnya yang berasal dari kelompok etnis yang berbeda seperti Melayu, Mandailing dan Minangkabau yang mendiami tiga wilayah yang berlainan (Minangkabau, Melayu dan Mandailing). 
 
Bekas Lokasi pengintaian yang dijadikan Rumah Penduduk

Karena
perjuangan dan kehebatannya, oleh pihak Belanda Tuanku Tambusai di juluki Padriesche Tiger van Rokan' atau Harimau Paderi dari Rokan yang bertempur di Riau, Tapanuli dan Minangkabau bagian utara. Dan berkat jasa-jasa dan kepahlawanannya dalam melawan penjajah Belanda , Pemerintah Republik Indonesia Menetapkan Tuanku Tambusai Sebagai Pahlawan Nasional melalui Ketetapan SK. No. 071/TK/Tahun 1995 arggal 7 Agustus 1995 .




Berdasarkan
data yang didapat bahwa benteng Tujuh Lapis pada Tahun 1838 berbentuk segi empat yang terdiri dari gundukan tanah (disebut Kubu) dan diantara kubu kubu dialiri air dengan dealaman 7 hingga 10 meter  dan disekeliling benteng ditanam bambu berduri  dan pintu gerbang benteng dibuat tiga lapis dari kayu dan diberi lubang untuk pengintai dan menembak musuh. Kini kawasan sekitar Benteng dijadikan penduduk sebagai tempat tinggal, dan di sekitar Benteng terdapat sebuah laman silat dan juga sebuah tanah kosong yang luas dan sering dimanfaatkan untuk kegiatan olahraga, berkemah serta kegiatan sosial masyarakat lainnya.

Kini Kawasan Benteng telah direvitalisasi dengan dibangunnya penerangan disekitar Benteng, kemudian juga dibuat tanggul untuk menghindari abrasi sungai, serta di buat tempat duduk untuk bersantai warga serta wisatawan yang ingin berkunjung dan disekitar Benteng dengan jarak sekitar 2 km dibangun Diorama Perjuangan Tuanku Tambusai.


Cara Menuju Lokasi Benteng Tujuh Lapis
Untuk mengunjungi lokasi Benteng Tujuh Lapis  yang berada di Kecamatan Tambusai Kabupaten  Rokan Hulu, sebaiknya Anda menggunakan kendaraan pribadi, baik roda empat maupun roda dua. Apabila Anda memulai perjalanan dari pusat Kota Pekanbaru, Anda harus menempuh perjalanan  lebih kurang sejauh dua ratus kilometer , dengan waktu tempuh normal 4 ,5 hingga 5 jam perjalanan. Perjalanan dilakukan menuju Tambusai Kabupaten Rokan Hulu dari Pekanbaru dapat dilakukan melalui  akses Jalan yaitu melewati Jalan Bangkinang serta melewati Jalan Petapahan (via Garuda Sakti Pekanbaru). Untuk memudahkan perjalanan, Anda bisa menggunakan google map yang lebih akurat untuk menemukan lokasi yang Anda cari. 

Selain itu untuk memudahkan serta kenyamanan anda juga dapat menggunakan Jasa Travel Pekanbaru - Tambusai dengan Biaya Rp.120.000,- sekali Perjalanan, Alam Travel menjadi salah satu Referensi kami untuk Perjalanan Pekanbaru - Tambusai atau sebailknya Tambusai - Pekanbaru , keramahan Supir dan juga keamanan dalam mengemudi Kendaraan menjadi Ciri Khas dari Alam Travel. Untuk menikmati perjalanan bersama Alam Travel dapat menghubungi Nomor 08217228279.

 


Kerajaan Tambusai merupakan salah satu kerajaan Melayu di wilayah Rokan Hulu. Raja-raja Kerajaan Tambusai ini masih memiliki tali persaudaraan dengan Raja-raja dari Kerajaan Rambah, dimana KerajaanTambusai merupakan cikal bakal Kerajaan Rambah.

Secara umum lokasi ini merupakan kompleks pemakaman dari Raja-raja Tambusai. Dari sekian banyaknya makam yang ada di kompleks pemakaman ini, ketokohan yang bisa diketahui oleh masyarakat hanya makam Tengku Kahar gelar T. H.Mohamad Sutan Ningat T. Acman. Oleh karena penamaan kompleks makam ini dinamai Makam Kahar/Raja Tambusai.

Makam ini berada dalam lahan yang merupakan kompleks pemakaman umum. Pemakaman ini hingga sekarang masih difungsikan sebagai pemakaman umum untuk masyarakat sekitar benteng tujuh lapis dan dalu dalu.

Makam ini berbentuk gundukan tanah setinggi kurang lebih 1,5 m. Di gundukan tersebut terdapat 2 makam yaitu makam Raja Kahar dan makam yang belum dapat diketahui dengan pasti keberadaan tokoh yang dimakamkan.

                           
 
Makam sudah dapat dikatakan sebagai makam Islam, terlihat dari orientasi nisan makam yang sudah menghadap kiblat. Luas gundukan tanah yangmenjadi jirat makam kurang lebih 4 m x 4 m. Sedangkan, ukuran dan makam adalah 2 m x 1,5 m. Nisan makam terbuat dari batu granit berwarna abu-abu kehitaman.
Nisan sudah mengalami pengolahan, berjenis nisan tipe Aceh berbentuk seperti “piala” yang menandakan yang dimakamkan berjenis kelamin laki-laki.

                                   

Pada nisan bagiankepala terdapat tulisan arab melayu yang bacaannyaKahar, yang berarti penanda bahwa tokoh yangmakamkan adalah bernama Kahar. Dalam data sejarahnama Kahar lebih dikenal Maruhun Qahar yangmerupakan salah satu Raja Kerajaan Tambusai yang di Dalu-Dalu pada abad ke-XVI Masehi.





Makam ini merupakan Salah Satu Cagar Budaya yang ada di Kabupaten Rokan Hulu yang telah mendapat pengakuan dari Balai Pelestarian Cagar  Budaya Sumatera Barat dengan Nomor Register : 05/BCB-TB/B/05/2007

Sumber 
Daftar Cagar Budaya Tidak Bergerak Kabupaten Rokan Hulu Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat (Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan kepulauan Riau)
Salah satu gedung Tua di Pekanbaru. Gedung ini merupakan Museum Penyiaran RRI Pekanbaru. 


Dulunya gedung ini merupakan Gedung RRI Pekanbaru dan saat ini sudah beralih fungsi menjadi Museum Penyiaran, sayangnya museum ini selalu tutup.

Gedung ini dibangun pada tahun 1930 dan merupakan salah satu bangunan peninggalan Belanda di Pekanbaru yang masih tersisa hingga saat ini. Keberadaan gedung RRI Pekanbaru diikuti oleh peristiwa sejarah mulai dari periode pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan tentara Jepang, perjuangan Kemerdekaan RI, sampai dengan periode pemberontakan PRRI di Sumatera. Selama 11 tahun (1931-1942), gedung RRI Pekanbaru ini berfungsi sebagai Kantor Controleur Belanda (Komplek Perkantoran Gubernur Jenderal Belanda), merupakan tempat kedudukan Controleur Kampar Kiri yang dipindahkan ke Pekanbaru. Selama 3 tahun (8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945), gedung RRI Pekanbaru dijadikan rumah kediaman Riau Syucokan Makino Shuzaburro, seorang Gubernur dari Militer Jepang yang mengepalai Riau Syu dan berkedudukan di Pekanbaru. Pada 1 Maret 1957, gedung ini difungsikan sebagai pusat pemberitaan oleh Tim PENAD (Penerangan Angkatan Darat) dengan tenaga dari RRI Pusat yang dipimpin oleh Kapten Syamsuri dari RTPI Jakarta dalam upaya untuk membebaskan rakyat di wilayah Riau daratan dan Riau lautan yang ketika itu dikuasai oleh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tahun 1958, penggunaan gedung diserahkan kepada RRI. Gedung ini berada di pertigaan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Juanda Pekanbaru. 



Laksamana raja di laut
Bersemayam di Bukitbatu
Ahai hati siapa
Ahai tak terpaut
Mendengar lagu zapin Melayu..

Petikan atas adalah lirik lagu Laksamana Raja di Laut yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Iyeth Bustami. Laksmana Raja di Laut bukanlah sekedar lagu. Datuk Laksamana Raja Dilaut menjadi legenda seorang penguasa laut yang terkenal. Kabarnya ditangann beliau segala bentuk kejahatan laut takluk padanya. Seperti banyaknya Lanun, yang merompak hasil bumi dan perdagangan di laut. Begitu juga dengan penyerangan-penyerangan dari negeri luar.


Makam Syech Burhanuddin merupakan salah satu Wisata Religi yang terdapat di kabupaten Kampar. Makam Syech Burhanuddin berada di Desa Kuntu  Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Makam ini cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan, terutama menjelang bulan ramadhan,mereka datang dengan tujuan memberi doa kepada Syech Burhanuddin. 


Candi Muara Takus merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah masa silam di Riau. Candi ini bernuansa dan berasitektur Budha, dan ini merupakan bukti bahwa Buddha pernah berkembang dan ada di Riau pada masa lalu. Namun  demikian hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti kapan Candi Muara Takus ini didirikan.

Mengenai penamaan Muara Takus, ada berbagai macam versi dan pendapat. Di sebuah literatur yang merupakan hasil penelitian candi Muara Takus pada tahun 1960 mengatakan bahwa penamaan Candi Muara Takus,
berasal dari nama sebuah anak sungai yang bermuara ke Batang Kampar Kanan. dan pendapat lain menyatakan bahwa , menurut Duta Besar Singapura yang pernah berkunjung ke Muara Takus pada tahun 1977 menyatakan bahwa Muara takus terdiri dari dua kata yaitu "Muara" dan "Takus", menurut pendapatnya "Muara" berarti tempat dimana sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau sungai yang lebih besar, sedangkan "Takus" berasal dari Bahasa China yang artinya : TA = besar, KU = Tua, SE = Candi. Jadi arti keseluruhannya  adalah Candi Tua yang besar yang terletak di Muara Sungai


Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa, yang merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Siwa. Pendapat tersebut didasarkan pada bentuk bentuk Candi Mahligai, salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus, yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan). Arsitektur candi ini juga memunyai kesamaan  dengan arsitektur candi-candi di Myanmar.


Sejarah Penemuan Candi Muara Takus