Riau merupakan salah satu
provinsi terbesar di Indonesia jauh sebelum Kepulauan Riau berpisah menjadi
provinsi sendiri pada saat itu. Ya, sebelumnya, Riau dan Kepulauan Riau adalah
satu provinsi. Negeri melayu ini sungguhlah luas, bermula dari ranah Kampar,
Kuantan hingga terus ke utara, lingga, penyengat,johor, hingga Natuna. sesuai
dengan ungkapan adat berikut ini :
Lurus adat sambung
lembaga
Melebah luas ranak
samudera
Ukuran negeri Utara -
Selatan
Ranah Kuantan hinga
Natuna
Riuh menyeluruh
Siak-Indragiri
Rokan Kampar berbaur
umbi
Adat dan syara'
bersanding jati
Pinang sebatang tuah
negeri
Pasca kemerdekaan di Indonesia,
masih terdiri dari beberapa provinsi.
Seperti provinsi Sumatera yang dibagi menjadi sumatera bahagian Utara, Sumatera
Bahagian Tengah, dan Sumatera Bahagian Selatan. Di Jawa, ada provinsi DKI
Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, selebihnya
Sulawesi (celebes), Kalimantan (Borneo), Nusa Tenggara, dan Irian-Maluku
(Indonesia Timur). RIAU sendiri saat itu tergabung dalam Provinsi Sumatera
Bagian Tengah bersama Sumatera Barat dan Jambi. Bagaimanakah cerita sejarah hingga sampai
terbentuknya sebuah provinsi Riau ini ? Dan siapakah pahlawan dan tokoh yang
begitu cerdas dan berani memperjuangkan Riau menjadi sebuah provinsi sendiri ,
merdeka dari otoriternya sumatera tengah sehingga manfaat daripada kemerdekaan
berdiri nya provinsi ini dapat kita rasakan dengan lajunya pembangunan.
Bapak (Alm) H. Wan Ghalib bersama
beberapa tokoh lainnya menjadi tokoh sentral sentral dalam perjuangan
pembentukan Provinsi Riau. Bapak (Alm) H.
Wan Ghalib mendedahkan kronologis perjuangan sejarah, dengan membuka lembaran
ingatannya. Menurut mantan Ketua Penghubung di Jakarta dalam perjuangan
Provinsi Riau ini, awalnya keinginan untuk menjadikan residen Riau sebagai
sebuah provinsi, dilatarbelakangi untuk sebuah keadilan bagi masyarakat Riau. Karena
memang Provinsi Sumatera Tengah yang memiliki tiga Residen yaitu Jambi, Riau,
dan Sumbar. Karena pusat pemerintahan terdapat di Residen Sumatera Barat, Riau
memang tidak terlalu terperhatikan oleh pemerintah provinsi. Karena
karakteristik daerah yang berbeda, sehingga pemahaman visi dari masing-masing
residen tidak bisa bersatu. Ditambah lagi ada kesan pihak pemegang kekuasaan di
Sumatera Tengah selalu memaksakan diri setiap kebijakan yang diambilnya. Ide
pendirian provinsi awalnya hanya ada tingkat elit dan tokoh masyarakat Riau.
Namun saat itu pihak Provinsi Sumatera Tengah tidak mau memberikan apa yang
diinginkan Riau, sehingga munculah intimidasi upaya penghalangan, ungkap Wan
Ghalib.
Adanya tekanan tersebut
perjuangan Riau untuk menjadi provinsi semakin kuat, bahkan masyarakat empat
Kabupaten yaitu Bengkalis, Kepri, Indragiri, dan Kampar telah membulatkan tekad
untuk sama-sama berjuang membentuk Provinsi Riau. Keinginan
tersebut dimulai dengan membentuk provinsi sudah digaungkan melalui pembentukan
Panitia Persiapan Provinsi Riau (PPPR) pada rapat Panitia Persiapan Provinsi
Riau, 2-6 Desember 1955. PPPR dipimpin oleh H Abdul Hamid Yahya dan HM Amin
sebagai wakil ketua serta T Kamarulzaman sebagai sekretaris. Sejumlah nama
seperti Zaini Kunin, Ridwan Taher dan H Abdullah Hasan juga masuk dalam anggota
PPPR. PPPR yang beranggotakan 60 orang dalam beberapa kali rapatnya,
berkesimpulan bahwa untuk mewujudkan terbentuknya Provinsi Riau diperlukan
adanya Kongres Rakyat Riau. Tujuan digelarnya kongres ini berlandaskan pada
pelaksanaan azas demokrasi sebagai dasar pemerintahan desentralisasi. Berbagai
upaya dilakukan untuk mewujudkan keinginan pembentukan Provinsi Riau. Salah
satunya adalah digelarnya Kongres Pemuda Riau pada 17 Oktober 1954 di
Pekanbaru. Pembentukan Provinsi Sumatera Tengah yang dibentuk dengan UU Nomor
10/1948 dan UU Nomor 22/1948 yang terdiri dari Riau, Jambi dan Sumatera Barat
memiliki corak dan ragam yang berlainan. Masing-masing daerah memiliki kondisi
alam dan kebudayaan yang berbeda.
Keinginan membentuk Provinsi Riau
juga didasari pada keinginan untuk mewujudkan otonomi seluas-luasnya. Tanpa
membentuk provinsi sendiri, otonomi luas yang didengung-dengungkan pemerintah
pusat dinilai sulit untuk dilaksanakan. Kebulatan tekad rakyat Riau untuk
membentuk provinsi sendiri lahir melalui Kongres Rakyat Riau (KRR) ke-1 yang
berlangsung di Pekanbaru, 31 Januari hingga 2 Februari 1956. Kongres Rakyat
Riau I merupakan langkah besar yang melandasi terbentuknya Provinsi Riau.
Kongres ini dihadiri 277 perwakilan dari empat kabupaten, yaitu Indragiri,
Kepulauan Riau, Kampar dan Bengkalis. Selain utusan dari kabupaten, kongres ini
juga dihadiri peninjau yang jumlahnya mencapai 700 orang. Dari kongres inilah
kebulatan tekad untuk membentuk Provinsi Riau terlahirkan. Seluruh masyarakat
Pekanbaru dan Riau umumnya bersatu, bahkan warga sudah menyiapkan rumahnya
untuk menampung para peserta kongres. Karena memang Pekanbaru dulunya belum ada
apa-apanya, jangankan hotel, tempat pelaksanaan kongres saja dilaksanakan di
gedung Kaum Wanita Islam ujar Wan Ghalib. Kongres Rakyat Riau tersebut meskipun
tidak mendapat restu, tapi Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Mulyohardjo turut
serta hadir. Seluruh bupati juga hadir seperti Bupati Kabupaten Bengkalis BA
Mochtar, Bupati Indragiri Abdul Rachman, Bupati Kampar Ali Loeis dan Bupati
Kepulauan Riau Rakanaljan. Riau yang kala itu memiliki penduduk 750.000 jiwa
dinilai telah layak menjadi provinsi sendiri. Riau akan berkembang jika
rakyatnya memiliki inisiatif dan aktif. Namun, jika rakyat di provinsi ini
hanya pasif, maka daerah ini akan sulit berkembang. Usulan membagi Provinsi
Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi juga dilandasi pada kondisi daerah
masing-masing. Rakyat Riau banyak bergantung kepada sektor perikanan dan
kelautan. Sedangkan Sumatera Barat lebih banyak bergantung kepada sektor
pertanian. Pembentukan Provinsi Riau, berpisah dari Provinsi Sumatera Tengah sudah
menjadi sebuah ikrar mati bagi seluruh masyarakat Riau. Sehingga perjuangan
untuk mewujudkan hal itu mendapat dukungan luas dari masyarakat. KONGRES Rakyat
Riau (KRR I) yang dilaksanakan selama tiga hari, benar-benar menggambarkan
sebuah perjuangan yang merata. Semua elemen, baik tokoh, politisi, dan
masyarakat larut dalam sebuah euforia perjuangan yang padu. Tak heran, dalam
KRR I itu, tidak ada perbedaan pendapat yang berujung perpecahan.
ԉ۪Perjuangan sebelumnya masih bersifat berkelompok, namun karena tekad
sudah kuat, maka seluruh kelompok masyarakat tersebut sudah mulai melakukan
rapat-rapat untuk menyatukan dan menyamakan persepsi perjuangan pembentukan
Riau, ujar Wan Ghalib. Kongres tersebut berakhir 2 Februari 1956, dan berhasil
melahirkan beberapa keputusan penting. Keputusan itu meliputi, pertama,
menuntut supaya daerah Riau yang meliputi Kabupaten Kampar, Indragiri,
Bengkalis dan Kepulauan Riau dijadikan daerah otonom setingkat provinsi. Kedua,
memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan Rakyat Riau. Selanjutkan
kongres juga menghasilkan beberapa keputusan yang intinya, bahwa pemerintah
harus mempercepat seluruh proses keinginan dari 750.000 jiwa masyarakat Riau
tersebut. Perjuangan setelah KRR I berakhir tidak hanya dipusatkan di
Pekanbaru, bahkan sampai ke tingkat pusat. Dengan tujuan agar pihak pemerintah
pusat bisa langsung mengetahui keinginan masyarakat Riau tersebut. Untuk
melaksanakan tujuan tersebut, kongres menugaskan PPPR untuk mengirimkan
resolusi kepada pemerintah dan DPR. Kongres juga menugaskan PPPR untuk
menyelenggarakan dan melaksanakan segala pekerjaan guna mencapai tujuan
tuntutan tersebut kata Wan Ghalib kembali.
Amanat yang dihasilkan dari KRR I
menjadi tugas berat bagi Panitia Persiapan Provinsi Riau (PPPR) yang berpusat
di Pekanbaru dan Badan Penghubung yang berpusat di Jakarta. Badan Penghubung
yang dipimpin oleh Wan Ghalib menjadi ujung tombak bagi perjuangan pembentukan
Provinsi Riau. Badan Penghubung bertugas menjalankan tugas-tugas dari PPPR.
Badan Penghubung juga diberikan kewenangan mengambil inisiatif demi kelancaran
perjuangan sepanjang tidak menyimpang dari kesepakatan Kongres Rakyat Riau.
Anggota Badan Penghubung awalnya terdiri dari Wan Ghalib (Ketua), A Djalil
(sekretaris) dan anggota yang terdiri dari M Sabir, Ali Rasahan, Azhar Husni, T
Arief, Dt Bendaro Sati, Nahar Efendi dan Kamarudin R. Setelah dilakukan
perombakan anggotanya berubah menjadi Wan Ghalib (Ketua), A Djalil M
(sekretaris) dan anggota terdiri dari T Arief, DM Yanur, Kamaruddin AH, Hasan
Ahmad, A Manaf Hadi, Azhar Husni dan Hasan Basri. Perjuangan pembentukan
provinsi juga dilakukan melalui parlemen. Terdapat satu putra terbaik Riau yang duduk di parlemen
pada waktu itu adalah Marifat Mardjani dari unsur partai. Dalam setiap kesempatan
Marifat Mardjani selalu menyuarakan tuntutan pembentukan Provinsi Riau di
parlemen. Putra asal Kuansing ini merupakan seorang tokoh yang sangat konsen
dalam menuntut ke pemerintah pusat agar Riau menjadi provinsi. Bahkan dalam
berbagai kesempatan, ia mencoba melakukan lobi-lobi politik kepada anggota DPR
lainnya. Dengan gaung yang dilakukan oleh almarhum Marifat Mardjani tersebut,
tentang keinginan membentuk provinsi sendiri berpisah dari provinsi induk,
membuat pemerintah pusat sedikit memperhatikan keinginan ini. Keinginan yang
besar tersebut tidak mampu dibendung pihak manapun, sehingga beberapa waktu,
usai pelaksanaan Kongres Rakyat Riau I tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera
Tengah mulai melunak dan tidak mampu untuk membendungnya, kata Wan lagi.
Kami terpaku, bisu, tubuh ringan
melayang, kuping berdesing, kami tetap terdiam tanpa ada reaksi apa-apa,’’ kata
Wan Ghalib ketika Mendagri menyampaikan Provinsi Riau resmi diteken Presiden
Soekarno.
KABAR gembira bagi rakyat Riau
akhirnya tersiar ketika Presiden Soekarno, akhirnya menandatangani
Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 tanggal 9 Agustus 1957 di Bali.
Undang-undang ini menyatakan pembentukan daerah-daerah tingkat I, yaitu
Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Hingga saat ini Tanggal 9 Agustus di peringati
sebagai Hari Jadinya Provinsi Riau
Kabar lahirnya undang-undang ini
diterima langsung oleh Ketua BadanPenghubung Wan Ghalib beserta Wakil Ketua DM
Yanur dari Menteri DalamNegeri Sanusi Hardjadinata. Menteri mengatakan bahwa
undang-undang ini akan diundangkan dalam lembaran negara oleh Menteri Kehakiman
GA Maengkom pada tanggal 10 Agustus 1957.
‘’Pagi Jumat tanggal 9 Agustus
saya dijemput D M Yanur Wakil Ketua Badan Penghubung di Jakarta dengan
menggunakan mobil pribadinya, melaju untuk menghadap Menteri Dalam Negeri Sanusi
Hardjadinata,’’ ujar Wan Ghalib mengenang.
Sepanjang perjalanan tidak ada
terbesit hari itu akan menjadi hari bersejarah bagi seluruh masyarakat Riau.
Sesampai di kantor Mendagri, beberapa saat menunggu akhirnya Mendagri
mempersilahkan masuk ke ruangannya.
‘’Tadi malam kabinet sudah
bersidang, termasuk membicarakan masalah Provinsi Riau. Sidang kabinet
menyetujui, membagi Provinsi SumateraTengah menjadi tiga provinsi, yaitu
Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau dengan Undang-undang Darurat Nomor 19
tahun 1957 yang ditandatangani Presiden
Seokarno,’’ ungkap Mendagri ketika itu, seperti ditirukan Wan Ghalib.
Informasi dari Mendagri yang
menggembirakan itu tidak membuat suasana menjadi riuh rendah. ‘’Kami terpaku,
bisu, tubuh ringan melayang, kuping berdesing, kami tetap terdiam tanpa ada
reaksi apa-apa,’’ kata Wan lagi, mengenang.
Dengan lahirnya undang-undang
ini, maka dengan sendirinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 4 tahun 1950 yang menggabungkan Sumatera Barat, Jambi dan Riau
dalam wadah pemerintahan Sumatera Tengah dinyatakan batal.
Setelah mengirim berita ke
Tanjungpinang, kembali Badan Penghubung mengirim rilis ke seluruh surat kabar
yang ada di ibukota tentang keputusan Riau menjadi provinsi terpisah dari
Provinsi Sumatera Tengah. Beberapa elemen masyarakat Riau di Jakarta seperti
Ikatan Warga Riau, Ikatan Pelajar Riau, dan Badan Penghubung sendiri sepakat
untuk menyiarkan informasi ini secara besar-besaram atas kelahiran Provinsi
Riau.
Setelah adanya keputusan ini
selanjutnya dipersiapkanlah perayaan menyambut Provinsi Riau dengan mengadakan
malam syukuran dan malamsyukuran ini diberi nama ‘’Malam Riau’’. Dibentuklah
suatu panitia pelaksana yang diketuai DM Yanu. Pada ‘’Malam Riau’’ ini akan
ditampilkan kesenian daerah Riau.
Dan tamu yang diundang termasuk beberapa menteri seperti Menteri Agraria,
Menteri Urusan antara Daerah, Sri Sultan Siak, dan Mendagri.
Pada ‘’Malam Riau’’ inilah awal
mula tampilnya lagu Lancang Kuning yang menjadi lagu daerah Provinsi Riau
sampai saat ini. Penetapan Riau menjadi provinsi juga disambut gembira hampir
di seluruh pelosok negeri Riau. Masyarakat dengan caranya masing-masing melakukan
perayaan dengan penuh kebahagian.
Keputusan penetapan UU pada
tanggal 9 Agustus 1957 tersebut menjadi hari paling bersejarah bagi seluruh
masyarakat Riau. Keputusan tersebut merupakan keputusan yang terbaik demi untuk
membawa masyarakat Riau ke arah yang lebih baik.
‘’Namun perubahan dan kemajuan
tersebut bukanlah akhir dari seluruh perjuangan. Karena dari total masyarakat
Riau sebanyak 5 juta jiwa, masih ada 13,30 persen lagi masyarakat Riau yang
hidup dalam garis kemiskinan,’’.
Suatu pagi menjelang siang di
bulan Juli 1954. Udara sedikit panas dan berdebu. Aktivitas Bandara Halim Perdana
Kusuma Jakarta sibuk. Calon penumpang didominasi oleh tentara. Hanya beberapa
gelintir saja orang sipil itu terlihat seorang pemuda sedikit kurus. Ia
menunggu kesempatan untuk dapat menumpang pesawat yang akan ke Padang.
Tujuannya adalah Pekanbaru lewat jalan darat. Ia bersama empat orang sipil
lainnya bergegas naik pesawat dan mendapat tempat duduk dekat jendela. Pemuda
itu meletakkan bawaannya di dalam pesawat. Ia pun duduk sembari meluruskan
kakinya melepas penat. Namun belum sempat bernafas lega datang pengumuman dari
kokpit pesawat agar empat orang penumpang sipil segera turun kembali dari
pesawat karena ada empat orang tentara yang ada keperluan ke Padang. Kecewa,
tapi apa daya. Pemuda itu bersama empat orang sipil lainnya pun turun. Mereka
pahan bahwa era itu adalah era-nya militerisme. Selain tentara hanya warga
kelas dua. Ia hanya bisa melihat pesawat itu kemudian bergerak di landasan pacu
dan membumbung ke udara. Bersama harapannya ke Pekanbaru yang sirna. Ia
terpaksa menunggu pesawat keesokkan harinya. Ia hanya tak menyangka bahwa Tuhan
sedang menyelamatkannya. Udara cerah begitu pesawat mendarat di Bandara Tabing,
Padang . Sejumlah polisi militer (PM) dari Dewan Banteng segera menyongsong
pintu pesawat terbuka. Dengan senjata lengkap mereka bertanya apa ada di
penerbangan ini warga sipil. Ternyata mereka mencari seseorang. Mana Wan Ghalib ?, tanya komandan regu PM Banteng kepada sejumlah tentara yang ada. Tak ada
yang mengenalnya. Komandan regu segera memberi hormat ketika seorang perwira
TNI Letkol Hasan Basri ikut turun dari pesawat. Mengapa mencari Wan Ghalib ?
tanyanya kepada para polisi militer itu. Dia tokoh pergerakan di Riau yang mau
memisahkan diri dari Sumatera Tengah. Kalau ada di pesawat ini kami akan
menangkapnya dan mengirimnya ke Camp Situjuh, biar tahu rasa dia, jawab sang
komandan PM dengan tegas. Kalau tak ada sekarang tak apa, besok kita patroli
lagi,ujarnya sembari memerintahkan anggotanya kembali ke mobil. Letkol
Hasan Basri pun berlaku. Yang komandan PM itu tidak tahu adalah Letkol Hasan
Basri salah seorang perwira Dewan Banteng yang intelektual dan kenal baik
dengan Wan Ghalib. Ia paham apa yang diperjuangkan aktivis pergerakkan Riau
itu. Secara diam-diam, Letkol Hasan Basri memberitahukan kepada teman Wan
Ghalib dan meminta agar aktivis itu tidak pulang ke Pekanbaru, karena sudah
ditunggu dan akan dikirim ke Camp Situjuh. Akhirnya Wan Ghalib pun batal pulang
ke Pekanbaru. Mengapa saya katakan ini pertolongan Allah SWT, jika letkol Hasan
Basri tidak berangkat , maka kami tidak akan tahu bahwa saya sedang dicari-cari
ole PM Dewan Banteng, ujar Wan Ghalib. Sebelum Riau menjadi provinsi berdaulat
(menjadi provinsi sendiri), Riau masih bergabung dengan Provinsi Sumtera Tengah
yang ibukotanya berkedudukan di Sumatera Barat (Sumbar). Provinsi Sumatera
Tengah sendiri ketika itu wilayahnya Sumbar, Riau, dan Jambi.
Pembentukkan Provinsi Riau lepas
dari Provinsi Sumatera Tengah mendapat tantangan dari penguasa waktu itu. Jika
ada saja masyarakat yang berbicara tentang Provinsi Riau bersiap-siaplah akan
dibawa ke camp penjara di daerah Situjuh. Pada masa itu sangat banyak aktivis
Riau yang diantar dan dibuang ke campSitujuh tersebut. Jika sudah masuk dan
diantar ke camp jawabannya pasti mati, tidak ada yang selamat jika sudah berada
di dalam camp tersebut. Saya termasuk
tokoh yang paling dicari untuk dimasukkan kedalam camp Situjuh tersebut.
Menurut Wan Ghalib penderitaan
demi penderitaan dialami rakyat Riau saat menjadi bagian dari Provinsi Sumatera
Tengah tersebut. Berbagai sendi kehidupan tidak ada yang maju. Rakyat banyak
yang miskin, pendidikan terabaikan apalagi sarana dan prasarana infrastruktur
seperti jalan, jembatan dan sebagainya. Ketidakadilan sangat dirasakan,
kekayaan yang dimiliki negeri yang bernama Riau itu terus dikeruk habis, tidak
ada yang dikembalikan ke Riau, semuanya diangkut ke ibukota provinsi Sumatera
Tengah yang berkedudukan di Sumatera Barat dan kemudian dikirim ke ke Jakarta.
Pedih dan derita ditanggung rakyat Riau , hasil kekayaan negeri yang dimiliki tidak
dirasakan rakyat. Pedih sangat pedih penderitaan yang dialami rakyat Riau
ketika masih bersama dengan Provinsi Sumatera Tengah itu, kenangnya.
Berkat informasi letkol Hasan
Basri ia pun membatalkan niatnya pulang ke Pekanbaru. Ia kemudian bertahan di
Jakarta dan kemudian menjadi Ketua Badan Penghubung Panitia Persiapan Provinsi
Riau di Jakarta. Ketika itu Riau tidak dipandang, kekayaan yang ada diambil dan
dikeruk habis dan dibawa dan tidak ada yang dibalikkan untuk membangun berbagai
kepentingan Riau. Rakyatpun hidup dengan melarat, pendidikan rakyat tidak
diperhatikan, akibatnya rakyat menjadi bodoh. Lebih lanjut Wan Ghalib
menceritakan bahwa Provinsi Sumatera Tengah yang pada ketika itu dikuasai
militer yakni Dewan Banteng memang sangat semena-mena dalam memerintah.
Orang-orang Riau yang menjadi
camat, bupati maupun gubernur mereka ganti dengan orang-orang mereka yang berasal
dari luar Riau. Saat itu, orang Riau tidak menjadi tuan rumah di rumahnya
sendiri, semuanya dikuasai oleh orang lain, ujar Wan Ghalib. Upaya-upaya
pembodohan terhadap masyarakat Riau terus dilakukan. Sebagai daerah yang
memiliki kekayaan alam yang juga sebagai penopang pembangunan Sumatera Tengah,
di Riau malah tidak ada sekolah sama sekali. Sementara ibukota Sumatera Tengah
sana, di semua kecamatan berdiri sekolah-sekolah mulai dari jenjang Sekolah
Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Mereka bangun sekolah dan
berbagai sarana infrastruktur lainnya di ibukota Sumatera Tengah dengan kekayaan
negeri Riau ini. Bahkan, universitas yang ada sekarang itu dibangun dengan
menggunakan hasil kekayaan ikan dari Bagansiapi-api, sementara Riau tidak
diperhatikan dan dibiarkan, ujarnya. SMA pada ketika itu di Riau hanya ada di
Tanjung Pinang, itupun bukan dibangun oleh pemerintah provinsi akan tetapi
sekolah peninggalan Belanda. SMA yang ada di Pekanbaru juga bukan dibangun oleh
pemerintah akan tetapi swasta dalam hal ini PT Caltex. Inilah selanjutnya menjadi
cikal bakal rakyat Riau berontak. Jika terus seperti ini, Riau tidak akan
maju-maju. Selagi Riau masih dibawah Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak
akan hidup berkembang, selagi masih bernaung dibawah Provinsi Sumatera Tengah
orang Riau tidak bisa hidup di kampungnya sendiri. Tindakan penguasa saat itu
sangat melukai hati rakyat, karenanya mulailah muncul perlawanan-perlawanan dan
diwacana pembentukan Provinsi Riau, ujarnya. Uang Belanja Isteri Perjuangan
untuk memisahkan diri dari kungkungan Provinsi Sumatera Tengah terus digelorakan.
Pada Kongres Rakyat Riau (KRR), maka disepakati lah pembentukkan Badan
Penghubung Panitia Persiapan Provinsi Sumatera Tengah, kami dengan niat yang
mantap berangkat ke Jakarta guna memperjuangakan Provinsi Riau,†ujarnya.
Sejak diamanahkan untuk berjuang di Jakarta bersama sembilan teman yang lain
masing-masing Tengku Arief, Abdul Manaf Hadi, Hasan Ahmad, Abdul Jalil M
(Sekretaris), Kamaruddin, DM Yanur (Wakil Ketua), Wan Ghalib (Ketua), Aidir
Sani dan Azhar Husni, secara perlahan namun pasti upaya lobi ke Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) terus dilakukan. Untuk berjuang membentuk provinsi
tersendiri, menurut Wan Ghalib lagi mereka tidak pernah mendapatkan uang
sedikitpun. Pandai-pandai kamilah di Jakarta berjuang, terkadang uang belanja
isteri kami pakai untuk berjuang. Pernah isteri saya bilang jika sudah
terbentuk Provinsi Riau, kembalikan uang belanja saja. Tak tahu siang atau
malam, kami terus berjuang, tutur Wan mengisahkan masa lalunya. Susahnya
membentuk provinsi itu, dikarenakan partai-partai yang berkuasa saat itu
dikuasai atau dipegang oleh saudara-saudara kita yang berasal dari Sumbar.
Mereka rata-rata yang menghalagi keinginan untuk pembentukkan Provinsi Riau
tersebut. Namun kami tak gentar, upaya lobi ke Depdagri dan menggalang kekuatan
media massa terus kami lakukan. Setiap hari di media massa harus ada berita
tentang keinginan pembentukkan Provinsi Riau, ujarnya. Hampir 2,5 tahun
perjuangan untuk memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Tengah mulai menemui
titik terang setelah diberlakukan UU darurat tanggal 9 Agustus tahun 1957.
Di dalam UU darurat tanggal 9
Agustus tahun 1957. Di dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Provinsi Sumatera
Tengah dipecah menjadi tiga provinsi masing-masing Provinsi Sumbar, Riau dan
Jambi. Namun Dewan Banteng tidak setuju. Dewan Banteng selanjutnya membentuk
gubernur muda Riau yang dipegang oleh Syamsu Nurdin yang kemudian dilanjutkan
dengan pembentukkan DPR. Nama saya juga dimasukkan sebagai salah seorang
anggota DPR, namun saya tolak sebab mereka tidak berhak membentuk itu dan
pemerintah Indonesia sendiri sudah tegas membentuk Provinsi Riau, ujarnya.
Upaya lobi ke Mendagri yang saat itu Sanusi Hardja terus dilakukan dan kami
katakan sebaiknya pembentukkan Provinsi Riau jangan lewat dari tanggal 31
Agustus karena pada tanggal tersebut Malaysia akan merdeka, karenanya
dikhawatirkan akan ada gerakan-gerakan untuk bergabung dengan Malaysia.
Mendagri pada ketika itu menjawab menjawab akan diusahakan dan akhirnya
keinginan itu akhirnya terwujud. Isu
akan ada gerakan untuk bergabung dengan Malaysia itu memang sengaja kami
sampaikan agar pembentukkan Provinsi Riau itu bisa terwujud segera dan
Alhamdulillah pada akhirnya keinginan itu terwujud dan sampai saat ini Riau
menjadi salah satu Provinsi terkemuka di Indonesia, ujarnya lagi. Setelah
resmi menjadi Provinsi Riau, maka selanjutnya dilantiklah Gubernur Riau yang
pertama MR SM Amin pada tanggal 3 Maret 1958. Setelah terbentukpun masih banyak
kerja yang harus diselesaikan terutama sekali menumpas para anggota Dewan
Banteng yang masih enggan mengakui Provinsi Riau. Hingga saat ini, kisah
penzoliman terhadap Provinsi Riau masih berlanjut, ketidakadilan birokrasi di
pemerintahan pusat pada masa orde baru terutama dalam keadilan pemerataan
pembangunan, keadilan pembagian DBH migas,infrastruktur, kelistrikan, dan
lain-lain dikarenakan regulasi masih dipegang sesuai dengan kebijakkan pusat
hingga pasca reformasi menghantarkan Riau menuju sebuah wacana khusus yaitu
otonomi khusus Provinsi Riau.
Sumber :
Kutipan wawancara Riau Pos dengan H. Wan
Ghalib pada saat Hari Jadi Provinsi Riau ke-52
0 komentar:
Posting Komentar