Keberadaan Kampar sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya "tergilas" publikasi. Selama ini publik menyangka pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Sumatera Selatan (Sumsel) karena lebih banyak publikasi mengenai Sriwijaya oleh orang-orang Sumsel. Namun fakta berbicara lain. Keberadaan Candi Muara Takus membuktikan, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Kampar.
Sebenarnya ada sesuatu yang jauh lebih menarik
dari sekadar view yang ditampilkan di kompleks Candi Muara Takus di
Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar. Sesuatu
yang akan mengubah sejarah.
Tidak hanya sejarah Kampar secara khusus, namun sejarah Melayu di dunia.
Berdasarkan
sejarah yang telah disusun di Indonesia, ibukota Kerajaan Sriwijaya
berada di Sumsel. Bahkan, menurut sejarah Melayu di Malaysia, pendiri
Kerajaan Melaka, yakni Prameswara yang kemudian berganti nama menjadi
Muhammad Iskandar Syah berasal dari Sriwijaya yang diyakini berada di
Sumsel.
Namun sebagaimana dikatakan Pemerhati dan Peneliti Sejarah
Kampar Drs Abdul Latif MM, pandangan tersebut akan berubah. Sebab
keberadaan Candi Muara Takus membuktikan lain. ''Berdasarkan
penelitian di dunia, sebuah candi merupakan pusat kerajaan dan pusat
keagamaan di kerajaan Hindu/Budha. Jika Candi Muara Takus berasal dari
Kerajaan Sriwijaya, dengan demikian pusat Kerajaan Sriwijaya pada
zaman dulu berada di Kampar, bukan di Sumsel,'' jelas Latif yang juga
seorang budayawan Kampar ini.
Hal yang paling menguatkan bahwa
Candi Muara Takus merupakan pusat kerajaan tertua di Asia Tenggara
tersebut adalah adanya istana yang berada di sekitar candi pada zaman
dahulu. Saat ini istana yang terbuat dari kayu itu tidak ada lagi,
terkikis oleh berjalannya waktu. Latif mengungkapkan, istana
Sriwijaya telah lama runtuh. ''Dulu ada istana di sekitar candi. Tapi
sudah lama runtuh. Masyarakat sekitar tidak ada lagi yang ingat persis
tahun berapa istana runtuh saking sudah lamanya,'' urai Latif yang
juga merupakan Guru PPKn di SMA 2 Bangkinang dan sudah 16 tahun
berkecimpung dalam kegiatan penelaahan sejarah Melayu, terutama di
Kabupaten Kampar ini.
Hanya saja, karena publikasi terhadap
Kerajaan Sriwijaya sudah terlebih dahulu dilakukan orang-orang Sumsel,
pusat Sriwijaya dianggap berada di wilayah Sumsel. Bahkan buku
sejarah yang disusun juga memuat demikian. Padahal di Sumsel
sendiri tidak pernah ditemukan bekas istana maupun situs sejarah
berupa candi. Hanya di Kampar ditemukan situs peninggalan sejarah
Kerajaan Sriwijaya berupa candi dan bekas istana yang telah runtuh.
''Daerah
Sumsel itu saya kira hanya sebagai daerah perhentian pelabuhan
terakhir yang dilakukan orang-orang Kerajaan Sriwijaya,'' ungkap
alumni Jurusan PPKn FKIP Universitas Riau ini.
Sebenarnya, Latif sudah memaparkan
banyak hal terkait pusat Sriwijaya di Muara Takus pada seminar-seminar
kebudayaan di Riau maupun di provinsi lain. Seperti di seminar
kebudayaan di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Para
akademisi UGM bahkan mendukung pandangan dan fakta yang disampaikan
Latif. ''Akademisi UGM mendukung saya. Mereka memberi semangat agar
saya terus mempublikasikan mengenai pusat Sriwijaya yang berada di
Kampar agar diketahui masyakarat,'' sebut pria kelahiran Kuok 4 Juli
1958 tersebut. Tidak hanya akademisi UGM yang mendukung pandangan
yang menyebutkan pusat Sriwijaya ada di Muara Takus. Sebanyak 16
peneliti dari Belanda yang pernah meneliti di daerah Kampar menyatakan
pandangan serupa. ''Hanya saja kurang terekspos ke publik,'' sebut Latif.
Jika
hanya diperhatikan sekilas, bagi orang awam, Candi Muara Takus
terlihat kurang menarik. Hanya terdapat 3 candi yang dinamakan candi
tua, candi bungsu dan candi mahligai yang disebut juga stupa candi. Kompleks
candi hanya terlihat berupa onggokan batu warna oranye
kemerah-merahan . Di halaman candi yang seluruhnya dipagari besi tipis
berwarna silver, ditanami rumput dan tanaman hias berupa bunga asoka. Sedangkan
bekas pelabuhan di sekitar candi yang sekarang berupa Sungai Kampar
pada tepiannya dibangun panggung sebagai tempat duduk-duduk dan
melihat-lihat bagi pengunjung.
Tak jauh dari situ tampaklah
bekas-bekas benteng yang dibangun untuk melindungi istana dan Candi
Muara Takus. Sebagian benteng sudah tertimbun tanah.
Saat ini
bekas benteng yang terlihat hanya berupa tembok-tembok dengan bahan
batu yang sama dengan batu candi. Di sekitar lokasi juga terdapat
bekas tempat pemandian putri yang sudah berupa onggokan batu.
Sedangkan di sekitarnya terdapat tempat berjualan pedagang makanan,
minuman dan pakaian bergambar Candi Muara Takus yang dijual kepada
pengunjung candi.
Pada sebagian tanah yang diinjak di lokasi
kompleks candi menuju bekas tempat pemandian putri didapati batu-batu
yang sedikit menyembul ke atas permukaan tanah. Sepertinya batu-batu
itu hendak bernafas ke permukaan tanah karena bagiannya yang lain
masih tersembunyi di tanah.
Namun bagi pengunjung, candi terlihat
kurang menarik sebagai objek wisata. Beberapa pengunjung menyatakan,
view candi terlihat kurang menarik. Ahmad Supriadi (31)
mengungkapkan, tidak ada sesuatu yang begitu menarik dari candi
peninggalan abad 12 Masehi itu. Supriadi mengaku sudah 4 kali
mengunjungi candi. Namun yang ia temukan hanya keadaan yang sama,
onggokan batu berwarna oranye kemerah-merahan .
''Saya sudah berkali-kali ke sini, tapi terlihat hanya begitu-begitu saja,'' ungkap Supriadi yang ditemui di area candi. Hal yang sama dipaparkan Lina Hardian (27). Lina juga mengungkapkan bahwa candi kurang menarik dari segi view yang ditampilkan. Apalagi
candi kurang terkelola dengan baik sebagai objek wisata. ''Kelihatan
kurang menarik. Karena tidak dikelola dengan baik,'' tutur Lina.