Tampilkan postingan dengan label WARISAN BUDAYA TAK BENDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WARISAN BUDAYA TAK BENDA. Tampilkan semua postingan

Tari Gendong telah ada sejak abad ke-16 sebelum masuknya Kerajaan Siak. Kesenian tari tradisional ini lahir, tumbuh, dan berkembang di tengah masyarakat yang dikenal sebagai Suku Asli Anak Rawa tepatnya berada di Kampung Penyengat Kecamatan Sungai Apit, yang diiringi alat musik gendang, gong, dan biola. Fungsi tari ini adalah sebagai sarana upacara tolak bala dan sebagai sarana hiburan masyarakat suku Anak Rawa. Penari terdiri dari enak orang wanita yang saling bergantian bernyanyi. Tari Gendong yang penuh suka cita ini dapat dilihat dari cara berjoget dan bernyanyi semua penari maupun penonton yang larut dan ikut dalam suasana kegembiraan. Tarian ini dahulunya ditampilkan pada malam hari saat masyarakat sedang istirahat, sehingga tarian ini dijadikan sebagai hiburan bagi masyarakat yang mana saat siang hari lelah dengan pekerjaan dan pada malam harinya mereka menghibur diri dengan menyaksikan maupun ikut menari dengan para penari Gendong. Tari ini memiliki unsur magis, seperti menyediakan sesajen di dalam pertunjukannya, penari melantunkan sebuah lagu terlebih dahulu sebagai tanda akan dimulainya Tarian Gendong, kemudian barulah penonton boleh menari dengan penari. Penonton yang ingin menari dengan penari harus memiliki lagu dan membayar Rp 10.000. Kemudian, barulah diperbolehkan menari. Di sini dapat dilihat interaksi sesama masyarakat sangat baik dengan 152ditampilkannya Tari Gong ini dapat menjalin silaturahmi serta kekeluargaan yang sangat baik antar masyarakat.

Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Tari Gendong menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800646.

 

(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 151)  

Dari segi sejarah, komposisi bunyi dan instrumen yang digunakan pada calempong oguong, tidak ada unsur-unsur budaya Arab atau melodi dari daratan Asia. Berarti musik calempong oguong sudah ada sebelum masuknya Agama Islam pada abad 13 Masehi. Pada zaman primitif dengan kepercayaan animisme, di Wilayah kampar sekarang, masyarakatnya sudah membuat instrumen bunyi-bunyian yang terbuat dari kayu atau bambu, namanya gambang

Gambang dipakai pada kelompok musik gong tanah dengan pemainnya empat orang. Melodi gambang pada gong tanah yang juga masih ada hingga sekarang di Kampar kiri sama dengan melodi calempong logam. Setelah adanya industri logam di daratan Asia, alat musik dari logam ini dibawa pedagang ke daerah Kampar maka penggunaaan kayu sebagai alat musik pindah kepada logam. Calempong oguong yang alatnya terbuat dari logam awalnya dibawa perantau Kampar dari Singapura yang saat itu masih berada dibawah negara Malaysia. Dari Singapura, peralatan yang berupa oguong (gong) dibawa sampai di wilayah yang saat ini bernama Pekanbaru. Oguong itu terus dibunyikan dari Pekanbaru sampai ke Kampar. Dari bunyi oguong itu masyarakat jadi tahu, perantau Kampar dari Singapura telah pulang. 

Calempong oguong tradisi terdiri dari lima orang pemain, yakni penggolong dan peningkah memainkaninstrumen enam buah Celempong, gondang peningka dua orang memainkan instrumen ketepak dasar dan ketepak bungo, serta seorang pemukul gong. Berikut fungsi alat-alat tersebut :

 a)Calempong Alat musik perkusi terbuat dari logam. Enam buah calempong disusun dengan deretan nada tinggi ke tengah pada sebuah kotak berukir yang terbuat dari kayu. Kotak atau rumah calempong juga sebagai ruang resonansi.

 b)Ketepak Alat musik perkusi yang sumber bunyinya selaput/kulit kambing. Bentuknya bulat dan dikedua permukaann ya ditutup kulit yang dirajut dengan rotan. Cara menggunakannya adalah ditabuh dengan jari atau dengan rotan. Ketepak menjadi alat musik pelengkap pada grup calempong

c)Gung (gong) Alat musik perkusi yang terbuat dari logam. Bentuknya bulat berongga. Gung menjadi alat musik pelengkap dalam calempong dan dikir gubano. 

Dalam grup calempong tradisi selalu digunakan dua buah gung. Melodiyang dimainkan pada setiap judul lagu musik calempong baoguong atau calempong oguong hanya dua baris irama yang dimainkan berulang ulang. Dari cara memainkannya, calempong terbagi dua, yakni: Calempong rarak tono atau calempong jalan dengan tiga orang pemain. Masing-masingmemegangduacalempong yang memainkantigajenistingkah.

Calempong rarak ada pula yang diiringi ketepak panjang (gendang panjang) dan umumnya tak menggunakan gong. Calempong baouguong yang bermain sambil duduk. Perangkat instrumennya, yakni calempong sebanyak enam buah dengan dua orang pemain. Tugasnya sebagai penggolong dan peningkah terbuat dari logam kuningan.Gung dengan satu atau dua pemain terbuat dari logam Ketepak Suatu keistimewaan bagi instrumen gendang panjang pada
77calempong disebut ketepak adalah disebabkan gendang ini bila ditabuh bunyinya tak berdegung. Kulitnya terbuat dari kulit tak harus diregang.

Di beberapa daerah, gendang selaputnya diregang kencang sehingga bunyinya berdentang. Dalam menyusun instrumen, calempong bernada lebih tinggi diletakkan ke tengah baik dari kiri atau dari kanan. Salah satu nada calempong yang ditengah dianggap nada inti yang mempunyai kekuatan magis. Pada saat tertentu, calempong inti ini dilimaui (dibersihkan dengan air limau) dan dibacakan mantra-mantra. Ada kepercayaan bawah susunan calempong enam buah diibaratkan makhluk yang memiliki jiwa dan raga sebagai manusia. Calempong yang ditengah diibaratkan hati jantung.

 

Fungsi calempong oguong tercermin dalam ungkapan yang indah ini. Calempong nan menari. Gendang yang meningkah. Gong mengiyakan. Nan jauh kami jemput, yang dekat kami himbau. Babogai kato sumando, diiyakan ninik mamak.Banyak perbedaan, namun semuanya tetap akur dan harmoni dan itulah yang menjadi makna kesenian tradisional Kampar.

Calempong Oguang saat ini keberadaaanya berfungsi sebagai musik hiburan untuk mengisi acara perkawinan, pencak silat, batogak kepalo suku dan perayaan kampung lainnya dan saat ini musik calempong oguong berkolaborasi dengan instrumen musik lainnya seperti mengiringi tarian. 

Pada Tahun 2016 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Bedewo Bonai menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengn Nomor Registrasi 201600313.  

(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/calempong-ogoung-kesenian-khas-kampar)

 

 

Seperti apa alunan Calempong Oguang, temukan jawabannya dalam video berikut :

 

Jaap Kunst (1973) menyatakan bahwa gambus berasal dari perkataan arab yaitu Qupus. Istilah Qupus mengalami perobahan menjadi Gabbus di Zanzibar dan Filipina selatan. Dikepulauan istilah Qupus secara Linguistik berubah menjadi Gambus. Gambus dikepulauan Nusantara bisa dijumpai di semenanjung melayu, pesisir Sumatra dan Jawa. ( Dewan Budaya, 1980). Kedatangan alat musik gambus di Nusantara menurut Anis Mohd N Md dibawa oleh orang Arab seiring dengan pengislaman kawasan ini pada abad ke-15. Sementara itu pendapat lain dikemukakan oleh C. Sachs bahwa orang Persia dan Arab telah melakukan perdagangan di Kepulauan Nusantara pada abad ke-9 dan instrument musik ini dibawa ke dalam kapal-kapal mereka untuk hiburan pribadi pada saat perjalanan laut yang Panjang.

 

Menurut Banoe gambus alat musik tradisional arab yang banyak dikenal di Indonesia. Satuan musik yang berinti alam musik gambus khususnya memainkan lagu- lagu arab dan kasidah. 

Gambus adalah salah satu alat musik chordophone berdawai tujuh (bunyi yang dihasilkan oleh dawai) yang dibunyikan dengan cara dipetik (dalam istilah di Siak dipeteng). gambus ini terbuat dari bahan kayu nangka dan cempedak. Dalam khasanah musik melayu, pada umumnya orang mengenal 2 jenis gambus yakni jenis yang pertama gambus Ud yang terdapat dalam musik timur tengah, alat musik ini sudah dikenal sejak lama dan ditemukan pada lukisan dinding peninggalan peradaban mesir kuno dan mesopotamia, dan jenis kedua gambus selodang. Gambus selodang bentuknya mirip dengan Ud juga, dan muncul di alam melayu sebagai hasil dari interaksi dengan budaya timur tengah yang disertai masuknya islam ke nusantara.

 

Makna gambus selodang dalam Berein dan Roza (2003, hlm. 20), bahwa gambus menurut masyarakat Riau berasal dari percintaan masyarakat Melayu Riau. Disebutkan bahwa gambus dikiaskan seperti betis wanita. Dalam legenda tersebut bercerita bahwa di atas makam wanita kekasihnya yang meninggal itu ditanam sebatang pohon. Ketika pohon tersebut telah tumbuh besar, kemudian oleh sang pria kekasihnya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan instrumen gambus. Namun dalam sumber yang sama tersebut disebutkan pula bahwa gambus menurut sejarahnya berakar dari Al-Ud yakni sejenis sitar dari India. 

 

Pada zaman dahulunya di desa-desa belum ada hiburan saat itu para pemuda dan orang tua sering berkumpul bersama dengan memeting gambus di malam hari terasa nyaman didengar di tengah gelapnya sebuah desa. Seiring dengan adanya tarian zapin yang diiringi musik Gambus dan Marwas, saking minimnya hiburan di saat itu pada acara pesta malam harinya dipersembahkan tarian zapin yang  diiringi dengan musik Gambus dan marwas sebagai sarana penghibur saat itu, dan bahkan di setiap acara adat lainnya.

 

Seiring perjalanan waktu, gambus berkembang menjadi sarana hiburan. Tidak heran pada 1940-an sampai 1960-an sebelum muncul musik melayu atau lebih dikenal musik dangdut. Di Riau gambus selodang semula dimainkan untuk mengiringi tari zapin di Istana Siak dan di rumah-rumah orang terkemuka, kemudian berkembang sebagai alat musik hiburan dan acara- acara sosial, seperti acara perkawinan, syukuran, khitanan, dll.

 

Disebut gambus selodang karena bentuk punggungnya berfungsi sebagai resonator menyerupai selodang (seludang), pembungkus mayang kelapa atau pinang. Ukuran punggung (resonator) gambus selodang agak kecil, tidak sebesar dan sebuncit gambus Ud. Pemain gambus selodang biasanya memetik dawai dengan tangan kanan, sedangkan jari tangan kiri digunakan untuk menekan dawai sesuai nada yang diinginkan pada leher gambus. Selain memetik gambus pemain gambus selodang juga bernyanyi diiringi oleh beberapa orang penabuh gendang kecil yang disebut dengan marwas. Pemain Gambus Selodang Siak juga dilengkapi dengan beberapa marwas serta nafiri sehingga lengkap dan dapat menampilkan musik dan tari zapin siak yang selalu dihelat dalam acara-acara pesta pernikahan, khitanan dan acara seni lainnya. 

 

Gambus selodang adalah salah satu instrumen alat musik tradisional yang terdapat di kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak, gambus selodang merupakan adopsi gambus Al-Ud (berasal dari Timur Tengah), sedangkan istilah selodang diambil dari bahasa Melayu Riau yang dalam Bahasa Indonesia disebut seludang 

 

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2005, hlm 1023) disebutkan seludang memiliki dua makna. Makna pertama adalah kulit pembalut mayang pinang atau mayang kelapa. Makna kedua adalah sampan yang lancip ujungnya dan rata pada buritannya. Selain itu selodang juga diartikan sepotong kayu yang secara utuh tanpa sambungan dijadikan instrumen musik gambus. Pada ornamen kepala gambus selodang memiliki makna filosofi tentang daerah Siak seperti motif kepala naga melambangkan kejayaan kerajaan Siak Sri Indrapura.Ada beberapa perbedaan antara gambus selodang Siak, gambus Kalimantan dan gambus Karimun Kepulauan Riau. Gambus selodang Siak mempunyai 7 dawai, bagian kepala ada 3 bentuk, yaitu motif kepala naga, burung serindit, dan kuda laut. Memiliki filosofi bahwa Siak dahulu terdapat banyak burung serindit. Ornamen kepala buah belimbing wuluh dan buah nipah pada pemutar dawai. Kepala naga melambangkan kekuatan dan kekuasaan dan juga melambangkan kejayaan kerajaan Siak di masa lalu. Pada mahkota raja siak terdapat hiasan bermotif dua ekor ular naga. Gambus kalimantan hampir sama namun ukuran pada body gambus terdapat perbedaan dan gambus Kalimantan memiliki 6 dawai. Demikian juga di Kepulauan Riau di Kecamatan Durai Kabupaten Karimun, body lebih besar, kayu sebagai resonator dan mempunyai 3 dawai ganda dan 1 dawai tunggal.

 

Gambus selodang Siak yaitu gambus yang dibuat dari sepotong kayu yang utuh dari perwujudan gambus itu sendiri, maksudnya tidak melakukan sambungan dengan kayu lain, gambus itu utuh dari unsur ekor perut lengan dan kepala. Adapun cara membuat gambus secara tradisional terbuat dari kayu nangka. Berdasarkan struktur kayu nangka mempunyai serat yang halus, liat dan mepunyai struktur yang padat serta warna yang cantik. Setelah kayu diukur dengan panjang 110 cm maka ditentukan bagian-bagianya antara lain 10 cm untuk bagian ekor, 40 cm untuk bagian perut, 30 cm untuk bagian leher/lengan/tangan gambus, 30 cm untuk bagian kepala gambus. Adapun cara membuatnya alat-alat yang digunakan yaitu kapak, gergaji kayu, pahat, martil/palu, penggaris/rol. Bahan lainya yaitu kulit kambing dan senar gitar. Setelah unsur-unsur yang terdapat pada gambus diukur lalu langkah awal ialah pembodian, yaitu melakukan penarahan bagian ekor. Setelah ekor terbentuk dilanjutkan bagian perut membentuk separuh bulatan dengan model meniru model kaki betis anak gadis, kemudian bagian lengan/tangan lalu bagian kepala, pada bagian kepala ini di situlah letak motif yang ingin dipakai, untuk gambus selodang Siak meniru dari usur alam seperti flora dan fauna, ada meniru contoh dari ular naga/ular menganga, ada yang mencontoh dari kepala bururng, yang sering dibuat sebagai ciri khas gambus selodang Siak meniru bentuk ular naga. 

 

Setelah pembodian selesai dilanjutkan menebuk bagian perut gambus menggunakan alat kapak, pahat, dan martil. Tebukan itu akan menyisakan tebal dinding perut, sebaiknya tersisa 1 cm. Adapun fungsi perut gambus adalah untuk menyimpan udara yang mana udara yang tesimpan dalam perut tersebut terbungkus/dilem dengan kulit kambing. Dengan adanya getaran ketika dipeting, suara yang dihasilkan memberi suara yang khusus/spesial bunyi suara gambus, bagian kepala merupakan ciri khas dari gambus itu sendiri yang menandai gambus tersebut berdasarkan dari bentuk dapat ditentukan dari daerah mana gambus itu dibuat. Untuk gambus kabupaten Siak kepala gambus itu diberi nama dengan kepala naga/ular menganga, yang merupakan simbol kerajaan Siak adalah kepala ular naga. Di bagian kepala terdapat 7 lobang yang berfungsi sebagai alat pemutar senar yang disebut dengan telinga gambus, adapun 7 telinga gambus itu  2  telinga gambus untuk dipasang dengan tali senar nomor 1, 2 telinga gambus untuk  ukuran tali senar nomor 2, 2 telinga gambus menggunakan tali senar nomor 3 dan 1 telinga gambus untuk tali senar nomor 4. Tahapan proses pembuatan ekor perut lengan dan kepala memakan waktu 3 hari. Setelah semua terbentuk, tahapan yang berikut ialah memasang kulit kambing. Sebaiknya kulit kambing yang dipasang ialah kulit kambing betina, karna kulit kambing betina sedikit lebih tipis dari kulit kambing jantan, untuk suara yang lebih  bagus, alat yang digunakan untuk memasang kulit kambing ialah paku payung, lem kayu, dan tang, supaya kulit kambing lebih tegang.Memasang telinga gambus hendaklah dibentuk berupa ukiran buah belimbing/buah nipah yaitu tumbuhan yang banyak di sekitaran pantai daerah Kabupaten Siak. Tahapan terakhir adalah finishing yaitu melakukan penghalusan menggunakan kertas pasir dan memberikan warna menggunakan vernis yang dioles di seluruh badan gambus kecuali kulit kambing

 

Pada Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Gambus Selodang Siak menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001107.

 (sumber : https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1845)

Tradisi menidurkan anak sambil bersenandung
hampir tersebar di setiap daerah yang ada di Provinsi Riau dengan cara yang persis atau jauh berbeda. Tradisi menidurkan anak sambil mendendangkan atau menandungkan kata-kata hikmah menjadi tradisi yang tersebar di seluruh wilayah Riau dengan berbagai irama dan sebutan atau istilah, seperti Dodoi, Dudui, Dudu dan Nandung. Khusus tradisi Nandung yang terdapat di wilayah Indragiri Hulu khususnya Melayu Rengat apabila dilihat dari bentuk dan pola baris serta irama akhir di setiap kalimat termasuk pada bentuk pantun. Tetapi ketika nandung dilafaskan atau dinyanyikan, bentuknya mendekati pola irama syair, sebab bentuk dan pola syair dapat dilafazkan dengan irama nandung. Susunan kalimat nandung terdiri dari empat baris. Dua baris pertama berupa sampiran sedangkan dua baris terakhir berupa isi dengan rima akhir a,b;a,b. 
 
Keberadaan nandung di Indragiri Hulu berfungsi dalam hal menidurkan atau merayu anak agar tidur pada saat dibuaikan oleh ibunya. Dalam perkembangannya pantun-pantun yang terdapat dalam isi nandung kemudian dipilih dan dipadatkan dengan kalimat-kalimat yang mengandung pengajaran dan nasehat, diselingi dengan tahlil antara tiap bait dan dinyanyikan dengan irama yang menyerupai irama syair. Irama syair yang bernuansa Melayu tersebut kemudian bersebati pula dengan irama qiraat al-quran sehingga irama nandung mempunyai ciri khas dan baku.
 
Nandung Melayu Indragiri Hulu yang merupakan sastra lisan khas masyarakatnya dapat dilihat dari contoh berikut: La Illaha Illallah (3 kali) Dudulah si dudu Dudulah si dudu Tidolah mate nak saying Si buah hati. Nandung lah dinandung ke pantai nandi Orang begaja nak saying due beranak Bukan telangsung kite kemari Memohon perintah orang yang banyak Anaklah ndu raje Seleman Terbang ke tingkapmelambai angina Kalaulah rindu pandang ke halaman Di situ tempat kakak kau bermain Petiklah poa delima batu Anak sembilang di tapak tangan Abang kau jauh di negeri yang Satu Hilang di mate di hati jangan Burunglah gagak burung kedidi Hinggap di ranting si limau manis Mak mengembus si sawan pogi Mak menangkal si sawan tangis Nak gugu gugulah nangke Jangan ditimpa si ranting pauh Nak tido tidolah mate Jangan dikenang orang yang jauh Dondanglah si dondang bawe betandang Sayurlah bayam berkicap manis Rindu siang bawa bertandang Rindu malam bawa menangis Enciklah Alam mengail kekek Dapat seekor ikan gulame Berkirim salam kepada encek Bulanlah terbang suruh ke sane.
 
Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Nandung menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800643
 
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 143)   

Badondong atau pantun badondong lahir secara turun-temurun di daerah Kampar. Sastra lisan ini ada ketika tradisi bergotong-royong yang dikenal dengan sebutan batobo dilaksanakan. Masyarakat Kampar yang beraktifitas di ladang atau sawah memiliki ikatan rasa kebersamaan dalam bekerja atau bertani. Pada saat mereka berada di hutan, ladang atau sawah untuk mencari kayu, menyemai padi, menyadap karet dan sebagainya, mereka saling berpantun dengan cara mendendangkan yang oleh masyarakat setempat disebut badondong. Budaya badondong seiring waktu kemudian berkembang menurut pola pikir atas dasar kesepakatan yang terwariskan secara turn-temurun dari leluhur mereka. Maka nilai-nilai yang terkandung dalam badondong baik isi maupun maknanya terwujud sesuai tata nilai adat yang dipakai dalam mengatur kehidupan masyarakat.

Badondong dalam mengekspresikannya sering pula didendangkan dengan menyerakkan atau meninggikan suara secara bersahut-sahutan. Hal inilah yang menciptakan suasana riuh penuh kegembiraan yang kemudian berpengaruh pada semangat bekerja dan pelepas kepenatan. Jika dilakukan di dalam hutan maka badondong tersebut dapat menghilangkan rasa takut karena terasa ramai dan berkawan-kawan. Diantara nilai-nilai yang ada pada badondong ialah menyangkut pendidikan karakter, seperti pantun berikut:  

Matilah lintah dipaluik lumuik cu Di tongah-tongah cu kosiok  badoai oo hoi Apo perintah kan den tuwuik yo cu Asalkan jan kasiohkan bacoai oo hai Onde cu (Matilah lintah dipalut lumut ya bang Di tengah-tengah bang pasir berderai Apa perintah akan saya turuti ya bang Asalkan jangan kasihkan berceraioo hai Aduh bang.

Bentuk pantun pada badondong sama seperti pantun biasa yang terdiri dari empat baris, baris pertama dan kedua sebagai sampiran dan baris ketiga serta keempat sebagai isi. Polanya a,b;a,b. Perbedaan pantun badondong dengan pantun biasa ialah adanya sisipan kata atau bunyi seperti onde diok (aduh dik), onde cu (aduh bang), oo cu (oh bang), diok (adik) diantara pantun yang dituturkan 

Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Badondong menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800642.

 

(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 140)

Basiacuong berasal dari kata siacuongdan acuongyang artinya sanjung menyanjung. Basiacuong berisi ungkapan petatah-petitih dan pantun yang bermakna. Dalam adat-istiadat dan pergaulan Pemuka Adat, Datuk, Ninik Mamak di daerah Kampar, siacuong menjadi bahasa pengantar. Basiacuong merupakan gaya bertutur ketika berdialog, berunding dan bermusyawarah dalam adat Kampar dengan gaya bahasa prosa liris. Penuturannya disampaikan dengan bahasa yang halus. Basiacuong menjalankan fungsinya sebagai gaya berbicara yang tinggi pada berbagai kesempatan, antara lain pada saat penyampaian larangan dan teguran adat, nasehat, acara pernikahan, khitanan, dan lain sebagainya.

Dalam perkembangannya, basiacuong kemudian berfungsi menjadi pendorong bagi masyarakat untuk terampil berbicara, mempertinggi sopan dan santun, mempererat silaturahmi, bermusyawarah untuk mufakat, serta memperkokoh rasa kebersamaan untuk saling tolong-menolong. Basiacuong berlandaskan hukum dasar Andiko 44. Hukum dasar ini adalah Hontak Soko Pisako, yaitu hukum dasar yang dapat mengakomodasi dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum yang berlaku di tengah masyarakat.

Basiacuong menjadi sangat penting dalam sebuah lembaga adat karena lembaga adat merupakan tempat bermusyawarah mencari kata mufakat. Seorang ninik mamak dalam adat Kampar harus menguasai basiacuong, apalagi jika ia mempunyai kedudukan dalam lembaga adat Andiko dan lembaga adat negeri. Pada masa lampau keterampilan melakukan basiacuong adalah wajib bagi setiap laki-laki dari suku bangsa Melayu Kampar. Keunikan yang ada pada adat Melayu Kampar ini menjadi penopangdan citra yang melekat pada sosok pemangku adat dan masyarakat yang beradat. Sehingga budaya ini masih bertahan hingga masa kini sebagai gaya yang khas pada masyarakat Melayu Kampar-Riau.

Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Ghatib Beghanyut menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800638

(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 123)  

 

Syair adalah ungkapan yang berisikan kandungan sejarah, agama, sains, dan kesusastraan. Keseluruhan pikiran isi syair tersebut dinaungi oleh kehidupan dan keagamaan masyarakat yang hidup pada masa itu. Isi syair mencakup rentangan waktu yang luas tentang kehidupan spiritual nenek moyang serta memberikan gambaran tentang alam pikiran dan lingkungan hidupnya pada masa itu. Syair juga mengandung kata-kata nasehat, romantika, dan kegundahan yang dilantunkan oleh para dayang-dayang istana untuk menghibur Sultan.

Syair Siak Sri Indrapura tertulis dalam naskah kuno menggunakan aksara Arab .Syair ini juga menjadi salah satu acuan dalam menulis sejarah,asal-usul serta peristiwa yg terjadi pada kerajaan.selain itu juga berisi tentang hikmah berupa nilai-nilai luhur warisan nenek moyang khususnya di daerah kerajaan siak yang hingga kini masih relevan dan sering di lakukan oleh masyarakat yg berada di daerah kabupaten Siak Sri Indrapura.

Di Siak sendiri, tradisi bersyair sudah menjadi hal yang cukup merakyat. Orang tua banyak menggunakan syair sebagai cara menidurkan anak. Syair berisi nasihat, petuah, nilai-nilai agama banyak digunakan para orang tua. Namun, seiring perkembangan kehidupan modern yang kian pesat, tradisi ini mulai langka. Bersyair telah digantikan dengan tradisi modern lain sehingga kalangan muda mulai meninggalkan hingga tak mengenal lagi budaya syair. Melalui anugerah Warisan Budaya Tak Benda yang diberikan kepada Syair Siak Sri Indrapura, diharapkan upaya konservasi dan pelestarian tradisi ini bisa dilakukan.
 

Salah satu Contoh dari Syair Siak adaterdapat dalam buku Dar Al-Salam Al Qiyam ditulis oleh Ahmad Darmawi, dan berikut merupakan contoh Syair Siak tersebut:

001. Dengan Bismillah sebermula kata
Membasahi lidah semogalah pokta
Limpah Rahmat-Nya ke alam semesta
Taufiq dan Hidayah-Nya nan hamba pinta

002. Dengan Bismillah syair dimanqul
Hikayat dan kisah riwayat berqaul
Merangkai peristiwa sejarah dibuhul
Berdasar kenyataan fakta disimpul

003. Hikmah Bismillah sejarah dibayan
Berkat kalimah Malik al-Dayan
Rahman dan Rahim-Nya sepanjang zaman
Cantik Indah-Nya sungguhlah hasnan

004. Kepada Nabi Sayyid al-Salam
Beserta keluarga shahabat ikram
Thabi’ Thabi’in ‘Ulama muhtaram
Bersama Auliya mujahid Islam

005. Shalawat dan Salam terucap serta
Nabi dan keluarga sahabat merata
Do’a arwah disampaikan nyata
Kepada nan hilang mendahului kita

006. Berkat ucapan shalawat salam
Syair ditekat qiyas bersulam
Bertenun sejarah syair di qalam
Siak Indrapura Dar al-Salam al-Qiyam

007. Dihimpunlah huruf membentuk kata
Merangkai peristiwa beralaskan fakta
Mengulas sejarah berdasarkan data
Semoga jelas sebarang berita

008. Berawal Alif hinggalah ke Ya
Tersusun syair mutiara cahaya
Madah digubah maknanya kaya
Siak Indrapura negeri auliya

009. Rangkai peristiwa sedia digubah
Siak bermadah syair diwarkah
Siak Indrapura negeri kamilah
Semoga kaya sebarang khazanah

010. Siak Indrapura Dar al-Salam al-Qiyam
Demikianlah tajuk syair disulam
Bertenun sejarah songket muhtaram
Berdedai budaya badarul alam

011. Siak Sri Indrapura syair dikata
Bukannya dongeng tetapi cerita
Kisahnya shahih riwayatnya nyata
Beralaskan sejarah berdasarkan fakta

012. Syahdan dibuka lembaran riwayatnya
Tersebut prihal negeri Siak namanya
Sri Indra pura sebutan lengkapnya
Dar al-Salam al-Qiyam kamilatnya

013. Sejarah Siak riwayatnya nyata
Berbagai kitab menukil serta
Perihal negeri tahta permata
Melalui syair hamba berwarta

014. Sejarah Siak sejak dahulu kala
Dari kerajaan tumbuh bermula
Hingga kemerdekaan demikian pula
Kembali diungkap sedia kala

015. Ayuhai ikhwan hamba serukan
Kepada nin tuan hamba harapkan
Terkhilaf bicara mohon maafkan
Tersalah sejarah mohon betulkan

016. Yang segenggam patut digunungkan
Yang setitik baiknya dilautkan
Yang pendek elok dipanjangkan
Yang panjang potong singkatkan

017. Yang sebungkah bila digunungkan
Yang setetes jika dilautkan
Yang baik kan menjadi pedoman
Yang buruk kan menjadi sempadan

018. Sejarah tersurat dalam maknanya
Baik dan buruk jelas bedanya
Terpulang maklum pembaca sekaliannya
Mengambil tauladan serta i’tibarnya

019. Tersebutlah negeri di bawah angin
Sebelah Timur Tanjung Comorin
Hindia depan arahnya alamin
Tujuan migrasi Melayu bermustautin

020. Penduduk Nusantara generasi pertama
Proto Melayu bangsanya bernama
Bermigrasi ke Nusantara waktunya lama
Ras Wedda demikianlah nama

021. Gelombang pertama terjadi migrasi
Sekitar dua ribu lima ratus Sebelum Masehi
Hingga seribu lima ratus Sebelum Masehi
Ke wilayah Nusantara tujuan migrasi

022. Bilakah masa awal mulanya
Tiada pasti bilakah masanya
Di negeri mana daerah tujuaannya
Tiada tentu tempat pastinya

023. Menurut dugaan migrasi manusia
Penghuni pertama di Tenggara Asia
Berasal dari belakang benua Hindia
Di sekitar kaki pegunungan Himalaya

024. HR van Heekeren berpendapat syahda
Proto Melayu adalah ras wedda
Dengan Austroloide migrasi ada
Negrito dan Melanisia sama berada

025. Mereka datang diawalnya waktu
Setelah zaman es berakhir tentu
Di zaman mesoliticum mengikut waktu
Pendukung awal budaya zaman Batu

026. Penghuni pertama Nusantara kita
Sisa keturunan masih ditemui fakta
Akit dan Laut Sakai diperkata
Talang Mamak dan Bonai pun serta

027. Di Pantai Timur Pulau Sumatra
Lautan Cina di Selatan mara
Terhampar negeri indra pura
Negeri bahari sungai bermuara

028. Sebelum siak bernama siak
Sungai Jantan namanya suak
Belum dihuni sebarang puak
Berhutan belukar dipenuhi semak

029. Sebelum Siak namanya disebutkan
Siak masih bernama Sungai Jantan
Ketika wilayah belumlah bertuan
Datanglah manusia memulai kehidupan

030. Sewaktu nenek masih makan keluang
Sewaktu gagak masih putih tak berbelang
Tersebutlah suatu negeri luas terbentang
Alur sungainya dalam berarus tenang

031. Di sekitar wilayah daerah Siak
Orang Sakai ‘lah lama bertapak
Penduduk asli masih berjejak
Hingga sekarang masihlah tampak

032. Sakai hidup dalam darurat
Hidup selingkung di hutan lebat
Berladang berburu kerja dijabat
Menyara hidup kaum kerabat

033. Ketika migrasi kedua terjadi
Tigaratus tahun Sebelum Masehi
Mereka menjadi penduduk pribumi
Dengan kebudayaan yang agak tinggi

034. Deutro Melayu bangsa bernama
Melayu Muda disebutkan nama
Kebudayaan maju serta perima
Datang mendesak penduduk lama

035. Masa beredar waktupun berganti
Tepian sungai berpenghuni pasti
Di Sungai Jantan negeri bersebati
Berkembang pesat sudahlah pasti

036. Demikian kisah zaman dahulunya
Sungai Jantan panjang sejarahnya
Karena terbatas berita tentangnya
Cukup sekian hamba menceritakannya

 

Pada Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan  Syair Siak Sri Indrapura menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800634.

(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 111)   

Kesenian Sijobang Kampar merupakan suatu bentuk teater monolog tradisional yang dimainkan oleh seorang seniman dengan berdendang, pantun dan syair serta gerak tubuh yang sesuai dengan isi cerita. Kesenian Sijobang umumnya dipentaskan pada malam hari setelah acara kenduri khitanan, kenduri akikah dan terkadang setelah upacara perkawinan. Kesenian Sijobang pada prinsipnya boleh saja ditampilkan pada siang hari, namun seniman Sijobang lebih menyukai penampilan pada malam hari karena suhu udara yang dingin menyebabkan suara mereka tidak cepat hilang dan tidak cepat lelah. 

Sijobang lebih banyak ditampilkan pada acara khitan dan kenduri akikah karena memang ditujukan sebagai cerita untuk menghibur dan sekaligus sebagai media transmisi nilai-nilai budaya serta adat kepada anak-anak. Pertunjukan dimulai setelah sholat Isya sekitar pukul 20.00 wib dan istirahat pada pukul 24.00 wib setiap malamnya. Teater Buruong Gasiong biasanya ditampilkan selama tiga hingga tujuh malam tergantung permintaan tuan rumahyang memiliki hajatan. Menurut tradisinya, kisah yang dimainkan dalam Sijobang terikat pada cerita Buruong Gasiong (atau biasa juga disebut Gadi Buruong Gasiong) dan Uwang bagak Pinang Baibuik. Tidak seperti cerita rakyat pada umumnya yang dapat diceritakan sambil lalu, kedua cerita ini terikat pada metode penceritaan melalui pementasan Sijobang buruong gasiong. Keterikatan ini dikarenakan kepercayaan 83masyarakat terhadap aspek magis yang terdapat dalam cerita Buruong gasiong. Makin detil cerita disampaikanmaka semakin berhasil sang aktor menghibur para penonton. Alur naik turun emosi haruslah terasa oleh penonton.Dalam pertunjukannya pemain Sijobang memakai baju teluk belanga, celana panjang, ikat kepala atau kupiah. Si pemain juga membawa kain sarung yang sekaligus berfungsi sebagai selimut. Selain pakaian, pemainSijobangdiharapkan dapatmenyediakan properti yang terdapat dapat dalam cerita. Properti yang biasa dipakai berupa alat-alat dapur, dan tiruan senjata tajam.

Sejak zaman dahulu hingga saat ini, seniman Sijobang seluruhnya laki-laki. Dalam Sijobang, seniman laki-laki dituntut untuk mampu memerankan seluruh tokoh yang terdapat dalam cerita Buruong Gasiong dan Pinang Baibuik. Untuk membedakan antara tokoh perempuan dengan laki-laki, pemain Sijobang biasanya tidak memakai pakaian atau aksesoris yang identik dengan perempuan. Pembedaan hanya dilakukan dengan mengeluarkan nada suara yang lembut dan gerak tubuh yang gemulai. Ini dikarenakan seorang seniman yang sedang memainkan Sijobang tidak memiliki kesempatan untuk mengganti pakaian sesuai dengan tokoh yang sedang diperankan. Para penonton harus mampu menafsirkan sendiri tokoh yang sedang diperankan dan memahami kalimat yang diucapkan.

Pada Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah  menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dan Zapin Api menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201700474
 
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 82)