Pantun Batobo merupakan salah satu sastra lisan yang dikenal di wilayah budaya Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu. Pantun ini dilagukan oleh para petani ketika kegiatan Batobo dilakukan. Batobo adalah kegiatan gotong royong untuk mengerjakan ladang yang dilakukan bersama-sama. Anggota Batobo bergiliran mengerjakan sawah mereka yang tergabung dalam kelompok tersebut.Biasanya anggota Batobo terdiri dari 10 sampai 15 orang. Mereka bekerja mulai dari pagi hingga tengah hari. Kemudian dilanjutkan setelah waktu Zuhur sampai masuk waktu Ashar. Sebagai hiburan pengobat penat dan letih, maka para petani saling berpantun. Pantun inilah yang disebut dengan Pantun Batobo. Pantun Batobo merupakan salah satu bentuk karya sastra yang tergolong ke dalam sastra lisan. Dalam pantun ini terdapat metafor-metafor serta penggunaan tanda bahasa yang menarik.Keberadaan pantun Batobo terancam punah karena kegitan Batobo sudah berangsur ditinggalkan. Ditambah lagi perubahan dari berladang atau sawah berganti dengan perkebunan sawit. Sehingga kegiatan bergotong-royong dan berpantun akan semakin sulit ditemukan di masyarakat.
Pada
Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Indonesia dan Batobo menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda tersebut dengan Nomor Resgistrasi 201700480
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 97)
Tongkah artinya papan untuk tumpuan atau titian yang biasanya dipasang pada tempat becek dan basah (lumpur). Di Komunitas Duanu (Orang Laut) Indragiri Hilir, Provinsi Riau, tongkahmenjadi salah satu alat bantu yang cukup unik ketika mencari kerang darah (Anadara Granosa). Dalam dialek Duanu disebut tiangan. Pekerjaan tersebut kemudian dinamakan Menongkah atau Manongkah, yang dalam bahasa Duanu disebut Mut tiangan atau Mud Ski atau Ski Lumpur.
Teknik menongkah inilah yang kemudian menjadi tradisi orang Duanu dalam mencari kerang di pantai lumpur. Dengan menggunakn sebidang papan, salah satu kaki kemudian menjadi pengayuh. Dahulu, ketika kayu besar masih mudah didapat, tongkah adalah sebentuk papan yang tidak bersambung. Tetapi sekarang sudah banyak pula tongkah dari gabungan papan. Tongkah rata-rata memiliki panjang 2 meter sampai dengan 2,5 meter. Sementara lebarnya antara 50 cm sampai 80 cm, dan ketebalan 3 cm sampai 5 cm. Gerak tongkah dipengaruhi lentik papan. Sebab tak jarang pula tongkah menancap ke dalam lumpur. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat tongkah adalah Pulai dan Jelutung. Kedua ujung tongkah berbentuk lonjong atau lancip serta melentik ke atas.
Pada
Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Indonesia dan Manongkah menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda tersebut dengan Nomor Resgistrasi 201700478.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 93)
Nyanyi Panjang merupakan jenis sastra lisan bercorak naratif (cerita) yang dipertunjukan oleh tukang nyanyi panjang dengan cara dinyanyikan atau lagukan. Nyanyi Panjang mengandung arti Nyanyi yang bermakna pertunjukan dan Panjang yang bermakna waktu yang diperlukan untuk penyampaiannya. Oleh karena itu, Nyanyi Panjang adalah suatu cerita yang dinyanyikan atau dilagukan dengan penyampaian yang memakan waktu panjang atau lama, biasanya lebih dari satu malam untuk satu cerita. Cerita-cerita tersebut disampaikan oleh tukang cerita (kadangkala dipanggil dengan sebutan tukang Nyanyi Panjang) dengan menggunakan lagu dan irama tertentu yang sesuai dengan judul cerita tersebut.Nyanyi Panjang merupakan cerita tokoh yang mempunyai kekuatan supranatural yang didapatkan melalui berbagai cara. Nyanyi Panjang ini murni hasil kreatifitas masyarakat dan menjadi milik bersama, kemudian diwarisakan secara turun temurun dengan cara berguru pada tukang cerita. Tidak ada buku rujukan yang mereka jadikan pegangan. Karena itu, Nyanyi Panjang termasuk kategori kelisanan primer. Dalam pertunjukan Nyanyi Panjang, ada empat unsur yang saling berkaitan dan mempengaruhi yaitu: tukang cerita, cerita, suasana pertunjukan dan penonton.
Pada Tahun
2016 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak
Benda Indonesia dan Nyanyian Panjang menjadi salah satu dari Warisan Budaya
Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201600310.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 69)
Debus Indragiri Hulu adalah sebuah kesenian tradisional masyarakat Melayu Indragiri Hulu, yang telah ada semenjak kesultanan Indragiri yang dibawa oleh Syeh Ali Al Idrus (bangsa Arab Hadratul Maut). Tempo dulu kesenian Debus digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam di wilayah Indragiri, dan sekarang kesenian debus sebagai sarana hiburan pada perayaan pernikahan, Sunat Rasul, serta perayaan Islam lainnya. Alat yang dipakai dalam debus berupa sebilah besi yang tajam bermata tiga. Debus dilakukan secara bergiring-giring dengan kalimat berjanji diiringi musik Gebano serta dipimpin oleh seseorang Khalifa', lalu penari/pemain debus menusukkan debus bermata tajam ke lengan dan ke perut penari. Maka dengan izin Allah SWT penari Debus tidak terluka oleh tajamnya mata Debus. Pada akhir pertunjukan Debus ditutup oleh Khalifa' dengan do'a -do'a
Pada Tahun
2016 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak
Benda Indonesia dan Debus Indragiri Hulu menjadi salah satu dari Warisan Budaya
Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201600312.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 73)
Tari Tradisi Joget Sonde merupakan tarian yang berasal dari Desa Sonde yang ada di Kecamatan Rangsang, Pesisir Kabupaten Kepulauan Meranti yang dikoreografi (diciptakan) oleh Cik Minah yang merupakan masyarakat asli Suku Akit dari Desa Sonde.
Pada awalnya Joget Sonde ini diciptakan untuk mengungkapkan kebahagiaan si koreografer dan hanya sebagai sebuah tarian bergembira dan tarian hiburan. Karena tari ini terciptanya di Desa Sonde maka diberilah nama dengan sebutan Tari Joget Sonde. Sejarah Desa Sonde itu sendiri adalah pada zaman dahulu pohon sonde hanya terdapat di daerah kampung tersebut, di mana getah pohon sonde tersebut bisa dijual dengan harga yang tinggi. Karena banyak orang yang pergi mengambil kayu sonde dan daerah tersebut tidak memiliki nama maka masyarakat setempat memberi nama Sonde.
Tradisi Joget Sonde dalam kehidupan masyarakat Sonde, Kecamatan Rangsang Pesisir mempunyai peranan yang sangat penting sebagai sarana hiburan. Tari ini dapat membangun solidaritas yang tinggi dalam lingkungan masyarakat karena mengajarkankepada generasi mudanya bagaimana bekerja sama dan membina rasa kekeluargaan antar masyarakat. Tari Tradisi Joget Sonde dipertunjukkan pertama kali di pada tahun 1960-an dalam acara pesta perkawinan.
Pada Tahun
2016 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya Tak
Benda Indonesia dan Joget Sonde menjadi salah satu dari Warisan Budaya
Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201600314.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 78)
Silat
Perisai adalah sebuah seni pertunjukan dari seni pencak Silat.
Silat Perisai dimainkan oleh
sepasang atau beberapa pasang pemuda
dan pemudi
sebagai pertunjukan
seni tradisional guna menyambut kedatangan tamu pejabat daerah pada sebuah upacara pembukaan seni tradisi seperti, Pekan Budaya Daerah, Pekan Olahraga Tradisional, Upacara Balimau Kasai, pembukaan MTQ dll.
Kelompok Silat Perisai ini tampil dengan iringan musik
Calempong Oguong
yang dimainkan oleh lima orang. Busana pesilat berwarna hitam berikat kepala dengan properti sebilah pedang dan
sebuah perisai. Pedang dan perisai terbuat dari kayu.
Keberadaan Silat Perisai
dimulai pada masa Wilayah
Negeri Kampar
dulunya
sebelum
kemerdekaan
RI pernah mempunyai
sistem pemerintahan
Andiko dimana yang berkuasa adalah Pucuk Adat yang disebut Ninik Mamak. Ninik Mamak menaungi masyarakat yang disebut anak Kemenakan dan Urang
Sumondo.
Setiap
kelompok
masyarakat yang terdiri dari Anak Kemenakan dan
Urang Sumondo disebut pasukuan. Setiap pasukuan memiliki dubalang/pendekar Silat Perisai. Pada masa itu yang berlaku hukum adat. Bila terjadi silang sengketa antara pasukuan misalnya tentang wilayah hutan tanah, menurut hukum adat diputuskan untuk menentukan
siapa yang
berhak
mengadu dua orang dubalang/pendekar dari dua suku
yang bersengketa itu di gelanggang silat. Masing-masing
dubalang memakai busana teluk belanga lengan pendek, kain sesamping dan ikat kepala, bersenjata sebilah pedang si tangan kanan dan sebuah perisai di tangan kiri. Dengan
diberi aba-aba oleh dubalang
pucuk adat pertarungan
dimulai. Bila salah
seorang dubalang itu sudah terdesak
dan tak mampu
lagi bertahan sehingga mungkin akan terluka/terbunuh,
isteri dubalang dimaksud akan masuk
ke gelanggang
(sebagai wasit) segera menghentikan pertarungan itu
dengan sebuah isyarat yang menyatakan pada hadirin bahwa pendekar (suaminya) telah mengaku kalah.
Dengan itu Pucuk
Lembaga Adat akan mengumumkan pasukan yang menang.
Pada
Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Indonesia dan Silat Perisai menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201700475.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 84)
Syair Ibarat Khabar Kiamat merupakan salah satu sastra lisan yang
karang dan diciptakan oleh seorang Mufti Kerajaan Indragiri bernama
Syekh Abdurrahman Shiddiq.
Sejarah Singkat Tentang Tuan Guru Sapat
Syech Abdurrahman Siddiq. Tuan Guru Syech Abdurrahman Siddik atau yang
akrab disapa Tuan Guru Sapat merupakan seorang guru agama islam (Mufti
Kerajaan Indragiri) yang cukup tersohor dan banyak memiliki murid yang
berasal dari negeri Malaysia, Singapura, Kalimantan, Jambi dan
Palembang. Beliau lahir di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan
Selatan pada tahun 1867 M (1284 H). Ayahnya bernama Muhammad Afif bin
Khadi H. Mahmud dan Ibunya bernama Shafura dan beliau merupakan
keturunan ulama besar dari Kalimantan bernama Syekh Arsyad Al-Banjari.
Sebelum menetap di Sapat Indragiri Hilir, Tuan Guru sempat merantau ke
Padang (Sumatera Barat) untuk menemui paman beliau bernama As’ad. Di
Tanah Minang tersebut, beliau menjalankan usaha sebagai penyepuh emas
sembari berdakwah ke pelosok-pelosok Sumatera Barat berbekal ilmu agama
yang telah di dapatkannya di pesantren sewaktu kecil.
Sekitar tahun 1886, Tuan Guru memutuskan berangkat ke Mekkah
untuk lebih mendalami ilmunya. Setelah tujuh tahun menetap di Negeri
Padang Pasir akhirnya Tuan Guru meminta izin untuk pulang ke Tanah Air
dengan alasan ingin mengabdikan illmunya di kampung halaman dan
mendapatkan persetujuan dari birokrasi pendidikan Mekkah. Setelah sampai
di Kalimantan, beliau memutuskan untuk migrasi ke Sumatera tepatnya ke
Bangka Belitung di mana Muhammad Affif (Ayah beliau) merantau panjang di
negeri itu. Sekitar Tahun 1980 Tuan Guru tiba di Sapat, Indragiri
Hilir. Migrasinya beliau dari Bangka Belitung ke Indagiri berdasarkan
informasi dari seorang saudagar asal Indragiri Hilir bernama Haji Arsyad
bahwa Indragiri Hilir (Sapat) memiliki potensi dan membutuhkan seorang
ulama seperti Tuan Guru.
Seiring berjalannya waktu, Sultan Indragiri (sewaktu itu Sapat
adalah bagian dari wilayahnya) mendapat informasi dari Panco Atan (Warga
Indragiri yang pernah belajar di Mekkah) bahwa di Sapat terdapat
seorang ulama besar. Atas informasi tersebutlah, Sultan mengundang Tuan
Guru untuk bertemu. Dalam perbincangan keduanya munculah permintaan
Sultan Indragiri agar Tuan Guru bersedia menjadi Mufti yakni seorang
ahli agama yang ditugaskan oleh Sultan untuk memenuhi kebutuhan umat
Islam khusunya dalam hal perkawinan, mawaris, pengadilan dan perceraian.
Namun awalnya, permintaan Sultan tersebut ditolak secara halus oleh
Tuan Guru karena alasan masih memiliki tanggung jawab sebagai pengajar
dilembaganya yang sebenarnya juga Tuan Guru tidak menyukai akan sebuah
jabatan. Akhirnya dengan bujukan Sultan dan demi kepentingan agama
diwilayahnya, Tuan Guru bersedia menjadi Mufti dengan syarat
diantaranya, beliau tetap tinggal di Sapat dan tidak mau menerima gaji
dari kerajaan.
Permintaan dari Tuan Guru tersebut disetujui oleh pihak Istana
dan pada tahun 1327 H / 1910 M, Tuan Guru diangkat menjadi Mufti
Kerajaan Indragiri hingga tahun 1354 H / 1935 H. Tidak semata-mata hanya
menjadi seorang Mufti, Tuan Guru Juga sering pulang pergi menggunakan
perahu kecil dari Sapat ke Istana Rengat, Indragiri untuk memberikan
pengajian atas permintaan Sultan. Bahkan sebagian pejabat istana pada
hari-hari tertentu juga pergi ke Sapat untuk mengikuti Majelis Ta’lim
Tuan Guru.
Tuan Guru Syeck Abdurrahman Siddiq wafat pada hari Senin,
tanggal 4 Sya’ban 1358 H, atau bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1939 M
karena sakit. Beliau berpulang kerahmatullah dalam usia kurang lebih 82
tahun. Jenazah dimakamkan di Kampung Hidayat, Sapat Indragiri Hilir.
Acara haul Tuan Guru Sapat Syech Abdurrahman Siddiq diadakan sebagai
bentuk penghormatan atas peran beliau di dalam mengembangkan keilmuan
pendidikan dan pengetahuan keagamaan islam. Dilaksanakan tiap-tiap tahun
bertepatan hari wafatnya Tuan Guru Sapat. Acara tersebut dihadiri oleh
ribuan jamaah dari berbagai pelosok Nusantara bahkan dari negeri
tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Kitab-kitab Karangan Tuan Guru Sapat Syech Abdurrahman Siddiq Selain
aktif mengajar tentang agama islam, Tuan Guru juga merupakan seorang
ulama yang prolific di dalam keilmuan Fiqih, Aqidah, Tasawuf, Tata
Bahasa Arab, Hukum Waris, Sejarah dan lainnya. Di antara kitab yang
telah ditulisnya adalah: - Jadwal Sifat Dua Puluh - Sittin Masalah dan Jurumiyah - Asrarul Shalah min’iddatiil kutubi al mu’tamadah - Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam - Fathul ‘alim fi tartib al ta’lim - Sya’ir Ibarat dan Kabar Kiamat - Risalah fi Aqa’id al-Iman - Risalah Takmilat Qawi al-Mukhtasar - Kitab al-Faraid - Bay al-Haywan lil-Kaafiriin - Tadzkirah li Nafsi wa-li Amtsa li min al-Ikhwan - Maw’izhah li Nafsi wa-li Amtsa li min al-Ikhwaan - Risaalat Amal Ma’rifat - Mu’jamul aayaat wal ahaadits fi fadhaaidil al’lm wa al’ulamaa wa al mutaalimiin wa al-mutasaami’iin - Risalaah al-Arsyadiyah wa ma ulihqa biha - Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Banjar - Dam Ma’a Madkhal fi ‘ilm al-s arf - Beberapa Khutbah Mutlaqiyah
Salah satu petikan Mutiara Syair Khabar Kiamat oleh Syeck Abdurragman Shiddiq : Bismillahirohmanirrohim Terbit dari pada, hati yang salim (bersih) Mendapat surge Jannatun Na’im Dengan Kurnia, Robbir Rohim
Alhamdulillahirobbilalamin Mengikuti sabda, Saiyidil Mursalin Dapat syafaat, sekalian mu’minin Masuk surga, Salamin Aminin
Diiringi dengan, sholat salam Kehadirat Nabi, Saiyidil Anam Dengan Nas (dalil), Qur’anul A’zom Wajib mengikuti, dengan Ihtirom
Kemudian dengarkan, suatu cerita Terbit dari pada, hati yang duka Bukannya hamba, mengada-ada Supaya dikenal, saudara kita
Suatu cerita, hamba khabarkan Kepada sekalian, ahli dan ikhwan Tandanya dunia, akhir zaman Orang yang salah, dapat kebenaran
Pada
Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Indonesia dan Syair Ibarat Khabar Kiamat menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001123.
Ghatib Beghanyut berasal dari kata ghatib yang berarti dzikir, dan beghanyut yang berarti hanyut dengan menggunakan perahu. Ghatib beghanyut adalah suatu kegiatan dzikir di atas perahu dan berhanyut seiring arus sungai. Ghatib beghanyut ini dilakukan sejumlah jamaah masjid, mushalla serta warga muslim di daerah Siak, Mempura (di Kabupaten Siak Sri Indrapura), dan di kecamatan Bukitbatu (di Kabupaten Bengkalis). Tradisi ghatib beghanyut merupakan bentuk ritual tolak bala dengan mendengungkan do'a dan dzikir di atas permukaan air sungai.
Ritual ini bertujuan agar seseorang maupun masyarakat yang ada di daerah tertentu terhindar dari sial, penyakit, kejadian-kejadian buruk. Konsep tolak bala dalam kepercayaan lama bertujuan menghindar sial atau kecelakaan lebih diinstitusikan meneruskan beberapa ritual. Apabila terjadi suatu malapetaka, ia lebih merupakan upacara yang dilakukan berjadwal. Dalam suatu ungkapan Melayu dikatakan: tolak bala menolak segala petaka menolak segala celaka menolak segala yang berbisa supaya menjauh dendam kesumat supaya menjauh segala yang jahat supaya menjauh kutuk dan laknat supaya setan tidak mendekat supaya iblis tidak melekat supaya terkabul pinta dan niat supaya selamat dunia akhirat.
Dulu pada zaman kesultanan Siak, ada suatu perkampungan terkena wabah penyakit menular (sampar). Maka untuk mengatasi masalah ini, seluruh ulama dikumpulkan untuk melaksanakan ritual ghatib (zikir). Dimulai malam hari setelah Shalat Isya dengan berjalan berkeliling kampung diikuti semua lapisan masyarakat membawa obor sebagai penerangan. Setelah menyelesaikan perjalanan berkeliiling kampung, dilanjutkan berzikir di atas Sungai Jantan ketika air surut agar masyarakat dapat pulang dengan selamat serta untuk mengusir bala keluar menuju kearah laut, sehingga terusirlah semua wabah bencana dari kampung itu. Tradisi ini sempat hilang dimakan zaman, setelah beberapa tahun pemerintah berusaha mengangkat kembali tradisi warisan leluhur ini di tahun 2012 yang hingga kini menjadi agenda rutin tahunan dengan tujuan pengenalan dan pelestarian budaya sekaligus penggalakan destinasi wisata religius di Kabupaken Siak.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Ghatib Beghanyut dilakukan malam hari setelah shalat isya pada setiap bulan safar. Bertempat di Sungai Jantan (Siak) dengan kedalaman yang dulunya mencapai 30 meter (namun kini tinggal sekitar 18 meter karena pendangkalan sungai). Kegiatan ini dimulai dari Pelabuhan Lasdap hingga ke Feri Penyebrangan Belantik, Desa Langkai, Siak. Menggunakan feri, serta 30 perahu mesin, dengan kapasitas untuk 1 perahu mesin di isi 10 orang. Tahap persiapan, petang sebelum ghatib beghanyut dilaksanakan, seluruh peserta dan masyarakat dengan mengenakan pakaian serba putih melaksanakan ziarah ke makam sultan yang terletak di Kecamatan Siak, tepatnya di samping Masjid Syahbuddin. Mereka juga berdoa dan berzikir bersama di sana dipimpin oleh ulama ataupun penghulu. Pada adat istiadat di Siak Sri Indrapura, kepala suku yang bergelar penghulu masih dihormati sebagai tata cara untuk menjaga adat setempat. Biasanya, seorang penghulu dibantu sangko penghulu, malim penghulu dan lelo penghulu. Ada juga batin, dengan kedudukan yang sama dengan penghulu tapi memiliki hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki penghulu. Batin dibantu 116tongkat, monti dan antan-antan. Pada perhelatan Ghatib Beghanyut, perangkat adat hingga orang kaya dilibatkan untuk mengikuti proses menolak bala. Warga menggunakan pakaian khas membuktikan rasa antusias untuk ikut menjaga kelestarian budaya Melayu di Siak. Ziarah makam ini merupakan rangkaian dari kegiatan ghatib beghanyut. Sementara itu puluhan sampan dan kapal sudah berjejer rapi di tepian sungai Siak.
Dalam perencanaan dan persiapannya, kegiatan ini sengaja dilaksanakan ketika air sungai sedang surut, tujuannya agar semua masyarakat dapat pulang dengan selamat. Tahap pelaksanaan, setiap orang yang mengikuti ritual Ghatib Beghanyutyang dikhususkan untuk kaum laki-laki ini mengambil posisinya masing-masing dengan dipimpin oleh seorang ulama dengan lantunan-lantunan dzikir; Allahuakbar. Allahuakbar. Allahuakbar. Seorang ulama bertakbir diikuti oleh seluruh masyarakat. Baik yang naik sampan atau hanya menyaksikan dari tepian. Senja semakin kelam, tapi tepian semakin menawan. Apalagi ketika bergema di atas Sungai Jantan. Sambil berzikir di atas sampan yang terus berjalan mengelilingi sungai, seluruh warga berzikir. Dalam hati berharap agar segala persoalan terbuang ke arah laut. Sudah pasti, selain berharap pahala dari Allah SWT, juga berharap perlindungan dari segala bencana.
Prosesi Ghatib Beghanyut dulunya disertai dengan tabur bunga dan persembahan sesajen ke sungai, namun dengan seiring masuknya ajaran islam ke daerah siak, hal itu kini ditinggalkan karena dinilai mengacu pada sesuatu yang syirik. Dalam ungkapan melayu dikatakan: Sampai ke arus yang berdengung Kalau tali boleh diseret Kalau rupa boleh dilihat Kalau rasa boleh dimakan Itulah adat sebenar adat Adat turun dari syarak Dilihat dengan hukum syariat Itulah pusaka turun-temurun Warisan yang tak putus oleh cencang Yang menjadi galang lembaga Yang menjadi ico dengan pakaian Yang digenggam di peselimut Adat yang keras tidak tertarik Adat lunak tidak tersudu. Penutupan Setelah selesai berkeliling kampung melalui Sungai Jantan, kegiatan itu pun diakhiri dengan makan bersama lalu ditutup dengan doa. Lagi-lagi khalifah dan kadam yang memimpin masyarakat. Ada pembukaan, ada penutupan. Ada permulaan pasti ada yang diakhiri. Keberadaan Ghatib Beghanyut memang baru digalakkan kembali secara meriah pada tiga tahun terakhir ini sebagai upaya agar tradisi masyarakat asli itu tak hilang dimakan zaman. Meskipun Ghatib Beghanyut kini dilakukanlebih sebagai ajang wisata atau sebuah rutinitas biasa, masih banyak warga percaya pelaksanaannya tetap bisa melindungi negeri dari berbagai bencana dan penyakit.
Pada
Tahun 2018 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 225 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak
Benda Indonesia dan Ghatib Beghanyut menjadi salah
satu dari Warisan Budaya Tak Benda dengan Nomor Registrasi 201800636.
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 114)
Upah-upah adalah upacara adat di Rokan (Rokn Hulu dan Rokan Hilir) , tujuannya adalah untuk memulihkan kondisi dan menguatkan semangat pada
orang-orang yang baru sembuh dari sakit keras, selamat dari sebuah
musibah, menempuh hidup baru (menikah, khitan),
atau meraih cita-citanya (wisuda, khatam Qur'an, mendapat pekerjaan
baru), Situasi peralihan, atau bimbang, linglung, dianggap rawan,
sehinggga membutuhkan semangat dan dukungan para kerabat, sahabat, dan
handai taulan. Orang yang terhormat dan disegani akan dipilih sebagai
pengupah-upah dalam upacara ini, diantaranya adalah:
Pucuk suku atau ketua suku.
Alim Ulama'.
Guru (Guru madrasah dan guru mengaji).
Cendikiawan.
Kerabat yang lebih tua dari orang yang diupah-upah, seperti nenek.
datuk (Kakek), Mamak (paman), dan mak cik (tante) dari pihak ayah maupun
ibu.
Diserangkaian upacara ini, pengupah-upah tidaklah lebih dari sepuluh
orang. Jika pengupah-upah sudah siap, maka ditentukanlah waktu upacara
upah-upah tersebut. ditentukan pada hari Jum'at, sebelum waktu shalat,
karena pada hari ini para lelaki tidak berkerja di ladang maupuan di
kebun karet. Sedangkan upah-upah dalam rangkaian upacara pernikahan
dilaksanakan setelah ijab kabul. Pelaksanaannya dilakukan dirumah orang
yang diupah-upah dan diruangan yang cukup luas untuk mengadakan upacara.
Orang yang akan diupah-upah akan duduk di salah satu sudut ruangan,
para undangan duduk di setiap sisi ruang menghadap orang yang
diupah-upah, disiapkan pula nasi balai dan nasi upah-upah. Prosesi akan
dimulai setelah semua tamu dan pengupah-upah berkumpul ditempat
tersebut.
Tata cara pelaksanaan upacara upah-upah
Tempat pelaksanaannya adalah rumah orang yang akan diupah-upah.
Dipilih ruangan yang cukup lapang. Orang yang akan diupah-upah
ditempatkan di dalam satu sudut ruangan, para tetamu undangan duduk
bersila di setiap sisi ruang. Di hadapan orang yang diupah-upah
diletakkan nasi balai dan nasi upah-upah. Setelah semua berkumpul,
prosesi upah-upah dapat dimulai.
Mula-mula, kemenyan dibakar oleh para perempuan yang duduk di dapur.
Kemenyan diletakkan di atas wadah berupa dasa (tempurung kelapa yang
sudah dikikis hingga licin dan menghitam), atau di atas piring seng
sebagai tempat bara kayu sebagai pembakar kemenyan. Kemenyan yang telah
menebar aromanya ini kemudian secara beranting diserahkan kepada tuan
rumah, pertanda upah-upah siap dilaksanakan.
Kemenyan kemudian diserahkan kepada pengatur upacara yang
menyerahkannya kepada pengupah-upah. Kemudian diserahkannya kemenyan
bpada orang yang duduk di sebelah kanannya, dan beranting kepada orang
di sebelah kanannya hingga berkeliling ke seluruh ruangan, sebanyak
tujuh kali putaran dan berakhir di hadapan pengupah-upah. Prosesi ini
merupakan pembersihan tempat upaara dari hasrat-hasrat jahat yang
mengganggu manusia dan jalannya upacara.
Selanjutnya, pengupah-upah bangkit menuju tempat orang yang akan
diupah-upah untuk menabur beras kuning ke arahnya. Sebelum melakukannya,
pengupah-upah memanjatkan doa dalam hati untuk minta perlindungan
kepada yang maha kuasa, agar diberi kekuatan untuk mengupah-upah.
Tahap selanjutnya adalah mengupah-upah. Pengupah-upah mengambil nasi
upah-upah dan mengangkatnya sejengkal di atas kepala orang yang
diupah-upah, kemudian menggoyang-goyangkannya dengan gerakan berputar ke
arah kanan, sebanyak tujuh kali. Penghitungannya diucapkan secara
jelas: “oso” (esa/ satu), “duo” (dua), “tigo” (tiga), “ompek” (empat),
“limo” (lima), “onom” (enam), “tujuh”, dengan intonasi datar dan tetap.
Setelah itu, pengupah-upah memberikan nasihat yang isinya anjuran
untuk menuju kebaikan, yang berdasarkan kondisi dan alasan upah-upah
diadakan. Upah-upah diakhiri dengan kembali menguapkan hitungan satu
sampai tujuh, kemudian diikuti dengan kalimat, “salangkan kerbau tujuh
sekandang, masih dapat dikendalikan, apalagi semangat kalian”. Lalu
pengupah-upah meletakkan nasi upah-upah ke tempat semula dan kembali ke
tempat duduknya dan menyerahkan kembali kemenyan kepada pengatur acara.
Usai upah-upah, tuan rumah menjamu tetamu dengan hidangan sesuai
kemampuan. Setelah menikmati hidangan, upacara ditutup dengan doa.
Pada
Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Indonesia dan Tari Poang menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001117. (sumer : Wikipedia & https://kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Seperti Apa Tradisi Upah Upah tersebut ? Jawabannya ada pada video berikut :
Perahu Baganduang ditampilkan di hari raya kedua bulan Syawal. Perahu itu digandeng sepanjang 20 meter yang dihiasi dengan atribut-atribut yang mewakili desa-desa adat gunanya untuk menjemput limau. Perahu Beganduang artinya bergandeng, perahu atau jalur yang bergandeng dua atau tiga perahu kemudian dihiasi dengan umbul-umbul adat yang ditambah atribut-atribut adat daerah Lubuk Jambi dan sekitarnya yang melambangkan kebesaran suku atau adat itu. Adat istiadat yang masih terjaga/terpelihara hingga kini dengan baik. Pembuatan Perahu Beganduang prosesnya sama dengan pembuatan perahu jalur yaitu dengan memakai upacara Melayu .
Perahu baganduang menjadi bagian dari tradisi yang ada di Lubuk
Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuansing, Riau. Perahu
Baganduang adalah kendaraan adat yang digunakan untuk tradisi Majompuik
Limau. Tradisi ini telah dilakukan masyarakat selama kurang lebih satu
abad.
Perahu baganduang pertama kali digelar sebagai festival pada tahun
1996. Festival perahu baganduang dilaksanakan sekali dalam setahun,
terutama pada saat hari raya Idul Fitri. Perahu-perahu ini kemudian
dihias agar menarik. Hiasan-hiasan yang digunakan, antara lain, bendera,
daun kelapa, payung, kain panjang, buah labu, foto presiden dan wakil
presiden, dan benda-benda lainnya yang memiliki simbol adat. Misalnya,
padi yang melambangkan kesuburan pertanian dan tanduk kerbau yang
melambangkan peternakan.
Dalam festival tersebut, masyarakat disuguhkan berbagai hiburan, di
antaranya Rarak Calempong, Panjek Pinang, dan kegiatan Potang Tolugh.
Proses pembuatan perahu baganduang sama dengan pembuatan perahu jalur,
yaitu dengan memakai upacara Melayu
Pada
Tahun 2017 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 150 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Indonesia dan Perahu Baganduang menjadi salah satu dari Warisan Budaya Tak Benda tersebut dengan Nomor Resgistrasi 201700479
(Sumber : Buku Warisan Budaya Tak Benda Hasil Penetapan Kemendikbud 2013 - 2018 Provinsi Kepulauan Riau dan Riau/ Halaman 94)
Suku
Sakai merupakan salah satu masyarakat adat yang ada di Provinsi Riau,
kini wilayah penyebaran mereka terletak di Kabupaten Bengkalis dan
Kabupaten Siak. Salah satu kesenian yang hidup dan berkembang pada
masyarakat suku Sakai ini adalah Tari Poang yang diyakini sudah ada
sejak zaman nenek moyang mereka dahulu.
Masyarakat
adat atau suku asli asli di Riau yang salah satunya ialah Sakai
memiliki tradisi yang berupa pertunjukan yaitu tari Poang. Tradisi Poang
ini sudah begitu lekat pada suku sakai yang berada dan bermukim di
beberapa tempat yang ada. Tradisi ini sangat unik, meskipun merupakan
praktek berperang, namun hanya disimbolkan saja. Dan hal ini telah ada
sejak sakai menyadari bahwa hidup dan cara mereka bertahan harus
memiliki kemampuan untuk berperang, baik lahiriah maupun batiniah.
Keberadaan Tari tradisi Poang yang menjadi bagian dari masyarakat suku
Sakai di desa Kesumbo Ampai Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis sudah
ada sejak zaman nenek moyang mereka. Tari Poang ini dipertunjukkan pada
saat acara penyambutan kepala suku adat ketika datang meninjau desa
Kesumbo Ampai. Pelaku dari Tari Poang seperti yang terdapat di Desa
Kesumbo Ampai, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis Riau misalnya
dimainkan oleh pelaku-pelaku yang memiliki usia dia atas lima puluhan
tahun. Salah seorang pelaku tersebut adalah Ridwan yang diakuinya
didasarkan secara turun temurun.
Kemudian pada masyarakat suku
Sakai yang juga terdapat di desa mandiangin Kabupaten Siak, Tari Poang
berfungsi untuk bela diri dan dilakukan untuk menghadapi/melawan musuh
berupa manusia, hewan, dan makhluk gaib yang tidak tampak.
Pelaksanaannya dapat seiring dengan dikei atau badewo saat mengobati
orang sakit.
Tarian
ini adalah simbolik dari orang Sakai menyelamatkan diri dari
marabahaya: antara manusia dengan manusia, manusia dengan hewan. Tari
poang bisa menggunakan senjata maupun tanpa senjata, adapun senjata
(properti) yang digunakan adalah:
Poang
ini ditarikan oleh 6 orang laki-laki atau lebih di tanah lapang atau
halaman. Adapun pakaian, gerak, musik, dan panggungnya adalah sebagai
berikut:
a.Rias busana
Tari
Poang merupakan salah satu seni tradisional masyarakat adat suku Sakai
yang tidak memiliki kebakuan dalam rias. Sementara busana dari
penampilan Tari Poang ini menggunakan baju Teluk Belange warna hitam,
putih dan merah serta menggunakan ikat kepala yang terbuat dari kain
sesuai dengan warna kostum yang digunakan.
b.Tata gerak
Tata
gerak dalam Tari Poang terdiri dari enam ragam, yakni ragam
hentak-hentak kaki, berputar di tempat, berputar pindah posisi, memberi
salam, menjaga kekompakkan, dan menyerang. Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
a.Ragam hentak-hentak kaki
Pada
raga mini penari melakukan gerak hentak-hentak kaki maju ke depan
berbaris dua berbanjar sambil kedua tangan mereka diturunnaikkan ke atas
dan ke bawah serta memegang keris pada tangan sebelah kanan. Pada gerak
ini penari sudah berada di panggung.
b.Berputar di tempat
Pada
ragam ini penari melakukan gerak berputar di tempat, dimana penari yang
berada di sebelah kanan berputar ke arah kanan belakang.
c.Berputar pindah
Pada
raga mini penari melakukan gerak berputar pindah posisi dimana penari
yang berada di sebelah kiri pindah ke kanan dan yang kanan pindah ke
kiri.
d.Memberi salam
Pada raga mini penari melakukan gerak memberi salam sambil bertepuk tangan dan memegang keris yang mereka bawa.
e.Menjaga kekompakkan
Pada
ragam ini penari melakukan gerakkan menjaga kekompakkan antara penari
satu dengan penari yang lainnya dalam mempersiapkan menyerang. Dalam
gerakkan ini penari juga menggerakkan keris yang mereka bawa ke samping
kiri dan ke kanan.
f.Menyerang
Pada ragam ini penari melakukan gerak menyerang dengan melakukan gerakkan hentak-hentak kaki ke depan yang lebih cepat.
c.Iringan musik
Iringan
musik Tari Poang menggunakan alat musik Gondang Bebano, yakni alat
musik perkusi yang terbuat dari kayu dan kulit sapi. Alat musik Gondang
Bebano dimainkan dengan cara dipukul menggunakan kedua tangan. Alat
musik lainnya yang digunakan adalah Celempong Kayu Tembaga. ALat musik
ini memiliki suara nada yang berbeda yang tersusun menjadi enam bagian.
Jika Gendang Bebano sebagai pengiring tempo, Celempong Kayu Tembaga
digunakan untuk ragam tingkah nada.
d.Panggung
Panggung
yang digunakan dalam pertunjukan Tari Poang bukanlah kebakuan panggung
pertunjukan. Dikarenakan keberadaan Tari Poang untuk menyambut
kedatangan tamu, tari ini dilakukan di laman terbuka dengan penonton
dapat melihat dari sudut pandang mana saja.
Pada
Tahun 2020 Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan telah menetapkan 153 karya budaya sebagai Warisan Budaya
Tak Benda Indonesia dan Tari Poang menjadi salah satu dari Warisan BudayaTak Benda dengan Nomor Registrasi 202001115.
Seperti Apa Tari Poang dari Suku Sakai ini ? Jawabannya ada pada video berikut
Sumber : (https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2025)