Tampilkan postingan dengan label KERAJAAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KERAJAAN. Tampilkan semua postingan

Makam Raja Pelalawan ini terdapat di Keluarahan Pelalawan kecamatan Pelalawan Kabupaten Pelalawan. makam ini merupakan salah satu situs cagar budaya yang ada di Kabupaten Pelalawan dan peninggalan dari 'Kerajaan Pelalawan'

Situs Cagar Budaya Makam Raja- Raja Japura ini berada di Desa Japura, Kecamatan Lirik Kabupaten Indragiri Hulu. Disitus cagar budaya ini terdapat Makam Raja Japura dan Makam Datuk Bendahara idah Hitam 


Kesultanan Kuntu Kampar terletak di Minangkabau Timur, daerah hulu dari aliran Kampar Kiri dan Kanan. Kesultanan Kuntu atau juga disebut dengan Kuntu Darussalam di masa lalu adalah daerah yang kaya penghasil lada dan menjadi rebutan Kerajaan lain, hingga akhirnya Kesultanan Kuntu dikuasai oleh Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kini wilayah Kesultanan Kuntu hanya menjadi sebuah cerita tanpa meninggalkan sedikitpun sisa masa kejayaan, Kesultanan Kuntu kini berada di wilayah Kecamatan Kampar Kiri (Lipat Kain) Kabupaten kampar.

Kuntu di masa dahulu adalah sebuah daerah yang sangat strategis baik dalam perjalanan sungai maupun darat. Di bagian barat daya Kuntu, di seberangnya ada hutan besar yang disebut Kebun Raja. Di dalam hutan yang bertanah tinggi itu, selain batang getah, juga ada ratusan kuburan tua. Satu petunjuk bahwa Kuntu dulu merupakan daerah yang cukup ramai adalah ditemukannya empat buah pandam perkuburan yang tua sekali sehingga hampir seluruh batu nisan yang umumnya terbuat dari kayu sungkai sudah membatu (litifikasi). Salah satu di antara makam-makam tua itu makam Syekh Burhanuddin, penyiar agama Islam dan guru besar Tarekat Naqsabandiyah yang terdapat di Kuntu. Makam itu berada dekat Batang Sebayang. Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir 530 H atau 1111 M di Makkah Almukarramah dan meninggal pada 610 H atau 1191 M.

Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama-tama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan.
Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu. Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti.  Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al Azhar di Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu.
Kerajaan Kampar saat ini berada di kabupaten Pelalawan (Dahulu Pelalawan menjadi bagian dari Kampar). Provinsi Riau. Kampar ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus menerima instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat, negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).

Sultan Abdullah Kampar kemudian menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Melaka. Walaupun menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang dan menguasai Melaka pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis, Sultan Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.

Sultan Mahmudsyah yang saat itu bersemayam di Bintan mengirim armada yang dikepalai menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar diselamatkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan kabar angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis curiga dan termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both seperti termuat dalam suratnya kepada Sultan Tidore tahun 1612 (Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah dikejar-kejar Portugis dari Bintan, sehingga ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) sampai mangkatnya pada tahun 1528 M (Marhum Kampar).
Berdasarkan Tambo Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, Kerajaan Koto Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis, “Pada masa jayanya Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kandis,” . Maka berdirilah Kerajan Koto Alang pada tahun ke 2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).

“Berdirinya Kerajaan Koto Alang maka terjadilah perebutan kekuasaan antar kerajaan,” Maka pada tahun 6 M Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang. Dimenangkan Kerajaan Kandis. Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi, ”Itulah asal usul nama Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo—buka sila, di Dusun Botuang.” Karena tidak mau tunduk dibawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatra Barat) dan mereka berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan, ”Kedua tokoh inilah yang menjadi tokoh adat legendaris Minangkabau.”.

Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masih bisa ditemukan yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang ditemukan Raja Aur Kuning didalam kepala Gajah Tunggal sewaktu Raja Aur Kuning mengalahkan Gajah Tunggal—karena mempunyai satu gading, dibunuh dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. ”Tempat Raja Aur Kuning membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat disebelah selatan Pasar Lubuk Jambi, Mustika Gajah dan Gading Tunggal,

Hampir setengah abad setelah tenggelamnya Kerajaan Pekaitan dan Batu Hampar, munculah Kerajaan baru di Rokan Hilir, yaitu Kerajaan Bangko. Kerajaan Bangko didirikan oleh seorang ulama asal Aceh bernama Syarif Ali. Kerajaan ini berdiri kira-kira pada pertengahan abad XVI. Syarif Ali mendirikan kerajaan Bangko di wilayah yang merupakan bekas Kerajaan Batu Hampar. Salah satu sumber menyebutkan Syarif Ali adalah keturunan Sultan Malikussaleh. Syarif Ali pergi berlayar dan terdampar disebuah daratan, daratan itu disebut Pembatang, ketika itu Pembatang telah bermukim seseorang yang bernama Datuk Rantau Benuang, ia mengajak Syarif Ali untuk bermukim di Pembatang dan menikahkannya dengan anaknya yang bernama Halimah Putih.

Sejak kedatangan Syarif Ali, Islam berkembang pesat didaerah Pembatang dan didaerah sekitarnya, lalu daerah di sekitar Pembatang di beri nama Bantayan, diambil dari nama desa di Aceh, tempat asal Tengku Syarif Ali. Sejak itu beliau menetap di situ dan mengembangkan agama Islam pada penduduk Negeri Bangko.
Kerajaan Rokan terdapat di Desa Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu.
Raja Raja yang pernah memerintah di Kerajaan Rokan IV Koto
Raja I. Sultan Seri Alam 1340-1381
Raja II. Tengku. Raja Rokan 1381-1454
Raja III. Tengku Sutan Panglima Dalam 1454-1519
Raja IV. Tengku Sutan Sepedas Padi 1519-1572
Raja V. Tengku Sutan Gemetar Alam 1572-1603
Raja VI. Yang Dipertuan Sakti Mahyuddin (Raja Pertama dari Pagaruyung) 1603-1645
Raja VII. Yang Dipertuan Sakti Lahid 1645-1704
Raja VIII. Tengku Sutan Rokan (Pemangku) 1704-1739
Raja IX. Yang Dipertuan Sakti Selo 1739-1805
Raja X. Andiko Yang Berempat (Wakil) 1805-1817
Raja XI. Dayung Datuk Mahudun Sati (Pemangku) 1817-1837
Raja XII. Yang Dipertuan Sakti Ahmad 1837-1859
Raja XIII. Yang Dipertuan SaktiHusin 1856-1880
Raja XIV. Tengku Sutan Zainal (Pemangku) 1880-1903
Raja XV. Yang Dipertuan Sakti Ibrahim 1903-1942

Bukti Sejarah Peninggalan Kerajaan Rokan  terletak di Desa Rokan IV Koto yaitu Istana Rokan ,jaraknya sekitar 46 km dari Pasirpengaraian. Istana Rokan adalah peninggalan dari kesultanan “Nagari Tuo” berumur 200 tahun. Istana dan beberapa rumah penduduk sekitar ini memiliki koleksi ukiran dan bentuk bangunan lama khas Melayu (Rumah tinggi).


Sumber : 
Catatan dari Gazali pewaris Kerajaan Rokan IV Koto (Salinan dari catatan Sejarah Rokan IV Koto)
Sejak pertengahan abad XV sesudah pudarnya Kerajaan Rokan pertama di Kotalama, maka berdiri kerajaan Rokan bernama Kerajaan Pekaitan yang mengambil nama berdasarkan nama negeri tersebut yaitu negeri Pekaitan. Rajanya bergelar Yang Bertuan Besar Sungai Daun yang memiliki nama asli Raja Kunto. Negeri Pekaitan terletak di seberang Bagansiapiapi (di sebelah barat Sungai Besar) ± 5 kilometer dari Muara Sungai Rokan.

Rajanya senantiasa ingin bersenang-senang dengan rakyatnya. Pesta yang ia adakan (kenduri) biasanya sampai 40 hari 40 malam dengan bermacam kegiatan seperti silat, tari, catur, sabung ayam dan sebagainya. Ibu kota kerajaan bernama Pekaitan, dengan kondisi kota yang luas dan ramai. Permukiman yang padat dan berderet dari Pekaitan sampai di Siarangarang. Panjang kota Pekaitan ± 25 kilometer dengan kondisi penduduk yang makmur dan bermacam mata pencaharian seperti pertanian dan perdagangan.

Berbagai macam rempah-rempah hingga daun nipah, rotan, damar dan berbagai hasil hutan lainnya diperdagangkan di Bandar Pekaitan. Bandar Pekaitan berdasarkan cerita sama besarnya dengan Pelabuhan Pasai dan Malaka yang selalu ramai dan selalu disinggahi kapal dagang dari berbagai negara seperti India, Arab, Tiongkok, Portugis dan negara Eropa lainnya. Perhubungan Nusantara pada saat itu dari Majapahit – Malaka – Pekaitan – Jambu Air – Pasai – Goa – dan Eropa serta sebaliknya. Para pedagan tersebut mengisi air minum dan membeli hasil bumi penduduk Pekaitan.
Pada masa dulu terdapat sebuah kerajaan yang gemilang bernama Tanah Putih. Konon, sebelum menjadi Tanah Putih negeri ini disebut Tanjung Melawan. Ada lagi kerajaan yang tempatnya berdekatan dengan Kerajaan Tanjung Melawan yaitu Kerajaan Tungtung Kapur. Catatan mengenai keberadaan awal berdirinya negeri Tanah Putih ini sangat sedikit. Informasi yang agak jelas hanyalah setelah Tanah Putih bergabung dengan Kerajaan Siak pada tahun 1730 bersamaan dengan bergabungnya Kerajaan Bangko dan Kubu.

Wilayah yang menjadi negeri Tanah Putih adalah Segerogah mengikuti Sungai Rokan, mudik ke Pasir Rumput berbatasan dengan daerah Kunto di Kota Intan, kemudian dari Sarang Lang mengikuti Sungai Rokan mudik kekiri masuk ke Batang Kuman, lalu ke Muara Batang Buruk sampai watas ( batas ) air mendidih di Kepenuhan. Kemudian dari Sungai Ragung sampai Batin Delapan, dari Tanjung Serogah ke Hulu daratan di Sungai Daun aran kekanan. Ke Sungai Mahna hingga ke Hulu kemudian ke Lengkuas berbatasan dengan Tambusai.

Rakyat Tanah Putih terdiri dari 4 suku. Keberadaan suku-suku di Tanah Putih yang disebut dalam Bab Al Kawaid antara lain :
•Suku Melayu Besar dengan kepala suku bergelar Dt. Setia Maharaja
•Suku Melayu Tengah dengan kepala suku bergalar Dt. Raja Muda
•Suku Mesah dengan kepala suku bergelar Dt. Meraja Lela
•Suku Batu Hampar dengan kepala suku bergelar Dt. Sura Diraja
Sedangkan Kepala Negeri Tanah Putih bergelar Datuk Setia Maharaja dari suku Melaya Besar.
Kerajan Sintong berada di hulu Sungai Sintong, kira- kira satu kilometer dari muara Sungai Sintong anak Sungai Rokan. Tidak banyak catatan tentang kerajaan ini, selain catatan lisan. Ada sebuah situs yang penting dari kerajaan ini yaitu berupa candi yang pernah diteliti oleh tim arkeologi dari Dinas Budsenipar Provinsi Riau. Namun demikian, keberadaan candi tersebut sudah sangat rusak dan kemungkinan sulit dilakukan rekontruksi. Menurut cerita lisan masyarakat setempat, situs itu merupakan tempat ibadah nenek moyang masyarakat Sintong sebelum Islam masuk. Berubahnya keyakinan mereka dari agama lama diperoleh dari pengaruh mubalig- mubalig dan serbuan pasukan yang berasal dari Pasai dan ARU.

Kerusakan yang cukup parah justru telah berlangsung sejak zaman pemerintah Belanda. Situs ini digali masyarakat karena dianggap menyimpan benda berharga berupa harta karun seperti emas, intan, perak, dan batu- batu permata yang mahal. Keadaan ini diperburuk lagi ketika masyarakat Sintong membuat masjid dan mereka kekurangan batu bata, maka batu candi ini diangkut untuk pembangunan masjid ditempat itu.
Selain situs agama masyarakat Sintong masa lalu, ada lagi yang menarik yaitu mitos kecantikan putri Sintong yang tiada tolok bandingnya. Kecantikan putri Raja Sintong yang terkenal ini, sempat pula mengorbankan nyawa seorang anak Raja Pekaitan yang terjatuh kedalam Sungai Rokan bersama kudanya akibat menyaksikan kemolekan putri Sintong yang sedang mandi.
Kerajaan Rokan diperkirakan telah berdiri sekitar abad ke-20 M. Pusat kerajaan berada di kota lama. Nama kerajaan diambil dari nama sungai yang mengalir didaerah tersebut, yaitu sungai Rokan. Sungai Rokan merupakan salah satu sungai besar yang mengalir di bagian utara hingga barat Riau dengan panjang ± 400 kilometer. Hingga saat ini, sungai Rokan masih memainkan peranan penting sebagai jalur perhubungan antara rakyat daerah pantai timur hingga pedalaman Sumatra.

Berdasarkan peta Portugis, Rokan disebut dengan Arakan. Tetapi menurut satu riwayat, kata Rokan berasal dari bahasa Arab “rokana” artinya damai atau rukun. Konon, nama ini merupakan refleksi dari keadaan rakyat yang selalu rukun dan mementingkan kedamaian, baik dengan penduduk negeri, maupun dengan orang luar. Dari nama tersebut yang menunjukan adanya pengaruh Arab, juga bisa disimpulkan bahwa, Kerajaan Rokan berdiri setelah Islam masuk ke kawasan tersebut. Sebelum periodesasi Islam dipercayai Rokan kuno telah berdiri pada sekitar abad ke IV hingga VII Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan kuno berupa reruntuhan candi di Sedinginan dan Sintong.
Kerajaan Kepenuhan terdapat di Kabupaten rokan Hulu, Kerajaan Kepenuhan diperintah oleh Raja, berikut Raja yang pernah memerintah di Kepenuhan :

Raja I.     Raja Purba
Raja II.    To' Permaisuri
Raja III.   Raja Aru
Raja IV.  Datuk Negeri Tingga
Raja V.    Maruhum Sultan Sulaiman
Raja VI.   To' Maruhum kayo
Raja VII.  To' Maruhum Sultan Makulah Yang Dahulu
Raja VIII.  To' Sultan Makula Yang Dahulu
Raja IX.    To' Maruhum Sultan Sulaiman
Raja X.    Sultan Makula
Raja XI.  Sultan Sulaiman Yang Dipertuan Muda
Raja XII. Yang Dipertuan Besar (Yang Dipertuan Muda dari Pagaruyung)
Raja XIII. Datuk Maruhum Merah Dada
Raja XIV. Tengku Muda Sahak
Raja XV. Montuo Muda (Mencong)
Raja XVI. Tengku Sultan Sulaiman.

Sumber Catatan Sejarah Kepenuhan.
Raja -raja yang pernah memerintah di Kerajaan Rambah :
Raja I. Yang Dipertuan Muda
Raja II. Yang Dipertua Besar
Raja III. Yang Dipertuan Djumadil Alam
Raja IV. Yang Dipertuan
Raja V. Yang Dipertuan Besar
Raja VI. Yang Dipertuan Besar
Raja VII. Yang Dipertuan Besar
Raja VIII. Yang Dipertuan Besar
Raja IX. YanG Dipertuan Besar Rambah
Raja X. Yang Dipertuan Djumadil Alam Sari 1901
Raja XI. Mohamad Syarif Yang Dipertuan Besar
Raja XII. Sultan Zainal Puan Kerajaan Rambah
Raja XIII. Sultan Mahmud Manjang
Raja XIV. Tengku Saleh Yang Dipertuan Besar Rambah.

Catatan Mahidin Said.
Raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Tambusai
Raja I. Sultan Mahyudin Gelar Mohamad Kahar (850-951M)
Raja II. Sultan Zainal
Raja III. Sultan Ahmad
Raja IV. Sultan Abdullah
Raja V. Sultan Syaifuddin
Raja VI. Sultan Abdurahaman
Raja VII. Sultan Duli Yang Dipertuan Tua
Raja VIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja IX. Sultan Duli Yang Dipertuan Saidi Muhamil
Raja X. Sultan Duli Yang Dipertuan Sakti
Raja XI. Sultan Duli Yang Dipertuan Ngagap
Raja XII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja XIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Djumadil Alam (Abdul Hamid)
Raja XIV. Sultan Duli Yang Dipertuan Besar
Raja XV. Sultan Abdul Wahid (1864-1887)
Raja XVI.Sultan Zainal Abidin (1887-1916)
Raja XVII. Sultan Ahmad (Glr T. Muhamad Silung 1916)
Raja XVIII. Yang Dipertuan Tengku Muhammad Yudo
Raja XIX. Tengku Ilyas Gelar Tengku Sulung.

(disusun dari sumber tertulis Terombo Siri pegangan Raja Tambusai dalam memimpin kerajaan, disimpan oleh Haji Tengku Ilyas, Gelar Tengku Sulung Raja Tambusai XIX)
Raja I s.d ke-4 kedudukan di Karang Besar, Raja ke-5 Pindah ke Tambusai lalu ke Dalu-dalu, pada masa Raja VII Sultan Yang Dipertuan Tua dibentuklah Datuk Non Berempat : Datuk Bendaharo, Datuk Rangkayo Maharajo, Datuk Paduko Sumarajo, Datuk Paduko Majolelo
Raja XV Sultan Abdul Wahid, mendirikan Istana darurat di Rantau Binuang, setelah di nobatkan Sultan Mohammad Zainal Abidin sebagai raja XVI Tambusai berkedudukan di Istana II di Rantau Kasai
(sumber executive summary Sejarah Perjuangan Sultan Mohammad Dzainal Abidin menentang Kolonial Belanda di Rokan - Riau - Indonesia 1887-1916, oleh Pemdaprov Riau, BKS Pekanbaru 2006)
Kerajaan Kandis  diperkirakan berdiri pada 1 Sebelum Masehi, mendahului berdirinya Kerajaan Moloyou atau Dharmasraya di Sumatera Tengah. Dua tokoh yang sering disebut sebagai Raja Kerajaan Kandis  adalah Patih dan Tumenggung.

Maharaja Diraja  pendiri kerajaan Kandis  membangun sebuah istana yang megah di Bukit Bakau yang dinamakan dengan Istana Dhamna. Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk Rajo Tunggal . Datuk Rajo Tunggal memiliki senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo Dirajo. Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan Kandis. Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.

Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang, dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Rajo Tunggal memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.

Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung Melayu oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis dan Malaka sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu.
Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil dan bijaksana. Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain di antaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya berdirilah kerajaan Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.

Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut, sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir sekarang).
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Merapi.

Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan Patih dan Temenggung lari ke Gunung Marapi (Sumatera Barat) di mana keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi Dt. Ketemenggungan
.
Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar kerajaan Kandis mati terbunuh diserang oleh Raja Sintong dari Cina belakang, dengan ekspedisinya dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat berlabuhnya kapal Raja Sintong, dinamakan dengan Sintonga. Setelah mengalahkan Kandis, Raja Sintong beserta prajuritnya melanjutkan perjalanan ke Jambi. Setelah kalah perang pemuka kerajaan Kandis berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh, maka mereka sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah. Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kandis
Pada tahun 1260, di daerah Indragiri Hilir bagian utara, yaitu di daerah Gaung Anak Serka, Batang Tuaka, Mandah, dan Sungai Guntung dikuasai oleh raja-raja kecil bekas penguasa kerajaan Bintan, yang karena perpecahan sebagian menyebar ke daerah tersebut. Diantaranya terdapat Enam Batin (Kepala Suku) yang terkenal dengan sebutan Batin Nan Enam Suku, yakni:
  1. Suku Raja Asal di daerah Gaung.
  2. Suku Raja Rubiah di daerah Gaung.
  3. Suku Nek Gewang di daerah Anak Serka.
  4. Suku Raja Mafait di daerah Guntung.
  5. Suku Datuk Kelambai di daerah Mandah.
  6. Suku Datuk Miskin di daerah Batang Tuaka
Bermula dari sebuah manuskrip bertulis Jawi yang berasal dari bekas Kerajaan Kubu. Manuskrip tersebut bertajuk Hukum Adat Istiadat Negeri yang disusun oleh kepala suku Hambaraja bernama Abdurrahman bergelar Datuk Indra Setia pada tahun 1929. Kerajaan Kubu didirikan Tuanku Raja Hitam pada tahun 1084 H ( 1667 M ). Tuanku Raja Hitam konon adalah seorang bangsawan yang berasal dari Padang Nunang di Negeri Rao. Beliau datang ke daerah ini didampingi penasehat dan para pembantunya, yakni Datuk Penghulu Musa, Datuk Merah Pelangi, dan Datuk Kancil. Disamping itu, dalam rombongan Taunku Raja hitam, terdapat tiga orang hulubalang, yakni, Panglima Sati, Panglima Sultan Kaleno, dan Panglima Hundero. Dalam perjalanan menghilir Sungai Rokan, rombongan Tuanku Raja Hitam tiba di muara sungai Rokan sebelah barat Pulau Halang. Mereka kemudian menyusuri sebuah sungai bernama Sungai Baung. Daratan di kiri kanan Sungai Baung masih merupakan hutan lebat. Meskipun demikian beberapa sumber dalam cerita rakyat setempat di Sungai Baung ini telah pernah ada sebuah kampung yang bernama negeri Galangan.
Kerajaan ini didirikan oleh raja Singapura ke-V yang bergelar Raja Sampu atau Raja Iskandarsyah Zulkarnain yang lebih dikenal dengan nama Prameswara. Pada tahun 1231 telah diangkat seorang raja muda yang bergelar Datuk Setiadiraja. Letak kerajaan ini diperkirakan berada di Desa Kemuning Tua dan Desa Kemuning Muda. Kabupaten Indragiri Hilir.  Bukti-bukti peninggalan kerajaan ini adalah ditemukannya selembar besluit dengan cap stempel kerajaan, bendera dan pedang kerajaan.
Nama Keritang dipercayai berasal daripada kata akar itang, di mana itang adalah sejenis tumbuhan yang terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal. Kerajaan Keritang didirikan sekitar awal abad ke-12 (ada juga sumber lain yang menyatakan pada abad 6) yang berlokasi di Sepanjang Sungai Gangsal (Kini :  Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir) . Seni budayanya banyak dipengaruhi oleh agama Hindu, sebagaimana terlihat pada arsitektur bangunan istana yang terkenal dengan sebutan Puri Tujuh (Pintu Tujuh) atau Kedaton Gunung Tujuh. Peninggalan kerajaan ini yang masih dapat dilihat hanya berupa puing.

Dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca , Keritang disebut sebagai daerah atau kerajaan yang takluk kepada Majapahit bersama Kerajaan Kandis dan kerajaan lainnya di Sumatera. Tidaklah diketahui secara pasti kapan Kerajaan keritang ini ada dan kapan lenyapnya, informasi hanya didapat dari tambo masyarakat Indragiri dan juga Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca. 

Tercatat dari berbagai sumber Kerajaan Keritang memiliki beberapa orang raja yang memerintah selama lebih kurang 213 tahun (1298-1508). Raja-raja tersebut yaitu : 
  • Raja Kecik Mambang disebut juga dengan gelar Raja Merlang I (± 1298-1337)
  • Raja Iskandar atau Nara Singa (± 1337-1400)
  • Raja Merlang II (± 1400-1437) 
  • Raja Nara Singa