Tampilkan postingan dengan label BUDAYA MELAYU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUDAYA MELAYU. Tampilkan semua postingan


Gasing merupakan permainan tradisional masyarakat melayu Riau yang sampai saat ini masih eksis  meski pengaruh modernisasi terus menerpa sesuai dengan perkembangan zaman.  Secara umum gasing terbuat dari kayu keras dengan bentuk badan bulat,  lonjong,  piring terbang (pipih), kerucut, silinder dan bentuk-bentuk lainnya yang merupakan ciri khas kedaerahan dengan ukuran bervariasi, terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki. Gasing dimainkan dengan tali yang cukup panjang dan digulungkan pada kayu bulat, runcing pada bagian bawah dan terdapat katup pada bagain atas. Dilempar dengan keras ke tanah sehingga gasing tersebut berputar dengan kencang. Aturan permainan gasing ini tergantung pada para pemainnya, untuk kalangan anak-anak biasanya menggunakan sistem bertahan lama putaran gasing. Namun yang biasa dilakukan oleh orang dewasa gasing akan diadu.


Gasing is a traditional game of Riau Malay community which until now still exist despite the effects of modernization continue to hit in accordance with the times. In general, the Gasing is made of hardwood with rounded body shape, oval, flying saucer (flat), cone, cylinder and other shapes that are characteristic of regionalism with varying size, consisting of the head, the body and the legs. Gasing is played with a long rope and rolled on logs, sharp at the bottom and there is any part of the valve on top. Thrown violently to the ground so the top is spinning fast. Rules of the game Gasing this depends on the players, for young children typically use long-lasting system round Gasing. But usually performed by adults Gasing will be pitted.
Ketika saya masih anak-anak, datuk (kakek) dan nenek saya banyak memberitahu kepada saya pantangan ataupun larangan yang ia anggap tabu dan jika kita lakukan konon akan memberikan akibat jelek bagi kita yang melakukannya, kata datuk dan nenek pantangan atau larangan ini sudah menjadi tradisi dan turun temurun secara mulut kemulut serta dongeng Menurut datuk (kakek) dan nenek tradisi pantangan ataupun larangan ini pasti ada di tiap daerah dan tentunya ini semua tergantung dari kita untuk menyikapinya,percaya atau tidak. Dalam tradisi melayu Indragiri terdapat banyak pantangan ataupun larangan , diantaranya sebagai berikut :


PANTANGAN UNTUK LELAKI
1. Dilarang bersiul dalam rumah, nanti ular masuk.
2. Dilarang kencing atas busut, dikatakan buruk kemaluan.
3. Dilarang mengintap orang mandi, nanti mata bengkak.
4. Dilarang tidur di tengah lapangan, nanti emak mati.
5. Dilarang ketawa waktu Maghrib, nanti datang hantu.
6. Kalau tidak tahan berpanas, nanti tunang dilarikan orang.

PANTANGAN UNTUK BAYI
1. Bayi tak boleh dikatakan gemuk,nanti ketika besar akan menjadi kurus.
2. Dilarang memicit mulut bayi, nanti bayi tidak selera makan.
3. Tak boleh meletakkan bayi atas lutut, nanti sakit perut.
4. Sisa makanan bayi tak boleh dimakan oleh ibu bapak, nanti jika besar suka melawan.
5. Tak boleh dicium sewaktu tidur terutama di atas ubun-ubun kepala dan pada pusatnya kerana dikatakan pendek umur.
6. Kain lampin tak boleh direndam, nanti kembung perut.
7. Sewaktu bayi sedang tidur, kadangkala kita melihat dia tersenyum, ketawa dan ingin menangis. Jangan kejutkan kerana dikatakan bayi sedang bermain dengan urinya.
8. Tidak boleh menghembus mulutnya, nanti menjadi bisu.
9. Tidak boleh melihat bayi dari arah ubun-ubunnya, nanti matanya juling.

Sejarah

Suku Talang Mamak tergolong Melayu Tua (Proto Melayu) merupakan suku asli Indragiri, mereka juga menyebut dirinya "Suku Tuha".  Sebutan tersebut bermakna suku pertama datang dan lebih berhak terhadap sumber daya di Indragiri Hulu.  Menurut mitos Suku Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga yang berasal dari kayangan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar, tempat Pati). Hal ini terlihat dari ungkapan "Kandal Tanah Makkah, Merapung di Sungai Limau, menjeram di Sungai Tunu". Itulah manusia pertama di Indragiri nan bernama Patih. 



Penyebaran

Suku Talang Mamak tersebar di empat kecamatan yaitu : Kecamatan Batang Gangsal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dan satu kelompok berada di Dusun Semarantihan Desa Suo-suo Kecamatan Sumai Kabupaten Tebo Jambi. Pada tahun 2000 populasi Talang Mamak diperkirakan ±1341 kepala keluarga atau ±6418 jiwa.

PETA PENYEBARAN SUKU TALANG MAMAK


Budaya

Kepercayaan Talang Mamak masih animisme dan sebagian kecil Katolik sinkritis khusunsya penduduk Siambul dan Talang Lakat. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai orang "Langkah Lama", yang artinya orang adat. Mereka membedakan diri dengan Suku Melayu berdasarkan agama. Jika seorang Talang Mamak telah memeluk Islam, identitasnya berubah jadi Melayu. Orang Talang Mamak menunjukkan identitas secara jelas sebagai orang adat langkah lama. Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti ada yang berambut panjang, pakai sorban/songkok dan gigi bergarang (hitam karena menginang). Dalam selingkaran hidup (life cycle) mereka masih melakukan upacara-upacara adat mulai dari melahirkan bantuan dukun bayi, timbang bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat dan berdukun, beranggul (tradisi menghibur orang yang kemalangan) dan upacara batambak (menghormati roh yang meninggal dan memperbaiki kuburannya untuk peningkatan status sosial).

Kebanggaan terhadap kesukuan tersebut tidak lepas dari sejarah kepemimpinan Talang Mamak dan Melayu di sekitar Sungai Kuantan, Cenaku dan Gangsal. Kepemimpinan Talang Mamak tercermin dari pepatah "Sembilan Batang Gangsal, Sepuluh Jan Denalah, Denalah Pasak Melintang; Sembilan Batin Cenaku, Sepuluh Jan Anak Talang, Anak Talang Tagas Binting Aduan; beserta ranting cawang, berinduk ke tiga balai, beribu ke Pagaruyung, berbapa ke Indragiri, beraja ke Sultan Rengat". Ini menunjukkan bahwa Talang Mamak mempunyai peranan yang penting dalam struktur Kerajaan Indragiri yang secara politis juga ingin mendapatkan legitimasi dan dukungan dari Kerajaan Pagaruyung.

PESTA PERNIKAHAN SUKU TALANG MAMAK

 Hingga sekarang sebagian besar kelompok Talang Mamak masih melakukan tradisi "mengilir/menyembah raja/datok di Rengat pada bulan Haji dan hari raya" sebuah tradisi yang berkaitan dengan warisan sistem Kerajaan Indragiri. Bagi kelompok ini ada anggapan jika tradisi tersebut dilanggar akan dimakan sumpah yaitu "ke atas ndak bepucuk, ke bawah ndak beurat, di tengah dilarik kumbang" yang artinya tidak berguna dan sia-sia. 
Mereka memiliki berbagai kesenian yang dipertunjukkan pada pesta/gawai dan dilakukan pada saat upacara seperti pencak silat yang diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang, tari bulian dan main ketebung. Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan upacara-upacara tradisional yang selalu dihubungkan dengan alam gaib dengan bantuan dukun.

Prinsip memegang adat sangat kuat bagi mereka dan cenderung menolak budaya luar, tercermin dari pepatah "biar mati anak asal jangan mati adat". Kekukuhan memegang adat masih kuat bagi kelompok Tigabalai dan di dalam taman nasional, kecuali di lintas timur karena sudah banyaknya pengaruh dari luar.

Dengan berlakunya UU Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979, mengakibatkan berubahnya struktur pemerintahan desa yang sentralistik dan kurang mengakui kepemimpinan informal. Akhirnya kepemimpinan Talang Mamak terpecah-pecah, untuk posisi patih diduduki 3 orang yang mempunyai pendukung yang fanatis, demikian juga konflik terhadap perebutan sumber daya. Walaupun otonomi daerah berjalan, konflik kepemimpinan Talang Mamak sulit diresolusi,




Pendidikan

Sebagian besar penduduk Talang Mamak buta huruf yang disebabkan oleh berbagai faktor dan kendala. Di dalam taman nasional, wilayahnya tidak terjangkau, sarana prasarana tidak memungkinkan. Di luar taman seperti di Lintas Timur, sekolah baru ada akhir-akhir ini dan kurang diminati sebab pendidikan dirasa tidak dapat memecahkan masalah mereka di samping ekonomi yang subsistem. Di wilayah Tigabalai sebagian besar menolak pendidikan, karena anak-anak mereka yang bersekolah dan mengecap pendidikan akhirnya keluar dari kelompoknya.

KELUARGA SUKU TALANG MAMAK


Lingkungan dan Ekonomi 

Tanah dan hutan bagi Suku Talang Mamak merupakan bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Sejak beratus-ratus tahun mereka hidup damai dan menyatu dengan alam. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan melakukan perladangan berpindah. Dari dulu mereka berperan dalam penyediaan permintaan pasar dunia. Sejak awal abad ke-19 pencarian hasil hutan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dunia terhadap hasil hutan seperti jernang, jelutung, balam merah/putih, gaharu, rotan. Tetapi abad ke-20 hasil hutan di pasaran lesu atau tidak menentu, namun ada alternatif ekonomi lain yaitu mengadaptasikan perladangan berpindah dengan penanaman karet. Penanaman karet tentunya menjadikan mereka lebih menetap dan sekaligus sebagai alat untuk mempertahankan lahan dan hutannya. 
BERPOTO DI RUMAH PANGGUNG SUKU TALANG MAMAK
Mereka mulai terusik dan diporakporandakan oleh kehadiran HPH, penempatan transmigrasi, pembabatan hutan oleh perusahaan dan sisanya dikuasai oleh migran. Kini sebagian besar hutan alam mereka tinggal hamparan kelapa sawit yang merupakan milik pihak lain. Penyempitan lingkungan Talang Mamak berdampak pada sulitnya melakukan sistem perladangan beringsut dengan baik dan benar dan harus beradaptasi, bagi yang tidak mampu beradaptasi kehidupannya akan terancam. Oleh sebab itu, sekelompok suku Talang Mamak yang di Tigabalai di bawah kepemimpinan Patih Laman gigih mempertahankan hutannya.
Demi memperjuangkan hutan adat, ia menentang dan menolak segala pembangunan dan perusahaan serta rela mati mempertahankan hutan. Kegigihan dan perjuangan "orang tua si buta huruf ini" diusulkan menjadi nominasi dan memenangkan penghargaan International "WWF International Award for Conservation Merit 1999" dari tingkat grass root. Beliau juga mengharumkan nama Riau dan Indonesia di bidang konservasi yang diterimanya di Kinabalu Malaysia bersama dua pemenang lainnya dari Malaysia dan India. Pada tahun 2003, Patih Laman mendapatkan penghargaan KALPATARU dari Presiden Republik Indonesia.


Terima Kasih kepada Kawan-kawan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
FESTIVAL LAMPU COLOK
FESTIVAL LAMPU COLOK is an annual ritual usually done in Riau to celebrate the coming of Idul Fitri, FESTIVAL LAMPU COLOK is usually done at the end of ramadan and has been a tradition since the first.  LAMPU COLOK is a kind of kerosene-fueled lanterns made from cans or bottles and then turned on the fire.


PETANG MEGANG with a ritual bath to cleanse themselves by society in order to welcome Pekanbaru Cityarrival of the holy month of Ramadan. Evening ritual was centered on the bank holdingSiak River and carried out in the evening one day before Ramadan
pacu jalur
At first Pacu Jalur was held in the villages along the Kuantan River to commemorate the great days of Islam, such as the Mawlid of the Prophet Muhammad, Eid al-Fitr, or the New Year a Muharam. When the Dutch began to enter the area of Riau (ca. 1905), precisely in the area that is now the Taluk Kuantan, they use pacu jalur in celebration of Queen Wilhelmina's birthday which falls on every 31 Agustus.Pacu Jalur  is usually done in the Tepian Narosa Kuantan Singingi 
PACU JALUR SALAH SATU ANDALAN WISATA RIAU.


Malam Berinai is one of a series of bridal wedding malay. At the community Malays, the signs of a new bride, fingers and toes, palms and feet were visible yellow henna so rosy anger.