Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Rumah Tuan Kadi Zakaria yang berada di jalan Senapelan Gang Pinggir merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Siak masa lalu. Rumah peninggalan Tuan Kadi Zakaria memang sudah dipugar tapi tak mengubah bentuk asli bangunan, rumah ini terlihat megah dengan arsitektur Eropa masa lalu, konon rumah ini diarsiteki oleh arsitek yang membangun Istana Siak. Rumah ini dulunya menjadi pesanggrahan atau rumah persinggahan Sultan Syarif Kasim II ketika bertandang ke Pekanbaru,bahkan ada kamar khusus Sultan. Bahkan di rumah itu juga berbagai persoalan dan strategi menata Bandar Senapelan selalu dibahas. ‘’Itu rumah kenangan masa lalu Sultan Siak,’’ ucap H Syahril Rais  yang kini menempati rumah Tuan Kadi Zakaria disela acara Wisata Fotografi Kampung Bandar.

                              

Tugu 0km memiliki makna penting dan juga  memiliki rangkaian nilai historis,bahkan tidak jarang Tugu 0km menjadi objek untuk berfoto. Tugu 0 Km Kota Pekanbaru memiliki sejarah dan mungkin rangkaian cerita yang unik dan aneh.

                                 

Setidaknya di kota pekanbaru saat ini terdapat 2 Tugu Titik 0Km. Tugu 0Km pertama terdapat di Gudang Pelabuhan Indonesia I (Gudang Pelindo I) di Kelurahan kampung dalam Kecamatan Senapelan. Kini Tugu 0Km yang berada di kecamatan Senapelan sudah tidak dianggap dan dijadikan 0 Km Kota pekanbaru, mungkin saja dahulunya tugu ini dijadikan 0Km karena disekitar tugu ini dulunya Senapelan dijadikan sebagai Pusat Pemerintahan Pekanbaru, mungkin dengan perkembangan waktu dan zaman Pusat Pemerintahan pekanbaru berpindah sehingga menyebabkan adanya Tugu Titik 0Km yang baru.

                                 

Tugu 0km lainnya terdapat di  persimpangan jalan Jenderal Sudirman dan jalan Gajah Mada, Tugu 0km ini terbilang unik dan penuh kontroversial. Pada awalnya Tugu 0Km yang terdapat di perempatan jalan Jendral Sudirman dan Jalan Gajah mada ditandai dengan hadirnya sebuah Tugu Pesawat F-86 Sabre. 
                             
Dikemudian hari terjadi  kontroversi pemindahan Tugu Pesawat North American F-86 Sabre yang telah puluhan tahun menjadi ikon kota yang menandai titik 0km kota pekanbaru dan sekarang digantikan dengan Tugu Tari Zapin yang terbuat dari Perak, patung dari perak ini dibuat oleh pematung kelas dunia dari Bali I Nyoman Nuarta. Tugu Zapin  ini berharga 4,5Milyar. Tugu Zapin ini menggambarkan ciri khas daerah Riau dengan menampilkan Tarian Zapin sebagai simbol Melayunya. Tugu atau patung ini berbentuk sepasang pemuda-pemudi yang sedang menarikan Tarian Zapin.


                             


                                      
Riau merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia jauh sebelum Kepulauan Riau berpisah menjadi provinsi sendiri pada saat itu. Ya, sebelumnya, Riau dan Kepulauan Riau adalah satu provinsi. Negeri melayu ini sungguhlah luas, bermula dari ranah Kampar, Kuantan hingga terus ke utara, lingga, penyengat,johor, hingga Natuna. sesuai dengan ungkapan adat berikut ini :

Lurus adat sambung lembaga
Melebah luas ranak samudera
Ukuran negeri Utara - Selatan
Ranah Kuantan hinga Natuna
Riuh menyeluruh Siak-Indragiri
Rokan Kampar berbaur umbi
Adat dan syara' bersanding jati
Pinang sebatang tuah negeri


Pasca kemerdekaan di Indonesia, masih terdiri dari beberapa  provinsi. Seperti provinsi Sumatera yang dibagi menjadi sumatera bahagian Utara, Sumatera Bahagian Tengah, dan Sumatera Bahagian Selatan. Di Jawa, ada provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, selebihnya Sulawesi (celebes), Kalimantan (Borneo), Nusa Tenggara, dan Irian-Maluku (Indonesia Timur). RIAU sendiri saat itu tergabung dalam Provinsi Sumatera Bagian Tengah bersama Sumatera Barat dan Jambi.  Bagaimanakah cerita sejarah hingga sampai terbentuknya sebuah provinsi Riau ini ? Dan siapakah pahlawan dan tokoh yang begitu cerdas dan berani memperjuangkan Riau menjadi sebuah provinsi sendiri , merdeka dari otoriternya sumatera tengah sehingga manfaat daripada kemerdekaan berdiri nya provinsi ini dapat kita rasakan dengan lajunya pembangunan.

Bapak (Alm) H. Wan Ghalib bersama beberapa tokoh lainnya menjadi tokoh sentral sentral dalam perjuangan pembentukan Provinsi Riau.  Bapak (Alm) H. Wan Ghalib mendedahkan kronologis perjuangan sejarah, dengan membuka lembaran ingatannya. Menurut mantan Ketua Penghubung di Jakarta dalam perjuangan Provinsi Riau ini, awalnya keinginan untuk menjadikan residen Riau sebagai sebuah provinsi, dilatarbelakangi untuk sebuah keadilan bagi masyarakat Riau. Karena memang Provinsi Sumatera Tengah yang memiliki tiga Residen yaitu Jambi, Riau, dan Sumbar. Karena pusat pemerintahan terdapat di Residen Sumatera Barat, Riau memang tidak terlalu terperhatikan oleh pemerintah provinsi. Karena karakteristik daerah yang berbeda, sehingga pemahaman visi dari masing-masing residen tidak bisa bersatu. Ditambah lagi ada kesan pihak pemegang kekuasaan di Sumatera Tengah selalu memaksakan diri setiap kebijakan yang diambilnya. Ide pendirian provinsi awalnya hanya ada tingkat elit dan tokoh masyarakat Riau. Namun saat itu pihak Provinsi Sumatera Tengah tidak mau memberikan apa yang diinginkan Riau, sehingga munculah intimidasi upaya penghalangan, ungkap Wan Ghalib.

Sekitar abad 15, Kerajaan malaka diserang oleh Portugis dan Raja Malaka beserta pengikutnya melarikan diri. Dalam pelariannya Sutan Mahmud Raja Malaka melakukan pelarian ke Penyengat, kemudian menelusuri Sungai Kampar hingga akhirnya ia menetap dan tinggal di kampar serta memerintah dan meninggal di kampar, beliau membentuk Kerajaan baru yang disebut Kerajaan Kampar.

Ada 2 versi yang menyatakan makam sultan Mahmud malaka. Lokasi  yang terdapat dalam kitab sulatus salatin itu berada di Kampar, ada yang menyatakan makam beliau ada di pekantua  pelalawan. Namun perlu kita ketahui bahwa dulunya Pelalawan merupakan bagian dari kampar. Menurut versi Kerajaan Pelalawan Sultan mahmud merupakan Raja dari Kerajaan Pekantua Kampar.

Topi Kebesaran Datuk Somok (Ninik Mamak) yang telah berusia 200tahun.
Di sini kami sedikit mengulas tanpa ada maksud apapun,maupun tendensi kepada pihak lain, semua yang kami tulis diperoleh langsung dari nara sumber ninik mamak,datuk dan tokoh masyarakat. Tidak banyak bukti ataupun peninggalan dari Kerajaan Kampar peninggalan dari Sultan Mahmud Raja dari malaka. Menurut datuk Somok yang merupakan Ninik Mamak di Koto Perembahan Kampar Timur yang telah berumur 94 tahun, Istana Kerajaan telah dibongkar pada tahun 70an, dan dilokasi kerajaan terdahulu kini dibangun sebuah Sekolah Dasar. Datuk Somok menceritakan Istana tersebut berbentuk rumah lontiok yang ukuran nya besar dengan tiang-tiang yang besar, di dalam istana tersebut banyak tersimpan keris,tombak,meriam, lelo,pedang,peti dll namun ketika istana itu di robohkan barang tersebut ikut raib, catatan – catatan manuskrip juga tidak ada di temukan lagi dan satu-satunya  yang tersisa dan disimpan dengan baik yaitu cap /stempel sultan yang di pegang oleh turun – temurun oleh pemangku dan disimpan di rumah siampu atau rumah suku.



Selain stempel,kiranya bukti lain yang merupakan peninggalan Sultan malaka adalah sebuah mesjid, mesjid yang terletak di Dusun Pd Merbau Barat Desa Koto Perambahan kecamatan kampar Timur Kabupaten Kampar ini dinamakan Mesjid Kubro. Menurut cerita Ninik mamak dan Masyarakat di Desa Koto Perambahan secara turun temurun mesjid ini dibangun pada masa Sultan Mahmud raja dari malaka, mesjid ini telah direnovasi berulang-ulang kali dengan tanpa merubah wujud asli dari mesjid tersebut.

Dalam Mesjid Kubro
Renovasi Terakhir Mesjid Kubro (17-2-74

Kami sempat berbicara dengan Datuk Somok dan datuk majo besar Suku Pitopang, mereka berkisah, ketika itu Melaka di serang oleh bangsa portugis karena sultan Mahmud ini kalah dalam peperangan maka beliau melarikan diri, pelarian pertama nya beliau merapat ke Pulau Penyengat,namun karena masih di kejar oleh pihak portugis sehingga Sultan Mahmud melanjutkan pelariannya dengan menelusuri Sungai Kampar hingga akhirnya ia merapat disuatu tempat yang dinamakan dengan Perambahan. Sultan kemudian menjadi sultan di daerah tersebut, ada 13 sultan yang pernah memimpin. Makam Sultan terakhir terdapat di Desa Koto Perambahan,dan sampai kini makam tersebut masih terawat, saynagnya kami tidak sempat mendokumentasikan gambar makamnya,kami hanya melihat makam tersebut dari kejauhan.

                  
Kubah Mesjid Kubra
Kubah Mesjid Kubra dengan motif melayu
                                      




SENARAI TRADISI PETANG MEGANG

Pada masa pemerintahan Kerajaan Siak Sri Indrapura yang pusat pemerintahannya terletak di Bandar "Senapelan" (Pekanbaru) dan banyak perkembangan telah terjadi. Pasar Bawah yang dibangun  oleh Sultan Siak (Sultan Abdul Jalil Mahmuddinsyah tahun 1767) yaitu sebuah pasar baru yang sangat ramai dikunjungi pedagang dan pembeli yang berdatangan dari Pagaruyung,Singapura dan Malaya.

Pasar yang baru dibangun hanya sekali seminggu (sepekan) beroperasinya. Dari nama "Pasar Senapelan" inilah lahir nama Pekanbaru.

Pekan.................berarti pasar sekali seminggu
Baru...................berarti baru dibangun saat itu

Sekarang ini  penduduk asli Pekanbaru menyebar keseluruh kecamatan yang ada di Kota Pekanbaru, mereka telah membaur dengan masyarakat pendatang. Oleh karena itulah,dikota Pekanbaru ini kita jarang mendengar kelompok masyarakat menggelar kesenian dan budaya melayu. Akibat dari dampak dan perlembangan serta kemajuan zaman yang seba modern inilah,maka tradisi asli leluhur semakin lama semakin tergusur terlebih lagi masuknya pengaruh budaya asing yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.  Sadar akan hal tersebut  Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan bekerjasama dengan Lembaga Adat Melayu Kota Pekanbaru, berusaha mencoba melestarikan kembali tradisi budaya masyarakat Pekanbaru masa lalu. Adapun tradisi/budaya yang telah diangkat adalah Petang Megang/Petang Belimau, Festival Lampu Colok, Ziarah Makam dll.

PETANG MEGANG (PETANG BELIMAU)
Petang Megang adalah suatu petang (sore hari) yang pada esok harinya akan melaksanakan ibadah puasa. Petang Megang (Petang Belimau) sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat, ada yang membuat kue,serta masak-masakan khas melayu yang sengaja mereka buat untuk mereka makan. Juga ada makanan yang dikemas dalam bentuk wadah seperti tabak (Khas Indragiri Hulu) yang disi dengan telur dan makanan lain kemudian dihias sedemikian rupa dan diarak keliling hingga ke Sungai Siak. Disamping itu juga ada air rebusan limau purut dicampur dengan serai wangi, ako siak-siak,daun nilam,mayang pinang, dilengkapi dengan irisan bunga rampai. AIr rebusan tersebut digunakan untuk mandi, mandi tersebut dinamakan " Mandi Belimau" . Pada masa lalu masyarakat Pekanbaru mengadakan Mandi Belimau di Sungai Siak,kala itu kondisi Sungai Siak masih bersih tidak tercemar seperti saat ini.



  • Ziarah Makam (Pemakaman Senapelan)
Ziarah ke para tokoh yang dimakamkan di pemakaman Senapelan,antara lain Tokoh Perintis Kemerdekaan, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama dan Tokoh Budaya, kemudian dilakukan zikir, tahlil dan doa yang dipimpin oleh Imam Mesjid raya Pekanbaru, kemudian dilakukan acara tabur bunga


  •   Ziarah Makam Disamping Mesjid Raya Pekanbaru (Makam Pendiri Kota Pekanbaru Sultan ABd. Jalil Alamuddinsyah)

Ziarah Makam Disamping Mesjid Raya Pekanbaru yaitu Makam Pendiri Kota Pekanbaru Sultan Abd. Jalil Alamuddinsyah, yang diawali dengan penjelasan singkat mengenai sejarah makam pendiri Kota Pekanbaru dan Makam Lainnya oleh LAM (Lembaga Adat Melayu) Pekanbaru. Dan kemudian dilakukan doa arwah untuk para arwah pendiri Kota Pekanbaru dan keluarganya oleh Imam Mesjid Raya Pekanbaru

  • Shalat Ashar Berjamaah di Mesjid Raya

  • Arak-arakan mandi Belimau

Peserta pawai diarak emnuju tepian Sungai Siak diiringi lagu melayu serta iringan kompang dan rebana.

  • Acara Puncak Mandi Belimau
Diawali dengan beberapa Tarian Melayu, kemudian dilakukan secara simbolis pembukaan acara petang megang dengan dilakukan pemukulan Bedug oleh Walikota Pekanbaru dan Gubernur Riau. Setelah itu dilakukan acara mandi belimau dan secara simbolis dilakukan pengguyuran terhadap beberapa anak yatim yang ada di pekanbaru, dan kemudian dilakukan Lomba menangkap itik. Dan para peserta melanjutkan dengan bersih-bersih atau mandi di Sungai Siak





Riau sangat kaya akan ragam seni dan budaya, Berbicara mengenai Rumah adat Riau tentunya tidak terlepas dari Ragam dan Bentuk dari rumah adat Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau. Bentuk rumah tradisional daerah Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri diatas tiang dengan bangunan persegi panjang. Dari beberapa bentuk rumah ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama , dan memiliki ukiran melayu seperti selembayung, lebah bergayut,pucuk rebung dll. Di Riau setidaknya terdapat beberapa jenis Rumah adatseperti  Rumah Limas, Rumah Lontiok

 

SELASO JATUH KEMBAR


Rumah Adat Riau diinterpresentasikan dengan nama Selaso Jatuh Kembar atau biasa disebut juga dengan Salaso Jatuh kembar.  
Pada tahun 1971 Gubernur Riau Arifin Ahmad membentuk tim 9 yang berisikan Budayawan dan pemikir Melayu, tim 9 ini bertugas untuk membuat dan mendesain Rumah Adat Riau yang dijadikan Anjungan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tim 9 bekerja dengan melakukan riset keliling Riau, hingga kemudian lahirlah dan muncul sebuah Rumah yang kemudian menjadi Rumah Adat Riau dengan nama Selaso jatuh kembar. Rumah Selaso jatuh Kembar dipopulerkan oleh Gubernur Riau Imam Munandar sebagai Rumah Adat Riau.

Rumah Selaso Jatuh atau adalah bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat. Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran. Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selasar dalam bahasa melayu disebut dengan Selaso. Selaso jatuh kembar sendiri bermakna rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah.








Meski telah wafat 2008 lalu di Kota Paris, ibu kota Prancis pada usia 100 tahun, Salim adalah seorang pelukis Indonesia yang telah menetap lama di Prancis. Maestro seangkatan pelukis Affandi ini walaupun sering disebut dari Medan (kota besar pesisir Sumatera Timur zaman itu), sebenarnya terlahir di Bagansiapi-api, 3 September 1908 dan meninggal di Prancis 14 Oktober 2008 .





Pelukis Salim telah berpulang ke Rahmatullah tanggal 13 Oktober 2008 pukul 17:15 waktu setempat. Pelukis Salim meninggal dunia di rumah sakit Neuilly Sur Seine-Paris, Prancis, dalam usia 100 tahun 1 bulan 10 hari. Sampai saat terakhir pikiran beliau masih cerdas, malah menanyakan berapa skor pertandingan sepak bola antara Prancis dan Rumania. Salim telah mempererat hubungan Perancis dan Indonesia melalui karyanya.

Salim beribukan orang Melayu Bagansiapi-api bernama Nuraini dan berayah seorang Melayu keturunan Persia bernama Salahuddin. Salim kecil merantau ke Medan di umur 11 tahun namun tak lama menetap di sana. Perjalanan hidupnya berpindah-pindah dari Medan ke Belanda yang dibawa oleh sepasang orang tua angkat berkebangsaan Jerman-Belanda, dan pada umur 20 tahun menetap di Prancis. 


salim
Dalam sebuah kutipan yang ditulis website dari Canada http://www.cyberpresse.ca yang dimiliki LA Presse (Cyberpresse Inc. Montreal Canada) menyebutkan, walaupun diaa telah lama hidup di dunia Barat/Eropa, tetapi dia tidak kehilangan akar asalnya dalam melukis. Website itu juga memberitakan bahwa karya-karyanya telah banyak dipamerkan di Amsterdam, Paris, Jenewa dan bahkan di Jakarta.


Bahkan Association Franco-Indonesienne dalam website-nya menyebutkan: Begitu sedihnya berbagai pihak tentang kematian Salim yang dianggap sebagai manusia yang humanis, seorang teman, murah hati, lucu, suatu vitalitas meluap, dan sering membuat orang penasaran.
Selama kurun waktu akhir tahun 1800an hingga tahun 1930 industri perikanan bagansiapiapi mengalami puncaknya. Kekayaan udang dan ikan di Sungai Rokan melimpah ruah,harga garam saat itu murah sehingga industri Ikan Asin tumbuh dan berkembang di Bagansiapiapi dan permintaan ikan di Jawa juga meningkat, saat itu ikan-ikan di Jawa didatangkan dari bagansiapiapi. Era keemasan industri perikanan di bagansiapiapi tidak berlangsung lama karena adanya pendangkalan di muara sungai rokan sehingga jumlah ikan di Bagansiapiapi berkurang. Namun disaat jumlah ikan yang berkurang ,jumlah udang semakin banyak, sehingga disaat itu ekspor terasi semakin meningkat,karena terasi dibuat dari udang, dan saat itu juga harga garam sangat mahal. Pemerintah disaat itu menunjuk suatu perusahaan di Bagansiapiapi untuk mendistribusikan garam dengan harga tetap dan juga pemerintah membuat sebuah kebijakan untuk menstabilkan harga garam sehingga Industri dan ekspor perikanan di bagansiapiapi kembali tumbuh.

Bangunan Kantor Bank Bagan Maju, yangkini menjadi Rumah Dinas BRI Bagansiapiapi


Untuk menunjang perekonomian kota Bagansiapiapi pemerintah disaat itu membentuk suatu bank yang memberikan pinjaman dengan suku bunga yang rendah dengan tujuan untuk menghindarkan rakyat Bagansiapiapi dari lintah darat. Bank ini didirikan pada tahun 1917 dengan nama De Visscherij Bank “Bagan Madjoe”.atau biasa di sebut bank Bagan Majoe (Bank Bagan Maju). Di kemudian hari Bank Bagan Maju menjelma menjadi BRI, dan menjadi Kantor Cabang BRI (Bank Rakyat Indonesia) kedua di Indonesia. BRI Cabang Bagansiapiapi memiliki kode Cabang dengan nomor 2 yang menandakan bahwa BRI Bagansiapiapi adalah Kantor Cabang Kedua di Indonesia.
Bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Propinsi Fujian - Cina, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tsb agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan. Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba2 mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran dimana ada api disitulah ada daratan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan selat Melaka. Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang, diantaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur Bagansiapiapi.



Di daerah yang baru mereka tempati (bagansiapiapi) mereka menemui banyak ikan, dengan ikanlah mereka bertahan hidup hingga beranak pinak dan  mereka juga mengajak keluarga dari negeri tirai bambu datang kebagansiapiapi, sehingga jumlah masyarakat Tionghoa kian banyak.



Setelah sekian lama menetap di Bagansiapiapi pada tahun 1875 masyarakat Tionghoa disana membangun sebuah kelenteng dan diberi nama Kelenteng In Hok Kiong. Pada 1928 kelenteng ini dibuat secara permanen. Disinilah Dewa Kie Ong Ya disembahyangkan secara utuh/asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi. 


Hingga saat ini Kelenteng In Hok Kiong digunakan untuk aktivitas keagamaan dan ritual lainnya, seperti cap go meh, tempat pelaksanaan ritual kematian, serta tempat dimulainya pengarakan replika tongkang dalam acara festival bakar Tongkang.




Bangunan Rumah Kapitan Di Bagansiapiapi merupakan warisan budaya dengan arsitektur paduan gaya Tradisional Tionghoa dan Melayu yang sesungguhnya perlu dirawat, dijaga dan dilestarikan. Di Bagansiapiapi terdapat beberapa rumah Kapitan namun tidak terawat,bahkan beberapa rumah kapitan lainnya telah dihancurkan dan kini dilokasi tersebut telah dibangun Ruko. Rumah Kapitan Tua Marga NG milik Kapitan NG I Tam, merupakan salah satu Rumah Kapitan yang tersisa di Kota Bagansiapiapi , rumah Kapitan tersebut didirkan pada awal tahun 1900.

Rumah Kapitan marga NG. Orang bagansiapiapi menyebutnya dengan Kapitan NG I Tam

Di balik Bangunan Rumah Kapitan tua nan reot dan lapuk yang berdiri kokoh hampir lebih satu Abad lamanya tersebut merekam jejak kenangan yang menunjukkan suatu catatan penting sistem Kekuasaan Opsir ( Kapitan ) Tionghoa berkuasa pada masa silam di kota Bagan Si Api-api. Kapitan Tionghoa merupakan sebutan yang diberi dan diciptakan oleh sistem Pemerintahan Kolonial Belanda dalam upaya mengendalikan dan mengatur komunitas masyarakat Tionghoa. 
Terlihat Ornamen Tionghoa yang menghiasi Pintu Rumah Kapitan

Pada awal tahun naga tahun 1928 terjadi kehebohan di Kota Bagansiapiapi. Yang menjadi sasaran adalah tempat-tempat perjudian, tempat minum-minuman keras, rumah-rumah bordil, tempat pengisapan candu dll.

Ditempat pelacuran terdengar suara orang sedang mandi dikamar mandi,ketika dilihat tidak ada orang yang sedang mandi. Di tempat perjudian batu-batu mahyong berputar-putar sendiri sehingga menimbulkan kegaduhan. Di kedai kopi terlihat kaki manusia diatas meja. Para biksu agama Budha Bagansiapiapi tidak dapat mengatasi keadaan ini, maka diundanglah biksu  Budha dari Singapura dan Taiwan, menurut mereka yang menganggu itu adalah roh-roh orang yang mati sesat dilaut.

Tugu Perjanjian Syetan dan Manusia di Kota Bagansiapiapi

Untuk mengatasi keadaan tersebut para biksu dari Singapura dan Taiwan mengadakan perjanjian dengan syetan-syetan penasaran. Syetan-syetan itu diberikan kesempatan menghibur diri selama satu minggu. Di seluruh pelosok kota Bagansiapiapi didirikan tempat-tempat hiburan simbolik terbuat dari bambu dan kertas, ada kedai kopi,ada tempat pengisapan candu, perjudian dan lain lain. Semuanya terbuat dari bambu dan kertas secara simbolik. Ada panggung sandiwara, ada rumah bordir dengan wanita PSK-Nya, ada kedai kopi, ditempat-tempat inilah para syetan dipersilahkan menghibur selama satu minggu.

KIM TENG ? 



Tang Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan Maknya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.

Ketika berusia 4 tahun, dari Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis, Riau. Ayahnya kerja jadi tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja Lung Chiu, ayahnya, serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di sebuah rumah orang Tionghoa kaya dekat kantor Bea Cukai. Namanya Sun Hin atau biasa disapa ‘Toke Gemuk’. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak Kecil, kerja serabutan. Tahun 1934 mereka pindah lagi ke Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah sederhana di Jalan Makau-sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang pekerja keras dan ulet.


Areal Kebun Sawit Tertua di Riau ada di Kabupaten Indragiri Hulu, kini areal tersebut menjadi milik PT. TPP (PT. Tunggal Perkasa Plantations). Areal ini sudah ada semenjak tahun 1918,hanya saja pada saat itu areal seluas 28ribu hektare itu merupakan perkebunan sawit milik tiga perusahaan asing yaitu milik NV Cultur Maatachapij  (Swiss), Indragiri Rubber Limited (IRL) dan Klawat Syndicate yang keduanya merupakan joint venture milik Malaysia.

GM Policy, Government, and Public Affair PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Usman Slamet mengatakan fakta sejarah terkait Perang Dunia II yang belum terkuak di area ladang minyak perusahaan di daerah Duri, Provinsi Riau sangat penting untuk dikaji untuk kepentingan bersama.

"Karena sampai sekarang belum ada dokumentasi terperinci mengenai sejarah Perang Dunia II di Duri" .
 
Di Duri tepatnya di Komplek CPI terdapat monumen untuk Korban Perang Dunia II , monumen ini didedikasikan untuk para korban kekejaman perang yang tak diketahui identitasnya. Kapan monumen itu didirikan dan siapa yang mendirikannya, ini juga menjadi misteri.

Bukti adanya sejarah Perang Dunia II di Duri sejauh ini baru bisa diketahui dari keberadaan monumen di tengah pemakaman, yang ada di Komplek Sago CPI tak jauh dari landasan helikopter. Pada bagian atas monumen itu ada tulisan berwarna emas dengan dua bahasa: "Monumen Korban Perang Dunia-II/`Monument of World War-II Victim".


PUAK MELAYU DI INDONESIA kini hanya dipandang sebagai bagian kecil dalam konsep nusantara. Padahal, di masa jaya kerajaan Sriwijaya dengan wilayah takluk yang begitu luas, sebenarnya konsep ke-Melayuan itu sempat menaungi sebagian besar wilayah Indonesia di masa silam.

Namun, jejak-rekam keperkasaan Melayu (baca juga: Melayu Nusantara) kini berbekas dalam wujud wilayah geografis yang sempit dengan indikasi-indikasi masih adanya peninggalan adat-tradisi dan nilai-nilai budaya.

Menoleh ke latar belakang sejarah yang panjang, orang-orang Melayu Nusantara yang menghuni sebagian wilayah teritorial di Indonesia berasal dari ras Weddoide yang kini direpresentasikan melalui suku-suku asli yang ada di Riau, Palembang dan Jambi, seperti suku Sakai, Kubu dan Orang Hutan. Setelah itu, antara tahun 2500-1500 SM datanglah golongan pertama ras Melayu dari bangsa Proto-Melayu yang menyeberang dari benua Asia

ke Semenanjung Tanah Melayu terus ke bagian Barat Nusantara termasuk Sumatera. Di Riau, keturunan Proto-Melayu ini dapat dijumpai melalui suku asli Talang Mamak dan Suku Laut.

Gelombang kedua kedatangan ras rumpun Melayu ini sekitar tahun 300 SM yang disebut Deutro-Melayu. Kedatangan bangsa Deutro-Melayu ini memaksa bangsa Proto Melayu menyingkir sehingga ada yang menyingkir ke pedalaman dan ada pula yang berbaur dengan pendatang. Bangsa Deutro Melayu inilah yang menjadi cikal-bakal rumpun Melayu yang ada di sebagian wilayah nusantara.

Sementara Prof. S. Husin Ali, Guru Besar dari Universiti Malaya menngatakan bahwa pendatang pertama di Semenanjung diperkirakan berasal dari kelompok Mesolitik dan Neolitik (sering disebut Proto-Melayu) yang berasal dari daerah Hoabinh di Indocina. Perpindahan ke arah selatan itu dimulai kira-kira 3000-5000 tahun yang lalu dan kebudayaan mereka sering disebut kebudayaan Hoabinhiano. Kelompok orang-orang ini terdiri dari orang-orang bertubuh kecil dan kuat, berkulit hitam dan berambut lebat. Mereka menyebar ke arah selatan Semenanjung dan beberapa di antara mereka menyeberang ke Pulau Sumatera, sedangkan lainnya terus ke Selatan sampai ke Kepulauan Melanesia di Lautan Pasifik.

Antara abad VII-XIII pada masa jaya kerajaan Sriwijaya yang pada mulanya berpusat di Muaratakus (Kampar, Riau) kemudian berpindah ke Palembang (Sumsel), wilayah kekuasaannya menyebar di seluruh Sumatera, Selat Melaka dan Semenajung Tanah Melayu. Di ujung kekuasaan Sriwijaya yang kian melemah, salah seorang Dinasti Syailendra bernama Sang Sapurba meninggalkan kerajaan Sriwijaya untuk melakukan perjalanan sambil membangun pengaruh di kerajaan-kerajaan yang sudah ada. Sang Sapurba sampai di Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan), Bintan (Riau Kepulauan), Kuantan (Riau Daratan) dan membina hubungan baik dengan mengawinkan putra-putranya dengan putri kerajaan yang dikunjunginya. Selanjutnya, Sang Sapurba mulai membangun Dinasti Melayu melalui kerajaan-kerajaan yang ada seperti Kerajaan Bintan, Tumasik (Singapura), Melaka, Kandis, Kuantan, Gasib, Rokan, Segati, Pekantua dan Kampar.

Di Kerajaan Bintan, seorang anak Sang Sapurba yang bernama Sang Nila Utama dikawinkan dengan putri Kerajaan Bintan yang kemudian dinobatkan menjadi raja. Sang Nila Utama pula yang membangun kerajaan Tumasik. Kerajaan Tumasik dengan raja terakhir, Prameswara saat diserang Kerajaan Majapahit, selanjutnya mendirikan Kerajaan Melaka.

Kerajaan Melaka akhirnya ditaklukkan Portugis. Muncullah kemudian Kemaharajaan Melayu dibawah kepemimpinan Sultan Mahmud Syah I yang berkedudukan di Bintan kembali merebut bekas-bekas taklukan Kerajaan Melaka.

Bentangan sejarah masa silam itu, memberikan gambaran bagaimana perkembangan puak Melayu di kawasan Nusantara yang dominan berada di kawasan Semenanjung Tanah Melayu dan pesisir Timur Sumatera. Di masa jaya Kerajaan Melaka, seorang Panglima Angkatan Lautnya yang sangat termasyhur, Laksemana Hang Tuah mengikrarkan semboyan yang sangat memuja kejayaan bangsa Melayu. Ikrar Hang Tuah itu berbunyi:
Esa hilang dua terbilang
Tak Melayu hilang di bumi
Tuah sakti hamba negeri

Perkembangan puak Melayu setelah masa jaya kerajaan-kerajaan Melayu senantiasa memberikan peluang bagi kaum pendatang untuk berasimilasi. Di abad ke-18, lima orang putera Upu Tenderi Burang Relaka dari Luwe mengembara di Kepulauan Riau. Kelima orang itu adalah Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Marewa, Daeng Celak dan Daeng Kemasi yang bergabung dengan para putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah II menggulingkan Raja Kecil yang memerintah Kemaharajaan Melayu di Bintan. Inilah awal mulanya para pendatang Bugis secara turun-temurun ikut memerintah atau menjadi pembesar kerajaan Bintan.

Proses migrasi dari para pendatang yang ada di sekitar kawasan Melayu Riau baik di masa bermunculannya kerajaan-kerajaan Melayu maupun setelah masa kemerdekaan, makin terbuka bagi para pendatang. Proses perbauran atau asimilasi tak terhindarkan sebagai proses alamiah terbentuknya puak Melayu Baru. Proses yang sama berlangsung pula di kawasan Melayu terutama di Sumatera dan Kalimantan seperti Palembang, Deli (Medan), Jambi, dan Pontianak. Puak Melayu Baru inilah yang membentuk pluralitas (kemajemukan) Melayu sehingga orisinalitas Melayu sangat sulit ditemukan sejak dulu.

Bila pemahaman ‘putra daerah’ Melayu dimaksudkan asal-usul orang Melayu yang pertama mendiami bumi Nusantara ini, tentulah dari ras Weddoide, Proto-Melayu dan Deutro Melayu yang kini tersisa sebagai suku-suku asli. Tapi pada generasi Melayu Baru, amat sulit mencari orisinalitas Melayu karena pengaruh perbancuhan ras dan suku yang datang silih-berganti di kawasan-kawasan bersempadan (perbatasan).

Bila daerah Melayu-Riau dijadikan studi kasus perbancuhan orang tempatan (penduduk yang menetap lebih awal di suatu kawasan) dengan orang-orang pendatang, maka sebenarnya orang-orang Melayu Riau tersebar dan dipengaruhi sekurang-kurangnya 5 sub-kultur dari hasil asimilasi budaya tersebut.

Kelima sub-kultur yang berbancuh dengan kultur Melayu itu adalah: Pengaruh Bugis dengan wilayah sebaran di Riau Kepulauan dan Indragiri Hilir, Pengaruh Minangkabau (wilayah Kampar dan Taluk Kuantan, Kuantan-Singingi), Pengaruh Banjar (wilayah Indragiri Hilir), Pengaruh Mandahiling (wilayah Pasir Pangarayan, Rokan Hulu), Pengaruh Arab (wilayah Siak Sriindrapura, Pelalawan, Indragiri Hulu).

Dalam wacana ‘putra daerah’ di era Otoda, pluralitas Melayu dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan redefinisi yang lebih fleksibel. Pengakuan politis dan sosiologis bagi seseorang untuk disebut sebagai orang Melayu dapat dipertimbangkan pola Malaysia yang mempertegas definisi orang Melayu di dalam konstitusi yang menetapkan seorang Melayu dicirikan dengan penganut agama Islam, berbicara dalam bahasa Melayu dan mematuhi adat-istiadat Melayu.


Bagi Melayu Riau, definisi orang Melayu versi konstitusi Malaysia ini menjadi dilema tersendiri karena adanya pluralitas Melayu yang dikebat oleh jalinan sejarah yang panjang. Bila persyaratan ‘berbicara dalam bahasa Melayu’ dijadikan kasus, pertanyaan yang muncul adalah bahasa Melayu di daerah pengaruh kultur apa? Sebab, orang-orang Melayu di Kampar dan Taluk Kuantan misalnya, sehari-hari ternyata menggunakan bahasa ibu yang dialek dan langgamnya mirip bahasa Minangkabau. Begitu pula, orang Pluralitas Melayu dalam Bentangan SejarahMelayu yang ada di Tembilahan justru sehari-hari dominan berbahasa Banjar dan Bugis. Bisa jadi, orang Melayu di Riau Kepulauan dan Siak Sri Indrapura yang justru berbahasa Melayu yang juga digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari di negara tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam, yang kelak dijadikan sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia.

Dilema lain berkaitan dengan penggunaan adat-istiadat atau nilai budaya Melayu yang juga cukup majemuk. Tradisi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Melayu di daerah sebaran dan pengaruh 5 sub-kultur yang ada ternyata sangat berbeda. Sebutlah tradisi nikah-kawin, kelahiran anak, pemberian gelar adat atau pengangkatan pemuka adat ternyata sangat bervariasi di masing-masing daerah di 5 sub-kultur tadi.


Barangkali jadi menarik pernyataan Prof. Tan Sri Ismail Hussein, budayawan Malaysia yang terkenal dengan konsepnya ‘memperbesar bilik-bilik kebudayaan Melayu’. Dalam pandangannya, rumpun Melayu Nusantara harus dipandang sebagai kesatuan budaya Melayu makro. Dalam kaitan ini, orang Minangkabau, Jawa, Sunda, Bugis, Bali di Indonesia dapat dipandang sebagai rumpun Melayu dalam arti yang luas.

Pandangan Tan Sri Ismail Hussein ini bisa terinspirasi atas pluralitas Melayu Baru di Malaysia yang kini sangat berbancuh dengan para pendatang dari kelompok pribumi termasuk pendatang-pendatang dari Indonesia yang mengalir deras sejalan dengan pertarungan nasib dalam mencari kerja. Di dalam sensus penduduk Malaysia, ada kecenderungan para pendatang Indonesia dari berbagai variasi suku dan ras yang ada dipandang sebagai orang-orang Melayu. Apalagi sebagian di antara mereka juga sudah terbiasa berbahasa Melayu atau logat dan dialek Melayu baik akibat pergaulan sehari-hari atau proses nikah-kawin dengan orang-orang tempatan.

Kesulitan dalam membuat pengakuan sebagai orang Melayu ini, pernah dilansir Prof. S. Husin Ali, seorang Guru Besar pada Universiti Malaya dalam bukunya, Rakyat Melayu: Nasib dan Masa Depannya. Prof. Husin Ali memberi tamsilan, sebuah pertanyaan dapat diajukan, dapatkah seorang Cina Melaka (baba) yang berbicara dalam bahasa Melayu, menyanyikan lagu-lagu Melayu (dondang sayang), mengenakan sehelai sarung di rumah, makan dengan tangan (tanpa sendok atau sumpit), serta duduk bersila di atas lantai dan menikahkan anaknya menurut adat Melayu, dianggap sebagai orang Melayu?

Selanjutnya, Husein Ali menambahkan, dan bagaimana dengan seorang perwira Melayu yang memperistri seorang gadis berkebangsaan Inggris, di rumah berbicara dalam bahasa Inggris, makan di atas meja dengan menggunakan sendok dan garpu, minum bir, mengenakan piyama waktu tidur dan mengawinkan anaknya menurut cara Barat dan mengadakan resepsi di Hilton? Bukankah ini bertentangan dengan Baba Melaka tadi? Tak seorang pun meragukan bahwa ia seorang Melayu atau mempersoalkan asal-usulnya jika pada masa pensiunnya ia menjadi seorang politisi yang memperjuangkan hak-hak Melayu, tetapi memanfaatkan posisinya yang penting itu untuk memperoleh surat izin untuk dirinya sendiri atau untuk ditunjuk sebagai dewan pengurus dari suatu perusahaan asing dan pada akhirnya diangkat sebagai seorang Datuk atau Tan Sri. Semuanya itu bisa dicapai, meskipun dengan pergaulan dan cara hidup non-Melayu.

Prof. Husin Ali juga mempertanyakan bagaimana dengan imigran yang berasal dari berbagai daerah di persada Nusantara Melayu ini yang karena latar belakang sejarah dan sosial budaya menjadi orang Melayu? Minangkabau, Aceh, Bugis, Banjar dan sebagainya. Kebanyakan dari mereka tinggal di negeri ini (Malaysia) semenjak kecil tetapi juga terdapat pendatang-pendatang baru. Banyak di antara mereka yang hanya menggunakan dialek bahasanya sendiri dan bukan bahasa Melayu. Dengan kata lain, persyaratan bahasa tidak mereka penuhi. Apakah dengan ipsio facto ini mereka bukan orang Melayu dan karenanya tidak berhak atas hak istimewa yang diperuntukkan bagi orang Melayu? Kelompok mereka dapat dianggap sebagai bagian dari rumpun besar Melayu Indonesia. Jika kita berbicara mengenai kebudayaan, mereka harus dianggap sebagai orang Melayu. Tetapi ini menurut definisi sosial-budaya dan bukan menurut definisi hukum yang sah. Dalam konstitusi (Malaysia) tidak ada pengakuan bahwa bahasa Jawa, Minangkabau dan Aceh masih berhubungan dengan bahasa Melayu.

Barangkali, konsep pluralitas Melayu menjadi penting untuk memperkecil penyempitan wawasan kebangsaan menurut ras atau suku secara mikro yang selalu ditumpangkan atas nama ‘putra daerah’. Bisa jadi, arogansi ras yang pernah diagung-agungkan Hitler dengan bangsa Aria di masa lalu justru makin memecah belah rasa kesatuan dan persatuan antar bangsa-bangsa dunia. Lebih-lebih lagi, tak ada sebenarnya dominasi suatu ras atas ras lain karena sesungguhnya semua bangsa-bangsa dunia pada mulanya adalah satu: we are the world.

Oleh :
Fakhrunnas MA Jabbar




ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA

Pada zaman belanda pembagian wilayah secara Administrasi dan Pemerintahan masih berdasarkan persekutuan hukum adat, yang meliputi beberapa kelompok wilayah yang sangat luas yakni :
 
  1. Desa Swapraja meliputi : Rokan, Kunto Darussalam, Rambah, Tambusai dan Kepenuhan yang merupakan suatu landschappen atau Raja-raja dibawah District loofd Pasir Pengarayan yang dikepalai oleh seorang Belanda yang disebut Kontroleur (Kewedanaan) Daerah / Wilayah yang masuk Residensi Riau.
  2. Kedemangan Bangkinang, memawahi Kenegerian Batu Bersurat, Kuok, Salo, Bangkinang dan Air Tiris termasuk Residensi Sumatera, Barat, karena susunan masyarakat hukumnya sama dengan daerah Minang Kabau yaitu Nagari, Koto dan Teratak.
  3. Desa Swapraja Senapelan/Pekanbaru meliputi Kewedanaan Kampar Kiri, Senapelan dan Swapraja Gunung Sahilan, Singingi sampai Kenegerian Tapung Kiri dan Tapung Kanan termasuk Kesultanan Siak ( Residensi Riau ).
  4. Desa  Swapraja  Pelalawan  meliputi Bunut, Pangkalan  Kuras,  Serapung  dan  Kuala  Kampar  (Residensi Riau )

 
ZAMAN PEMERINTAHAN JEPANG

 
Saat itu guna kepentingan militer, Kabupaten Kampar dijadikan satu Kabupaten, dengan nama Riau Nishi Bunshu (Kabupaten Riau Barat) yang meliputi Kewedanaan Bangkinang dan Kewedanaan  Pasir Pengarayaan. Dengan menyerahnya Jepang ke pihak Sekutu dan setelah proklamasi kemerdekaan, maka kembali Bangkinang ke status semula, yakni Kabupaten Lima Puluh Kota, dengan ketentuan dihapuskannya pembagian Administrasi Pemerintahan berturut-turut seperti : cu (Kecamatan) , gun (Kewedanaan) , bun (Kabupaten), Kedemangan Bangkinang dimasukkan kedalam Pekanbaru bun (Kabupaten) Pekanbaru.

 
 
Air Molek adalah nama sebuah kota kecil yang terdapat di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Air Molek merupakan Ibu Kota Kecamatan Pasir Penyu. Secara geografis kota Air Molek berbatasan dengan Kecamatan Lirik, selatan dengan Desa Japura, sebelah barat dengan Kecamatan Sei Lala, dan bahagian timur berbatasan langsung dengan Sungai Indragiri.

Struktur geografis tanah dataran rendah yang cukup luas untuk kawasan kota kecil yang mulai berkembang, dengan sentralisasi pemukiman di pasar kota sebagai pusat aktifitas masyarakat. Areal yang cukup mumpuni untuk dikembangkan, menjadi potensi tersendiri bagi perkemangan kota tersebut. Letak kota Air Molek berada lebih kurang 10 km dari jalur Lintas Timur Sumatera yang dapat menghubungkan berbagai daerah yang berada di Pulau Sumatera, yaitu Sumatera Bagian Selatan hingga ke Pulau Jawa, Sumatera bagian Barat, Sumatera Bagian Utara hingga Propinsi Aceh.

Air Molek mempunyai struktur tanah yang subur, merupakan modal Sumber Daya Alam bagi bidang pertanian dan perkebunan. Bisa dilihat bagaimana masyarakat yang bermukim di sepanjang sungai Indragiri (kuantan) memanfaatkan kesuburan tanah dengan menanam berbagai jenis tananaman ladang seperti jagung pisang, sayur-sayuran, dan lain sebagainya. Areal perkebunan kelapa sawit yang membentang luas di pinggiran kota Air Molek merupaka keuntungan tersendiri bagi perekonomian masyarakatnya.

Di beberapa daerah pemukiman, terdapat tanah yang memiliki komposisi yang sangat bagus untuk bahan baku pembuatan batu bata, dimana batu bata tersebut adalah salah satu bahan untuk bangunan beton. Yaitu terdapat di Desa Tanah Busuk, Kembang Harum misalnya, akan banyak ditemukan tempat pembakaran batu bata tersebut.

 
 
ASAL USUL NAMA AIR MOLEK
Menurut cerita dari orang-orang tua di Air Molek, yaitu mereka-mereka yang mengetahui tentang etiologi (Asal usul nama suatu daerah) mengatakan bahwa nama Air Molek berasal dari dua kata yaitu ayo dan molek. Ayo berarti air sedangkan molek berarti bagus atau besih. Mengapa dikatakan demikian?. Karena pada zaman dahulu di Air Molek saat ini terdapat sebuah sungai kecil, dimana airnya tersebut jernih, bersih, dan layak untuk langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu. Maka oleh orang-orang yang melalui sungai tersebut menamakan sungai itu sungai Ayo Mole yaitu sungai yang airnya boleh untuk diminum. Dari versi kedua mengatakan bahwa nama Air Molek itu berasal dari dua kata juga yaitu Ayo Mole, ayo yang berarti ait dan Mole berasal dari kata menyole yang berarti menyalah/salah (yang tidak seperti biasanya). Menurut cerita ini menerangkan bahwa orang-orang tua dulu menemukan sebuah sungai yang aneh. Dimana ketika air sungai yang layaknya bermuara ke sungai yang lebih besar ataupun sungai yang bermuara ke laut, tidak demikian dengan sungai yang satu ini. Jikalau biasanya air sungai mengalir ke tempat yang lebih rendah dan terus mengalir dari hulu ke hilir, tidak seperti itu sungai tersebut. Yaitu ketika sungai kuantan (Indragiri) naik maka aliran sungai ini malah balik ke hilir. Hal tersebut terjadi terus menerus. Tentu fenomena seperti ini diluar dari biasanya. Maka oleh orang-orang dulu menyebutkan sungai tersebut adalah sungai menyoleh (sungai yang menyalahi aturan aliran sungai) hingga akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Air Molek. Sedangkan dari versi yang ketiga adalah dari orang-orang tua etnis Jawa yang sudah lama bermastautin di Indragiri. Menyebutkan bahwa Air Molek berasal dari kata Air dan Mole. Kata Air yang berarti memang air sedangkan mole berarti balik. Hal tersebut berdasarkan keadaan air sungai yang terdapat di daerah tersebut yang apa bila sungai kuantan naik maka aliran sungai itu balik ke asalnya. Pertemuan dua arus tersebut menjadi keanehan hingga disebutlah nama sungai tersebut menjadi Air Mole (air balik).

 
HISTORIOGRAFI AIR MOLEK
Masyarakat Inhu terlanjur meyakini 5 Januari merupakan hari jadi Kota Rengat. Padahal hasil penelusuran anak jati Rengat, Susilowadi alias Ilo ke Belanda, 5 Januari adalah hari pembantaian KNIL terhadap rakyat sipil.


Almarhum Mandor Rasiman merupakan salah satu kerabat Kerajaan Indragiri, semasa kerajaan diperintah oleh Sultan Isa, ayahanda dari Sultan Mahmud. Dan Mandor Rasiman adalah salah satu korban pembantaian tentara Belanda di Skip Cipayung Rengat. Salah satu ahli waris atau cucu kandung Mandor Rasiman,Susilowadi, SE, SH, MH dikenal dengan sebutan Bang Illo, menegaskan bahwa pada tanggal 5 Januari 2012 bukan untuk diperingati sebagai “Hari Jadi Kota Rengat” tetapi untuk mengenang peristiwa 62 tahun yang lalu, yaitu jatuhnya Kota Rengat karena peristiwa pembantaian 2.600 orang oleh pasukan Belanda dan KNIL atau SPESIAL TROOPEN. 
Bang Illo akan memperjuangkan dan akan tetap menolak, jika tanggal 5 Januari dijadikan sebagai Hari Jadi Kota Rengat, walaupun Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Indragiri Hulu telah mem-Perdakan Hari Jadi Kota Rengat pada 5 Januari dengan berperdoman pada peletakan batu pertama pembangunan Masjid Raya Rengat pada 5 Januari 1815.
“Apabila Perda penetapan Hari Jadi Kota Rengat tidak direvisi, maka akan tetap menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan dipastikan akan menghambat pembangunan Kabupaten Indragiri Hulu, sebab pada tanggal yang sama, 5 Januari terjadi suatu peristiwa pembantaian dan jatuhnya Kota Rengat,” tegas Bang Illo.


Istana Raja Gunung Sahilan
Bekas istana Kerajaan Gunung Sahilan (1700-1941) masih berdiri di kawasan Kampung Gunung Sahilan, Kecamatan Gunung Sahilan (Kampar Kiri) Kabupaten Kampar. Sebuah bangunan renta yang tampak uzur dimakan usia, bahkan nyaris rubuh karena tidak adanya perhatian sama sekali. Melihat kondisinya yang sangat dan sangat memprihatinkan itu, niscaya beberapa tahun ke depan situs sejarah paling bernilai tersebut akan punah-ranah. 
Istana Raja Gunung Sahilan
Istana Kerajaan Gunung Sahilan dari Pekanbaru Ibukota Provinsi Riau berjarak lebih kurang 70km atau dapat ditempuh lebih kurang 1jam perjalanan darat. Dulunya jalan akses menuju Istana,kita harus melewati jalur sungai melewati Sungai Kampar melalui rakit,pompong atau sampan. Kini Telah berdiri dengan kokoh sebuah jembatan. Tidak jauh dari jembatan tersebut kita dapat menjumpai sebuah Istana Tua yang sudah tidak terawat yaitu Istana Kerajaan Gunung Sahilan, Istana ini tepat berada di Jalan Istana.
Istana Raja Gunung Sahilan (Tampak dari Samping)
Istana ini persis berada di depan Alun-alun Ninik mamak masyarakat Gunung Sahilan.  Didalam istana ini terdapat beberapa benda peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan, diantaranya  meriam kecil atau lelo (sebutan masyarakat tempatan), kendi, gong hitam, tombak, pedang, payung kerajaan, yang apabila dibuka diyakini masyarakat sekitar maka daerah gunung sahilan akan turun hujan, sebuah guci yang pada musim kemarau terisi penuh, tapi ketika musim hujan gucinya kosong, kata masyarakat setempat yang menyakininya., tempat tidur beserta kasur dan beberapa photo lama yang terpajang didalam istana.
Istana Raja Gunung Sahilan (Tampak Samping)
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng. Beberapa keturunan raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul. “Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang rumahnya berada tidak jauh dari istana. 
Bagian Belakang Istana Raja Gunung Sahilan
Menurut Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh. “Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan. “Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar. Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941). “Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.

Komplek Makam Raja Raja Gunung Sahilan

Tidak jauh dari Istana dapat kita jumpai Makam-Makam Raja Gunung Sahilan, namun ada yang sangat menarik perhatian diantara sekian banyak makam tersebut terdapat Makam yang di nisan bertuliskan tahun 1357, apakah tahun yang dimaksud Tahun Hijriah atau Tahun Masehi, kemudian juga terdapat Makam yang bernisankan batu alam. 
Salah Satu makam Tua di Kompleks Makam Raja Raja Gunung Sahilan, di Nisan Makam bertulsikan tahun 1357
Salah Satu Nisan Makam Raja Gunung Sahilan yang bernisankan Batu Alam



Minas adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Siak, Riau (Latitude. 0.8333333°, Longitude. 101.4833333°). Minas merupakan salah satu daerah yang pertumbuhannya relatif pesat dibandingkan dengan daerah lainnya di Riau. Ini disebabkan Minas mempunyai ladang minyak yang kaya.
 
Minas merupakan daerah pengeboran minyak pertama untuk daerah Riau dan pompa minyak pertama itu sekarang sudah tidak beroperasi lagi karena minyaknya sudah kering. Penetapan lokasi sumur minyak ini dilakukan pada Maret 1941 dan pengeboran pertama dimulai pada 10 Desember 1944 dengan kedalaman sumur 800 meter. Merk pompa yang digunakan adalah LUFKIN dan pompa ini sekarang dijadikan monumen sejarah perminyakan di Propinsi Riau yang berdiri megah di kota Minas.
 
 
 
Ladang minyak Minas memberi sumbangan besar dari tahun 1970-1980, rata-rata dengan produksi di kisaran 1.000.000 - 4.000.000 bopd (barrel oil per day) -1 barrel-nya 159 liter  bagi produksi minyak mentah Indonesia.