Tampilkan postingan dengan label AYOKERIAU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AYOKERIAU. Tampilkan semua postingan
Berbekal Surat Izin Masuk Konservasi (SIMAKSI) dari Balai Taman Nasional Tesso Nilo, akhirnya kami diizinkan untuk memasuki Taman Nasional Tesso Nilo. Dengan biaya yang cukup murah Rp.1.000/orang kita sudah mendapatkan Surat Sakti (SIMAKSI) untuk memasuki Taman Nasional Tesso Nilo. SIMAKSI ini dapat diurus di Balai Taman Nasional Tesso Nilo Jl. Raya Langgam KM 4 Pangkalan Kerinci. Di sela pengurusan SIMAKSI di Balai Taman Nasional Tesso Nilo, kami bertemu dengan Pemuda Lokal Desa Lubuk Kembang Bungo yang berada di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo. Sembari mengulurkan tangan ia menyapa kami sambil menyebutkan Marlin, Tengku Marlin nama lengkapnya. Marlinlah menjadi guide kami selama berada di Taman Nasional Tesso Nilo. Marlin merupakan Ketua dari Kelompok Masyarakat Wisata (Kempas) Tesso Nilo.

Jumat sore waktu sudah  menunjukkan pukul 17.00WIB. Dari Kota Pangkalan Kerinci ibukota Kabupaten Pelalawan kami BERTUAH TV melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Ukui, dengan menempuh perjalanan darat selama 60menit,tibalah kami di Simpang Pulai Ukui. Dari Simpang pulai kami melanjutkan perjalanan ke dalam menuju Tesso Nilo, lebih kurang 35km dan  1jam perjalanan menuju Tesso Nilo, kami melewati Perkebunan Kelapa Sawit dan  Perkampungan Transmigrasi  SP (Satuan Pemukiman) IV, SP III, SP II, dan SP I serta Desa Air Hitam, dan Lubuk Kembang Bunga. SP merupakan Perkampungan Transmigrasi yang sebagian besar dihuni oleh Transmigran asal Jawa sedangkan Desa Air Hitam dan dan Desa Lubuk Kembang Bunga merupakan perkampungan melayu atau penduduk lokal.
                        


Tepat pukul 20.00 tibalah kami di Taman Nasional Tesso Nilo, Tengku Marlin dan
Gapura Selamat Datang Di Flying Squad menyambut kami. Keramahan Mahout (Pawang Gajah) dan Petugas WWF menyambut kami dan mereka mengantar kami untuk beristirahat home stay. Di Taman nasional Tesso Nilo tersedia beberapa Home Stay dengan tarif  dengan satu rumah  Rp.350.000/malam atau sewa kamar (dua orang) Rp.150.000/malam. Rudi salah satu mahout di Tesso Nilo mempersilahkan kami istirahat, karena esok harinya kami akan mengelilingi Hutan Tesso Nilo bersama Flying Squad.



Salah satu upaya penyelesaian konflik adalah mengembangkan Elephant Flying Squad (tim mitigasi dengan 4 ekor gajah untuk sebagai sarana mitigasi konflik gajah liar dengan manusia) atau disebut Pasukan Gajah Reaksi Cepat. Flying Squad ini bentuk pada tahun 2004, kerja sama WWF Riau dengan BKSDA Riau. Elephant Flying Squad mengembangkan teknik patroli, pengusiran dan penggiringan gajah liar melalui gajah flying squad. Salah satu kegiatan penting dari Flying Squad ini juga digunakan sarana ekowisata yaitu dalam Patroli Gajah dan simulasi mitigasi konflik dengan gajah. Wisatawan dibawa ke trek-trek patroli gajah dan trek dibuat sangat alami dan khas hutan hujan tropis Sumatera.

                     

Menurut Marlin, selain berkeliling hutan dengan Flying Suad kita juga bisa memandikan gajah serta memberi gajah makan. Dan tentuya juga dengan paket ekowisata lainnya, seperti berikut : 
Wisata Pengamatan Tumbuhan dan Satwa
Pemantauan kehidupan liar (tumbuhan dan satwa) menjadi hal penting dan menarik di Tesso Nilo. Beberapa trek ekowisata difokuskan dalam pemantauan hidupan liar ini termasuk menggunakan pompong (boat kecil) melewati sungai. Pengamatan burung (Birding) dapat dilakukan di trek Lubuk Balai, Trek Sawan dan Kuala Napu. Primata seperti siamang, wau wau dan kera ekor panjang banyak dijumpai di sungai Nilo dan Lubuk Balai. Di lokasi trek, kita dapat menjumpai jejak-jejak beruang, gajah, tapir dan harimau sumatera. Satu kegiatan ekowisata Tesso Nilo yang sanhgat menarik dan menantang adalah orbservasi Harimau dengan menggunakan jebakan kamera atau Camera Trap. Tujuannya adalah mendapatkan gambar Harimau Sumatera dan satwa lainnya yang tertangkap kamera setelah kamera terpasang.

Wisata Pompong (perahu) Tour
Aktivitas menggunakan pompong atau perahu kecil dengan mesin tempel menyusuri sungai Nilo. Kegiatan ini menarik karena pengunjung dapat menikmati perahu kecil masyarakat dan melihat kiri-kanan sungai yang banyak menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi; burung, primata atau mamalia dan jika beruntung akan melihat berbagai jenis reptil yaitu biawak sungai sampai buaya air tawar atau senyulong. Penelusuran dengan pompong, kita juga dapat melihat berbagai jenis pohon sialang (pohon madu hutan) dan berkunjung ke pohon tersebut, kemudian menyusuri kembali menuju lokasi tujuan. Perjalanan dengan pompong dapat ditempuh satu jam, untuk adventurir bisa sampai ke wilayah Sawan dengan 2 – 4 jam perjalanan.

Wisata Bersepeda
Ada satu trek untuk bersepeda di Tesso Nilo yaitu di hutan akasia dan kawasan pemukiman Lubuk Kembang Bunga. Trek ini sangat menarik dan menantang terutama bagi para petualang sepeda. Di dalam lokasi trek sepeda, selain hutan akasia dan pemukiman masyarakat lokal yang menjadi bagian obyek pemandangan, kita juga dapat melihat kebun karet dan jelutung masyarakat. Trek khusus bisa dilakukan di dalam hutan alam, dengan tantangan tersendiri terutama misalnya trek yang dilalui adalah hutan rawa.

Wisata Tradisi dan Pengetahuan Lokal Masyarakat
Madu hutan Tesso Nilo adalah icon kunjungan ekowisata berbasiskan sumber daya alam dan tradisi lokal masyarakat Tesso Nilo. Madu hutan Tesso Nilo terdapat di atas ketinggian pohon Sialang. Pohon Sialang terdiri dari berbagai jenis pohon termasuk keruing, rengas dan kedondong hutan. Dalam satu pohon sialang, sarang lebah hutan Apis dorsata dapat dihitung antara 10 – 50 sarang dengan rata-rata berat satu sarang 15 kg. Ada sekurangnya 3-4 trek lokasi utuk melihat pohon sialang sekaligus melihat cara pemanenan yang dipersiapkan untuk ekowisata. Waktu pemanenan dapat dipilih yaitu siang hari atau malam hari. Pemanenan sialang adalah salah satu tujuan yang sangat menarik, karena wisatawan dapat melihat tarian atau puji-pujian dan cara memanjat tradisional masyarakat madu hutan sekaligus menyaksikan produk madu hutan alami. Selain itu, lokasi yang menarik pula adalah menginap di Kuala Napu untuk melihat tradisi masyarakat sungai melayu yang masih dipertahankan dan tradisi dalam menangkap ikan.  Untuk berwisata dengan semua paket Ekowisata tersebut diatas dapat menghubungi
Tengku Marlin dari  Kelompok Masyarakat Wisata (Kempas) Tesso Nilo di 081371146867.
Provinsi Riau tidaklah seindah Provinsi tetangga Sumatra Barat ataupun Sumatra Utara,yang kaya akan objek wisata. Riau hanya menjadi destinasi bisnis, yang mempunyai urusan bisnis ataupun kepentingan lainnya di Riau, cenderung tidak akan bermalam atau menginap, karena mereka tidak menemukan sebuah alasan untuk berlibur ke Bumi Melayu Riau. Seorang pembicara dalam seminar, ataupun pemateri dalam sebuah training, mereka akan datang dari pagi hari jakarta kemudian  pulang sore hari. Tidak ada agenda untuk tujuan wisata sama sekali.

Bagi mereka Riau hanya sebuah tempat yang panas, sumber asap, kaya minyak dan penuh dengan gedung-gedung pemerintahan yang megah dan berarsitektur melayu. Ketika Kepulauan Riau dimekarkan menjadi sebuah Provinsi baru, Riau   kehilangan potensi sektor wisata terutama wisata bahari. Memang Riau, tidak memiliki wisata alam, tapi saya yakin suatu saat nanti akan menjadi salah satu destinasi wisata di Sumatra. Riau sebagai jantung peradaban budaya Melayu setidaknya masih bisa mengembangkan wisata di sektor seni dan kebudayaan.

Melihat orang berselancar di pantai atau laut adalah suatu hal yang sudah biasa. Tetapi melihat orang berselancar di arus sungai adalah suatu hal yang luar biasa. Kegiatan berselancar di sungai hanya ada di beberapa tempat di dunia. Dan salah satu diantaranya terdapat di Muara Sungai Kampar, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau yang biasa di sebut dengan Ombak Bono Sungai Kampar. Selain di Muara Sungai Kampar Ombak Bono atau Tidal Bore juga terdapat di Sungai Gangga dan Brahmaputra (India dan Banglades), Sungai hindustan (Pakistan), Sungai Lupar (Malaysia) biasa disebut dengan benak batang Lupar, Australia, Inggris, Perancis yang biasa disebut dengan un mascaret, Inggris, Amerika, kanada, Mexico, Brazilia.




Ombak Bono Sungai Kampar menurut masyarakat tempatan di Teluk Meranti, Kuala Kampar, Pulau Muda tingginya mencapai 6-10meter, dari kejauhan suara deru bono sungai kampar sudah terdengar. Menurut cerita Melayu lama berjudul Sentadu Gunung Laut, setiap pendekar Melayu pesisir harus dapat menaklukkan ombak Bono untuk meningkatkan keahlian bertarung mereka, mereka biasa menyebut dengan "bekudo bono", dengan bekudo bono atau mengendarai bono para pendekar melayu dapat menjaga keseimbangan badan mereka.

                        
 
Bekudo bono memiliki nuansa mistis, sebelum dilakukan ritual bekudo bono terlebih dahulu dilakukakn upacara “semah” yang dilakukan pagi atau siang hari. Upacara dipimpin oleh bomo atau Datuk atau tetua kampung dengan maksud agar pengendara Bono selalu mendapat keselamatan dan dijauhkan dari segala marabahaya.


GELOMBANG BONO OMBAK TUJUH HANTU
Menurut cerita masyarakat Melayu lama, ombak Bono terjadi karena perwujudan 7 (tujuh) hantu yang sering menghancurkan sampan maupun kapal yang melintasi Kuala Kampar. Ombak besar ini sangat menakutkan bagi masyarakat sehingga untuk melewatinya harus diadakan upacara semah.

Ombak ini sangat mematikan ketika sampan atau kapal berhadapan dengannya. Tak jarang sampan hancur berkeping-keping di hantam ombak tersebut atau hancur karena menghantam tebing sungai. Tak sedikit kapal yang diputar balik dan tenggelam akibanya. Menurut cerita masyarakat, dahulunya gulungan ombak ini berjumlah 7 (tujuh) ombak besar dari 7 hantu.

Ketika pada masa penjajahan Belanda, kapal-kapal transportasi Belanda sangat mengalami kesulitan untuk memasuki Kuala Kampar akibat ombak ini. Salah seorang komandan pasukan Belanda memerintahkan untuk menembak dengan meriam ombak besar tersebut. Entah karena kebetulan atau karena hal lain, salah satu ombak besar yang kena tembak meriam Belanda tidak pernah muncul lagi sampai sekarang. Maka sekarang ini hanya terdapat 6 (enam) gulungan besar gelombang ombak Bono.
Tujuh Hantu adalah 7 ombak Bono dengan formasi 1 di depan dan diikuti dengan 6 gelombang di belakangnya. Karena 1 ombak terbesar telah dihancurkan Belanda sehingga ombak Bono besar hanya tersisa 6 ombak dengan formasi hampir sejajar memasuki Kuala Kampar. Mengenai kapal Belanda dan orang-orangnya tidak pernah diketemukan sampai sekarang.
GERBANG  ISTANA SAYAP PELALAWAN
PRASASTI PERESMIAN ISTANA SAYAP PELALAWAN

BANGUNAN INDUK ATAU RUANG UTAMA ISTANA SAYAP PELALAWAN
ISTANA SAYAP PELALAWAN

BAGIAN SAYAP ISTANA SAYAP TAMPAK DARI SAMPING


BAGIAN SAYAP ISTANA SAYAP TAMPAK DARI DEPAN

LAMBANG KEBESARAN KERAJAAN PELALAWAN


PENDOPO ISTANA SAYAP PELALAWAN
SALAH SATU JENDELA DI ISTANA SAYAP

STEMPEL BULAT KERAJAAN PELALAWAN (ALAT PENGESAHAN/LEGALITAS SURAT MENYURAT DALAM ADMINISTRASI KERAJAAN PELALAWAN)


SILSILAH KERAJAAN PELALAWAN



TENGKU SAID USMAN (RAJA PELALAWAN MEMERINTAH PADA TAHUN 1925-1940)
TENGKU SAID HARUN, RAJA TERAKHIR PELALAWAN (1941-1946)
SINGGASANA KEBESARAN KERAJAAN PELALAWAN
TEKTAWAK (GONG) PENINGGALAN KERAJAAN PELALAWAN
MERIAM PENINGGALAN KERAJAAN PELALAWAN
TEMPAT TIDUR PERADUAN SANG RAJA
ALAT TENUN YANG BIASA DIGUNAKAN OLEH PUTRI MAHKOTA
SALAH SATU SUDUT RUANGAN ISTANA SAYAP PELALAWAN
PEWARIS SULTAN KERAJAAN PELALAWAN
GRAMAPHONE MILIK ISTRI RAJA TERAKHIR KERAJAAN PELALAWAN

ARTIKEL TERKAIT :



Danau Zamrud  berada di Desa Zamrud, Kecamatan Siak Indrapura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau yang berjarak sekitar 200 kilometer dari ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. Danau ini berada di hamparan ladang minyak bumi Coastal Plan Pekanbaru (CPP) Block yang dikelola pemerintah daerah Kabupaten Siak



Di sekitar Kawasan Zamrud ditemukan berbagai jenis satwa langka seperti ikan arwana emas (Schleropages formasus), ikan Balido, harimau sumatera (Pantheratigris sumatrensis), beruang merah (Helarctos malayanus), serta beraneka ragam jenis ular. Bahkan kicauan burung Serindit (Loriculus galgulus), yang menjadi ikon Provinsi Riau juga dapat ditemukan di kawasan ini. Uniknya lagi, pada saat sore hari ketika matahari mulai terbenam para penghuni kawasan Zamrud seperti burung elang, kera, dan harimau mulai menampakkan diri satu persatu. Kawasan danau zamrud didominasi oleh tumbuhan rawa seperti bengku, rengas dan pisang-pisang.
MESJID RAJA PERANAP

Mesjid Raja Peranap ini didirikan pada tahun 1883 dan diarsiteki oleh muallaf dari Tionghoa. Mesjid ini berada di Jalan Sutan Ibrahim Desa Pauh Ranap Kecamatan Peranap Kabupaten Indragiri Hulu. Mesjid Raja Peranap atau juga dikenal dengan Mesjid Raja Muda atau Sutan Muda Indragiri hingga saat ini masih asli dan terawat dengan baik. Mesjid ini terbuat dari kayu alami yang begitu kokoh. Mesjid ini sama sekali tanpa direnovasi, kecuali pengecatan . Ornamen dan arsitektur asli Mesjid tetap dipertahankan.



MESJID JAMI' AIR TIRIS

Masjid Jami terletak di Pasar Usang Desa Tanjung Tanjung Berulak Air Tiris, Kampar, sekitar 52 km dari Pekanbaru. Masjid ini didirikan pada 1901 atas prakarsa Engku Mudo Sangkal, seorang ulama yang mengkonsolidasikan potensi ninik-mamak dan cerdik pandai dari-20 desa di Air Tiris. Masjid ini selesai pada tahun 1904 yang diresmikan dengan meriah oleh seluruh masyarakat dengan Air Tiris dengan ritual membantai 10 ekor kerbau.


MESJID HIBBAH PELALAWAN


Mesjid Hibah dibangun pada tahun 1936 pada masa pemerintahan Pangeran Marhum Tengku Budiman. Masjid ini telah direnovasi total . Photo Mesjid Hibbah sebelum direnovasi dapat dilihat di Mesjid Hibbah Sebelum Direnovasi



 Masih akan terus diupdate Beberapa Mesjid Bersejarah lainnya di Riau !


Sumber :
Mesjid Raja Peranap
Mesjid Jami' Air Tiris
Mesjid Hibbah Pelalawan dan Mesjid Hibbah Pelalawan Tempo Dulu
Taman Nasional Tesso Nilo adalah sebuah taman nasional yang terletak di provinsi Riau tepatnya di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu  Taman nasional ini diresmikan pada 19 Juli 2004 dan kini Taman Nasional Tesso Nilo menjadi salah satu primadona Wisata Riau. 

Terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia di setiap hektare Taman Nasional Tesso Nilo. Tesso Nillo juga adalah salah satu sisa hutan dataran rendah yang menjadi tempat tinggal 60-80 ekor gajah dan merupakan kawasan konservasi gajah selain itu Taman Tesso Nilo juga sebagai tempat  pelestarian habitat harimau Sumatera.

Masyarakat di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo mempertahankan pohon Sialang dan mengambil madu dari lebah yang ada di pohon sialang  dan menjadikan madu hutan sebagai usaha ekonomi alternatif. 



Tesso Nilo National Park is a national park located in Riau province, exactly in Regency Pelalawan and Indragiri Hulu Regency Park was inaugurated on July 19, 2004 and now Tesso Nilo National Park became one of the excellent Tourism Riau. 


There are 360 ​​species of flora which belong to 165 genera and 57 tribes, 107 species of birds, 23 species of mammals, three types of primates, 50 species of fish, 15 species of reptile and 18 amphibian species in each hectare Tesso Nilo National Park. Tesso Nillo also is one of the remaining lowland forests are home to 60-80 elephants and an elephant conservation area in addition to the Garden of Tesso Nilo as well as the Sumatran tiger habitat preservation. 



 Communities surrounding the Tesso Nilo National Park to maintain the tree and take the honey from the beehive bees in the tree honey beehive and make the forest as an alternative economic enterprises. 
FESTIVAL LAMPU COLOK
FESTIVAL LAMPU COLOK is an annual ritual usually done in Riau to celebrate the coming of Idul Fitri, FESTIVAL LAMPU COLOK is usually done at the end of ramadan and has been a tradition since the first.  LAMPU COLOK is a kind of kerosene-fueled lanterns made from cans or bottles and then turned on the fire.

Siak palace known as "Palace of the Sun East" and also called Asserayah Hasyimiah or was built by Sultan Sharif Hashim Abdul Jalil Syaifudin in 1889 by German architect. The architecture is a combination between the architecture of Malays, Arabs, Europeans and Siak Palace building was completed in 1893
pacu jalur
At first Pacu Jalur was held in the villages along the Kuantan River to commemorate the great days of Islam, such as the Mawlid of the Prophet Muhammad, Eid al-Fitr, or the New Year a Muharam. When the Dutch began to enter the area of Riau (ca. 1905), precisely in the area that is now the Taluk Kuantan, they use pacu jalur in celebration of Queen Wilhelmina's birthday which falls on every 31 Agustus.Pacu Jalur  is usually done in the Tepian Narosa Kuantan Singingi 
PACU JALUR SALAH SATU ANDALAN WISATA RIAU.


AIR TERJUN GURUH GEMURAI located about 25 km from the Gulf in the village of precisely Kasang District Kuantan Mudik Mudik, en route to the location of the waterfall through the streets occasionally climbing through the twisting streets with majestic Bukit Barisan natural. Thunder Name Gemurai taken from the local language, which means thunder rumble (sound of the waterfall is); while the spark Gemurai strewn water. So waterfalls waterfalls thunder Gemurai means that the sound of the sparks rumble

Festival Bakar Tongkang is a leading cultural tourism Riau Province of Rokan Hilir (Rohil). Festival Bakar Tongkang has become a national and even international tourism. Fuel Barge ceremony is a traditional ceremony Tionghoa community in the capital district of Rokan Hilir Bagansiapiapi.

Muara Takus Temple is a Buddhist temple located in Riau, Indonesia. This temple complex is located in the village of precisely Barelang, District XIII Koto Kampar Regency or the distance is approximately 135 kilometers from the city of Pekanbaru, Riau. The distance between this temple complex in the village center Barelang approximately 2.5 miles and not far from the edge of the Kampar River Right.                   This temple complex surrounded by a wall measuring 74 x 74 meters outside the walls there are also arealnya sized ground 1.5 x 1.5 kilometers surrounding this complex sampal to Kampar Kanan river.


Within this complex there are also old temple buildings, temples and Mahligai Youngest Stupa and Palangka. Temple building material composed of sandstone, river rock and brick. According to sources original, bricks for this building built in the village Pongkai, a village located on the downstream side of the temple complex. Former mining land for the bricks until now regarded as a highly respected residents. To carry bricks to the temple, done in relay from hand to hand. This story must be true although not yet give the impression that temple building was the work together and conducted by the crowds.