Tampilkan postingan dengan label KAMPAR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAMPAR. Tampilkan semua postingan

Istana Raja Gunung Sahilan
Bekas istana Kerajaan Gunung Sahilan (1700-1941) masih berdiri di kawasan Kampung Gunung Sahilan, Kecamatan Gunung Sahilan (Kampar Kiri) Kabupaten Kampar. Sebuah bangunan renta yang tampak uzur dimakan usia, bahkan nyaris rubuh karena tidak adanya perhatian sama sekali. Melihat kondisinya yang sangat dan sangat memprihatinkan itu, niscaya beberapa tahun ke depan situs sejarah paling bernilai tersebut akan punah-ranah. 
Istana Raja Gunung Sahilan
Istana Kerajaan Gunung Sahilan dari Pekanbaru Ibukota Provinsi Riau berjarak lebih kurang 70km atau dapat ditempuh lebih kurang 1jam perjalanan darat. Dulunya jalan akses menuju Istana,kita harus melewati jalur sungai melewati Sungai Kampar melalui rakit,pompong atau sampan. Kini Telah berdiri dengan kokoh sebuah jembatan. Tidak jauh dari jembatan tersebut kita dapat menjumpai sebuah Istana Tua yang sudah tidak terawat yaitu Istana Kerajaan Gunung Sahilan, Istana ini tepat berada di Jalan Istana.
Istana Raja Gunung Sahilan (Tampak dari Samping)
Istana ini persis berada di depan Alun-alun Ninik mamak masyarakat Gunung Sahilan.  Didalam istana ini terdapat beberapa benda peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan, diantaranya  meriam kecil atau lelo (sebutan masyarakat tempatan), kendi, gong hitam, tombak, pedang, payung kerajaan, yang apabila dibuka diyakini masyarakat sekitar maka daerah gunung sahilan akan turun hujan, sebuah guci yang pada musim kemarau terisi penuh, tapi ketika musim hujan gucinya kosong, kata masyarakat setempat yang menyakininya., tempat tidur beserta kasur dan beberapa photo lama yang terpajang didalam istana.
Istana Raja Gunung Sahilan (Tampak Samping)
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng. Beberapa keturunan raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul. “Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang rumahnya berada tidak jauh dari istana. 
Bagian Belakang Istana Raja Gunung Sahilan
Menurut Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh. “Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan. “Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar. Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941). “Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.

Komplek Makam Raja Raja Gunung Sahilan

Tidak jauh dari Istana dapat kita jumpai Makam-Makam Raja Gunung Sahilan, namun ada yang sangat menarik perhatian diantara sekian banyak makam tersebut terdapat Makam yang di nisan bertuliskan tahun 1357, apakah tahun yang dimaksud Tahun Hijriah atau Tahun Masehi, kemudian juga terdapat Makam yang bernisankan batu alam. 
Salah Satu makam Tua di Kompleks Makam Raja Raja Gunung Sahilan, di Nisan Makam bertulsikan tahun 1357
Salah Satu Nisan Makam Raja Gunung Sahilan yang bernisankan Batu Alam



Lepat Bugi atau Lopek Bugi biasa orang menyebutnya adalah kuliner Khas Kampar, lepat ini dapat kita jumpai disepanjang jalan di Jalan Lintas Pekanbaru Bangkinang. Lepat Bugi ini menjadi industri Rumah Tangga (Home Industri) bagi warga Kampar. 
lepat bugi

Lepat bugi terbuat dari tepung ketan, diisi dengan parutan kelapa yang manis didalamnya, kemudian di kukus dengan bentuk sedemikian rupa dan dibungkus daun pisang. 
lepat bugi

lepat bugi
Air Terjun Tanjung Belit berada di Desa Tanjung Belit Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar. Untuk menuju ke Desa Tanjung Belit kita melalui medan yang sulit. Dari Kota Pekanbaru untuk menuju Desa Tanjung Belit kita melakukan perjalanan ke Gema ibukota Kecamatan Kampar Kiri Hulu,jaraknya sekitar 90km dari Pekanbaru.


Dari pelabuhan Gema, kita melanjutkan perjalanan menuju Desa Tanjung Belit menggunakan Perahu atau sampan bermotor, masyarakat sekitar menyebutnya Robin, karena sampan tersebut bermotor dengan Merk Robin. Kita Mengaliri sungai Sebayang yang indah dan masih alami, air yang sejuk sungguh jernih dengan dasar yang penuh bebatuan serta pasir dan dengan sangat jelas kita dapat melihat ikan didasar sungai.




 Kredit Photo : Jendry (Forumer SkyScraperCity Riau)



Cagar Alam Bukit Bungkuk seluas 20.000 ha terletak di Kabupaten kampar, Propinsi Riau. dengan status Hukum CA Bukit Bungkuk ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986. dengan kekayaan flora dan faunanya :

1. flora : antara lain meranti (Shorea sp), bintangur (Calophyllum spp), kempas (Koompassia malaccensis maing), keruing (Dipterocarpus sp), balam (Palaquium gulta), durian hutan (Durio sp), kulim (Scorodocarpus boonensis), suntai (Palagium walsunrifolium), dan rengas (Gluta renghas). dan masih banyak yang lain

2. Fauna : beruang madu (Helarctos malayanus), harimau loreng sumatera (Panthera tigris sumatrensis), rusa (Cervus timorensis), kancil (Tragulus javanicus) antara lain kera ekor panjang (Macaca fascicularis) antara lain ayam hutan (Gallus gallus), bubut besar (Centropus cinensis) antara lain biawak (Varanus salvator), bunglon (Colates spp), Siamang (Shimphalangus Sindactilus), Ungko (Hylobates Agilis), Beruk(Macaca nemestrina),Kucing Hutan (Felis bengalensis)beberapa jenis kupu-kupu, ngengat dan beberapa jenis Katak

Kucing Hutan (Felis bengalensis)
ancaman saat ini bagi Kucing Hutan adalah Hilangnya Tempat Tinggal mereka begitu juga dengan satwa-satwa lainnya, selain itu perburuan juga menjadikan satwa ini diambang punah.

Ungko (Hyilobates Agilis)
Ungko atau dikenal dengan nama hylobates agilis merupakan satwa yang menggantungkan hidupnya pada hutan alami, dan mereka memakan buah dari hutan alam juga, ungko saat ini dalam status Endangered (Terancam punah). di ungko di Indonesia hanya berada dipulau Sumatera saja, dengan semakin tergerusnya hutan alam oleh perkebunan kelapa sawit dan masyarakat yang kena demam perkebunan kelapa sawit mengakibat satwa ini kehilangan tempat tinggal dan semakin hari jumlah mereka semakin menurun
 
Rumah Siompu Persukuan Datuk Singo Kenegerian Sungai  Pagar adalah Rumah Besar bagi Suku Datuk  Singo di Kenegerian Sungai Pagar (Sungai Pagar). Rumah ini terletak di Jalan Lintas Pekanbaru Taluk Kuantan Desa Sungai Pagar Kecamatan Kampar Kiri Hilir. Suku Datuk Singo di Sungai Pagar biasanya berkumpul dirumah ini pada saat acara adat dan juga acara keagamaan seperti berkumpul dan bersilaturahmi saat Idul Fitri.



Desa Pantai Cermin berada di Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Desa Pantai Cermin ini jaraknya dari Pekanbaru lebih kurang 20km. Desa ini,masih sangat alami, hutannya masih belum tersentuh oleh tangan usil manusia, dihutan Desa Pantai Cermin, sangat banyak kita jumpai berbagai macam buah-buahan seperti durian,manggis,markisa, kayu rotan serta berbagai satwa. Sebagian besar masyarakat Desa Pantau Cermin bermatapencaharian sebagai Petani dan juga Nelayan (mencari ikan). Menurut orangtua di Desa Pantai Cermin,desa ini dinamakan Pantai Cermin,karena dahulunya desa ini merupakan pantai,dan pantai yang memiliki air yang cukup jernih dan bersih sehingga kita bisa bercermin dibersihnya air tersebut. Didesa ini terdapat makam keramat,makan snag penyiar agama Islam di Pantai Cermin,konon sang wali tersebut berasal dari Irak. Makam tersbut sangat wangi. Banyak orang yang melakukan ziarah ke makam tersebut dengan berbagai macam tujuan dan maksud,diantaranya ada yang bertapa kemakam tersebut untuk mendapatkan ilmu kebatinan. Desa ini sangat pantas untuk dijadikan Desa Wisata di Kabupaten Kampar.
Mesjid Tua du Desa Pantai Cermin
Sebuah tangga, akses bagi warga Desa Pantai Cermin utk menuju Mesjid dan Sungai
Alat-Alat perikanan untuk menangkap Ikan yang digunakan warga Desa Pantai Cermin
Sampan milik warga, yang biasanya digunakan untuk mencari ikan di Sungai

Makam syekh said abdul hamid bin said abdul rahman di Desa Pantai Cermin,merupakan ulama dari Irak yang menyiarkan islam di daerah itu hingga akhir hayatnya. Untuk sampai ke makamnya kita harus menelusuri hutan dan melewati sungai selama 30 menit. Makam ini memiliki aroma yang cukup wangi

Rumah Panggung milik warga Desa Pantai Cermin
Sepeda Tua,sebagai alat transportasi sebagian kecil warga Desa Pantai Cermin


Pelaksanaan Cabang Olahraga Motorcross di PON 2012 diselenggarakan di Danau Rusa Sekitar PLTA Koto Panjang Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten kampar.


PON XIII Riau Tahun 2012 akan dilaksanakan diberbagai Kota dan Kabupaten di Provinsi Riau. Salah satu Cabang Olahraga yang dipertandingkan adalah Balap Sepeda Motor atau dikenal dengan nama Road Race. Road Race di PON 2012 diadakan di Kota Bangkinang, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Berikut rendering ataupun maket Sirkuit Road Race PON XVIII tahun 2012 di kota Bangkinang.

BACA JUGA : VENUES PON XVIII RIAU TAHUN 2012 
Kesultanan Kuntu Kampar terletak di Minangkabau Timur, daerah hulu dari aliran Kampar Kiri dan Kanan. Kesultanan Kuntu atau juga disebut dengan Kuntu Darussalam di masa lalu adalah daerah yang kaya penghasil lada dan menjadi rebutan Kerajaan lain, hingga akhirnya Kesultanan Kuntu dikuasai oleh Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kini wilayah Kesultanan Kuntu hanya menjadi sebuah cerita tanpa meninggalkan sedikitpun sisa masa kejayaan, Kesultanan Kuntu kini berada di wilayah Kecamatan Kampar Kiri (Lipat Kain) Kabupaten kampar.

Kuntu di masa dahulu adalah sebuah daerah yang sangat strategis baik dalam perjalanan sungai maupun darat. Di bagian barat daya Kuntu, di seberangnya ada hutan besar yang disebut Kebun Raja. Di dalam hutan yang bertanah tinggi itu, selain batang getah, juga ada ratusan kuburan tua. Satu petunjuk bahwa Kuntu dulu merupakan daerah yang cukup ramai adalah ditemukannya empat buah pandam perkuburan yang tua sekali sehingga hampir seluruh batu nisan yang umumnya terbuat dari kayu sungkai sudah membatu (litifikasi). Salah satu di antara makam-makam tua itu makam Syekh Burhanuddin, penyiar agama Islam dan guru besar Tarekat Naqsabandiyah yang terdapat di Kuntu. Makam itu berada dekat Batang Sebayang. Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir 530 H atau 1111 M di Makkah Almukarramah dan meninggal pada 610 H atau 1191 M.

Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama-tama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan.
Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu. Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti.  Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al Azhar di Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu.
Kerajaan Kampar saat ini berada di kabupaten Pelalawan (Dahulu Pelalawan menjadi bagian dari Kampar). Provinsi Riau. Kampar ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus menerima instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat, negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).

Sultan Abdullah Kampar kemudian menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Melaka. Walaupun menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang dan menguasai Melaka pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis, Sultan Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.

Sultan Mahmudsyah yang saat itu bersemayam di Bintan mengirim armada yang dikepalai menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar diselamatkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan kabar angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis curiga dan termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both seperti termuat dalam suratnya kepada Sultan Tidore tahun 1612 (Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah dikejar-kejar Portugis dari Bintan, sehingga ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) sampai mangkatnya pada tahun 1528 M (Marhum Kampar).
Bukit Naang adventure park is an attractive place to play. Natural atmosphere, the trees are cool, here we can enjoy the natural panorama Bukit Naang Kampar. Here is a variety of adventure fun. and there is also a water park.
Hydroelectric Koto Panjang area has beautiful natural panorama with the background of rows of the hills, or better known as the Bukit Barisan. Hydroelectric Koto Panjang area is located at an area approximately 12 900 hectares precisely in Kampar

Muara Takus Temple is a Buddhist temple located in Riau, Indonesia. This temple complex is located in the village of precisely Barelang, District XIII Koto Kampar Regency or the distance is approximately 135 kilometers from the city of Pekanbaru, Riau. The distance between this temple complex in the village center Barelang approximately 2.5 miles and not far from the edge of the Kampar River Right.                   This temple complex surrounded by a wall measuring 74 x 74 meters outside the walls there are also arealnya sized ground 1.5 x 1.5 kilometers surrounding this complex sampal to Kampar Kanan river.


Within this complex there are also old temple buildings, temples and Mahligai Youngest Stupa and Palangka. Temple building material composed of sandstone, river rock and brick. According to sources original, bricks for this building built in the village Pongkai, a village located on the downstream side of the temple complex. Former mining land for the bricks until now regarded as a highly respected residents. To carry bricks to the temple, done in relay from hand to hand. This story must be true although not yet give the impression that temple building was the work together and conducted by the crowds.