Tampilkan postingan dengan label ROKAN HILIR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ROKAN HILIR. Tampilkan semua postingan
Kerajan Sintong berada di hulu Sungai Sintong, kira- kira satu kilometer dari muara Sungai Sintong anak Sungai Rokan. Tidak banyak catatan tentang kerajaan ini, selain catatan lisan. Ada sebuah situs yang penting dari kerajaan ini yaitu berupa candi yang pernah diteliti oleh tim arkeologi dari Dinas Budsenipar Provinsi Riau. Namun demikian, keberadaan candi tersebut sudah sangat rusak dan kemungkinan sulit dilakukan rekontruksi. Menurut cerita lisan masyarakat setempat, situs itu merupakan tempat ibadah nenek moyang masyarakat Sintong sebelum Islam masuk. Berubahnya keyakinan mereka dari agama lama diperoleh dari pengaruh mubalig- mubalig dan serbuan pasukan yang berasal dari Pasai dan ARU.

Kerusakan yang cukup parah justru telah berlangsung sejak zaman pemerintah Belanda. Situs ini digali masyarakat karena dianggap menyimpan benda berharga berupa harta karun seperti emas, intan, perak, dan batu- batu permata yang mahal. Keadaan ini diperburuk lagi ketika masyarakat Sintong membuat masjid dan mereka kekurangan batu bata, maka batu candi ini diangkut untuk pembangunan masjid ditempat itu.
Selain situs agama masyarakat Sintong masa lalu, ada lagi yang menarik yaitu mitos kecantikan putri Sintong yang tiada tolok bandingnya. Kecantikan putri Raja Sintong yang terkenal ini, sempat pula mengorbankan nyawa seorang anak Raja Pekaitan yang terjatuh kedalam Sungai Rokan bersama kudanya akibat menyaksikan kemolekan putri Sintong yang sedang mandi.
Kerajaan Rokan diperkirakan telah berdiri sekitar abad ke-20 M. Pusat kerajaan berada di kota lama. Nama kerajaan diambil dari nama sungai yang mengalir didaerah tersebut, yaitu sungai Rokan. Sungai Rokan merupakan salah satu sungai besar yang mengalir di bagian utara hingga barat Riau dengan panjang ± 400 kilometer. Hingga saat ini, sungai Rokan masih memainkan peranan penting sebagai jalur perhubungan antara rakyat daerah pantai timur hingga pedalaman Sumatra.

Berdasarkan peta Portugis, Rokan disebut dengan Arakan. Tetapi menurut satu riwayat, kata Rokan berasal dari bahasa Arab “rokana” artinya damai atau rukun. Konon, nama ini merupakan refleksi dari keadaan rakyat yang selalu rukun dan mementingkan kedamaian, baik dengan penduduk negeri, maupun dengan orang luar. Dari nama tersebut yang menunjukan adanya pengaruh Arab, juga bisa disimpulkan bahwa, Kerajaan Rokan berdiri setelah Islam masuk ke kawasan tersebut. Sebelum periodesasi Islam dipercayai Rokan kuno telah berdiri pada sekitar abad ke IV hingga VII Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan kuno berupa reruntuhan candi di Sedinginan dan Sintong.
Bermula dari sebuah manuskrip bertulis Jawi yang berasal dari bekas Kerajaan Kubu. Manuskrip tersebut bertajuk Hukum Adat Istiadat Negeri yang disusun oleh kepala suku Hambaraja bernama Abdurrahman bergelar Datuk Indra Setia pada tahun 1929. Kerajaan Kubu didirikan Tuanku Raja Hitam pada tahun 1084 H ( 1667 M ). Tuanku Raja Hitam konon adalah seorang bangsawan yang berasal dari Padang Nunang di Negeri Rao. Beliau datang ke daerah ini didampingi penasehat dan para pembantunya, yakni Datuk Penghulu Musa, Datuk Merah Pelangi, dan Datuk Kancil. Disamping itu, dalam rombongan Taunku Raja hitam, terdapat tiga orang hulubalang, yakni, Panglima Sati, Panglima Sultan Kaleno, dan Panglima Hundero. Dalam perjalanan menghilir Sungai Rokan, rombongan Tuanku Raja Hitam tiba di muara sungai Rokan sebelah barat Pulau Halang. Mereka kemudian menyusuri sebuah sungai bernama Sungai Baung. Daratan di kiri kanan Sungai Baung masih merupakan hutan lebat. Meskipun demikian beberapa sumber dalam cerita rakyat setempat di Sungai Baung ini telah pernah ada sebuah kampung yang bernama negeri Galangan.