Tampilkan postingan dengan label INDRAGIRI HULU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label INDRAGIRI HULU. Tampilkan semua postingan

Pompa Angguk ini terdapat di Desa Gudang Batu Kecamatan Lirik Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau, Pompa Angguk ini dulunya miliki STANVAC (Eks Perusahaan Minyak Bumi). Pompa angguk ini berfungsi  menyedot minyak dari perut bumi, kemudian miyak yang disedot dari perut bumi disalurkan  menuju stasiun pengumpul, dan dari stasiun pengumpul di salurkan lagi dengan pipa yang lebih besar menuju stasiun akhir dengan tangki-tangki raksasa.
Panglima Raja Indragiri Raja Narasinga II bernama Andi Sumpu Muhammad ia diberi gelar Panglima Jukse Besi. Jasad Panglima Jukse Besi dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja Indragiri Desa Kota Lama Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. 


Makam Panglima Jukse Besi sepanjang 12 meter, konon panjang tubuh atau tinggi dari Panglima Jukse Besi 3 kali lebih panjang dari makamnya yaitu lebih kurang 35meter. Konon, saat dimakamkan tubuh atau jasad Panglima Jukse Besi dilipat menjadi 3 bagian, dan cerita ini telah menjadi cerita turun temurun bagi masyarakat sekitar di Makam dan juga di Kalangan Keluarga Kerajaan Indragiri. Wallahuallam, apakah benar atau tidak.


MESJID RAYA RENGAT TEMPO DULU (TAHUN 1958)
KANTOR PUSAT PERDAGANGAN SUMATRA DI RENGAT (TAHUN 1925)

PESAWAT MILIK PERUSAHAAN MINYAK STANVAC DI LIRIK
SUNGAI INDRAGIRI (TAHUN 1925)

PASAR AIR MOLEK (TAHUN 1968)

KUNJUNGAN KOLONIAL BELANDA KE MESJID INDRAGIRI/MESJID RAYA (TAHUN  1931)

Berfoto bersama dengan Calon Panglima Perang dari Cina yang bernama Go Hoeng Soen
DERMAGA JAPURA
MESJID RAYA LIRIK SEKARANG AR RAHMAN LIRIK
KAPAL TANKER MILIK  STANVAC
MESIN POMPA MINYAK DI MERBAU (SEKITAR LIRIK)
PENYEBERANGAN PASIR RINGGIT ( SEKARANG DESA PASIR RINGGIT KECAMATAN LIRIK)


SUMBER :
http://kitlv.pictura-dp.nl ( Masing-masing photo memiliki Hak Cipta)
RENGAT TEMPO DULU
KECAMATAN LIRIK FACEBOOK

MESJID RAYA RENGAT TEMPO DULU (TAHUN 1958)
KANTOR PUSAT PERDAGANGAN SUMATRA DI RENGAT (TAHUN 1925)


SUNGAI INDRAGIRI (TAHUN 1925)


KUNJUNGAN KOLONIAL BELANDA KE MESJID INDRAGIRI/MESJID RAYA (TAHUN  1931)

Berfoto bersama dengan Calon Panglima Perang dari Cina yang bernama Go Hoeng Soen

SUMBER : http://kitlv.pictura-dp.nl ( Masing-masing photo memiliki Hak Cipta)
GEOGRAFIS
Kecamatan Peranap memiliki luas daerah sebesar 1.700,98 Km2 (20.75% dari luas Kabupaten Indragiri Hulu) yang terdiri dari 12 Desa/Kelurahan yaitu Kelurahan Peranap,Kelurahan Baturijal Hilir, Desa Pauhranap, Desa Semelinang Tebing, Desa Katipo Pura, Desa Semelinang Darat, Desa Pandan Wangi, Desa Serai Wangi,  Desa Baturijal Barat, Desa Baturijal Hulu, Desa Setako Raya, Desa Gumanti.

MESJID RAJA PERANAP
Peranap merupakan salah satu kota penyangga di Kabupaten Indragiri Hulu, berada sekitar 250km dari Kota Pekanbaru. Dari Kota Pekanbaru perjalanan ke Peranap dapat dilalui melalui sarana transportasi Umum Kendaraan Roda Empat yang biasa disebut dengan Travel atau superben, dengan biaya perjalanan. Rp.50.000.

BATAS WILAYAH
- Sebelah Utara dengan Kabupaten Pelalawan
- Sebelah Selatan dengan Propinsi Jambi
- Sebelah Barat dengan Kabupaten Kuantan Singingi
- Sebelah Timur dengan Kecamatan Kelayang
KOMPANG : TRANSPORTASI SUNGAI YANG TERDAPAT DI PERANAP

Indragiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Indra” yang berarti mahligai dan “Giri” yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai. Kerajaan Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. Pada generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga II yang bergelar Zirullah Fil Alam. Istana Kerajaan Indragiri salah satu objek Wisata Riau yang paling ramai dikunjungi.


ISTANA KERAJAAN INDRAGIRI
Indragiri derived from the Sanskrit of "Indra", which means palace and "Giri" which means a high status or country, so the word is defined as the Empire State Indragiri kingdom of Indragiri palace ordered directly from the Kingdom of Malacca at the time of Raja Iskandar whose surname Narasinga I. On the generation of the King of the 4 (four) then the Sultanate of Indragiri palace was founded by Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga II who holds Zirullah Fil Alam.
Situs Cagar Budaya Makam Raja- Raja Japura ini berada di Desa Japura, Kecamatan Lirik Kabupaten Indragiri Hulu. Disitus cagar budaya ini terdapat Makam Raja Japura dan Makam Datuk Bendahara idah Hitam 


Rentak Bulian merupakan ritual pengobatan, dimana diambil dari Kata Rentak dan Bulian. Rentak yang maksudnya merentak atau melangkah, dan Bulian adalah tempat singgah mahluk bunian atau mahluk halus dalam bahasa daerah Indragiri Hulu. Tarian Rentak Bulian ini sangat kental dengan suasana dan unsur magis, dan sebelum ritual tari dilakukan dilakukan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terutama oleh penari. Ritual tersebut diantaranya sebagai berikut :
  1. Penari adalah terdiri dari delapan orang muda yaitu 7 ( tujuh ) perawan dara yang cantik dan molek tidak sedang kotor (bersih dari haid), serta 1 ( satu ) orang pemuda gagah perkasa yang baligh
  2. Hapal benar gerak dan laku tari
  3. Setiap penari tak ada yang berdekatan bertalian darah
  4. Seluruh penari mendapat izin tetua adat kampung
  5. Sebelum menari, penari sudah diasapi dengan gaharu
  6. Alat musik harus di keramati
  7. Mayang pinang terpilih mudanya serta perapian tak boleh di mantera
Acara ritual tari ini dilakukan sebelum pertunjukan tari. Apabila ritual tari ini diindahkan, biasanya akan mendapat celaka yang tak di inginkan.  Dalam jalannya tari, tubuh para penari biasanya akan dalam keadaan siap menari dengan catatan sehat dan juga akan menjadi media penolak bala oleh para mahluk gaib. Biasanya pula penari pria akan dalam keadaan setengah sadar pada akhir puncak tari. Pada waktu itulah pula penari pria tersebut akan memecahkan mayang pinang sebagai media pengobatan dengan merentak mengelilingi penari perempuan lainnya.
PERLENGKAPAN TARI
  • Bulian                :  Sejenis rumah rumahan atau pondok untuk tempat ritual
  • Perapian            :  Tempat untuk membakar sesaji
  • Kapur Sirih        : Alat untuk membuat balak atau tanda silang
  • Mayang Pinang  : Pohon pinang dan diukir motif melayu
  • Baju Adat          : Untuk dipakai para penari dan pemusik
  • Alat Musik         : Untuk pengiring tari

ALAT MUSIK PENGIRING TARI
  • Gong (alat dari besi logam sebagai pengiring ritme langkah kaki penari)
  •  Seruling (alat tiup dari buluh bambu pilihan berlubang tujuh sampai duabelas sebagai tangga nada)
  •  Ketok-ketok (dari sebongkah batang kelapa tua yang berdiameter 30-45 cm, di lubangi menyerupai kentongan pada daerah jawa)
  •  Tambur (gendang besar sebagai bass)
  • Kerincing pada kaki penari
  • Gendang
Taman Nasional Tesso Nilo adalah sebuah taman nasional yang terletak di provinsi Riau tepatnya di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu  Taman nasional ini diresmikan pada 19 Juli 2004 dan kini Taman Nasional Tesso Nilo menjadi salah satu primadona Wisata Riau. 

Terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia di setiap hektare Taman Nasional Tesso Nilo. Tesso Nillo juga adalah salah satu sisa hutan dataran rendah yang menjadi tempat tinggal 60-80 ekor gajah dan merupakan kawasan konservasi gajah selain itu Taman Tesso Nilo juga sebagai tempat  pelestarian habitat harimau Sumatera.

Masyarakat di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo mempertahankan pohon Sialang dan mengambil madu dari lebah yang ada di pohon sialang  dan menjadikan madu hutan sebagai usaha ekonomi alternatif. 



Tesso Nilo National Park is a national park located in Riau province, exactly in Regency Pelalawan and Indragiri Hulu Regency Park was inaugurated on July 19, 2004 and now Tesso Nilo National Park became one of the excellent Tourism Riau. 


There are 360 ​​species of flora which belong to 165 genera and 57 tribes, 107 species of birds, 23 species of mammals, three types of primates, 50 species of fish, 15 species of reptile and 18 amphibian species in each hectare Tesso Nilo National Park. Tesso Nillo also is one of the remaining lowland forests are home to 60-80 elephants and an elephant conservation area in addition to the Garden of Tesso Nilo as well as the Sumatran tiger habitat preservation. 



 Communities surrounding the Tesso Nilo National Park to maintain the tree and take the honey from the beehive bees in the tree honey beehive and make the forest as an alternative economic enterprises. 
Taman ini terletak di tengah kota Rengat, taman ini dijadikan tempat bermain dan tempat berkumpul anak-anak muda Kota Rengat. Ditengah taman ini terdapat sebuah tugu yang menyerupai sebuah obor.



This park is located in downtown Rengat, this park is used as a playground and a gathering place for young children Rengat City. Amid this garden there is a monument that resembles a torch.
Kerajaan Indragiri diperkirakan berdiri tahun 1298 dengan raja pertama bergelar Raja Merlang berkedudukan di Malaka. Demikian pula dengan penggantinya Raja Narasinga I dan Raja Merlang II, tetap berkedudukan di Malaka. Sedangkan untuk urusan sehari-hari dilaksanakan oleh Datuk Patih atau Perdana Menteri. pada tahun 1473, waktu Raja Narasinga II yang bergelar Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alam (Sultan Indragiri IV), beliau menetap di ibu kota kerajaan yang berlokasi di Pekan Tua sekarang.
PUING PUING GERBANG ISTANA RAJA INDRAGIRI PERANAP

Pada tahun 1815, dibawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat. Dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim ini, Belanda mulai campur tangan terhadap kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah ke Hilir sampai dengan batas Japura.

                                                   TANGGA MASUK KE ISTANA

PUING-PUING ISTANA RAJA PERANAP

Kini Kerajaan Indragiri di Peranap hanya dapat dilihat dari puing-puing reruntuhan bangunan Istana yang tidak terawat dan berada dalam semak belukar.

Istana Raja Peranap ini dapat dijumpai di RW Kampung Baru sekitar 500m dari Pasar Peranap Kecamatan Peranap kabupaten Indragiri Hulu. Istana ini posisinya berhadapan langsung dengan Sungai Indragiri.

Kini puing-puning Istana Raja Indragiri Peranap menjadi salah satu Ikon Wisata Riau khususnya di Indragiri Hulu.
Danau Menduyan
Danau Menduyan merupakan salah satu objek wisata yang menarik dikunjungi untuk bersantai dan piknik bersama keluarga, karena keindahan panorama alamnya. Lokasi danau ini masih dalam satu kawasan dengan Situs Cagar Budaya, Kompleks Makam Raja-raja Indragiri, tepatnya di daerah Koto Lama, yang berjarak 17 km dari Kota Rengat.




 Menduyan Lake
Menduyan Lake . It is one of interesting tourism objects visited to relax and for picnic with families, by reason of its natural scenery beauty. This location of this lake is still in one area with the Cultural Preservation Site, Indragiri Kings Graveyard Compound, to be exact in Koto Lama area, situated 17 km from Rengat city.

Sumber : Riau Tourism Board
                                    
Taman Putri Junjung Buih, terletak di kota Rengat. Lokasinya sangat mudah dijangkau karena berada persis di pinggiran jalan besar di salah satu sudut Kota Rengat. Di taman ini pengunjung dapat bersantai menikmati panorama alam yang indah, sedangkan anak-anak dapat bermain sepuasnya di taman yang tertata rapi, bersih dan asri.




Putri Junjung Buih Park . It is situated in Rengat city. Its location is easily reaced because it exactly situated on the side of highway in one of the corners in Rengat city. In this park visitors can relax enjoying the beautiful natural scenery, while the kids can play as much as they can in the park neatly structured, clean and artistic.

Photo : Rilham (Forum Skycrapercity Riau)
Teks : Riau Tourism Board
WISATA RIAU
Komunitas Suku Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, masih kental dengan beragam upacara adat yang telah mereka lakukan secara turun temurun. salah satunya adalah upacara pernikahan (gawai), upacara adat ini dilakukan dengan ritual-ritual khusus yang sangat menarik untuk disimak.

Sebelum melakukan resepsi pernikahan Suku Talang Mamak  mengadakan sabung ayam. Sabung ayam ini adalah sebagai hiburan dalam rangkaian upacara adat Talang Mamak. Apabila sabung ayam ini ditiadakan maka upacara adat terasa tidak akan lengkap. Selain itu sabung ayam ini berguna untuk menambah lauk yang akan di masak pada pesta pernikahan. Jadi, ayam yang kalah akan di potong dan di jadikan hidangan pesta.
Sabung ayam ini juga tergolong unik, ayam-ayamnya tidak dibiarkan bertarung secara alami, tapi oleh pemiliknya ayam-ayam yang akan bertarung dipasangkan pisau pada tajinya Tak ketinggalan mereka juga bertaruh dalam sabung ayam ini. Yang kalah berkewajiban membayar taruhan dan yang menang berhak menerima uang taruhan. Maka yang kalah menyerahkan uang sejumlah Rp 80.000 sebagai uang taruhan dan Rp 40.000 sebagai uang beli ayam.
RITUAL SABUNG AYAM SUKU TALANG MAMAK



Setelah dilakukan Ritual Sabung Ayam, kemudian dilakukan acara penyerahan alat-alat yang akan dimasak atau yang biasa dikatakan lemukut sepatah rebung sepucuk pakis sekalo selemak semanis. Yaitu, satu nampan besar yang berisi garam, gula, minyak, kelapa, bumbu dapur, dan sebagainya. Selain itu juga ada sepiring sirih. Selanjutnya Kepala Adat membuka kata untuk memberikan seserahan alat dapur ini. Kemudian menyerahkannya kepada istri Kepala Dusun. Seserahan diterima dan ia juga memakan sirih yang diberikan. Selanjutnya seserahan ini diserahkan kembali oleh Istri Kadus kepada orang yang akan memasak agar segera mulai memasak hidangan pesta nanti malam.

Setelah acara penyerahan alat dapur, berikutnya adalah mandi belimau. Mandi belimau ini kedua calon pengantin dimandikan dengan air jeruk nipis. Hal ini bertujuan untuk membersihkan diri sebelum upacara pernikahan berlangsung.

Acara nikahannya berlangsung malam hari sekitar pukul 20.00. Inilah adat pernikahan Orang Talang Mamak. Tarek tando surung tando: Ahli waris bertimpal pihak naik ke RT dari RT naik ke Kadus dari Kadus ke Pegawai Adat/Imam yang menikahkan). Acara diawali dengan penyerahan piring dan keris. Keluarga laki-laki yang menyerahkan piring yang berisi sirih dan keris (keris ini nantinya akan di simpan oleh waris, hal ini dimaksudkan, jika dikemudian hari dalam rumahtangga pengantin ini ada masalah, maka warislah yang akan bertanggung jawab dan membantu mencarikan jalan keluar) serta 24 piring kepada pihak perempuan. Piring ini berjumlah 24 karena calon pengantin pria adalah anak sulung. Sesuai dengan adat Orang Talang Mamak, apabila pengantin pria anak sulung maka ia harus memberikan 24 piring kepada keluarga calon pengantin perempuan, jika pengantin pria anak kedua maka ia harus memberikan 18 piring kepada keluarga calon pengantin perempuan, jika pengantin pria anak tengah maka ia harus memberikan 16 piring kepada keluarga calon pengantin perempuan, jika pengantin pria anak bungsu maka ia harus memberikan 24 piring kepada keluarga calon pengantin perempuan, sama seperti anak sulung.
PENYERAHAN PIRING DAN KERIS


Setelah waris (keluarga) perempuan menerima piring, maka waris perempuan memberikan piring berisi sirih dan keris kepada Ketua RT dan berunding agar anak mereka segera dinikahkan. Setelah berunding waris perempuan memberikan uang Rp 50.000 sebagai upah nikah yang nantinya akan diberikan kepada pegawai yang menikahkan kedua mempelai. Selanjutnya, Ketua RT memberikan piring berisi sirih dan keris kepada Kepala Dusun. Ketua RT menyalami Kadus, Kadus pun menerima piring dan memakan sirih yang diberikan, selanjutnya Ketua RT menjelaskan maksud kedatangannya adalah ada dua orang yang datang kepadanya dan minta dinikahkan. Kepala Dusun menjawab, “Jika memang keduanya sudah sepakat, maka nikahkanlah tetapi saya pun tidak bisa menikahkan mereka karena ada Pegawai Adat/Imam yang akan menikahkan mereka.” Maka Kadus menunjuk satu orang pegawai adat yang akan menikahkan kedua mempelai. Selanjutnya Kadus memberikan piring berisi sirih dan keris kepada pegawai yang telah ditunjuk.
BERPOTO DI RUMAH PANGGUNG SUKU TALANG MAMAK
Setelah disepakati pegawai yang akan menikahkan, waris dari calon pengantin perempuan menyiapkan sebuah kayu panjang yang telah dibersihkan kulitnya (kayu kubak) sebagai tanda pernikahan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya kayu kubak tersebut dilintangkan di tengah-tengah ruangan tepatnya sebelum diatas dek rumah namun bisa dijangkau. Kedua pengantinpun bergabung dengan tetamu yang sudah hadir. Kedua mempelai telah tampil dengan pakaian pengantin ala Talang Mamak. Pengantin pria mengenakan baju kemeja putih dan celana jeans yang sedikit lusuh. Untuk menandakan dia sebagai pengantin dengan para hadirin lainnya hanyalah mahkota yang terdapat dikepalanya. Mahkotanya sederhana saja, kopiah hitam yang diberi hiasan manik-manik dan bendana. Sedangkan pengantin wanita mengenakan kebaya dengan bawahan sarung. Dibadannya juga dibalutkan dengan kain bermotif batik. Pengantin wanita juga mengenakan mahkota yang sedikit lebih ramai dari pengantin pria.
Setelah calon pengantin pria dan wanitanya memasuki ruangan maka mereka berputar tiga kali di bawah kayu kubak tersebut. Kemudian kedua mempelai beradu cepat untuk duduk, siapa yang cepat maka dialah yang akan menang dan kali ini yang menang adalah calon pengantin wanitanya. Setelah kedua mempelai duduk berhadapan di bawah kayu kubak, calon pengantin pria dan wanita saling bertukar rokok, kemudian keduanya sama-sama memakan sirih, dan selanjutnya kedua mempelai saling menyuapi nasi yang diletakkan ditelapak tangan masing-masing sebagai tanda sehidup semati. 
PENGANTIN PRIA DAN PENGANTIN WANITA SALING BERTUKAR ROKOK

PENGANTIN TALANG MAMAK SALING MENYUAPKAN

Selanjutnya, hadirin yang berada di ruangan tersebut saling berbalas pantun. Baik tua maupun muda berhak memberikan pantun dan kemudian dibalas oleh yang lainnya. Setelah berpantun, pegawai adat yang akan menikahkan kedua mempelai berdiri di bawah ujung kayu kubak memberikan nasihat perkimpoian. Selanjutnya pegawai mengeluarkan keris dan menancapkan keris pada kayu kubak sambil membaca mantra dan selanjutnya menempelkan keris di dada kedua mempelai secara bergantian. Selanjutnya pengantin kembali beradu cepat untuk duduk dan kali ini pemenangnya adalah pengantin pria. Dengan duduknya kedua mempelai maka pernikahan itu dinyatakan sah. Pegawai adat pun menyatakan kedua mempelai telah sah sebagai suami istri. Mereka tersenyum. Acara dilanjutkan dengan bersalaman, diawali kepada orang tua keluarga, beberapa orang yang dituakan dan dihormatai di lingkungan mereka dan seluruh hadirin yang memenuhi ruangan tersebut sebagai tanda mereka telah sah menjadi sepasang suami istri dan memohon doa agar kebahagiaan selalu menyertai keluarga mereka kelak. Upacara pernikahan adat Talang Mamak ini diakhiri dengan acara bersantap bersama.

BACA JUGA : 


Sejarah

Suku Talang Mamak tergolong Melayu Tua (Proto Melayu) merupakan suku asli Indragiri, mereka juga menyebut dirinya "Suku Tuha".  Sebutan tersebut bermakna suku pertama datang dan lebih berhak terhadap sumber daya di Indragiri Hulu.  Menurut mitos Suku Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga yang berasal dari kayangan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar, tempat Pati). Hal ini terlihat dari ungkapan "Kandal Tanah Makkah, Merapung di Sungai Limau, menjeram di Sungai Tunu". Itulah manusia pertama di Indragiri nan bernama Patih. 



Penyebaran

Suku Talang Mamak tersebar di empat kecamatan yaitu : Kecamatan Batang Gangsal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dan satu kelompok berada di Dusun Semarantihan Desa Suo-suo Kecamatan Sumai Kabupaten Tebo Jambi. Pada tahun 2000 populasi Talang Mamak diperkirakan ±1341 kepala keluarga atau ±6418 jiwa.

PETA PENYEBARAN SUKU TALANG MAMAK


Budaya

Kepercayaan Talang Mamak masih animisme dan sebagian kecil Katolik sinkritis khusunsya penduduk Siambul dan Talang Lakat. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai orang "Langkah Lama", yang artinya orang adat. Mereka membedakan diri dengan Suku Melayu berdasarkan agama. Jika seorang Talang Mamak telah memeluk Islam, identitasnya berubah jadi Melayu. Orang Talang Mamak menunjukkan identitas secara jelas sebagai orang adat langkah lama. Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti ada yang berambut panjang, pakai sorban/songkok dan gigi bergarang (hitam karena menginang). Dalam selingkaran hidup (life cycle) mereka masih melakukan upacara-upacara adat mulai dari melahirkan bantuan dukun bayi, timbang bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat dan berdukun, beranggul (tradisi menghibur orang yang kemalangan) dan upacara batambak (menghormati roh yang meninggal dan memperbaiki kuburannya untuk peningkatan status sosial).

Kebanggaan terhadap kesukuan tersebut tidak lepas dari sejarah kepemimpinan Talang Mamak dan Melayu di sekitar Sungai Kuantan, Cenaku dan Gangsal. Kepemimpinan Talang Mamak tercermin dari pepatah "Sembilan Batang Gangsal, Sepuluh Jan Denalah, Denalah Pasak Melintang; Sembilan Batin Cenaku, Sepuluh Jan Anak Talang, Anak Talang Tagas Binting Aduan; beserta ranting cawang, berinduk ke tiga balai, beribu ke Pagaruyung, berbapa ke Indragiri, beraja ke Sultan Rengat". Ini menunjukkan bahwa Talang Mamak mempunyai peranan yang penting dalam struktur Kerajaan Indragiri yang secara politis juga ingin mendapatkan legitimasi dan dukungan dari Kerajaan Pagaruyung.

PESTA PERNIKAHAN SUKU TALANG MAMAK

 Hingga sekarang sebagian besar kelompok Talang Mamak masih melakukan tradisi "mengilir/menyembah raja/datok di Rengat pada bulan Haji dan hari raya" sebuah tradisi yang berkaitan dengan warisan sistem Kerajaan Indragiri. Bagi kelompok ini ada anggapan jika tradisi tersebut dilanggar akan dimakan sumpah yaitu "ke atas ndak bepucuk, ke bawah ndak beurat, di tengah dilarik kumbang" yang artinya tidak berguna dan sia-sia. 
Mereka memiliki berbagai kesenian yang dipertunjukkan pada pesta/gawai dan dilakukan pada saat upacara seperti pencak silat yang diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang, tari bulian dan main ketebung. Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan upacara-upacara tradisional yang selalu dihubungkan dengan alam gaib dengan bantuan dukun.

Prinsip memegang adat sangat kuat bagi mereka dan cenderung menolak budaya luar, tercermin dari pepatah "biar mati anak asal jangan mati adat". Kekukuhan memegang adat masih kuat bagi kelompok Tigabalai dan di dalam taman nasional, kecuali di lintas timur karena sudah banyaknya pengaruh dari luar.

Dengan berlakunya UU Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979, mengakibatkan berubahnya struktur pemerintahan desa yang sentralistik dan kurang mengakui kepemimpinan informal. Akhirnya kepemimpinan Talang Mamak terpecah-pecah, untuk posisi patih diduduki 3 orang yang mempunyai pendukung yang fanatis, demikian juga konflik terhadap perebutan sumber daya. Walaupun otonomi daerah berjalan, konflik kepemimpinan Talang Mamak sulit diresolusi,




Pendidikan

Sebagian besar penduduk Talang Mamak buta huruf yang disebabkan oleh berbagai faktor dan kendala. Di dalam taman nasional, wilayahnya tidak terjangkau, sarana prasarana tidak memungkinkan. Di luar taman seperti di Lintas Timur, sekolah baru ada akhir-akhir ini dan kurang diminati sebab pendidikan dirasa tidak dapat memecahkan masalah mereka di samping ekonomi yang subsistem. Di wilayah Tigabalai sebagian besar menolak pendidikan, karena anak-anak mereka yang bersekolah dan mengecap pendidikan akhirnya keluar dari kelompoknya.

KELUARGA SUKU TALANG MAMAK


Lingkungan dan Ekonomi 

Tanah dan hutan bagi Suku Talang Mamak merupakan bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Sejak beratus-ratus tahun mereka hidup damai dan menyatu dengan alam. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan melakukan perladangan berpindah. Dari dulu mereka berperan dalam penyediaan permintaan pasar dunia. Sejak awal abad ke-19 pencarian hasil hutan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dunia terhadap hasil hutan seperti jernang, jelutung, balam merah/putih, gaharu, rotan. Tetapi abad ke-20 hasil hutan di pasaran lesu atau tidak menentu, namun ada alternatif ekonomi lain yaitu mengadaptasikan perladangan berpindah dengan penanaman karet. Penanaman karet tentunya menjadikan mereka lebih menetap dan sekaligus sebagai alat untuk mempertahankan lahan dan hutannya. 
BERPOTO DI RUMAH PANGGUNG SUKU TALANG MAMAK
Mereka mulai terusik dan diporakporandakan oleh kehadiran HPH, penempatan transmigrasi, pembabatan hutan oleh perusahaan dan sisanya dikuasai oleh migran. Kini sebagian besar hutan alam mereka tinggal hamparan kelapa sawit yang merupakan milik pihak lain. Penyempitan lingkungan Talang Mamak berdampak pada sulitnya melakukan sistem perladangan beringsut dengan baik dan benar dan harus beradaptasi, bagi yang tidak mampu beradaptasi kehidupannya akan terancam. Oleh sebab itu, sekelompok suku Talang Mamak yang di Tigabalai di bawah kepemimpinan Patih Laman gigih mempertahankan hutannya.
Demi memperjuangkan hutan adat, ia menentang dan menolak segala pembangunan dan perusahaan serta rela mati mempertahankan hutan. Kegigihan dan perjuangan "orang tua si buta huruf ini" diusulkan menjadi nominasi dan memenangkan penghargaan International "WWF International Award for Conservation Merit 1999" dari tingkat grass root. Beliau juga mengharumkan nama Riau dan Indonesia di bidang konservasi yang diterimanya di Kinabalu Malaysia bersama dua pemenang lainnya dari Malaysia dan India. Pada tahun 2003, Patih Laman mendapatkan penghargaan KALPATARU dari Presiden Republik Indonesia.


Terima Kasih kepada Kawan-kawan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
Peranap adalah salah satu kecamatan di Indragiri Hulu, Riau, Indonesia. Kecamatan ini juga terkenal dengan sebutan Luhak Tiga Lorong. Disebut demikian, karena pada masa kerajaan Indragiri yang berkedudukan di Pekan Tua, Raja Indragiri yang ke-16, Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah (1735-1765 M.), mengangkat tiga orang bersaudara menjadi Penghulu di tiga wilayah di Indragiri Hulu. Ketiga orang bersaudara tersebut diangkat menjadi Penghulu, karena mereka berhasil menumpas kesewenang-wenangan Datuk Dobalang yang berkuasa di negeri Sibuai Tinggi yang masih wilayah Kerajaan Indragiri. Untuk mengetahui kisah bagaimana Tiga Bersaudara tersebut mengalahkan Datuk Dobalang, ikuti kisahnya dalam Penghulu Tiga Lorong.

Pada zaman dahulu, ketika ibukota Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah perkasa dan menguasai ilmu bela diri. Mereka mahir menggunakan senjata, lincah mengelak serangan lawan, gesit menyerang, dan cerdik pula berkelit. Mereka hidup rukun dan saling membantu dalam segala hal di suatu tempat bernama Batu Jangko.

Pada suatu hari, mereka pergi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya subur, airnya jernih, ikannya jinak, dan udaranya segar. Dari satu tempat ke tempat lain, Tiga Bersaudara ini akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan untuk menetap di tempat tersebut.

Sementara itu, di istana, Raja Indragiri sangat resah, karena Datuk Dobalang yang berkuasa di Negeri Sibuai Tinggi bertindak semena-mena. Dia suka berjudi, menyabung ayam, bermabuk-mabukan, dan memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Raja Indragiri sudah muak dengan tingkah laku Datuk Dobalang. Sang Raja kemudian memerintahkan Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri untuk memanggil Tiga Bersaudara yang dikabarkan berada di Koto Siambul. Sang Raja sudah mengetahui tentang kehebatan Tiga Bersaudara tersebut.

Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga akhirnya tiba di Koto Siambul dan bertemu dengan Tiga Bersaudara yatiu Tiala, Sabila, Jati, dan Jo Mahkota. “Wahai anak muda, Baginda Raja meminta kalian menghadap ke istana di Pekan Tua,” sapa sang Duli kepada Tiga Bersaudara. Karena permintaan Raja, mereka tidak bisa menolak. Mereka pun berangkat ke istana menghadap sang Raja.

Sesampai di hadapan Raja, mereka pun memberi hormat, “Ampun, Baginda! Apa gerangan Baginda Raja memanggil kami,” tanya ketiga bersaudara serentak. Sang Raja menjawab, “Begini saudara-saudara, kami bermaksud meminta bantuan kalian untuk menaklukkan Datuk Dobalang yang telah bertindak semena-mena di Negeri Sibuai Tinggi.” Mendengar jawaban sang Raja, mereka pun menyanggupi permintaan sang Raja.

Sebagai bekal, masing-masing mengajukan perlengkapan yang diperlukan. Tiala meminta seekor ayam sabung betina dan dua buah keris bersarung emas buatan Majapahit.
Sabila Jati meminta pedang Jawi yang hulunya bertatahkan intan dengan tulisan “Muhammad”. Jo Mahkota meminta lembing dengan sarung emas dan suasa.

Setelah Raja memenuhi semua perlengkapan yang diminta, berangkatlah ketiga bersaudara tersebut ke Sibuai Tinggi dengan sebuah perahu yang dikayuh oleh 12 orang. Setiba di Sibuai Tinggi, mereka langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan ditantang untuk bersabung ayam. Ketiga bersaudara pun bertanya kepada Datuk Dobalang, “Maaf, Datuk! Apa pantang larangnya? Datuk Dobalang menjawab, “Ada empat pantang larang yang harus dipatuhi dalam pertandingan, yaitu:, dilarang bersorak dan bertepuk tangan. Kedua, dilarang memekik dan menghentak tanah. Ketiga, dilarang menyingsingkan lengan baju. Keempat, dilarang memutar keris ke depan.

“Siapa yang melanggar peraturan tersebut dianggap kalah,” tegas Datuk Dobalang dengan pongahnya.

Kemudian ketiga bersaudara bertanya lagi, “Berapa taruhannya Datuk?” Datuk Dobalang menjawab, “Tanah Inuman di kiri Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya sejauh mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi.” Mendengar begitu luasnya tanah yang dipertaruhkan Datuk Dobalang, ketiga bersaudara diam sejenak. Mereka berpikir bagaimana cara mengimbangi besarnya taruhan yang ditetapkan oleh Datuk Dobalang. Karena kecerdikan mereka, dengan percaya diri mereka pun berujar serentak, “Kami memberikan taruhan tanah Koto Siambul di kiri Sungai Indragiri, lebar dan panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi,” Sesungguhnya mereka tidak mempertaruhkan apa-apa, sebab Koto Siambul tidak dapat dilihat dari Sibuai Tinggi. Namun, Datuk Dobalang menerima taruhan itu tanpa menyadari kebodohannya.

Setelah kedua belah pihak menetapkan taruhan, saatnya menentukan hari pelaksanaan pertandingan sabung ayam. “Hai anak muda, kapan kita laksanakan pertandingan itu,” tanya Datuk Dobalang. “Terserah tuanku,” jawab ketiga bersaudara serentak. “Kalau begitu, kita laksanakan tiga hari lagi, sebab kami harus mengumpulkan para penduduk di gelanggang,” ujar Datuk Dobalang.

Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Pada hari ketiga, pertandingan Sabung ayam itu pun segera dilaksanakan. Semua penduduk berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk menyaksikan pertarungan itu. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, suasana gelanggang menjadi hening. Datuk Dubalang melepas ayam jagonya, sedangkan tiga bersaudara melepas ayam betinanya. Beradulah kedua ayam tersebut dengan seru. Baru beberapa saat pertandingan berlangsung, tiba-tiba ayam betina Tiga Bersaudara terkena kelepau (serangan) hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang sangat gembira hingga bersorak, bahkan memekik dan menghentak tanah. Tanpa ia sadari, semua aturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri.

Berkali-kali Tiga Bersaudara mengingatkan Datuk Dobalang bahwa dia telah melanggar peraturan, dan siapa pun yang melanggar peraturan harus dianggap kalah. Namun, Datuk Dobalang tidak peduli. Kesabaran itu ada batasnya. Tiga bersaudara tidak tahan lagi melihat tingkah si Datuk angkuh itu, sehingga kesabaran mereka pun habis. Sambil bersiap mengantisipasi serangan Dato Dobalang, mereka melantunkan sebuah gurindam: Penat mau bergalah coba-coba mengalas Penat hendak mengalah dicoba membalas

Ternyata benar. Baru saja gurindam itu lepas dari mulut Tiga Bersaudara, tiba-tiba Datu Dobalang menyerang mereka dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan mudah mereka mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Serang-menyerang berlangsung dengan seru. Pekikan dan bentakan bersahut-sahutan. Berkali-kali Datuk Dobalang mengayunkan kerisnya ke arah Tiga Bersaudara, berkali-kali pula Datuk Dobalang memekik geram karena serangannya dapat dielakkan oleh Tiga Bersaudara.

Suasana di gelanggan semakin gaduh. Penduduk yang ada digelanggan itu hanya terperangah menyaksikan sengitnya perkelahian antara Datuk Dobalang dengan Tiga Bersaudara. Mereka menyaksikan sendiri Tiga Bersaudara berkali-kali berkelit mengelakkan tikaman Datuk Dobalang. Melihat serangannya selalu dipatahkan oleh Tiga Bersaudara, dengan menggeram macam singa lapar, Datuk Dobalang menyerang Tiga Bersaudara. Karena ia dalam keadaan emosi, ia tidak dapat mengendalikan serangannya dengan baik, sehingga tampak serangannya membabi buta. Tentu saja kelengahan itu tidak disia-siakan oleh Tiga Bersaudara. Dengan secepat kilat, Ketiga Bersaudara tersebut mengeluarkan senjata masing-masing yang mereka minta dari Raja Indragiri. Akhirnya, pusaka-pusaka sakti tersebut membuat Datu Dobalang tewas jatuh tersungkur ke tanah.

Penduduk yang hadir di gelanggang itu segera mengerumuni mayat yang tergeletak itu. Mereka ingin memastikan apakah Datuk Dobalang benar-benar sudah mati. Dari kerumanan itu, sesekali terdengar decak kagum atau geleng kepala takjub akan keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan orang yang paling ditakuti di Negeri Sibuai Tinggi. Penduduk Sibuai Tinggi bergembira ria, sebab mereka sudah bisa mencari nafkah sehari-hari tanpa dihantui rasa takut.

Selanjutnya, Tiga Bersaudara memasukkan jasad Datuk Dobalang ke dalam peti dan segera membawanya ke hadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga Bersaudara mengalahkan Datuk Dobalang. Atas jasa-jasanya itu, sang Raja meminta kepada Tiga Bersaudara menyebutkan hadiah yang mereka inginkan. “Wahai pahlawanku, hadiah apa yang kalian inginkan?” seru sang Raja menawarkan. Tiga bersaudara tidak mengharapkan uang, emas, ataupun harta benda yang lain. “Kami hanya meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan seumur hidup,” kata Tiala mewakili saudara-saudaranya.

Sang Raja tidak mengerti apa maksud perkataan Tiala itu. Sang Raja pun mengumpulkan para menteri dan orang-orang tua yang bijak untuk mengadakan rapat tentang permintaan Tiga Bersaudara tersebut. Selama delapan hari mereka berpikir keras untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh Tiga Bersaudara tersebut. Atas petunjuk Tuhan, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa yang diinginkan Tiga Bersaudara adalah pangkat.

Ketiga Bersaudara tersebut kemudian diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong. Tiala diangkat menjadi Lelo Diraja, Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri dengan bendera berwarna putih. Sabila Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghulu Pematang lawan Batanghari, dengan bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota diangkat menjadi Penghulu Baturijal Hulu dengan anugerah dua bendera, yaitu bendera merah dari Raja Indragiri dan bendera hitam dari Raja Kuantan.

Atas anugerah pangkat yang mereka terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah, Tiada boleh akal buruk, Budi merangkak,Menggunting dalam lipatan,Memakan darah di dalam,Makan sumpah 1000 siang 1000 malam.Ke atas dak bapucuk,Ke bawah dak baurat,Dikutuk kitab Al-Qur‘an 30 juz.

Tiga Bersaudara selanjutnya menerima hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya sejuk, airnya jernih, rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun wilayah Tiga Lorong sehingga hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan bangunannya tertata rapi, perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang pesat. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai, serta menjalankan syariat agama dengan taat.

Sejak peristiwa di atas, ketiga orang bersaudara tersebut berusaha memajukan rakyat Tiga Lorong (sekarang dikenal Kecamatan Peranap). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Isjoni Ishak dan Mira Dewi Minrasih, ada beberapa usaha yang telah mereka lakukan dalam memajukan masyarakat Baturijal khususnya, dan Tiga Lorong umumnya, antara lain: Menyatukan rakyat yang bermacam-macam suku bangsa melalui pendekatan social Meningkatkan perekonomian rakyat melalui bidang pertanian, perkebunan dan perikanan. Menanamkan sifat solidaritas kepada masyarakat Tiga Lorong. Dalam hal ini, mereka tidak mau ikut campur dalam pelaksanaan adat-istiadat masyarakat yang berlainan tersebut. Menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam yang berpedoman kepada Alquran bagi masyarakat Tiga Lorong. Usaha-usaha yang telah mereka lakukan tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat desa Tiga Lorong. Hal ini terbukti dengan meningkatnya ekonomi masyarakat. Selain itu, masyarakat Tiga Lorong sangat taat terhadap ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah.

Cerita Penghulu Tiga Lorong ini kiranya dapat dijadikan sebagai suri tauladan untuk menciptakan negara yang damai, sejahtera dan makmur. Penguasa yang zalim terhadap rakyat harus dilenyapkan dari muka bumi.

Disadur dari Cerita Rakyat Indragiri Hulu : Mahligai keloyang dan Cerita  lainnya : Elmustian Rahman, Drs. Fakhri, Unri Press